Love is wanting to be Loved

Talia bangkit dari duduknya lalu menghampiri lelaki yang tampak sedang mati gaya, yang tiba-tiba mengalihkan pandangannya dari mereka. Lelaki itu merasa kepergok dan seketika pura-pura merapikan sesuatu di atas meja kerjanya.

"Hpnya mas."

"E-eh, kenapa mbak?" respon lelaki itu tergagap.

"Sini hpnya." balas Talia singkat. Matanya tak sedetik pun berkedip menatap mata lelaki yang sibuk berkeliaran entah ke mana itu.

Tidak digubris, Talia langsung mengambil ponsel tersebut dari dalam saku celana lelaki itu. Agak kesulitan sebab lelaki itu berlindung di balik meja.

"Lha, mau ngapain mbak?!"

"Passwordnya apa? Kalau nggak ngasih tau, saya lempar hp Anda ke bawah sana, ya?" Menunjuk ke arah jurang, Talia mempertegas maksudnya. Tanpa menunjukkan kemarahan. Hanya ketegasan.

Usai dirinya dan Lila berpagutan beberapa menit lalu, Talia melihat dan menangkap basah mas-mas penyaji makanan sedang asyik meninggikan ponselnya ke arah mereka. Tidak perlu menjadi jenius untuk mengetahui apa yang sedang lelaki itu lakukan: entah memfoto atau merekam keduanya.

Takut akan gertakan Talia yang meyakinkan, lelaki itu segera membuka kuncian ponselnya, selagi perempuan itu mengarahkan layar ponsel tersebut sejengkal dari muka sang pemilik. "Jangan dilempar mbak, gaji saya nggak cukup buat beli hp baru!" ujarnya ketakutan.

Mengabaikan pernyataan lelaki di hadapannya, Talia fokus mengecek galeri ponsel itu dengan seksama, mencoba menghapus rekaman video ciuman dia dan Lila.

Namun sebelum dihapus, dia memutarnya terlebih dahulu.

Tanpa dia sadari, segurat senyuman menyempil di wajahnya selama menonton rekaman tersebut. Lalu mendadak ekspresinya beralih datar kepada lelaki itu sambil menyerahkan ponsel miliknya.

"Kalau mau nonton, nonton aja sendirian. Udah enak disuguhi pemandangan gratis dan langsung, masih aja main rekam. Memang ya, teknologi sialan bikin orang suka pamer?" Talia mengakhiri ceramahnya dengan pertanyaan yang tak perlu dijawab. Lelaki itu sukses dibungkamnya.

Tak ingin berlama-lama, akhirnya Talia pun memutar arah. Kembali berjalan ke arah Lila yang masih terduduk dan termangu memperhatikan perlakuannya kepada mas-mas penyaji makanan barusan.

"Beres. Yuk, pulang." ucapnya manis kepada Lila. Diulurkannya tangannya kepada perempuan itu untuk ia raih dan gandeng. Lila menerimanya dengan patuh dan tampak dari ekspresinya bahwa ia masih tidak menyangka apa yang baru saja mereka--ia--alami: berciuman di tempat umum.

Sembari memapah Lila dan membawa tongkat perempuan itu, Talia menoleh ke arah mas-mas tadi untuk terakhir kali, dan mengucapkan. "Uang di atas meja ya mas?" senyumnya, tanpa paksaan. Malah perempuan itu bisa-bisanya mengedipkan sebelah mata kepada lelaki yang nyaris saja berpotensi membuat skandal terbesar dalam hidup mereka berdua.

Lelaki itu hanya terpaku di tempatnya berdiri menyaksikan hal yang paling ganjil seumur-umur dia bernafas: mendapatkan kedipan mata dari seorang perempuan menarik yang baru saja berciuman dengan seorang perempuan lainnya.

Dan Lila lah yang sebenarnya menjadi manusia yang paling clueless saat ini di tempat ini. Tidak mengerti mengapa satu hari pertama ini bisa terasa begitu panjang dan melenakan dan membingungkan bagi dirinya sendiri. Dan pada akhirnya ia menyadari bahwa alasannya hanya satu: tidak lain dan tidak bukan karena perempuan di sampingnya--Talia.

