Pen(d)ing
Sekian bulan yang lalu waktu Lila pingsan di pantai, Talia sontak berteriak memanggil teman-temannya. Setelah diistirahatkan di warung sekitar, Lila belum juga siuman. Karena bingung bagaimana memberikan perempuan itu air selagi masih tidak sadarkan diri, teman-temannya pun memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Ibu penjaga warung mengatakan bahwa jarak antara rumah sakit terdekat dari situ cukup jauh, sehingga menyarankan mereka untuk membawa perempuan muda itu ke puskesmas saja.
Maka, atas perintah si ibu, seorang pemuda warga sekitar akhirnya mengarahkan mereka menuju puskesmas terdekat dengan motornya yang melaju di depan. Sesampainya di sana, sebagai ungkapan terima kasih Atik memberikan pemuda itu selembar uang dua puluh ribu rupiah.
Dari luar puskesmas tampak sepi, namun syukurlah masih ada seorang dokter ketika mereka memasuki puskesmas tersebut.
Setelah Joni menjelaskan keadaan yang terjadi pada sang dokter, Lila langsung diinfus melalui selang bening yang dipasang di tangannya. Dokter mengatakan pada Atik, Joni, Ossy, dan Talia bahwa temannya pingsan karena kekurangan banyak cairan tubuh. Dehidrasi. Mereka diminta menunggu sementara Lila beristirahat hingga siuman nanti--setidaknya dua sampai tiga jam.
Di antara mereka berempat, Ossy dan Talia lah yang tampak paling cemas. Mereka berdua dari tadi setia menunggu di dalam ruangan, sedangkan Atik dan Joni sudah berada di luar mencari udara segar.
Hingga satu jam berlalu, Atik dan Joni masuk ke ruang puskesmas dan mengajak keduanya untuk makan siang di warung sekitar. Mereka menolak dengan alasan sedang tidak lapar. Mendengar itu Atik marah-marah, kemudian memaksa mereka untuk tetap makan agar tidak ada korban pingsan berikutnya. Tapi mereka bersikukuh tidak berselera. Joni yang kesal menyaksikan perdebatan teman-temannya itu, akhirnya buka suara. Mengatakan pada Atik agar mereka berdua saja yang makan di luar, selebihnya untuk Ossy, Talia, juga Lila, bisa dibungkus. Saat Ossy dan Talia hendak membantah, dengan ekspresinya yang garang Joni secara tak langsung menyampaikan bahwa kali ini dia tidak menerima penolakan.
Waktu Talia dan Ossy tinggal berdua di ruangan itu, dengan Lila yang masih belum siuman, lagi-lagi suasana diliputi keheningan. Mereka sibuk berkutat dengan gadget masing-masing dan sesekali melirik Lila dan satu sama lain dengan canggung. Hingga kemudian, Talia berdeham sebelum mulai mengatakan sesuatu.
"Seumur-umur gue berinteraksi dengan manusia, belum pernah gue menemukan makhluk seperti dia." Mengucapkan itu, mata Talia tertuju pada Lila.
"Seperti apa?" Ossy tertarik dan meletakkan hpnya di atas kasur.
Talia menatap Ossy dan tersenyum, "Ceroboh, cuek, sulit ditebak, susah diatur, jarang makan, minum, dan tadi, malah pingsan di pantai..." Tawa Ossy pecah. Talia ikut tertawa.
"Pernah ga lo nemuin orang kayak gitu?" lanjutnya. Dengan senyumnya yang masih mengembang, Ossy menggeleng.
"Pingsan mbok ya milih-milih tempat gitu, biar ga nyusahin. Eh ini malah di pantai." Talia menggeleng-gelengkan kepalanya ke arah Lila yang masih belum sadarkan diri. Ossy kembali terkekeh mendengar pernyataannya. Kali ini dia sepakat dengan Talia dan menambahkan, "Gagal liburan deh."
Talia tersenyum pada respon Ossy dan memandang Lila kembali.
