Rasa yang Hadir Kembali

Sampai pada akhirnya–well, sepertinya kata 'akhirnya' ini bullshit belaka, karena buktinya cerita ini tidak berakhir-akhir dan malah semakin bertele-tele, hehe–datanglah momen itu. Momen dimana Lila dan Talia saling menyebut nama masing-masing. Momen dimana Lila mengalami nostalgia atas rasanya yang pernah hilang dan sudah, asing.

** * **

Jadi, lewat tiga bulan Lila mendekam dalam penjara kehampaan, dan lewat tiga hari ia bercakap-cakap dengan dua temannya di kosan Joni, di suatu Senin yang tidak biasa, Lila dan teman sekelasnya mendapatkan tugas kelompok di kelas Pengantar Ilmu Politik. Tugas yang nantinya berdampak besar pada nilai UAS mereka, dan karena tugas itu pula mereka semua suka tidak suka harus berkunjung ke luar kota untuk melakukan penelitian. Segitunya kah kuliah pengantar? Sampe harus ada penelitian segala? Kan masih semester satu, Pak. Demikianlah keluhan Lila dan teman sekelasnya yang tak disampaikan langsung kepada dosennya, yang mungkin dikeluhkan pula oleh pembaca terhadap author cerita yang agaknya menjadi ngawur ini.

Tapi ya begitulah ceritanya, dosen lucu mereka itu memang ingin para mahasiswanya memiliki bekal pengetahuan tentang penelitian lebih dini. Makanya ia tidak segan-segan menitahkan tugas sedemikian rupa. Lalu, berhubung kelompok yang terbagi didasarkan pada abjad nama mereka, maka Lila tidak perlu repot mencari teman sekelompoknya sendiri. Dan apakah Lila akan berkelompok dengan Talia? Ternyata tidak. Dia pun tidak sekelompok dengan Joni, yang tampaknya kecewa dengan pengelompokan berdasarkan pengurutan itu.

Terkait hari H keberangkatan yang kurang lebih dua minggu lagi, sebenarnya bisa saja mereka pergi ke luar kota dengan kendaraan yang dipilih sesuai kemauan kelompok masing-masing. Namun Obet–sang ketua kelas yang berwibawa–menyarankan agar keberangkatan mereka dilakukan bersama-sama dengan menyewa bus. Lagipula kota tujuannya sama, dan ditambah alasan-alasan alay lainnya seperti untuk saling mengenal teman sekelas satu sama lain, dan sekiranya perjalanan ini akan menjadi semacam, makrab (?) kecil yang tak pernah mereka jalani selama menjadi mahasiswa baru–mengingat mayoritas penghuni kelas ini diisi para maba.– Gini amat, Lila mengeluh. Tapi teman-teman kelompoknya tak ada yang melayangkan keberatan, dan ia pun tidak ingin menjadi satu-satunya yang menolak keputusan tersebut. Meskipun ada sekitar 2-3 kelompok lain yang tidak setuju dan mengabaikan keputusan Obet.

Lalu, datanglah hari H itu.

** * **

Talia melirik arloji di pergelangan tangan kirinya dan otomatis mempercepat langkah kakinya yang jenjang. Ngosh ngosh ngosh, deru nafasnya lepas terdengar selagi ia berlari. Shit.

Sebelum masuk bus, diserahkannya koper mungil miliknya kepada abang pengawal sopir bus untuk ditaro ke bagasi. Tiba di dalam bus, mata Talia menyisir kiri-kanan mencari-cari kursi yang masih kosong. Terus berjalan, dilihatnya lebih dari setengah kursi bagian depan telah terisi penuh. Talia mengabaikan tatapan anak-anak seangkatannya yang tertuju pada dirinya semenjak ia menginjakkan kaki di dalam bus ini. Beruntung ia mendapati tiga deret kursi paling belakang bus masih lowong, hanya diisi satu anak yang bengong memandang kosong di balik kaca bus. Talia tidak ingin mengganggu anak itu dengan duduk di sebelahnya, sehingga ia memilih kursi di sudut seberang deretan kursinya. Jadi bisa disimpulkan posisi duduk mereka sejajar.

Akhirnya Talia duduk dan bisa mengatur kembali irama nafasnya dengan normal. Diambilnya tisu dari dalam tas lengan cream-nya dan dilapnya keningnya yang berpeluh keringat akibat lari-lari kecil tadi. Sial. Capek-capek gue lari busnya masih nyantai aja. Tau gitu gak usah buru-buru, gerutunya sendiri.