Selalu, pada hari pertamanya kuliah.

*

Sebelum mereka berpagutan dengan cukup lama tanpa dipenuhi hawa nafsu--hanya luapan rindu yang tenang dan tidak memburu; tepatnya sebelum Talia mencetus segala adegan intim itu--sebab intim bukan hanya urusan ranjang, bukan, Talia telah bercerita panjang lebar tentang hal-hal yang dia alami setahun terakhir ini. Setahun tanpa kehadiran Lila di kehidupannya; setahun yang dia jalani dengan penuh kesadaran dan kebimbangan.

Dia memulai kisahnya tentang dirinya yang menjual rumah warisan ibunya, yang hampir setengah uangnya dia pergunakan untuk melunasi utang kepada pihak rumah sakit dan sebagian lainnya diserahkan kepada saudara angkat ibunya, Om Frans, setelah menempuh jalur hukum di pengadilan. Sebenarnya dia dan Om-nya telah mencapai kesepakatan terkait angka-angka yang akan dibagi. Hanya saja istri Om-nya tersebut terlampau mata duitan. Jadi sebagai upaya terakhir, mereka suka tidak suka malah menyelesaikannya di meja hijau. Cukup menguras tabungan dan tenaganya, karena harus menyewa pengacara dan bolak-balik ke pengadilan setiap minggu selama dua bulan. Tapi pada akhirnya, untungnya putusan pengadilan lebih memihak padanya. Terang saja, dia adalah anak kandung ibunya, sekalipun Om Frans yang lebih banyak menghabiskan waktu dan merawat ibunya hingga detik terakhir sisa hidupnya. Hubungannya dengan Om Frans tidak berakhir buruk, cenderung biasa-biasa saja. Walau begitu, dia tidak ingin berurusan lagi dengan mereka, khususnya istri lelaki tersebut. Dia sudah tidak peduli jika dirinya benar-benar harus menjalani hidup ini seorang diri, tanpa kehadiran keluarga. Lagi pula, ada atau tidak ada mereka hidupnya sudah sunyi sejak dulu. Hanya saja kali ini dia sudah bisa bernafas lebih lega, sebab tidak harus mendengar gunjingan-gunjingan mereka yang mengaku sebagai keluarga namun tidak lebih menganggapnya sebagai sampah. Pun tetangga-tetangganya yang beranggapan demikian.

Meskipun sejujurnya Lila menyayangkan keputusan Talia yang telah menjual rumah ibunya tersebut, ia tidak mau mengungkapkannya. Ia mencoba memposisikan dirinya sebagai Talia yang selama ini merasa tertekan dan hina di lingkungan rumahnya. Akibat masa lalu yang sebenarnya bukanlah kesalahan perempuan itu. Sama sekali. Masyarakat terdekat yang bernama tetangga itu terlalu sibuk mengurusi masalah--selangkangan--orang lain sampai-sampai tak pernah absen menjadi topik obrolan favorit setiap saat, tapi tak pernah mau ambil pusing ketika orang-orang itu sedang membutuhkan bantuan dan semacamnya. Ditambah lagi ketika tetangga itu yang membuat keadaan ibunya semakin parah dan tertekan. Tetangga macam apa itu?

Tapi itulah fakta di lapangan. Fakta pahit yang mesti dihadapi Talia selama prosesnya beranjak dewasa. Dari gadis manis yang patuh dan penurut, dirinya seketika dicap berubah drastis dalam semalam: menjadi wanita murahan yang oleh lingkungan bahkan keluarganya--ibunya--sendiri, malu dengan keberadaan dan kehadirannya di sekitar mereka. Lila merasa sedih sekaligus sakit. Betapa ingin ia memeluk perempuan di sampingnya itu dengan erat, mencoba mengalirkan kekuatan yang ia sendiri tak tahu masih ia miliki atau tidak. Tapi ia tidak mampu. Dan sebagai gantinya hanya diam mendengarkan Talia melanjutkan cerita.