Pada detik itu, Ossy memperhatikan bagaimana Talia memandang kekasihnya itu dengan begitu intens, mengelus kepalanya lembut dan kini menggenggam tangannya seolah-olah hanya dia yang cemas di ruangan itu. Padahal dirinya lah yang sepatutnya melakukan itu.
"Tapi, meskipun dia cuek sama dirinya sendiri, dia selalu care sama orang-orang di sekitarnya." Talia tiba-tiba berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari Lila.
Jeda sejenak, Ossy pun membalas, "Mungkin maksud lo, saking pedulinya dia sama orang-orang di sekitarnya, dia justru jadi enggak memperdulikan dirinya sendiri."
Mendengar itu, Talia langsung menatap Ossy dengan perasaan heran. Seolah mendapatkan kenyataan baru. "Kayaknya elo lebih memahami Lila daripada gue ya, Sy." Satu tarikan terangkat di sudut bibir Talia. Bukan senyum sinis tapi lebih ke terpaksa.
Ossy tidak berekspresi dan menatap Talia kosong, seperti tidak fokus. Tapi bodohnya Lila malah lebih sayang elo daripada gue. ucapnya dalam hati.
"Anyway, lo tahu nggak dia rela ngurungin niat buat beli motor demi bayarin cicilan utang gue ke bank? Well, lebih tepatnya utang almarhum nyokap gue yang diwariskan ke gue..."
"Enggak." Ossy yang baru mendengar ini tentu saja kaget, tapi dia berusaha menutupinya.
Waktu dia dan Lila LDR dulu--masa awal mereka jadian--Lila memang pernah bercerita kalau bapaknya telah memberinya uang yang bebas ia gunakan untuk apa saja. Kala itu Lila bilang kalau ia akan memakai uang tersebut untuk membeli sepeda motor. Namun ketika mereka sudah sama-sama berada di Jogja dan Ossy menanyakan hal itu kembali, Lila hanya menjawab bahwa ia akhirnya memutuskan untuk menyimpan seluruh uang bapaknya itu demi kepentingan yang lebih mendesak.
Tentu saja Ossy tidak tahu sama sekali bahwa kepentingan yang mendesak itu berhubungan dengan Talia. Bahkan Ossy baru tahu kalau Talia ternyata punya masalah keuangan, Lila dan Talia belum pernah bercerita padanya terkait ini.
Sampai saat ini.
Talia menceritakan semuanya dari awal. Merunut kembali periode kelamnya waktu itu. Tentang bagaimana terpuruknya dia saat menerima kabar ibunya meninggal pada hari ulang tahunnya, dan niatnya untuk bunuh diri di ketinggian. Bagaimana Lila bisa menyusulnya di landasan--tanpa dia memberi tahu--dan mencegahnya melakukan hal itu. Mengingatkannya bahwa hidupnya teramat berarti dan dia tidak sendirian. Bagaimana bocah itu rela membeli tiket pesawat dengan uangnya yang pas-pas demi menemaninya selama seminggu lebih di Bogor.
Hingga absennya yang melebihi ambang batas dan Lila tidak dapat mengikuti ujian pada beberapa mata kuliah, ditambah nilainya yang anjlok, yang berakibat pada IPK-nya yang rendah. Dan walhasil, hanya 18 SKS untuk Lila di semester ini. Talia bercerita dengan perasaan haru dan sesal.
Mendengarkan cerita itu secara utuh, Ossy hanya mampu terdiam. Seketika hatinya jadi pilu. Entah karena mendengar peristiwa duka yang dialami Talia dan Lila, atau karena dia yang tiba-tiba merasa tak memiliki arti apa-apa di hidup Lila.
Baru beberapa waktu yang lalu dia mendapati fakta bahwa kekasihnya ternyata memiliki perasaan yang lebih terhadap sahabatnya sendiri, dan kini dia dihadapkan dengan fakta baru lainnya: bahwa Lila telah mengorbankan banyak hal--tenaga, waktu, materi--demi Talia. Sesak di dadanya seakan hampir meledak.
