Mimpi Buruk?

Setelah kejadian saling lempar senyum mendadak itu berakhir, Lila tidak mampu menghilangkan wajah Talia dari pikirannya. Senyuman singkat itu bagaikan berputar-putar terus di memori ingatannya. Membuatnya senyam-senyum sendiri sejak ia berjalan pulang dari kampus. Angin sepoi-sepoi menerpanya hingga helaian rambut menutupi wajah lonjongnya yang diliputi kegembiraan. Ia tidak peduli dan membiarkannya saja. Cuaca begitu cerah, seakan-akan semesta mendukung segala yang terjadi padanya hari ini. Kicauan burung bernyanyi merdu di langit memperindah suasana. Ia pun turut bersiul mendendangkan lagu entah apa. Seandainya burung-burung itu beol dan menjatuhkan eeknya di kepala Lila, barangkali ia tidak akan menyadarinya saking otaknya sudah tersita pada Talia seorang. Lalu, apakah perasaannya ini berlebihan? Mengapa tidak? Namanya sedang kasmaran, semua hal-hal ringan bisa tumbuh jadi harapan, hati kecilnya berbisik.

Tiga malam berturut-turut Lila memimpikan Talia, dengan macam-macam plot cerita yang membuatnya bersuka ria. Namun dalam mimpi terakhir, ia malah tertekan. Ia merasa bersalah sudah secara tak langsung merendahkan Talia melalui mimpi murahannya. Padahal mimpi-mimpi sebelumnya sudah cukup membuatnya bahagia. Dengan hal-hal sederhana namun bermakna, dari mulai bertatap mata, bergandeng tangan, mengelus pipi, hingga menatap mesra bintang di angkasa. Itu sudah cukup. Tapi mengapa mimpi terakhir justru merusak mood-nya? Ia jijik dengan dirinya. Bangun-bangun ia muntah dan segera mandi mensucikan diri.

Di kampus Lila tidak sanggup membayangkan akan bertemu atau sekadar melihat Talia. Dia malu dengan "tindakan"nya tadi malam. Ya, dia malu karena mimpi! Dia malu karena sudah bermimpi melakukan hubungan intim dengannya. Bahkan menonton adegan panas di film "Blue is the Warmest Colour" saja dia tidak berani (dan gara-gara ini pula ia tidak mampu menyelesaikan film yang konon katanya bagus sekali itu), apalagi "mengalami"nya sendiri. Di sini dapat kita bayangkan betapa naifnya karakter utama kita, si Lila ini.

Dan benar saja, ia memang tidak melihat Talia hari itu.

Aneh, ia rasa. Di satu sisi ia sudah jatuh hati pada Talia, tapi mengapa di sisi lain ia ingin memusnahkan begitu saja perasaan mendalamnya terhadap perempuan itu dari hatinya? Karena ini udah ga wajar.

Memang cinta pernah wajar?

** * **

Selepas kuliah singkat di hari Jumat, Lila meminta Atik menemaninya ke salah satu mall di Yogyakarta. Lebih tepatnya meminta tebengan, berhubung Atik selalu membawa sepeda motor kemana-mana. Ia hanya ingin refreshing, cuci mata, apapun sebutannya, untuk meredakan kekalutan fikirannya dari Talia. Tentu saja alasan terakhir ini tidak ia ceritakan pada Atik. Joni yang saat itu mendengar, buru-buru melibatkan dirinya untuk ikut. Ia pun mengajak seorang teman perempuan, Putri namanya. Jadilah mereka berempat berboncengan melaju ke mall terdekat.

Di mall, Lila memisahkan diri dari teman-temannya yang memilih masuk ke gerai-gerai clothing dan sepatu. Ia sendiri lebih tertarik melihat-lihat buku di gramedia. Membaca buku-buku baru yang sudah lepas segelnya merupakan kesenangan tersendiri bagi Lila. Bahkan saat masih SMA, tidak jarang ia pergi ke toko buku hanya untuk membaca sampai selesai buku-buku yang sedari awal tidak ia niatkan untuk dibeli itu. Ia punya prinsip, kalau bisa baca gratis mengapa harus dibeli. Kecuali kalau ia benar-benar menyukai suatu buku dan ingin membacanya berkali-kali. Dan ini juga jarang terjadi. Maka jangan heran walau koleksi bukunya sedikit, Lila sebenarnya sudah melahap banyak buku dengan genre favoritnya. Untuk yang terakhir ini ia antusias terhadap puisi dan novel.

Menunggu Lila yang lama tak kenal waktu, Atik, Joni, dan Putri akhirnya menghampiri dan menjemputnya dari gramedia. Lila hanya bisa menyengir saat Atik menanyakan beli apa saja dia di sana. "Parah banget lo nyet! Ditunggu lama-lama kagak ada yang elo beli. Gak kasian apa sama abang-abang yang jagain tadi?" Atik cerewet memarahi Lila yang malah heran atas pertanyaan tidak logisnya itu.