"Sisa uangnya sebagian besar udah gue simpan jadi deposito, dan sedikitnya gue alihkan jadi kendaraan yang kita pakai ke sini tadi."

"Motor lo." lanjutnya.

Lila menggeleng, terkekeh tak mau percaya.

"I'm being serious, Lil, dengan apa yang gue bilang di parkiran dekat kampus tadi siang. Ini motor lo yang gue beli dengan uang yang pernah lo pinjamkan ke gue. Uang yang dulu ingin lo gunakan buat beli motor, uang dari pemberian bapak lo. Ini gue urus pembeliannya juga atas nama elo, gue pake foto KTP elo yang pernah gue simpan waktu itu." Talia memperjelas kalimatnya.

Lila terpana masih enggan percaya. "Kan KTP gue KTP Medan, gimana bisa beli motor di Jogja?" Sesungguhnya bukan ini yang membuat ia lebih tidak percaya. Namun hanya ini pertanyaan masuk akal yang mampu ia lontarkan untuk saat ini.

"Well, I've got my own way." Entah bagaimana caranya, Talia bisa melakukan itu. "Uang tambahan pelicin, ga seberapa." ucap Talia tergelak. Sebab gampang saja membeli kendaraan di kota lain selain yang tertera di dalam KTP. Para dealer motor sudah lumrah mempersiapkan itu semua: KTP dengan alamat palsu atas nama pembeli untuk kepentingan BPKB.

"Gue ga terima." Lila bersikeras. "Lo ga punya utang apa-apa sama gue, Tal."

"Gue tau lo sayang sama gue, Lila," mendengar itu Lila sontak defensif memicingkan matanya, "Tapi bukan berarti gue mau nerima uang yang bukan milik gue itu dengan cuma-cuma."

"Lo ingat kan, dulu lo bilang gue bebas mau ngembaliin itu kapan aja? Dan sekarang ini saatnya gue mengembalikan hak lo tersebut. Lagian, uang itu uang pemberian bokap elo yang sangat ingin lo gunakan untuk beli motor, kan? Ya gue beli aja sekalian." jelas Talia menambah debat kusir.

"Gue nggak mau. Untuk lo aja."

"Yaudah, gue buang." balas Talia bodoamat.

"Buang aja kalau tega."

"Tega lah, yang penting utang gue lunas. Gue bisa pulang naik ojek. Mau apa lo?"

"Gue mau dikemanain?"

"Pulang bawa motor lo sendiri, atau ngojek kayak gue, terserah." balas Talia enteng.

Lila yang menyadari bahwa dirinya sulit untuk membantah lagi, hanya terdiam sejenak. Memikirkan apa yang mesti ia katakan untuk mematahkan argumen perempuan itu. Tak ada. Jadi ia hanya membalas sekenanya, setengah bercanda,

"Lagian, elo sih. Itu kan keinginan gue dulu punya motor. Kalau sekarang mah kagak. Lagian lo nggak pernah mikir ya, kalau gue bisa aja trauma ngendarai motor. Padahal kalau bisa gue minta duitnya aja sih..." ujarnya datar.

Talia mengangkat alisnya, mencoba menangkap keseriusan dalam nada bicara Lila.

Membuang nafas Lila meneruskan, "Sekalinya beli, malah beli motor matic. Udah tau gue dulu kepengen beli yang bebek..." ucap Lila pura-pura mengeluh.

Kali ini Talia yang membisu, mengernyit dan tiba-tiba jadi menyesal dengan keputusannya.

Melihat ekspresi Talia yang serius, Lila jadi tak tega. Niat bercanda, ia malah dikira meminta lebih, alias ngelunjak. Tiba-tiba situasi menjadi canggung.

"I'm kidding, Tal!" Lila berujar ceria, mencoba meluruskan pikiran dan perasaan Talia.

Talia menatapnya dalam, lalu berkata, "No, you're right. Gue seharusnya mikir panjang."