Mengapa Talia harus membeberkan hal ini padanya? Mengapa perempuan itu harus mengumbar "aib"-nya sendiri pada Ossy? Bukankah semestinya dia malu karena sudah menyusahkan hidup Lila selama ini--terlepas dari duka yang dialaminya?
Tidak tahan, Ossy akhirnya menyela cerita Talia dengan berdalih bahwa dia hendak buang air kecil.
Di dalam toilet, diledakkannya lah perpaduan antara amarah dan kesedihannya itu dalam bentuk air mata. Cukup lama dia di situ. Apalagi setelah itu dia harus mencuci muka, mengelapnya dengan tisu, dan memoleskan make up lagi pada wajahnya agar tidak terlihat habis menangis. Harus menyodorkan alasan apa dia nanti?
Ketika dia membuka pintu, Lila telah siuman. Ossy mematung di tempatnya berpijak. Bukan, bukan karena Lila telah siuman, tetapi karena dia melihat mereka yang sedang berpelukan; Talia memeluk Lila yang masih terbaring di kasur dan Lila yang tampak nyaman dan betah berada di pelukan itu.
Dari terpejam, mata Lila seketika terbuka dan tertuju pada Ossy. Detik itu pula, Joni dan Atik baru saja tiba di sana sambil membawa masing-masing satu kresek besar berisi makanan dan minuman.
"Eeeeh si sleeping beauty udah bangun..." ujar Atik kepada Lila. Diletakkannya kresek itu di kasur dan dipeluknya Lila. Sedangkan Joni langsung menyerahkan kresek yang dia bawa kepada Talia, kemudian keluar menyusul Ossy.
Ya, perempuan itu pergi semenjak mereka masuk.
"Sy, lo mau ke mana?! Makan dulu gih." Joni menyentuh pundak Ossy yang sedang berjalan tergesa-gesa.
Ketika Joni mendahului Ossy untuk berhadapan dengannya, lelaki itu akhirnya dapat memahami apa yang barusan terjadi: drama percintaan (antar sesama) perempuan yang tak ada habisnya. Joni pun mendekap Ossy ke dalam pelukannya.
Tapi perempuan itu tidak tahu kalau lelaki itu sudah tahu. Masih tersedu-sedan, Ossy melepaskan dirinya dari Joni dan menatapnya kebingungan. Joni membuang nafas berat. Dia mengajak Ossy pergi agak jauh dari tempat mereka sekarang agar tidak terganggu.
Menemukan sebuah saung di tengah hamparan rumput, mereka duduk. Sebelum berbicara lebih jauh, Joni menelepon Atik terlebih dahulu untuk mengabarkan bahwa dia sedang menemani Ossy mencari pembalut. Pembalut merk tertentu yang hanya dijual di minimarket, tambahnya, ketika Atik mengatakan bahwa dia membawa stok banyak.
Lelaki itu selalu bisa mencari alasan. Menutup handphone-nya, dia pun mulai bercerita kepada Ossy. Dan lagi-lagi perempuan itu harus menjadi pendengar yang baik.
--
"Jadi elo udah tau tentang gue dan Lila?" Tanya Ossy usai Joni mengakhiri ceritanya.
Joni hanya mengulum senyum. Dari tadi dia bercerita, ini pasti pertanyaan retorika belaka.
"Dan tentang Lila dan dia?"
Joni mendesis, menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
"You knew it." Ossy menyimpulkan. "Dan gue bodoh nggak melihat itu dari awal."
"Bukan salah lu, Sy." Joni mengeluarkan rokok dari kotaknya dan mulai membakar.
"Bukan salah siapa-siapa." Mereka duduk bersebelahan dan lelaki itu berbicara memandang ke depan.
"Kenapa Lila nggak pernah cerita ke gue kalau lo udah tahu?"
Joni mengedikkan bahunya. Asap rokok yang keluar dari mulut dan hidungnya seolah meyakinkan bahwa dia pun sama bingungnya dengan Ossy; Kenapa hal ini harus dirahasiakan?
