Gravitasi

Ketika hujan membasahi bumi melalui rintik-rintik pelan yang bersenandung dengan damai, hingga secara mendadak bertalu-talu seolah menjerit dengan tiap tetesnya yang berlomba menghantam apapun yang bisa dia liputi; ketika jendela kamarnya sengaja ia buka dan tirainya ia geserkan demi menyaksikan dan mendengar fenomena mainstream itu: hujan, pikiran perempuan berambut pendek yang sedang duduk dan menatap itu melayang pada suatu kejadian satu tahun silam yang menyerang ingatannya. Sebuah kemalangan. Haruskah ia melanjutkan kuliah? tanyanya berat hati pada hatinya yang keras dan mulai membatu. Ia sudah cukup senang berada di rumah ini satu tahun belakangan, bersama kedua orang tuanya dan kucing-kucingnya yang menghibur--walau sesekali garang karena ia suka mengusili mereka. Rumahku, istanaku. Haruskah ia melepaskan kenikmatan berada di kampung halaman dan menggantikannya dengan kegelisahan yang melelahkan di kampung orang demi sesuatu yang bajik dan bijak atas nama, menuntut ilmu? Ia rasa di rumah inipun ia sudah cukup menuntut ilmu dengan membaca banyak buku yang ia minati (novel) maupun segani (non fiksi) sepanjang waktu. Hari-harinya tidak pernah lepas dari bau kertas.

Atau ia pindah kuliah di sini saja?

Seketika suara petir menyambar membuatnya megap-megap dan tersadar: setrauma itukah ia terhadap Jogja sehingga perasaannya menjadi semakin tidak nyaman setiap mendekati hari di mana 'libur' panjangnya harus berakhir dan ia mesti menginjakkan kaki di sana lagi? Lila menghela cemas.

Kaki. Bahkan kakinya saja sudah tidak berfungsi dengan baik. Ia mampu berjalan meski harus terpincang-pincang. Membayangkan apapun yang akan datang, ia merasa mual dan kasihan pada dirinya sendiri. Kembali petir menyambar akal sehatnya. Lila menutup jendela dan tirai dengan gusar. Hujan tambah lebat dan hari mulai gelap.

*

Lima jam yang lalu sekitar pukul 3 malam, Talia akhirnya menyelesaikan surat yang akan dia serahkan kepada Lila sebentar lagi. Seumur-umur dia belum pernah menulis surat. Sekalinya menulis surat, dia malah menujukannya kepada seorang perempuan. Talia tersenyum kecut. Meski tadi malam dia lebih banyak mengerut dan nyaris menangis.

Dia menyayangi perempuan itu lebih dari apapun. Dan dia baru menyadari ini ketika dia mulai merenungkan dan merunut kembali segala hal yang telah dia lalui bersama Lila; ketika dia hampir kehilangannya. Talia ingin memberikan 'mereka' kesempatan. Tapi sebelum itu terjadi, tentu dia harus menanyakan terlebih dahulu kepada Lila. Apakah ia masih menginginkannya atau tidak. Dan itu baru bisa dia dapatkan jawabannya ketika Lila siuman nanti. Kapanpun itu. Untuk sekarang, Talia hanya ingin menemuinya di rumah sakit dan mengantarkan surat itu.

*

Pukul 9 Minggu pagi dan Talia sudah tiba di rumah sakit. Dua hari dia tidak berkunjung ke tempat ini sebab dia punya pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Pada liburan semester ini dia telah memantapkan diri untuk mencari pengalaman, dan akhirnya beberapa hari lalu dia mendapatkan pekerjaan sebagai asisten pribadi di salah satu startup company yang belum lama merintis. Sekarang Talia tidak sabar menemui Lila, sekalipun perempuan itu masih terlelap dalam komanya. Dia juga sudah tidak sabar mengobrol dengan ibu dan bapak Lila. Dia lupa meminta kontak keduanya.

Memasuki lift dan menekan tombol 4, Talia menatap pantulan dirinya. Dia membenahi rambutnya yang sebenarnya rapi-rapi saja namun entah mengapa membuat tangannya gatal membenahi. Tiba-tiba dia menjadi gugup. Ting. Bunyi lift terbuka dan mata Talia seketika terbelalak.

*

"Kenapa kalian nggak pernah ngabarin gue, Tal?"

Kini dia dihadapkan dengan sebuah pertanyaan yang mengandung banyak kekecewaan. Namun Talia jauh lebih kecewa. Di lubuk hatinya, dia ingin pergi dari tempat ini.