"Bisa-bisanya gue malah beli sepeda motor..." ujarnya pelan, lebih kepada diri sendiri.

"NO, I'M KIDDING, TALIA ...!" Lila menyentuh pundak kanan Talia, meyakinkan perempuan itu bahwa dirinya sedari tadi hanya bercanda. "Gue nggak trauma dan gue suka motor itu dan gue bakal make itu kemana pun gue pergi, oke??"

"I'M JUST KIDDING." tegasnya.

Antara terharu dan lega, Talia mengembuskan nafas dan mengangguk, menatap Lila sendu. Sebelum tatapan mereka beradu agak lama, perempuan itu mengambil batang rokok keduanya dari dalam bungkus di atas meja.

Lila kembali mencairkan suasana. "Emang ya, gue susah kalau bercanda." ujarnya pasrah.

"Muka lo terlalu serius," balas Talia terus terang sambil mengisap rokoknya, lalu mengalihkan pandangannya ke arah berlawanan agar asapnya tidak mengenai wajah Lila. Tak lama dia melanjutkan, "Tapi itu yang gue suka."

Sial. Lila terbatuk-batuk dibuatnya. Mendengar gombalan maut dari perempuan di sampingnya itu menjadikan tenggorokannya terasa seret oleh entah karena apa. Padahal ia tidak sedang meminum es atau memakan gorengan.

Mengapa dia jadi suka menggodanya?

Pipi Lila seketika merona merah akibat merasa malu. Dan Talia hanya tertawa-tawa kegirangan menepuk punggung temannya itu.

Eh, teman?

*

"Terus, tentang KKN, hm, ada yang ingin lo ceritakan, Tal?" Usai beberapa menit Lila terjebak dalam godaan Talia--yang berefek pada dirinya yang terus salah tingkah--ia pun melanjutkan obrolan mereka dengan sebuah pertanyaan yang cukup mengusik dirinya beberapa jam terakhir--sejak Talia menampakkan raut yang tidak mengenakkan di lingkungan kampus tadi.

Tawa Talia yang telah memudar menjadi senyuman akibat perbincangan mereka sebelumnya, pada akhirnya benar-benar lenyap. Lila berhasil membungkamnya dengan pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin dia jawab itu. Tapi dia tahu perempuan itu pasti akan menanyakannya cepat atau lambat, dan untuk itu dia sudah mempersiapkan jawaban panjang.

"Lo masih ingat mas Ikra?" tanya Talia tanpa memandang Lila. Dia menatap ke bawah sambil menekan-nekan punggung tangannya dengan satu tangan lainnya.

Memperhatikan itu Lila tidak membalas. Sebab ia tidak mampu mengingat.

Talia menoleh kepada Lila lalu tersenyum tipis, "Malam saat lo clubbing bareng Shinta. Kakak tingkat gue." ucapnya memberi petunjuk singkat.

Seakan mendapat pencerahan Lila langsung mengangkat sebelah tangannya sebagai petanda bahwa dirinya ingat. Lalu ia kembali memperhatikan Talia yang sibuk menggenggam punggung tangannya sendiri, seolah mendapati sebuah kegelisahan di dalam dirinya. Bukan tipikal Talia yang ia kenal.

Sebagai upaya untuk membuat perempuan di sampingnya itu tenang dan menatap dirinya ketika berbicara sebentar lagi, Lila mengatupkan tangannya pada kedua punggung tangan Talia yang telah menyatu--ia satukan. Menatapnya dari samping bawah dengan jarak yang teramat dekat, Lila mencoba meyakinkan, "Kalau lo belum siap bercerita, jangan cerita ya. Gue ga mau memaksa. Tapi alangkah leganya gue kalau lo mau bicara tentang hal-hal yang lo simpan dan ga pernah bisa lo ceritakan ke orang lain, Tal. Kecuali gue."

Menatap ke samping, Talia tersenyum kecut. Perlahan dia mulai membuka suara.

