Lebur

Talia bangun pukul 9 lewat—hampir setengah sepuluh. Ketika matanya terbuka, Lila tidak berada di kamarnya. Diteriakkannya nama temannya itu dengan suara parau—sewajarnya suara orang yang baru bangun tidur. Tidak ada jawaban. Talia tidur kembali.

Dia baru benar-benar bangun pada pukul 11. Selama jangka waktu kurang lebih dua jam itu, Lila sudah bolak-balik empat kali untuk menghampirinya. Memeriksa apakah perempuannya itu sudah bangun. Kebo sekali, pikirnya, pada kali terakhir ia ke kamar, mendapati Talia masih betah di atas kasur. Posisinya bervariasi pula. Membuatnya antara kesal dan lucu atas penantiannya tersebut. Bertanya-tanya pukul berapa sebenarnya perempuan itu beristirahat tadi malam.

Talia meneriakkan nama Lila kembali. Mendengar itu Lila segera datang kepadanya. "Akhirnya si kebo udah menguak!" ia berkata sambil menyilangkan kedua tangan di balik pintu.

"Lo kemana ajaaa." Talia duduk dan mengucek matanya dengan pelan, "Gue kira udah cabut ninggalin gue sendiri di sini." Bibirnya agak manyun saat mengatakan itu, dan suaranya, astaga, terdengar manja. Hampir tak pernah ia mendengar perempuan itu semanja ini padanya. Lila tak berkutik. Hanya mematung di balik pintu kamar. Padahal dari tadi ia hanya duduk di luar, menyeduh teh dan menghirup udara pagi yang segar. Ditambah gerimis yang menimbulkan petrichor—aroma alami ketika rintik hujan menyentuh tanah—membuat Lila merasa sedikit tenang. Walau ia masih cemas—hingga bolak-balik—dengan Talia yang belum juga bangun.

Hingga Talia berbicara lagi padanya, menyadarkannya. "Gue lapar, masak yuk."

"Udah dimasakin om Frans, tinggal dipanasin."

Talia melotot seketika, seolah tak percaya. Sejenak kemudian, "Udah makan?" tanyanya lembut.

"Belum, belum lapar."

"Yaudah, makan yuk? Mau masak baru atau makan yang dibuat om Frans?"

"Katanya lapar, panasin punya om Frans aja. Buat selanjutnya baru kita masak. Gitu ya?" ucap Lila meyakinkan.

Talia mengacungkan jempolnya dan tersenyum lebar. Lalu dia berdiri mendekati Lila. Lila segera merespon dengan, "Sikat gigi dulu diiih."

Dengan tampang heran Talia berkata, "Percuma! Makan dulu baru sikat gigi lah! Biar jigongnya ilang sekalian nanti."

"Joroook, sikat gigi duluuu—"

"Boros odol kalo gue dua kali sikatan untuk sekarang sama nanti pas mandi! Lagian, apa faedahnya coba?" tambah Talia heran.

Mendengar itu Lila hanya mampu menghela nafas, menyerah dengan alasan Talia yang terkesan malas dan pelit.

Padahal sebenarnya apa yang dilakukan Talia tersebut sudah tepat, terlepas dari alasannya yang kurang enak didengar. Menurut penelitian, "menyikat gigi di pagi hari baiknya dilakukan setelah sarapan pagi, bukan setelah bangun tidur." (dikutip dari CNN)

Eh tapi, Talia kan bangunnya siang?

Adakah yang lebih pekak dari diam?

Mungkin itu yang ada dalam pikiran Lila saat ini, saat mereka bersantap dalam keheningan. Lila semakin sulit bersikap wajar setelah ia mencuri cium dari bibir perempuan itu. Bibir ranum yang sedang mengunyah nasi goreng anget buatan omnya tadi pagi. Bibir itu telaten mengunyah sedangkan bibirnya sendiri masih terbata-bata di dunia perkunyahan.

Bahkan setelah berhasil mengunyah pun, Lila masih harus menelan dengan susah payah.

"Tal—"

"Lil—" serempak mereka berucap.

"Apa?" lagi-lagi.

"Lo dulu," ujar Lila, yang teramat sangat ia sesali kemudian.

"Semalam, Egi datang ke sini. Kita ngobrol panjang, Lil." Talia mengatakannya dengan datar, namun senyuman tak bisa dia sembunyikan.

Tiba-tiba Lila ingin memuntahkan makanan yang baru melewati kerongkongannya.

Baru saja tadi ia mengerahkan keberanian untuk mengatakan,

Maaf, tadi pagi gue nyium elo diam-diam.

dengan segala konsekuensinya.

Namun Tuhan ternyata masih menyayanginya dengan tidak jadi membuatnya berkata demikian.

Atau Tuhan sebenarnya cuma ingin mengutuknya saja agar tetap memendam perasaannya lebih lama.

Kemudian, ponsel Lila berdering kencang dari dalam kamar. Saved by the bell.

Tanpa memberi balasan, buru-buru Lila menghampiri ponselnya tersebut.

Tidak. Bukannya ia bersemangat mendapatkan panggilan masuk. Hanya saja dia tidak dapat berpura-pura bereaksi normal—seperti yang sudah-sudah—atas pernyataan dan senyuman Talia tadi. Lila terlanjur tenggelam semakin dalam.

Di dalam kamar ia men-slide dan mengangkat ponselnya ke telinga, tanpa memerhatikan nama pemanggilnya—pandangannya keburu blur oleh cairan di matanya.

"Halo?" ucapnya sewajar mungkin.

"Lila," di seberang sana seorang perempuan berbicara lembut, "kamu dan Talia apa kabar?"

Belum mendapatkan respon secepat yang diharapkan, perempuan yang tidak lain adalah Ossy tersebut meneruskan,

"Sorry Lil, ga bermaksud gimana-mana...tapi, tadi Atik cerita ke aku...mungkin dia ngga enak nyampein ini ke kamu...katanya absen kamu banyak yang bolong," Ossy memberi jeda pada ucapannya, kemudian, "dan itu, ngaruhnya ke kamu yang ngga bisa ujian nanti...duh gimana ya, aku susah jelasinnya."

"Kalau Talia, dia masih diberi izin...karena orang tuanya meninggal...tapi kamu, gimana ya, ngga bisa dapet izin sama sekali...aduhh." suara Ossy terdengar simpatik.

"Maaf tiba-tiba aku nelpon ngabarin hal kayak gini. Aku cuma khawatir...Jadi, kabar kamu gimana Lil?" buru-buru dia tambahkan, "Talia juga gimana?"

Hening sesaat. Adakah yang lebih pekak dari diam?

"Capek, Sy.." ucap Lila kemudian, "aku telpon lagi nanti, Sy, lagi ga enak badan ini. Maaf." Lila mematikan ponselnya. Setelah itu ia menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Ia hanya tidak ingin Ossy mendengarkan tangisnya yang pecah selagi ia menjawab pertanyaan tadi.

Pada hari ini, dua orang telah patah hati.

https://youtu.be/2VjVeR3xXXA

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top