"I feel like she's never telling me anything!" ungkap Ossy gemas.
"Dia sering cerita tentang gue ke elo nggak?" tanyanya kemudian.
"Lumayan."
"Ya lu tahu sendiri lah dia jarang curhat untuk ukuran cewek. Tapi untuk ukuran Lila, ya.." Joni memicingkan satu matanya dan menarik satu sudut bibirnya, "...dia lumayan sering cerita tentang elu."
Mendengar itu timbul senyuman di bibir Ossy, yang buru-buru dia tutupi dengan pertanyaan berikutnya.
"Nggak cerita yang aneh-aneh kan?"
"Maksud lu," Joni menoleh ke Ossy dan menggodanya, "aneh-aneh ena-ena...?"
Pipi Ossy bersemu merah dan tangannya langsung mengepal dan meninju paha kurus lelaki itu. "Serius lo?!"
"Njir, kayak kepiting rebus lu," Joni mengakak di sela-sela hisapan rokoknya, "nggak lah, dia terlalu sopan untuk ngomongin hal-hal begituan."
Jeda beberapa saat, Joni menggodanya kembali. "Eits, tapi emang kalian udah pernah gituan?" ujar Joni sambil menjepitkan jempolnya di antara telunjuk dan jari tengahnya ke arah Ossy.
Kali ini Ossy sungguh-sungguh meninju paha lelaki itu hingga ke tulang-tulangnya, membuat Joni menjerit hebat.
Pertanyaan Joni menimbulkan pertanyaan lain di benak Ossy, Sejauh apa hubungannya dengan Lila selama ini? Membangkitkan kembali kenangannya bersama perempuan itu. Kenangan yang indah, walau singkat.
Tidak. Mereka belum sampai pada tahap itu. Tahap yang membuat gairah dua sejoli memuncak karena pergumulan yang 'sengit' di atas ranjang. Itu terlalu 'ekstrem' bagi mereka. Apalagi Lila. Memang, pernah ia bertindak agresif kepada Ossy. Namun, bukannya agresivitas serupa yang ia dapatkan, justru penolakan.
Kenangan indah yang dimaksud Ossy seperti, kenangan saat dia dan Lila berpegangan tangan di tengah kerumunan yang memicu getaran aneh-tak terbayangkan di dadanya. Tak ada yang tahu bahwa mereka sepasang kekasih, paling orang-orang hanya menganggap mereka sepasang sahabat perempuan pada umumnya yang terbiasa berpegangan tangan. Kenangan lain, saat dia dan Lila berpelukan di dalam kamar, entah dalam posisi berdiri, duduk, atau pun berbaring; cuddling. Mereka bisa memeluk satu sama lain selama berjam-jam hingga larut ke alam mimpi. Bila harus memilih, mungkin ini merupakan aktivitas berpacaran terfavorit Ossy. Dia senang kala mereka berpelukan, tangan Lila asyik mengelus belakang kepalanya hingga turun ke balik punggungnya. Memunculkan perasaan hangat yang jarang dia rasakan dari orang lain. Kemudian Ossy akan mengeratkan pelukannya dan menyembunyikan kepalanya di leher perempuan itu, sesekali menggigitnya hingga Lila meringis geli.
Aktivitas kesukaannya yang lain, ngalor-ngidul. Ya, dia bisa mengobrol puas tentang apa saja kepada Lila. Meski Ossy yang lebih sering mendominasi percakapan, dia suka melihat mimik perempuan itu saat mendengarnya bercerita: polos dan berbinar. Lila tampak tak pernah bosan dengan segala ocehannya--setidaknya itu yang dia rasakan.
--
"Sy..?" ucap Lila pada Ossy sambil berjalan di belakang perempuan itu keluar puskesmas.
Ossy tersenyum tipis, membalas, "Apa?"
Lila menatapnya sejenak kemudian menggeleng, "Gapapa. Aku pengen dengar suaramu." Menyentuh pinggang Ossy, ia pun berjalan di sisi perempuan itu menyusul yang lain ke arah mobil.