Di sudut lain, Lila ternyata sudah memutar kepalanya ke arah Talia entah sudah berapa lama. Talia yang baru menyadari hal itu menoleh kepadanya. Seperkian detik mata mereka memandang satu sama lain karena setelahnya cepat-cepat Lila berbalik ke posisi semula dengan salah tingkah.

Ketus Talia berujar, "Gak pernah liat orang ngelap keringat, ya?" yang dilanjutinya dengan merapikan isi tasnya yang berantakan karena sudah asal memasukkan barang-barang akibat bangun kesiangan. "Just mind your own business," ia datar menambahkan tanpa melihat anak di seberangnya sambil tetap sibuk berkutat dengan isi tas. Yang diketusi hanya diam pura-pura tak mendengar, mengambil smartphone dan scrolling tak jelas.

Lila sebenarnya cemas karena ketahuan memperhatikan Talia, tapi ia juga tidak menyangka kalau reaksi yang ditimbulkan akan berlebihan seperti itu. Ia pun menyesalinya dan hanya bisa mengumpat dalam hati. Kenapa aku tadi ga mau duduk di samping Joni, sih, sesalnya. Joni tadi sempat mengajak Lila untuk duduk bersama, namun Lila menolak karena Joni asyik mengobrol dengan teman sekelaminnya yang mungkin sedang sibuk membahas urusan perkelaminan pula. Ugh.

Lima menit kemudian samar-samar terdengar suara berisik beberapa orang dari kejauhan. Tak butuh lama untuk suara itu menjadi semakin nyaring pertanda para pemiliknya semakin dekat. Talia melihat ke bawah. Ada sekitar sepuluh mahasiswa laki-laki sedang berjalan terkekeh-kekeh menuju bus.

Mengetahui kursi yang tersisa dalam jumlah pas-pasan, lekas-lekas Talia mengangkat tas dan bokongnya pindah tepat ke samping Lila yang agak kaget dibuatnya. "Gue males duduk sama anak cowok. Gue kira tadi gue yang terakhir datang," Talia menjelaskan tanpa diminta.

Lila membalas ragu, "Gapapa, kok" sambil mencoba tersenyum ramah. Eh, yang disenyumi ikutan tersenyum. Aiiih, Lila meleleh.

Kemudian hening.

Para mahasiswa laki-laki yang berada di luar tadi sudah masuk ke dalam bus lewat pintu belakang dan segera menduduki kursi mereka masing-masing dengan keributan yang tak berkurang, malah tambah bising. Talia yang risih kemudian menatap tajam pada sebagian dari mereka agak lama, lalu menegur, "Bisa pelan suaranya?" Lantas mereka tertawa tak tersinggung sama sekali. Malah kegirangan karena yang mengucapkan barusan adalah Talia, mahasiswi bersuara lembut yang terkenal 3C; cantik, cerdas, dan cool tapi ternyata bisa jutek juga. Semakin caperlah bocah-bocah itu.

"Talia makin cantik deh kalo marah," salah satu anak bernama Jefer menggoda.

"Marah lagi dong, manis." kata Chevy ikut-ikutan, yang disusul dengan tawa riang teman-temannya yang lain. "Hahahaha. Jangan gitu Cep, jahat ah lu," bahkan Aditya yang pendiam pun turut menimpali dengan sok berlagak pahlawan. Padahal mah menyeringai juga.

Lila muak menyaksikan tingkah childish mereka, namun ia cuma bisa bergumam, "Norak," seakan menyatakannya pada dirinya sendiri. Meski pelan Talia bisa menangkap ucapan Lila barusan.

Seperti sudah biasa mendapat perlakuan caper dari para laki-laki, Talia hanya melempar senyum sarkas ke mereka, tak mau ambil pusing. Ia pun melempar pandangan ke kaca di sebelah kanannya, dan tak lama kemudian bola matanya terhenti pada Lila yang sedang serius melihat ke bawah melalui kaca yang sama pula. Lama diperhatikannya anak itu, karena Lila seakan-akan tidak menyadarinya. Atau cuma acting saja?

Suara mesin bus terdengar mulus dan santai, menandakan perjalanan jauh mereka akan segera dimulai. Anak laki-laki yang tadinya ribut sudah mulai tenang. Barangkali lelah dengan tingkah mereka sendiri. Atau bosan karena Talia tak kunjung menanggapi.

Akhirnya Talia buka suara. "Sori yang sebelumnya, tadi gue cuman lagi kesel gara-gara udah capek lari-lari, eh malah masih harus nunggu lagi, di sini. Hoho," ucapnya. "Gue Talia, lo siapa?" lanjut Talia menjulurkan tangannya menawarkan perkenalan pada orang di sampingnya.

