Tergeletak
Baru saja terbangun dan meregangkan badannya di springbed, ketika matanya tertuju pada jam dinding, Talia terbelalak dan langsung membangunkan Lila yang masih tertidur pulas di sampingnya, memunggunginya. "Lil, bangun! Dah jam 8 lewat!"
Dan anak itu tak merespon sama sekali.
Membuatnya berteriak, "LILAAA BANGOOON!" Talia mengguncang-guncang punggung Lila, lalu dia turun dan ngacir ke kamar mandi yang berada di dalam kamar.
Kurang dari 20 menit, dia selesai mandi. Mengenakan handuk merah tomatnya, dia membuka lemari. Dilihatnya Lila masih meringkuk, Talia mengerang kesal. Baru saja akan membuka mulutnya untuk berteriak di hadapan anak itu, dia dikagetkan dengan kondisi Lila yang mengenaskan.
Mukanya pucat dan tubuhnya berkeringat.
Seperti yang biasa dilakukan seseorang untuk memastikan kondisi yang sudah terpampang jelas, Talia menyentuh kening Lila dengan punggung tangannya. Suhu tubuhnya tinggi. Lila demam.
Matanya masih terpejam.
Namun bibirnya bergerak. Talia mendekatkan telinganya ke bibir Lila, namun dia hanya mendengar gumaman tak jelas. Tapi memiliki nada. Talia mengkerutkan kening, bingung, ini anak lagi menyanyi atau mengigau? Atau dua-duanya?
Ditatapnya kelopak mata bagian atas anak itu yang bergerak-gerak, bagai mengalami mimpi yang sibuk.
Kemudian Talia mengambil gelas di dapur dan mengisinya dengan air hangat.
Suasana kontrakan damai dan sejuk, barangkali Naomi dan Jean masih tertidur nyenyak.
Ia menghampiri Lila dan menaruh gelas di nakas, lalu menekukkan kedua lututnya di atas lantai, menopang tubuhnya sendiri, "Lila?" dengan pelan dia menyebut namanya.
Disentuhnya pucuk kepala Lila dan dielusnya dengan lembut dan teratur, "Lil, bangun." Diusapnya kening dan pipi Lila yang masih bergeming di alam mimpi. "Minum air anget dulu, badan lu panas." Lagi-lagi ia berbisik pelan dan prihatin.
Dalam mimpinya, Lila sedang disayang oleh orang yang ia sayang. Ia berbaring di pangkuan orang itu, menatap matanya dari bawah. Sepasang mata indah bolah pingpong yang akhirnya berani ia tatap lekat-lekat, tak berkedip.
Mata indah bola pingpong
masihkah kau kosong?
Bolehkah aku membelai
hidungmu yang aduhai?
Engkau baik
Engkau cantik
Kau wanita, aku puja
Jangan marah kalau kugoda
Sebab pantas kau digoda
Salah sendiri kau manis
Punya wajah teramat manis
Wajar saja kalau kuganggu
Sampai kapan pun kurindu
Lepaskan tawamu, nona
Agar tak murung dunia
Di mimpi itu, ia bernyanyi untuk orang itu entah sudah lagu yang ke berapa, dengan suaranya yang tak seberapa. Namun orang itu—yang sepertinya adalah kekasihnya—selalu tersenyum padanya. Mengamatinya penuh cinta dan tak bosan-bosannya mengelus pipinya dengan sukacita. Seakan-akan suaranya adalah yang terindah.
Lamat-lamat, senyuman itu memudar bersamaan dengan sosok yang telah mengukirnya dengan sempurna. Lila merasa kehilangan.
Dicari-carinya sosok itu, kekasihnya itu, dengan cemas!
"Lila.."
Dan Lila pun membuka matanya dengan berat. "Ini mimpi atau nyata?" dengan susah payah ia bertanya. Ia merasakan sentuhan lembut sebuah jempol di pipinya
Talia tersenyum lalu membalas pertanyaan lugu temannya itu, "Lo abis mimpi, terus gue bangunin, eh back to reality deh. Sorry.."
Masih berbaring, Lila mengucek-ngucek matanya. Saat pandangannya sudah jelas, alangkah terkejutnya ia. Lila tak mampu menyembunyikan ekspresinya itu.
Ia tertangkap basah melihat (menangkap basah?) Talia yang hanya berbalutkan handuk di tubuhnya, tepat di depan matanya. Jarak mereka terlampau rapat dan ia ingin memejamkan matanya kembali. Jadi dipejamkannya tanpa ba-bi-bu. Dalam hati ia malu.