Mendekati pintu, ia menanyakan, "Di hotel nanti, kita satu kamar ya?"
"Oke." jawab Ossy.
Sebelumnya mereka telah sepakat bahwa mereka harus mencari penginapan untuk beristirahat. Liburan yang awalnya direncanakan tanpa rencana - tanpa tujuan ini, akhirnya dirembug kembali. Karena rupanya, sulit juga mengadakan road trip tanpa tidur di atas kasur yang empuk. Baru satu hari, badan mereka sudah pegal-pegal. Jadi, mau tak mau, mereka harus patungan mengeluarkan biaya pula.
Mereka sudah memesan dua kamar yang memiliki dua single bed di tiap kamar. Biar irit. Joni bebas memilih tidur di kamar mana saja, membuat dua di antara para perempuan harus rela tidur berdempetan di satu kasur. Untuk ini, Joni tentu saja cari aman dengan mengekori Atik ke mana perempuan itu pergi. Dia ingin terhindar dari drama.
Ketika Lila memasuki kamar yang satunya lagi, tiba-tiba Talia sudah berada di dalam bersamanya. Perempuan itu langsung menghempaskan badannya di atas kasur, membuat Lila terhenyak.
Tak lama kemudian, Ossy yang habis dari toilet--sejak mereka menginjakkan kaki di hotel ini--masuk tanpa mengetuk pintu. Sama seperti Lila, dia pun terhenyak--untuk alasan yang berbeda.
"Kalian, sekamar?" tanyanya, pada siapa saja di ruangan itu.
Masih terbaring, Talia merespon, "Ya, bebas kan?"
Ossy memasang wajah kecewa. Saat dia hendak keluar, Lila langsung mencegatnya, "Kamu di sini aja, bareng kami..." Lila merasa serba salah. Mereka memang belum membuat kesepakatan bersama terkait ini. "..tidur sekasur denganku.. atau sama Talia, terserah." ujarnya, hati-hati.
"Yakin lo Lil?" tanya Talia menyampingkan badannya ke arah Lila. "Si Atik gimana? Berdua doang sama Joni?" Alis kiri Talia terangkat. "Dikira yang enggak-enggak, lagi."
Tanpa pikir panjang, Lila langsung berdiri, "Yaudah, aku aja yang tidur sama mereka." ucapnya, menatap Ossy tak enak. Ia lalu melewati perempuan itu di depan pintu tanpa menunggu lebih lama--tak memberi jeda pada Talia dan Ossy untuk berpendapat--menuju kamar yang sedang ditempati Atik dan Joni.
Mengapa semua harus dibuat rumit?
"Lah Lil, ngapain lo di sini?" tanya Atik memasang ekspresi cemas.
"Tidur lah, ngapain lagi?" Lila meletakkan ranselnya di pojok kamar, memandang Atik dan Joni yang bersila di atas kasur masing-masing. "Lagi ngobrolin apaan kalian?" tanyanya pada mereka.
"Rencana jalan-jalan besok. Kayaknya kita--" belum sempat melanjutkan perkataannya, Atik menyela omongan Joni, "Lil, lo tidur di sebelah aja plis, gue ga nyenyak kalau tidur sempit-sempitan." pinta Atik memelas.
"Tau sendiri badan gue gede, tega lo ye."
Lila memutar bola matanya dan langsung mengambil jatah kasurnya, "Sebelah udah penuh. Dan gue ga tega ninggalin lo berduaan sama si cungkring. Nanti diperkosa, tau rasa lo." ujar Lila seenak jidat sambil menelungkupkan badannya, membuat Atik mau tak mau menggeser.
"Ah, ganggu!"
"Otak mesum lu Lil." Joni menyengir dan melempar jaketnya ke arah Lila, tapi malah mengenai Atik. Hingga perempuan itu memekik, "Bauk!"
