Glósóli : Glowing Sole
Talia menerima kabar ibunya meninggal dari omnya tak lama sebelum teman-temannya datang ke kostnya untuk memberi kejutan yang berujung sebaliknya—dikejutkan. Tepatnya pukul 23.30.
Hubungan Talia dengan ibunya satu tahun terakhir ini bisa dikatakan tidak baik-baik saja.
Selama kurang lebih satu tahun itu dia belum pernah pulang ke Bogor, kampung halamannya. Selama itu pula dia tidak pernah berkomunikasi secara patut dengan ibunya, baik itu lewat saluran telepon ataupun apa saja lah. Terlepas dari itu, mungkin tak lebih dari sejumlah jari di kedua tangannya, dia telah mencoba menghubungi ibunya. Dan setiap kali diangkat, tidak pernah tidak panggilannya diputus sesaat ibunya mendengar suaranya yang bertutur kata 'Halo' atau 'Ibu'.
Baginya, setiap percobaannya itu adalah beban yang berakhir pada kesia-siaan belaka.
Dan tadi di dalam kamarnya, setelah dia mendapatkan panggilan telepon dari nomor tak dikenal—yang ternyata adalah nomor adik angkat dari ibunya sendiri—Talia tak mampu berbicara. Pandangannya menjadi gelap dan genggaman tangannya tiba-tiba melemah sehingga hpnya terjatuh begitu saja. Kemudian dirinya yang ikut jatuh.
Tanpa mampu dia kendalikan, air matanya juga jatuh bercucuran. Deras dan bertambah deras, meski tenggorokannya tercekat dan lidahnya kelu. Talia menangis tanpa bersuara.
Dengan pakaian sekenanya dia pergi. Meninggalkan hp yang layarnya sudah retak, sebagaimana hatinya detik itu.
Jauh sebelum ibunya meninggal, dia adalah anak yatim. Ayahnya telah tiada semenjak dia duduk di kelas dua sekolah menengah pertama. Akibat kanker yang dia yakini disebabkan oleh berbungkus-bungkus rokok yang dihisap ayahnya setiap hari—ya, ayahnya adalah seorang perokok berat, seperti dirinya kini.
Dan kini ibunya yang turut meninggalkannya. Menjadikannya seorang yatim-piatu.
Ibunya adalah orang yang sangat dia sayangi. Entah itu sebelum maupun sesudah mereka berseteru.
Setiap pengabaian dari ibunya yang dia terima, tak sedikitpun mengubah rasa sayangnya menjadi benci. Hanya saja terkait itu Talia memilih untuk menjaga jarak dan memberi jeda waktu. Sejujurnya dia takut.
Ketakutan terbesarnya adalah ibunya semakin membenci dirinya. Sehingga dia memutuskan untuk mengulur waktu dengan harapan agar ibunya memaafkannya suatu saat nanti. Tapi rupanya ini adalah kesalahan terbesarnya, karena waktu yang dia nanti itu tidak akan pernah datang. Waktu ibunya sudah habis. Dan dia tidak akan bisa memaafkan dirinya untuk itu.
Ibunya adalah seorang pekerja keras yang bertanggung jawab. Seorang PNS sejati yang bekerja dari pagi hingga sore untuk kepentingan keluarga kecilnya; ia dan Talia—anak semata wayangnya. Maka, terlepas dari hubungan mereka yang memburuk, dan terlepas dari pengabaian yang dia berikan terhadap Talia, sepanjang hidupnya ibunya tak pernah absen dalam urusan menafkahi anaknya tersebut. Setiap bulan mengirimkannya sejumlah uang yang lebih dari cukup, tanpa memberitahukan Talia sebelum atau sesudah itu dia lakukan. Talia mengerti ini. Walau dia sendiri hanya bisa berterimakasih dalam hati.