"Kenapa kasian? Kan dia digaji. Lagian gramed gak bakal rugi lah kalo gue gak beli sama sekali. Kok lo yang sewot," Lila menjawab dengan lo-gue yang sudah jadi kebiasaannya belakangan ini, karena bosan diledek kaku dengan aku-kamu-nya, atau dibilang batak dengan aku-kau-nya (padahal dia bukan orang batak). Pergaulannya dengan dua anak Jakarta coret itu lah (Joni dan Atik) sebenarnya yang berpengaruh terhadap gaya bicaranya tersebut. Kalau ngobrol dengan teman-teman lain yang ia tidak kenal dekat (termasuk Putri), Lila selalu menggunakan aku-kamu. Yang jelas ia masih beradaptasi dan memposisikan diri sesuai porsinya masing-masing.

Usai berdebat, Putri mengajak yang lainnya untuk makan di foodcourt, yang serempak mereka iya-kan pertanda perut sudah sama-sama keroncongan. Mereka pun naik dengan elevator ke lantai paling atas, lalu Joni memilihkan tempat duduk di sekitar pojokan menghadap lantai bawah. "Sini aja yah".

Banyak cerita yang mereka obrolkan di sela-sela menanti makanan datang maupun saat makan. Putri yang awalnya terlihat anggun dan cool, mulai memperlihatkan sifat aslinya. Bocor juga nih anak, dalam hati Lila berkata. Putri tak segan-segan bergosip tentang anak-anak seputar kampus kepada mereka yang hanya melongo tak percaya mendengarnya, terutama Lila. "Haahahahahahahaha", "Anyiiiiiiiiing", "Heh beneran toh???", dan respon-respon lain yang tak disangka-sangka terlontar dari mulut Atik, Joni, dan Lila terhadap cerita-cerita mencengangkan Putri. Sampai kemudian mereka bosan tertawa dan terdiam menikmati makanan sejenak. Tak menunggu lama, Putri lagi-lagi membuka pembicaraan.

"Eh, lo pada tau yang namanya Talia gak?"

Mendengar nama itu Lila tersedak dan buru-buru menyedot minumannya.

"Tau dong, cantik gitu. Seksi, lagi." Joni merespon, membuat Lila bingung karena mengira ia sedang mendekati Putri, tapi nyatanya malah memuji cewek lain.

"Oh yang rajin duduk di depan itu kan? Selain cantik, kelihatannya sih pinter juga," Atik menimpali.

Lila diam mendengarkan saja.

...

"Hemmm. Luarnya doang mah gitu. Kalem, pinter..." Putri lanjut mengunyah dan terkesan sengaja menggantungkan kalimatnya.

"Maksudnya?" spontan Lila bertanya karena tidak kuat menahan rasa penasaran.

"Ya gitu sih"

"Apaan dah lo? Ngomong dikelarin kek. Enak aja nggantungin kita kaya gitu, emang lo kira kita jemuran?" Atik terang memperlihatkan ketidaksukaannya.

"Hemm gini loh, bukannya gosip apa gimana ya. Tapi kata sohib gue yang anak fakultas sebelah, si Talia itu bispak." Usai mengucapkan itu, si empunya mulut hanya tersenyum singkat sambil mengangkat bahunya. "Tapi ya entahlah, gue juga gak mau jadi jelekin orang lain begini. Tapi teman gue itu sendiri satu SMA sama dia, dan ngakunya sih pernah make dia."

Mendengar omongan menjijikkan dari Putri barusan, ingin rasanya Lila menonjok mukanya yang pas-pasan itu kalau saja ia tidak teringat perbuatannya itu hanya akan menimbulkan pertanyaan mencurigakan. Jadi dia memutuskan diam dan permisi ke toilet.

Ia merasa lebih baik tidak mendengarkan kelanjutan cerita omong kosong itu daripada membiarkan telinganya semakin panas terbakar rasa benci. Sejak saat itu ia berjanji untuk tidak akan mau berteman dengan yang namanya Putri itu. Dasar bigos munafik. Enyah kau dari muka bumi.


oooooo0oooooo


Btw, sori ya kalo alurnya lamban banget. Saya sendiri bacanya kesel, kesannya lama banget ni anak benar-benar kenal sama si Talia. Tapi kalo cepat-cepat pun saya ga suka. Ga mau buru-buru. Masih ingin menikmati proses misterius ini. Hehehe. Mohon komentarnya ya, teman-teman, baik itu pujian, saran, kritik, atau makian. (:

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top