Wajah Lila agak tegang mendengar permintaan maaf tersebut, namun sebisa mungkin menutupinya. "Lila. Ga masalah, karna saya mungkin akan ngelakuin hal yang sama kalo lagi kesel juga," balas Lila canggung dan formal. Whaat?

"Kamu dari mana?" tanya Talia jadi lebih lembut dan sopan. Tatapan mata bola pingpongnya meneduhkan jiwa siapa saja yang melihatnya. Apalagi dipadu dengan suara datar yang, apa ya, Lila bingung, bagaikan malaikat?

Kayak pernah dengar aja.

Mungkin aku akan betul-betul mendengarnya suatu saat nanti, pada detik-detik kematianku. Saking terbuainya, pikiran Lila jadi entah kemana.

"Eh..m-maaf. Aku dari tadi. EH dari kos maksudnya," bibir Lila bergetar.

"... Hem. Maksudku, asal kamu dari mana?" Talia senyum.

"Medan. Aku dari Medan. Hehe, kirain." cepat Lila berucap salah tingkah. Tidak tahan juga ia menatap ke dalam mata perempuan itu. Jadi ditanyakannya saja "Kamu?" lalu mengalihkan pandangannya ke kakinya. Pura-pura dibetulkannya tali sepatu yang padahal tidak lepas.

"Bogor, tapi lahir di Semarang," jawab Talia sambil memperhatikan Lila yang sibuk merapikan tali sepatunya.

"Oh.."

Merasa tidak ada gelak antuasiasme di antara percakapan mereka berdua, Talia memutuskan untuk berkata jujur, "Lila, aku tidur dulu ya. Tadi malam baru tidur bentar. Nice to meet you now. Kalo ada apa-apa langsung bangunin aku aja ya. Thanks."

Akhirnya ada juga kalimat yang lumayan panjang–di samping awal perkenalan tadi– terucap oleh Talia kepada Lila. Meskipun kalimat itu menjadi penutup perkenalan mereka yang tak memikat, Lila bisa sedikit bernafas lega karena faktanya perjalanan mereka ini akan memakan waktu yang sangat lama.

"Oke. Mimpi indah." Entah apa yang ada di pikiran Lila sampai berani mengatakan itu. Duhh.

Mendengar itu kedua ujung bibir Talia spontan tertarik membentuk senyumannya yang paling lebar yang pernah disaksikan oleh Lila selama ini. Atau sesingkat ini.

Sebelum tidur Talia sempat mengambil headset dari dalam tasnya dan mencolokkannya ke ujung bawah iPhone 6 miliknya. Usai memilah-milih playlist di layar–yang tak berani Lila intip sedikitpun walau penasaran–Talia pun perlahan memejamkan kedua matanya. Menuju alam mimpi yang ia harapkan akan menjadi indah seperti yang dikatakan kenalan baru di sebelahnya.

Di sisi lain Lila melakukan hal serupa. Memutar lagu yang dulu selalu mengingatkannya pada orang yang sekarang sedang tertidur pulas di samping kirinya. Kembali terenyuh mengenang tiga bulan lalu, saat ia masih tergila-gila pada Talia satu bulan lamanya. Kini rasa itu hadir lagi. Membuat Lila tersadar betapa ia merindukan gejolak itu di dada. Dan di dalam hati Lila berjanji, akan lebih niat dan berusaha lagi mewujudkan rasa yang ia kira, cinta?

Entahlah.

** * **

I promise that one day I'll be around

I'll keep you safe, I'll keep you sound

Right now it's pretty crazy

And I don't know how to stop or slow it down

Hey

I know there are some things we need to talk about

And I can't stay

Just let me hold you for a little longer now

Take a piece of my heart

And make it all your own

So when we are apart

You'll never be alone

You'll never be alone

You'll never be alone

When you miss me close your eyes

I may be far but never gone

When you fall asleep tonight

Just remember that we lay under the same stars

And hey

I know there are some things we need to talk about

And I can't stay

Just let me hold you for a little longer now

And take a piece of my heart

And make it all your own

So when we are apart

You'll never be alone

You'll never be alone

** * **

Saat Lila membuka mata, ia kaget setengah mati. Sewaktu tidur tadi ternyata ia sudah menyandarkan kepalanya di bahu kanan Talia. Entah untuk berapa lama. "M-ma-maaf," ia berkata tidak enak.

Talia merespon sambil tertawa pelan, "Santai, aku juga baru bangun kok. Hihi.." 

Melihat itu, rasanya Lila ingin pingsan saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top