"Gue mandi dulu, lah!" ucapnya lagi, berdiri. Dengan tampang kesal, Atik mengambil beberapa barangnya dari dalam tas dan berlalu ke kamar mandi. Sedangkan kedua temannya hanya tertawa menyaksikan gerak-geriknya yang menyebalkan namun lucu.
"Beneran tega lu, Lil." akhirnya Joni berkata setelah Atik berada di dalam kamar mandi.
"Diam lo."
"Ga liat lu bobot si Atik makin gede kayak gitu, lu biarin dia dempetan tidur sama elu?" tanya Joni memasang ekspresi lebay.
"Dih body shaming. Ga asik lo."
"Bukan masalah body shaming atau apa lah. Tapi bisa-bisa lu sesak napas ketimpa dia." Joni terkekeh oleh pernyataannya sendiri. "Tambah kasian gua sama lu, Lil! Gepeng!"
Dalam posisinya yang telungkup, Lila melempar bantalnya ke wajah Joni. "Ngaca lu vangke."
"Hm, gini-gini gua kuat ngangkat lu."
"..iya, thanks Jon."
"Sama-sama. Gimana kondisi lu sekarang?"
"Capek."
"Secara fisik atau psikis?"
"Dua-duanya, mungkin?"
Joni tersenyum simpatik. "Jadi, apa yang bikin lu akhirnya tidur di tempat ini? Bukannya lu harusnya sama Talia, atau Ossy?" tanya Joni seolah paling mengerti isi kepala Lila. Meskipun benar.
Lila termenung, sebelum akhirnya mengatakan, "Lo seriusan pernah naksir gue, Jon?"
Mendengar itu, Joni membaringkan badannya di atas kasur. Lalu menopang bebannya dengan tangan, menyamping menghadap Lila, "Serius. Kenapa lu tanya?"
"Gimana caranya lo bisa bertahan sama gue dengan status kita yang temenan kayak gini?"
"Kan gua dah pernah bilang, karna gua ga bakal pernah menjangkau elu yang notabene ga doyan batangan."
"Sial." Lila tertawa. "Maksud gue, gimana prosesnya? Apa itu memakan waktu lama buat lo?"
"Apanya yang makan waktu lama?"
"Lenyapin perasaan lo ke gue. Alah, lo pura-pura goblok atau memang goblok, sih Jon?" ujar Lila gemas.
"Kata siapa perasaan itu bisa lenyap?" Joni menjawab serius.
Lila akhirnya mendudukkan dirinya di atas kasur, memandang Joni lekat. "Jadi...?"
"Gua hanya mencoba bersikap realistis, Lil. Kalau itu yang ingin lu dengar."
"Jon, gue benar-benar minta maaf.."
"..."
"Kalau bisa, gue pengen jatuh cinta sama cowok aja, Jon. Dan kalau gue normal, gue yakin gue bakal jatuh cinta sama elo." ucap Lila dengan nada sedih.
"Jangan lah. Gua ga pengen dicintai hanya atas dasar kasihan. Memalukan!" Joni setengah menjerit. "Di mana harga diri gua?" Satu matanya berkedip ke arah Lila.
Lalu, lelaki itu bangkit dan duduk di sampingnya. "Don't pity on me--"
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, Atik memandang kedua sahabatnya itu dengan heran sambil mengeringkan rambut dengan handuk. "EH? Ngapain kalian? Serius amat?"
"Gue ga ketinggalan berita penting ni kan?"
"Ah, cerewet lu, Tik." Joni pun berdiri mengambil jaketnya dan keluar kamar. Meninggalkan Lila dan Atik dengan pertanyaan yang belum terjawab.
"Ngomongin apa sih, Lil? Serius banget kayaknya?" ujar Atik mengambil duduk di kasur Joni, menghadapkan dirinya di depan Lila.
"Enggak ada, Tik."
"Kok gue merasa kalian menyembunyikan banyak hal dari gue ya belakangan ini?"
"Perasaan lo doang." jawab Lila, berbohong.
"Apapun itu, gue harap kalian ga menyisihkan gue sebagai sahabat." Dari nada bicaranya, jelas Atik kecewa.