Ia ingin menelan ludah, namun malah didiamkannya tersekat di tenggorokan. ia deg-degan setengah hidup!
"Lah, malah tidur lagi, minum dulu, Lil. Gue taro di meja noh." Ujar Talia lalu berdiri. "Lo ga usah kuliah hari ini, gue juga."
Talia melepaskan handuknya untuk mengenakan pakaian yang sudah dia ambil dari lemari—yang dia letakkan di atas kasur—selepas dia mandi tadi. Sebelum dia mengecek suhu tubuh Lila yang tinggi.
Saat Lila hendak bangkit untuk protes atas pernyataan Talia yang ikut bolos kuliah, saat itu pula ia menjatuhkan kembali kepalanya di bantal kasur. Ia tambah lemas.
Astaga.
Baru saja ia melihat tubuh Talia tanpa sehelai benang.
Memang, ia pernah bermimpi melihatnya telanjang bahkan hingga melakukan, ehm, yang begitulah. Namun, menyaksikan langsung tubuh polosnya itu benar-benar membuat Lila, ha, kehilangan jati diri.
Walau yang disaksikannya itu hanyalah bagian belakang tubuhnya..
Ia tak tahan lagi. Demamnya tak begitu membuatnya lelah. Orang di depannya yang lebih menyebabkannya lelah. Karena cinta. Dan untuk saat ini barangkali juga nafsu.
Ia lelah karena jantungnya berpacu jauh lebih cepat.
Ia lelah karena bulir-bulir keringat tak berhenti mengucur dari pori-pori tubuhnya, wajahnya.
Ia lelah karena dalam dirinya, otak dan hatinya sibuk berperang.
Otaknya menuntutnya untuk tetap menutup mata. Namun hatinya membisikkan kata-kata yang menggoda iman. Dasar hati bejat! Ia mengumpat.
Dan si otak lah lebih unggul. Memintanya menutup mata sebentar saja, sampai Talia kira-kira sudah mengenakan seluruh pakaian. Rasanya lama sekali.
Kemudian ia membuka mata. Wajahnya kelihatan semakin pucat.
Di hadapannya, Talia berkacak pinggang. "Minum," tunjuknya ke arah gelas "Jangan kayak bocah, harus diperintah dulu," ucapnya ketus.
Lila mendudukkan dirinya di pinggir kasur, mengambil minum dan meneguknya hingga tetesan terakhir.
Talia duduk di sampingnya dan memeriksa suhu di keningnya sekali lagi. "Tambah panas. Keringat lo juga makin banyak."
Lila membisu menatap kakinya.
"Kita ke rumah sakit." Lanjut Talia sambil berdiri.
Lila meraih tangan kanan Talia—entah kerasukan jin apa, ia reflek melakukannya—dan berkata, "J-jangan Tal. Gue t-tiduran aja ya, biasanya bangun-bangun juga bakalan sembuh, kok." Ia menatap nanar mata Talia. Ingin sekali dipeluknya perempuan itu.
Talia melihatnya dari atas ke bawah, ke atas lagi, agak lama, "Yaudah. Kalo gitu gue temenin lo di sini. Gue keluar dulu."
Jam sembilan. Satu matakuliah lewat.
Tak lama Talia masuk kamar dengan membawa kompresan dan wadah berisi air hangat. Ia meletakkannya di atas nakas.
Masih terduduk, Lila berbicara, "Sesi dua dan seterusnya, lo kuliah aja, jadwal kita padat banget lho hari ini."
"Baring gih" bukannya merespon Talia malah memintanya istirahat.
Lila menurut seperti yang sudah jadi kebiasaannya saat diperintah Talia. Kalau sang pujaan hati sudah bersabda, ia tak bisa berkutik.
Talia mengkompresnya dengan cekatan.
"Tal.."
"Ya?"
"Nanti ngampus ya, gue gapapa ditinggal."
"Gue mau bikin bubur." Lagi-lagi Talia tak menghiraukan ucapan Lila. Ia malah berdiri sambil membawa pergi kompres beserta wadah bersamanya.
Lila menghela nafas panjang, mengeluarkan sesak di dada. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Talia sangat baik padanya. Terlepas dari ucapannya yang sering ketus, dia memberinya perhatian yang melebihi ekspektasinya. Ia merasa disayang. Walau pun itu hanya sebagai teman.