"Gue nggak tahu apa-apa tentang keadaan dia, dan tiba-tiba gue dapat kabar dia kecelakaan, dan itu seminggu yang lalu?!!!" Dia menghentakkan telapaknya di atas meja. Beberapa orang menoleh ke arah mereka dan memberikan tanda agar tetap tenang, sebab ini masih lingkungan rumah sakit. Di balik kemarahan perempuan itu, rasa bersalahlah yang lebih menguasainya. Dia lalu menyatukan kedua tangannya ke arah penghuni kantin manapun sebagai tanda memohon maaf. Talia hanya menatap Ossy datar.

Ossy memegang punggung tangan Talia, lalu menekan suaranya menuntut jawaban perempuan itu. Matanya mengisyaratkan permohonan.

"Gue nggak tahu alasan Joni dan Atik apa, tapi alasan gue sendiri... Gue kira lo udah nggak peduli lagi sama dia. Setahu gue kalian udah putus." jawab Talia dingin.

"Sialan lo!" Lagi-lagi Ossy membuat keributan dengan tangannya. Kali ini bukan dengan hentakan telapak, melainkan sebuah tinju. Mereka pun diminta keluar dari kantin rumah sakit.

Sebelum diusir, Ossy sempat berteriak lantang, "Meski gue udah bukan pacarnya lagi, setidaknya gue masih menganggap dia teman gue! Lo kira gue itu elo yang bisa sesuka hati ninggalin teman kapanpun lo mau??!!"

*

Di luar wilayah rumah sakit, di sebuah taman kecil yang agak menjauh dari keramaian, Ossy mencoba menenangkan diri. Sejak tadi dia belum bisa menerima apapun yang keluar dari bibir Talia. Perempuan itu tampak pucat dan kehilangan semangat. Semenjak bertemu dirinya tadi pagi di lantai 4. Dia tahu, sama seperti dirinya, Talia juga memendam kekecewaan akibat ditinggal pergi tanpa penjelasan langsung dari mereka. Orang tua Lila.

"Tal, lo kecewa, gue juga kecewa, Tal!" ucap Ossy di depan wajahnya. "Setidaknya lo udah ketemu dengan dia dan orang tuanya! Lah, gue? Tau kondisinya kritis aja baru tadi malam! Dan gue udah nunggu di rumah sakit dari berjam-jam yang lalu," suara Ossy mulai terdengar parau, air matanya meleleh, "hanya untuk mendapati dia nggak ada di ruangannya!"

Akhirnya air mata Ossy tumpah. Dia berusaha menghentikan alirannya, namun sulit. Sedangkan Talia, dari tadi dia ingin pergi dari situ. Semenjak Ossy dan kemudian pihak rumah sakit memberitahunya kalau Lila sudah diterbangkan ke kampung halamannya tadi malam.

Talia pucat pasi sebab--sekalipun dia mendapatkan kabar baik bahwa Lila telah siuman sejak dua hari yang lalu--dia harus menelan kenyataan pahit bahwa dia bahkan tidak dianggap penting oleh orang tua Lila untuk sekadar diberitahu mengenai kepergian mereka. Ya, dia tahu dia belum sempat bertukaran nomor ponsel dengan mereka, tapi sepintas pemikiran tentang ponsel anak mereka--Lila--yang bisa saja diperiksa untuk menghubungi teman-temannya--terutama dia sendiri--membuat Talia mual dan pusing. Dan kini dia tambah pusing dihadapkan dengan Ossy yang menangis tidak karuan.

*Plak*

Dengan tenaga seadanya, Talia menampar Ossy. Tanpa ada niat menyakiti perempuan itu secara fisik. Dia melakukannya hanya agar Ossy diam dan fokus dengan apa yang akan dia katakan. Dia tahu kesedihan yang perempuan itu rasakan, namun dia tidak lebih peduli dengan perasaan perempuan itu. Sebab dia meyakini satu hal.

"Lo bisa nangis sepuas-puasnya, tapi tolong jangan lakukan itu di depan mata gue. I have enough of your shit. Jangan membuat keadaan seolah-olah di sini gue yang jahat dan lo yang korban." Talia memandang Ossy tajam tanpa rasa simpatik. "Kalau lo ingin marah, marah dengan diri lo sendiri. Karena lo nggak bisa mengelak dari fakta, kalau lo yang sebenarnya bikin dia celaka."

*Plak*

Kali ini bergantian Ossy yang menampar Talia dengan penuh tenaga. Talia hampir terjungkal kalau saja Ossy tidak menarik lengannya.

"Tal, lo nggak papa?!" tanyanya panik. Ossy berteriak meminta pertolongan kepada siapapun yang sedang berada di taman kecil yang sepi itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top