Perempuan itu menceritakan bahwa beberapa bulan sebelum masa KKN, Ikra, seniornya yang gencar mendekatinya sejak saat dirinya mengikuti kepanitiaan yang diketuai oleh lelaki itu, menawarkan kepada Talia untuk mendaftarkan diri pada KKN di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Ikra menjamin bahwa Talia akan diterima, sebab yang menjadi Kormanit (Koordinator Mahasiswa Tingkat Unit) adalah adik kandungnya yang mengambil Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, dan juga seangkatan dengan Talia. Ikra sendiri pada tahun lalu juga merupakan Kormanit di lokasi KKN yang sama, dan dia bercerita dengan semangat pada Talia tentang betapa memesonanya keindahan alam di sana, "Kota Seribu Sunset". Bahkan wisata budayanya juga tidak kalah menarik. Cocok untuk perempuan enerjik dan curious seperti Talia, kenangnya mengutip Ikra saat itu.

Talia sejujurnya tidak ingin banyak pilih untuk urusan lokasi KKN ini. Dia tidak peduli jika ditempatkan di ujung barat atau ujung timur Indonesia sekalipun. Bahkan jika harus KKN di lingkup Pulau Jawa yang kata banyak mahasiswa kurang seru itu, dia tidak masalah. Yang penting dia bisa melaksanakan KKN dan turut berkontribusi nyata dengan pengetahuan dan keahlian yang dia punya, di mana pun dia berada nantinya. Tapi melihat kesungguhan dan antusiasme Ikra yang melebihi dirinya sendiri, Talia mengiyakan. Ditambah dia tertarik dengan eksotisme lautan dan pantai di sana, membuatnya tambah yakin atas pilihan tersebut.

"Kalau lo anak gunung, gue anak pantai, Lil." jelasnya pada Lila.

Lila terkekeh dan menggeleng, "Gue anak emak dan bapak gue."

Talia menatap Lila dalam, matanya tampak berkaca-kaca, "Kalau gitu gue anak ilang, ya."

Saat Lila tersadar bahwa dirinya agaknya salah bicara, saat itu pula Talia memotongnya, melanjutkan ceritanya, "Lalu ..."

Lalu Talia pun mulai berkenalan dengan teman-teman KKN-nya itu, yang setengahnya adalah anggota tim pengusul, termasuk Arka, adik Ikra. Sedangkan dia dan sebagian lainnya adalah mereka yang masuk belakangan, ketika semua proposal dan persiapan sudah matang dibuat.

Awalnya dia merasa hubungannya dengan teman-teman KKN-nya baik-baik saja--semuanya tampak lentur dan bersahabat--tapi seiring berjalannya waktu pendapatnya itu mulai berubah.

Dia adalah satu-satunya anak Ilmu Politik di situ, bahkan satu-satunya anak FISIPOL. Bisa dikatakan anak-anak ilmu sosial tidak begitu banyak di unit KKN-nya yang mengambil fokus pada tema Ekowisata dan Ekobudaya, hanya enam orang. Mayoritasnya adalah anak-anak ilmu terapan. Namun program yang Talia tawarkan tidak bisa dianggap sepele, karena perempuan itu sungguh-sungguh dengan niat baiknya: pemberdayaan masyarakat dan peningkatan nalar kritis di era digital. Walau demikian entah mengapa teman-teman KKN-nya menganggap sepele dan konyol kedua program utamanya tersebut. Meskipun tidak mereka tunjukkan di depan mukanya. Talia tahu hal itu ketika dia telat datang ke rapat terakhir pra-KKN mereka di sebuah ruangan di mana teman-temannya itu sedang asyik membicarakan dirinya. Dari keluhan tentang dirinya yang telat hadir, melebar entah ke mana-mana. Padahal dia sudah izin telat pada Arka karena harus mengurusi masalah pekerjaan untuk yang terakhir kali, sebelum dia berangkat KKN. Tapi teman-temannya malah cemburu dan menggunjing dirinya.