Karena untuk ukuran 'hanya' pun, itu bukan hanya 'hanya'.
Meskipun sudah membaringkan tubuhnya dan menarik selimut tinggi-tinggi, Lila tidak bisa terlelap lagi. Ia lelah namun matanya enggan tertutup. Tadi malam ia tidur dengan mudah, tidak sesulit yang ia bayangkan saat masih di atas motor. Malam itu, usai mengganti pakaian—yang dipinjamkan Talia kepadanya—ia langsung menghempaskan tubuhnya di springbed king size ini, dan tak menunggu lama baginya untuk tertidur. Namun sekarang berbeda.
Bangun-bangun ia malah demam. Mungkin efek hoodie yang lembab—yang dipakainya—akibat peristiwa di pantai yang tak dinyana itu. Ditambah dengan angin malam yang tidak bagus untuk kesehatan dan minimnya waktu istirahatnya yang lalu-lalu.
Setengah jam kemudian, Talia masuk membawa nampan. Di atasnya terdapat dua mangkuk berisi bubur dan dua gelas air hangat. Ditaronya di atas nakas yang muat menampung semua itu.
Lila yang dari tadi tak bisa tidur, berinisiatif duduk untuk makan. Walau ia tak lapar, ia ingin menghargai usaha Talia.
Namun Talia segera mencegahnya dengan berkata, "Stop. Dah lu sandaran aja, gue suapin."
"... oke" jawabnya gugup.
"Jangan marah ya kalo ga enak.. hihi" Talia menyendokkan bubur ke arah Lila, "Aaak" isyaratnya agar Lila membuka mulut.
Sebelum menganga, Lila tertawa. Karena sudah diperlakukan seperti anak kecil. Karena Talia sampai insecure dengan masakannya sendiri.
Sejujurnya, ia tak keberatan bila bubur itu terasa hambar atau asin atau pahit sekalipun. Karena yang membuatnya adalah Talia. Dan dia pula yang menyuapkan langsung kepadanya. Ia tak punya alasan untuk marah. Ia bukan anak durhaka.
Tapi ternyata, di luar dugaan, Lila sangat menyukai makanan itu. Rasanya enak sekali. Lebih enak dari bubur terenak yang pernah ditelannya.
"Enak."
Mata bola pingpong Talia melebar. Senang masakannya dipuji. "Aaak" lagi, dia menyendokkan bubur ke mulut Lila.
Untuk ukuran orang sakit, Lila bisa rakus juga.
Ah Tal, makin cinta.
Usai menyuap Lila, Talia memakan buburnya sendiri di mangkuk satu lagi.
** * **
"Makasih, Talia." Ucap Lila sungguh-sungguh setelah Talia kembali ke kamar sehabis mencuci seiuruh piring dan gelas di dapur.
"Udah mendingan?" Tanya Talia serius.
"He eh, berkat bubur elu. Lo emang jago masak ya?"
Talia mengedikkan bahunya, "Ga juga. Cuma dulu gue rajin masak kalo di rumah." Katanya nostalgia. "Egi suka banget masakan gue." Senyum tipis terurai di wajahnya. Matanya mengarah pada jendela di sisi kiri kamar. Di luar baru gerimis.
Sekarang posisi mereka bersebelahan di atas kasur. Lila berbaring di kanan kasur, dan Talia menyandarkan kepalanya di sandaran kasur bagian kiri.
"Di sini lo ga masak?" Tanya Lila lagi.
Talia menggelengkan kepala, "Enggak, gue baru masak lagi ya tadi itu."
"Trus bahannya dapet dari mana? Kok komplit gitu rasanya?" Lila heran.
"Si Jean itu yang nyetok di kulkas, dia tukang masak di sini. Makanya gue males masak. Haha."
Lila membulatkan bibirnya membentuk 'o', "Kirain karna takut teringat Egi tiap masak" ucapnya datar.
"Hmm"
"Trus mereka mana sekarang? Jean dan Naomi?"
"Udah pada cabut pas gue bikin bubur tadi."
Talia pernah bercerita kalau Jean dan Naomi adalah teman satu kampus Robi, namun mereka berbeda prodi. Kuliah di universitas swasta yang sama dengan fakultas yang juga sama, Jean mengambil prodi Teknik Sipil, Naomi Teknik Industri, sedangkan Robi Teknik Mesin. Mereka bertiga sama-sama menginjak semester enam sekarang ini. Hanya Talia yang masih semester dua.