Bukannya dia bego atau tidak peka, hanya saja dia tidak ingin mencampuri urusan orang. Dia tahu teman-temannya punya masalah, tapi dia tidak ingin mengorek mereka sampai mereka sendiri yang berbicara terbuka. Sebagai seorang ekstrover, ada sisi sensitif dari Atik yang selalu berusaha dia sembunyikan. Dia hanya tidak ingin orang lain--termasuk teman-temannya sekalipun--melihat itu, sesuatu yang dia anggap sebagai kekurangan. Tapi kali ini, Atik sudah bosan 'disisihkan'.
"Gue ngerasa ga fair. Di saat kalian semua tahu apa masalah yang gue hadapi, tapi kalian justru ga mau terbuka sama gue."
"Lo bisa terbuka sama Joni, tapi sama gue kagak?"
"Trus, kenapa sih si Joni masang ekspresi sebel sama gue kayak tadi?" tanya Atik penasaran.
"Tik, sebelumnya maafin gue kalo udah buat lo merasa tersisihkan. Tapi, gue belum bisa cerita sekarang, gue belum siap. Tapi nanti, mungkin ga lama lagi, gue bakal jujur sama lo. Untuk sekarang, ini benar-benar menguras tenaga gue. Gue harap lo bisa sabar." Lila menjawab jujur. Ia sangat lelah. Terlalu lelah berbicara dan bersandiwara.
Pada akhirnya, siang hingga sore itu hanya mereka habiskan untuk beristirahat di kamar hotel di salah satu kabupaten di Jawa Timur. Atik cukup pengertian untuk tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan lagi, malah dia berubah cenderung lebih pendiam. Sejujurnya, masih kecewa dengan teman-temannya.
Malam harinya, mereka berlima pergi keluar mencari tempat makan. Dengan jarak 8 kilometer, mereka tiba di sebuah restoran terjangkau yang menyuguhkan pemandangan malam yang indah. Hasil penelusuran Lila di internet. Setidaknya, apabila road trip mereka gagal karena hal-hal yang tidak terduga, mereka bisa tidur nyenyak dengan perut yang kenyang dan hati yang lega.
Tidak banyak yang bisa mereka bicarakan di restoran itu. Atik yang biasanya selalu berbicara--meski sedang patah hati sekalipun--hanya berbicara seadanya. Mungkin, mood-nya memang memburuk semenjak kejadian tadi siang.
Tapi anehnya, setiap orang yang berada di tempat itu tampak wajar dengan apa yang terjadi. Tidak ingin memaksakan diri untuk menjadi supel atau pura-pura semangat membicarakan sesuatu. Ada kalanya diam itu baik. Dan mereka menikmati keberadaan masing-masing tanpa banyak bicara; menikmati sajian makanan yang enak dan pemandangan di atas dan di bawah yang apik.
Sekembalinya ke hotel, pukul 11 malam, mereka masuk ke kamar masing-masing. Ossy dan Talia, serta Atik, Lila, dan Joni. Tapi setelahnya, Joni keluar kamar. Lila pun mengikutinya.
Mereka duduk di bangku teras hotel yang sepi. Kemudian Lila buka suara,
"Liburan kita hambar ya?"
"Enggak kok."
Disponsori dengan dua botol plastik teh yang Lila beli di lobi hotel, mereka pun berbicara santai mengenai hal-hal yang remeh-temeh, sebelum akhirnya meneruskan ke topik yang lebih serius--yang sempat tertunda.
"Gue ga pernah merasa kasihan sama lo, Jon.."
"Gue justru kagum dengan sosok lo yang bisa meng-handle situasi apapun."
Joni melirik ke Lila dan menarik sudut bibirnya. "Bahas itu lagi, nih?"
"Kalau lo ga keberatan."
"Gue mah kekurusan, yang berat lagi ngorok noh di kamar."
"HA-HA." ujar Lila tertawa sinis-mengejek.
"..."
