Kantin
"Lil, gue mau cerita dong." Atik melambaikan tangannya ke depan muka Lila.
"Paan?" Lila menaruh smartphone yang digenggamnya ke atas meja. "Eh ntar-ntar, aku pesan mie ayam dulu. Nitip apa, Tik?"
"Kampret lo emang. Kagak gue, dah kenyang. Lo aja." Atik mendengus kesal.
Beberapa menit kemudian.
"Mau cerita apa tadiiii?" tanya Lila mencoba terdengar antusias.
"Males ah. Basi. Lo maen kabur aja."
"Ye malah ngambek. Srius, apaan, Atiiik?"
"Gue lagi galau, nih. Kan sekarang lagi heboh-hebohnya masa oprec (open recruitment) organisasi. Trus gue bingung mau milih apa. Banyak banget yang pengen gue masukin. Huft."
"Masukin mana yang menurut kamu sesuai."
"Duh, respon lo diplomatis amat"
"Lagian aku mana tau kamu sukanya apa."
"Nah itu masalahnya." jawab Atik galau. "Gue suka semuanyaaa. Gue suka politik. Gue suka kegiatan sosial. Gue suka nulis, jalan-jalan, fotografi.............. Yang jelas gue ga minat di organisasi keagamaan ye btw. Trus gini...... Tapi di satu sisi............" curhat Atik panjang x lebar x tinggi. Lila menyimak dengan tenang sambil menyisipkan kata he'eh – yaya – trus – ooh sesekali.
Sejujurnya Lila terkagum-kagum akan semangat dan spontanitas Atik saat bercerita. Apalagi akan jiwa organisasinya yang tinggi dan tak tampak dibuat-buat itu. Berbeda 180 derajat dari dirinya yang tak berminat bergabung dengan organisasi manapun sejauh ini. Dengan mengarang alasan ingin menimbang-nimbang terlebih dahulu selama satu tahun pertama kuliah. Padahal kalaupun ditanya, ia sendiri sebetulnya bingung tertarik di bidang apa. Dan ujung-ujungnya hanya akan berucap "Entahlah". Sambil mengunyah mie ayamnya sesuap demi sesuap, pikiran Lila jadi melayang membayangkan akan menjadi mahasiswa seperti apa ia di Fisipol (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik) ini kelak.
"Eh lo jangan he eh he eh doang dong, kasih respon kek." protes Atik melihat Lila yang anteng.
"Lah, kan ko ngomong terus daritadi? Cem mananya." logat Medan Lila spontan keluar.
"Hahahah, batak kali kau bah!" Atik ikut-ikutan berlagak jadi anak Medan. "Trus gue harus gimana nih Lil. Any suggestion?" lanjut Atik bertanya resah.
"Ikutin aja semuanya..." jawab Lila singkat, padat, dan cenderung cuek.
"Lo mau ngajak ribut apa gimana Lil? Gue cerita panjang-panjang lo malah balas gue seakan-akan gue ini kuesioner." Atik menumpahkan kekesalannya dengan merebut gelas es Jeruk yang sedang diminum Lila.
"Sabar kenapa sih, belum selesai juga udah maen motong-motong." Lila membela diri. "Gini loh Atik. Kalau kamu suka semuanya, ya ikutin aja. Ikutin setiap oprec-nya, ikutin persyaratannya. Ikutin kegiatan-kegiatannya. Entar pas udah jadi anggota beneran dan kenal anak-anaknya, senior-seniornya, program-programnya, baru lah kamu bisa ngasih penilaian. Karena gak mungkin juga kamu bisa aktif di semua organisasi. Kita nih manusia, bukan robot. Lagian ada seabrek matakuliah yang perlu dipikirin..." Lila mengambil jeda. "Eh tapi bisa-bisa aja sih kalo kamu mau aktif di semuanya, tapi ya bakal capek banget dan ngerepotin diri sendiri. Sesayang-sayangnya kamu sama aktivitas luar kuliah, kamu sendiri harusnya lebih sayang sama diri sendiri supaya gak sakit gegara segudang aktivitas tadi itu." ucap Lila mendadak jadi sok bijak.
"..."
"...Intinya kamu harus milah-milah juga sih. Mana yang kiranya tempat yang bakal bikin kamu nyaman tapi tetap berkembang."
Atik melongo, agak shocked dengan saran Lila yang baru kali ini ia rasa menjadi kalimat terpanjang yang pernah diucapkan anak itu selama satu Minggu mereka berteman. Jadi dia hanya membalas, "Maksudnya?"
"Contoh. Kalau kamu suka banyak hal tadi tapi nyatanya kamu betahnya di satu organisasi aja, maka sisihkanlah organisasi lainnya. Kamu bisa ngembangin semua potensi kamu di satu organisasi itu. Misal, nyamannya di BEM. Emang di BEM gak bisa nulis kayak anak pers? Gak bisa aktivitas sosial ato adventure kayak anak pecinta alam? Gak bisa foto-foto kek anak komunitas fotografi? Dan hanya bisa berorasi dan demo seperti yang selama ini melekat dengan nama BEM itu tadi? Enggak kan. Gitu pula sebaliknya." akhirnya Lila dapat meneruskan makanannya yang tertunda.
"Hemmm...." Atik masih melongo, "Gue. Suka. Gaya. Lo!!!!! Makasih Liloooooo. Gue seneng temenan sama elooo...." dan pujian-pujian lain yang Atik lontarkan dengan suara cemprengnya sambil mengacak-acak rambut Lila yang malah jadi merasa dipermainkan seperti ini.
"Iyeee. Iye. Udah ahh." Lila mengelak kelabakan dan mencoba mengalihkan pandangannya.
Sekilas mata Lila tertuju pada seorang perempuan berkemeja putih yang rambutnya dikuncir tinggi sedang berdiri memainkan handphone. Baru kali ini ia melihatnya mengikat rambut yang biasanya tergerai lebat nan indah. Cantik. Tetap cantik. Makin cantik.
Tak lama kemudian Atik perimisi ke toilet. Hal ini disyukuri Lila karena ia jadi bisa puas memandang bidadari cantik nan tak jauh di sana. Seraya fokus bagai terhipnotis, Lila menyaksikan perempuan itu mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertuju pada handphone, dan kemudian matanya berkelana menyusuri sekitar. Sampai akhirnya mata itu bertemu dengan mata Lila. Astaghfirullah ya Allah. Ampuni dosa hamba, manusia yang banyak dosa.
Namun yang terjadi setelah itu sungguh membuat Lila lemas tak berdaya. Seandainya ia berdiri mungkin ia akan langsung terjatuh dikarenakan dengkulnya yang tak kuat menopang bebannya yang tak seberapa. Talia tersenyum padanya. Hallelujah!
Senyum paling manis yang pernah ia terima dari seseorang. Senyum yang berbanding terbalik dari senyum tipis yang dilihatnya di kelas Pengantar Ilmu Politik empat hari silam. Senyum yang mampu memberikannya mimpi indah yang berujung menjadi mimpi basah. Meskipun tak lama setelah senyum itu terurai, Talia justru dibonceng oleh seorang pria yang tidak Lila ketahui siapa. Ia tak mau tahu. Yang Lila tahu, ia hanya ingin menelan senyum itu ke dalam perutnya.
Mata indah bola pingpong
Gara-gara senyummu, dengkulku kopong.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top