Talia sendiri mengontrak di sini sudah hampir empat bulan. Robi yang mengajaknya pindah sebelum mereka berpacaran. Mereka dulu masih sebatas teman dekat. Namun, lelaki mana yang tahan lama-lama berdekatan dengan perempuan cantik dan menarik seperti Talia tanpa ada niat untuk memacarinya?
Mungkin hanya laki-laki yang sudah punya pacar. Seperti Jean. Tapi pacaran tidak berarti saling jatuh cinta, bukan? Bisa jadi hanya salah satunya saja. Seperti Robi kepada Talia.
Di satu sisi Lila kasihan dengan Robi, di sisi lain ia lega. Tapi kelegaannya itu hanya sementara, mengetahui Talia yang belum bisa move on dari mantannya. Ia jadi kasihan pada dirinya sendiri.
Sebelum Talia dan Robi berpacaran, mereka tidur di kamar yang berbeda. Namun kamar itu sekarang telah beralihfungsi menjadi bengkel pribadi milik Robi. Seperti sediakala sebelum dia mengajak Talia pindah ke kontrakannya.
Lila ingin tahu alasan Talia mau menerima tawaran Robi untuk tinggal bersamanya, padahal saat itu mereka belum berpacaran. Namun ia tidak tahu harus memulai dari mana tanpa beresiko menyinggung perasaannya. Jadi diurungkannya niatnya itu.
"Si Atik nanyain mulu nih, kita dimana.." Ujar Talia menatap iPhone-nya sambil mengetikkan sesuatu.
Lila baru teringat kalau sejak semalam ponselnya ia biarkan terus di dalam tasnya. Barangkali batrenya sudah habis. Ia tak peduli.
Seharian di sini bersama Talia membuatnya lupa kalau ia punya ponsel. Lagipula ia terlalu lemah untuk sekadar men-charge ponselnya itu. T-A-K-P-E-D-U-L-I.
"Jangan bilang gue sakit, nanti dia heboh."
"Yee, udah terlanjur"
"..."
"Tapi tenang aja, gue dah bilang ke dia supaya jangan datang ke sini, karna lu butuh istirahat total." Lanjut Talia masih menatap layar iPhone-nya.
Bener-bener pengertian, kamu..
Tahu aja kalo aku pengen berdua hanya denganmu.
"Makasih"
"Lo kayaknya dari tadi ga tidur-tidur deh." Ucap Talia mengalihkan pandangannya dari iPhone ke sebelahnya. Entah sudah berapa kali disentuhnya kening Lila. Lila jadi sedikit terbiasa.
"Kalo gue tidur, lo kuliah ya?"
"Apa sih dari tadi maksa mulu! Gue lagi malas kuliah. Pengen nyantai kayak elu." Ujar Talia mengerucutkan bibirnya. Dari posisi bersandar dia menempelkan kepala di bantal. Dipunggunginya Lila.
Perempuan ini paradoks sekali. Bisa dewasa, bisa kekanak-kanakan, dengan tiba-tiba, dengan cara yang menggemaskan. Namun Lila suka melihatnya bertingkah childish seperti itu. Terkesan manja, membuatnya merasa lebih dewasa. Karena sejauh ini, tanpa ia rencanakan, ia lebih sering bergantung pada Talia daripada sebaliknya. Membuatnya merasa seperti bocah.
"Lo terlalu rajin untuk malas kuliah" ujar Lila.
"Sok tau."
Lila menatap punggung Talia. Dihirupnya harum tubuhnya diam-diam. Membuai. Ingin dikecupnya tengkuk leher itu. Tapi apa daya..
Literally, hari ini mereka tidak melakukan apa-apa. Namun bagi Lila, keinginannya yang dulu sudah banyak terkabul. Maka, oddly, hari ini ia sudah melakukan banyak hal. Somehow.
Tiba-tiba Talia memutar badannya.
Sontak sekujur tubuh Lila menegang. Jarak di antara mereka hanya terpaut beberapa senti. Mata mereka saling bertautan.
"Coklat"
"Ha?" Tanya Lila, bingung. Ia nyaris tak bernafas. Untung Talia mengucapkan sesuatu yang membuatnya bingung, sehingga ia dapat mengucapkan 'ha' sambil bernafas.
"Mata lo coklat, dark hazel."
"..."
Baru kali ini Lila menatap lama matanya. Ia berani karena dia yang mulai.