"Apa ya, intinya gua cuma mau bilang, kalau perasaan itu rumit." Joni menghela nafas, "Tapi sebenarnya simpel."
"Jangan langsung ke intinya lah, Jon. Paling enggak ada pembahasannya dulu."
Joni mengambil minumannya dan meneguknya, kemudian berbicara,
"Gua suka dan sayang sama lu, tapi lu menyukai dan menyayangi gua dengan cara yang berbeda. Benar?" tanyanya sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangan.
Lila tersenyum dan mengangguk.
"Dan gua beruntung menyadari itu jauh sebelum gua masuk ke tahap benar-benar cinta ke elu.. Mungkin ini bedanya laki dan perempuan."
"Emang ga ada cowok yang melankolis?"
"Ya ada, tapi persentasenya ga sebesar cewe. Dan untung gua termasuk yang mayoritas."
"Segampang itu?"
"Gampang. Apalagi ketika elu udah menemukan penggantinya." Joni mengakhiri kata-katanya dengan senyuman simpul.
"SIAPAAA?" tanya Lila girang dan penasaran.
"Udah ah, gua bobo dulu. Lanjut kapan-kapan." Joni melenggang pergi masuk ke dalam, meninggalkan Lila bertanya-tanya.
Walau begitu, ia senang mendengar kabar baik tersebut. Joni dengan segala kebanyolannya, ternyata sulit ditebak.
Pada dasarnya, semua orang yang ia kenal, sulit ditebak. Misterius dengan cara mereka masing-masing--se(merasa)dekat bagaimanapun kau dengan mereka.
--
Ketika alam sadarnya mulai hinggap, Lila merasakan dirinya sedang dipeluk seseorang dari belakang. Belum sepenuhnya sadar, perutnya tiba-tiba mual. Entah mengapa ia yakin, seseorang itu bukanlah Atik.
Harum tubuhnya seperti,
Talia.
Matanya ke bawah, menatap tangan yang setengah melingkari pinggangnya seolah ia guling. Lila menyisihkan tangan itu ke samping dengan pelan, bertanya-tanya bagaimana bisa perempuan itu bisa berada di sini bersamanya.
Di mana Atik?
Dilihatnya Joni dan Talia masih tertidur pulas. Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Talia menggumam dan tangannya bergerak, merasa terganggu kehilangan "guling"-nya. Seperti terhipnotis, Lila memandanginya cukup lama. Cukup lama sampai ia tidak mendengar ketukan di pintu kamar.
"Bukain pintu woy!" ujar Joni yang terbangun oleh ketukan dan suara seseorang di luar pintu.
Saat Lila mencoba menggeser kuncian pintu, yang gagal karena ternyata pintunya tidak dikunci, ia pun langsung menekan handle pintu.
Pintu terbuka, dan di hadapannya ada Atik yang sedang memandang Lila cemas.
"Pintu kok ga dikunci sih?!" protes Lila pada Atik.
"Mana gue tahu, paling si Talia lupa."
"Lo jadinya tidur di kamar sebelah? Kenapa?"
"Duh, kan udah gue bilang kemaren, kasurnya terlalu sempit untuk ditiduri dua orang. Apalagi salah satunya gue! Jadi ya gue datang ke kamar sebelah buat minta tukeran. Dan kebetulan, si Talia yang bangun waktu gue ngetuk pintu mereka." Atik memprotes balik.
Sebelum terdistraksi lebih jauh dari niat awalnya mengetuk pintu ini, dia buru-buru mengangkat tangannya, menunjukkan secarik kertas di wajah Lila. "Baca nih."
"..."
"Gue mau pulang." ucap Atik datar. "Liburan ini makin ga jelas. Aneh. Bukannya senang-senang, malah makin galau gue."
Sedangkan Lila, hanya tercengang pada posisi berdirinya.
Ossy telah pergi membawa barang-barangnya, meninggalkan mereka berempat tanpa alasan. Hanya menuliskan satu kalimat pendek di atas kertas:
Gue cabut, jangan dicari.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top