Pada intinya kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa programnya terlalu abstrak dan mainstream; bahwa kecantikan fisik Talia tidak berbanding lurus dengan kecemerlangan otaknya; bahwa dia tidak layak menjadi anggota tim KKN mereka. Bahkan tidak segan-segan salah satu dari anggota tim pengusul yang sok merasa hebat itu mengolok-olok Arka yang mau-maunya menerima Talia hanya karena nepotisme dari abangnya. Arka murka dan Talia tiba-tiba masuk seolah-olah dia tidak mendengar apa pun. Sejenak isi ruangan menjadi hening. Dia tidak ingin mengonfrontasi mereka, tapi dalam hati dia bertekad akan membuktikan kepada semuanya bahwa dirinya masih punya otak dan niat untuk mewujudkan program utamanya.

Tanpa kejelasan hubungan yang dia punya dengan Ikra--sekalipun lelaki itu rutin mengantar dan menemaninya ke mana saja--Talia menjalani minggu terakhirnya sebelum pelepasan KKN dengan cukup sibuk. Sibuk bekerja dan mempersiapkan ini-itu. Dia tidak pernah menceritakan apa yang dia dengar di ruangan itu kepada Ikra, sebab dia tidak ingin citranya semakin diperparah dengan "pengaduan" tersebut. Meskipun dia ingin sekali curhat tentang hal itu sebagai seorang teman kepada temannya. Tapi dia sadar Ikra bukan sekadar temannya. Lelaki itu akan menggunakan daya dan kuasanya untuk bertindak apa saja, termasuk sewenang-wenang, demi orang yang dia kira spesial. Dan Talia yakin bahwa dirinya sudah dianggap spesial oleh lelaki itu tanpa dia bermaksud percaya diri atau semacamnya. Karena telah beberapa kali lelaki itu menyinggung ingin menjadikannya pacar, meski Talia terus-terusan mengalihkan topik - menolak sehalus mungkin. Dia betul-betul tidak mood berpacaran.

Menuju pelepasan KKN, lelaki itu juga tidak absen dari sisinya. Melepasnya selayaknya seorang kekasih yang akan ditinggal pergi pujaan hati selama kurang lebih dua bulan: sedih dan haru. Ikra juga tidak lupa menitipkan pesan kepada adiknya untuk menjaga dan menemani Talia agar jangan sampai kesulitan di desa orang. Talia mendengus mendengar permintaan konyol tersebut. Walau begitu dia dapat melihat ketulusan Ikra dan mulai menyadari bahwa kedua kakak-adik itu sungguh-sungguh peduli padanya. Bahkan Arka yang belum begitu dia kenal, sudah sangat membantu dan tampak peduli pada persiapan program yang dia rancang.

Baru dia sadari beberapa minggu kemudian bahwa kepedulian itu merupakan benih-benih yang tumbuh dan bermekaran menjadi taman cinta yang membuat dirinya hanyut dan terjebak dalam drama segitiga yang tak pernah dia harapkan akan terjadi dalam hidupnya. Mengakibatkan masa KKN-nya yang sudah cukup melelahkan menjadi semakin menguras emosi dan tenaga dan merugikan banyak pihak, termasuk dirinya sendiri.

Menarik-mengembus nafas panjang, Talia mengambil batang rokok ketiganya, menjeda ceritanya. Lelah dengan ceritanya sendiri. Dia tatap Lila yang masih termenung memandang kejauhan usai mendengarkan dia berbicara.

"Are you bored yet?" tanya Talia penasaran.

"Don't ever ask that question to me. Gue ga pernah bosan dengan cerita hidup lo." Tapi gue khawatir karena lo terlalu banyak yang ingin memiliki, Tal. batin Lila sejenak.

Talia tersenyum bahagia menatap perempuan di sampingnya itu, mendapati kenyataan bahwa ceritanya tidak pernah membosankan Lila. Tapi entah bagaimana hatinya mengerti bahwa dia secara tidak langsung telah menoreh luka baru pada hati Lila.

Talia mengembuskan asap melanjutkan, merasa semakin berat bersuara.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top