Bila sebelumnya mata Talia selalu berhasil membuatnya terintimidasi, kali ini mata itu justru memercikkan keberanian ke matanya.
"Mata lo bulat, kayak bola pingpong." Akhirnya ia membalas.
Talia terkekeh.
"Bulat, hitam, dan tajam" lanjutnya.
"Eh tajam? Kayaknya tajaman mata elo deh. Kayak mata kucing!" Talia tergelak.
"Masa?"
"Iya. Makanya semalam waktu lo nangis parah abis nabrak kucing, gue jadi tambah yakin kalo lo itu siluman kucing! Kalian seolah-olah punya ikatan batin sampe elo segitunya. Eh ternyata karna takut sial." Ucap Talia sinis.
"Tapi gue emang sedih banget, sih. Gue suka binatang, apalagi kucing, nabrak salah satu dari mereka bikin gue, merasa bersalah dan jahat."
Wajah mereka masih berdekatan, namun mata Lila menerawang entah ke mana. Teringat lagi kejadian semalam. Rautnya jadi sedih.
Melihat itu, Talia mengalihkan obyek pembicaraan, "Katanya cah gunung, tapi cengeng. Gampang sakit, lagi!"
Lila mengkerutkan dahinya menatap Talia, "Gue ga pernah ngaku-ngaku anak gunung! Gue cuma lagi hobi naik gunung!"
"Yee, apa bedanya?" Alis kiri Talia terangkat.
"Anak gunung, kesannya udah pro banget, bisa memanajemen semuanya secara mandiri dan sendiri. Sedang gue, masih banyak bergantung sama orang kalo di gunung..." Jelas Lila jujur.
"Trus cah gunung harus yang berani ke gunung sendiri, gitu?"
"Iss Talia, bukan gitu maksud gue!"
"Ha ha ha, iya iya gue paham"
"..."
"Tapi lu tetep cengeng dan sakit-sakitan!" Talia menjulurkan lidahnya.
Ah, imutnya.
"Padahal lo kemaren juga cengeng"
Ekspresi Talia berubah datar. Ia hendak bangkit dari kasur.
Astaga, aku salah ngomong ya? Fak!
"Maaf Tal, ga maksud.."
"Apa sih, gue haus" ucap Talia ketus.
Ah, kirain ngambek.
Sesaat setelah Talia keluar kamar, akhirnya Lila mengantuk.
Baru saja akan memejamkan mata, tiba-tiba ia mendengar suara laki-laki di luar. Suara itu semakin terdengar jelas. Dan seketika, pintunya terbuka.
"Demam, Lil?" Ternyata Robi. Lelaki itu menghampirinya.
Lila mengangguk lemah, mengantuk.
Sambil berjongkok, diperiksanya kening Lila dengan punggung tangannya yang kokoh, "Hot."
Baik Talia maupun Robi, mereka sama-sama perhatian.
"Gue bawa makanan tuh, makan dulu yok? Dah jam makan siang nih..."
"Gak deh. Gue tidur aja Rob. Dari tadi melek terus, ini baru ngantuk. Makasih ya tapi."
"Okay, get well real soon, ya?" Robi mencolek hidungnya.
Lila mengangguk.
Saat Robi berdiri, Lila jadi teringat satu hal.
"Rob"
"Opo?"
"Sori, kasur lo gue pakek. Hhe"
"Yelah, santai" ucapnya tulus. "Ohya, ngomong-ngomong, kalian had fun kan kemaren di pantai?"
Lila mengangguk lagi.
Tak mungkin ia bercerita panjang lebar pada Robi. Lagipula, ia sudah mengantuk parah.
"Sip lah" Robi mengacungkan jempolnya pada Lila sambil tersenyum lebar. "Gue mau mamam dulu sama yayang." Lalu dia berbalik ke arah pintu dan menutupnya pelan.
** * **
Secinta-cintanya Lila kepada Talia, ia tak dapat membenci Robi, sang kekasih pujaan hati. Lelaki itu terlalu baik, pada siapa pun. Tak ada yang salah darinya.
Yang salah, hanya ia, yang cemburu. Lagi-lagi kata-kata laknat ini.
Membayangkan mereka tidur bersama—walau Talia tak cinta—hatinya terluka.
Entah mengapa Lila jadi kesal kepada Talia
karena sudah membohongi laki-laki sebaik Robi.
Perasaan campuraduk ini membuatnya pusing.
Untung ia mengantuk berat, jadi bisa langsung tidur.
Lagi-lagi si Untung disebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top