Ibunya adalah panutannya. Meski dia bukan lagi anak kebanggaan ibunya, Talia akan selalu memujanya. Karena dalam hidupnya, ibunya telah mengajarkannya banyak hal. Meski dia telah bersikap kurang ajar dengan menghancurkan kepercayaannya. Dia menyesal. Namun penyesalan tak pernah cukup, kata maaf pun tidak cukup. Dan Talia lelah harus berulang kali meminta maaf. Oleh karena itu dia berhenti. Berhenti menyakiti ibunya dan dirinya sendiri dengan bersikap diam.
Dan Talia tidak akan pernah tahu apakah di penghujung hidupnya ibunya sudah memaafkannya atau belum. Apakah ibunya masih menyayanginya atau tidak, dan apakah ibunya pernah merindukannya atau sama sekali tidak pernah. Segalanya menjadi misteri, karena dia takkan memperoleh jawabannya.
Berbekal taksi konvensional, dia pergi mencari keramaian. Tapi, setelah taksi tiba di salah satu klab malam yang menjadi tempat yang ditujunya, Talia justru meminta sang sopir untuk melajukan mobilnya kembali. Untuk membawanya pergi entah kemana.
Melalui kaca depan sang sopir memperhatikannya. Ragu untuk menanyakan lagi tujuan yang pasti karena perempuan yang ditumpanginya tampak kosong dengan mukanya yang pucat pasi. Maka, sang sopir pun hanya membawanya berkendara mengitari jalan lingkar. Sampai Talia akhirnya mengucapkan satu kata yang membuat sang sopir membanting setirnya ke arah selatan; "Parangtritis". Tanpa pertanyaan lebih lanjut, sang sopir mengantarkannya ke sana.
Selama di jalan mereka tidak terlibat percakapan, bahkan sang sopir tak ada berbasa-basi. Hanya tembang kenangan dengan volume minim yang menjadi latar dari perjalanan tersebut. Sang sopir rupanya cukup bijak dalam memahami situasi yang sedang berlangsung di dalam mobilnya.
Walaupun terkesan acuh tak acuh, sang sopir beberapa kali melirik penumpangnya dari kaca depan. Yang bergeming dan tetap berpaku pada posisinya sedari dia masuk ke dalam taksi ini; termenung memandang sayu jalanan yang temaram lewat kaca di samping kirinya.
Telah hampir dua jam Talia berada di dalam taksi itu. Sang sopir akhirnya menghentikan mobilnya, lalu membalikkan badannya ke belakang. Berkata dengan suaranya yang berat bahwa mereka sudah sampai. Tersadar akan hal itu Talia segera merogoh saku celananya dan menyerahkan tiga lembar uang seratus ribu pada sang sopir, yang mengatakan sesuatu padanya sebelum dia keluar.
"Maaf kalau saya lantang, tapi saya hanya ingin tahu," Sang sopir menjeda kalimatnya, "kenapa dari tempat tertutup yang ramai kayak tadi, Anda justru berakhir di lokasi yang terbuka namun sepi seperti ini? Apa Anda yakin saya tinggalkan di sini?" Sang sopir bertanya tanpa menyembunyikan kekhawatirannya.
Talia yang sudah mendorong pintu, menahannya untuk sesaat. Tanpa melihat sang sopir dia menjawab, "Sewaktu bapak mengantarkan saya di tempat tadi, saya langsung berpikir. Saya rasa saya akan lebih nyaman bila benar-benar sendiri daripada harus merasa sendiri di tengah keramaian. Saat itu saya berubah pikiran."
Sang sopir langsung membalas, "Apa boleh saya menemani Anda, atau setidaknya saya menunggu Anda di sini, sampai nanti urusan Anda selesai dan Anda kembali ke sini lagi?"
Talia menatap sopir tersebut, "Nuwun pak. Tapi maaf, saya yakin saya sedang ingin sendiri." Untuk pertama dan terakhir kali Talia melemparkan senyum, walau tipis. Dia berusaha menghargai tawaran bapak sopir taksi tersebut. Setelah itu dia pun keluar dan berjalan pergi.
Sebelum langkah Talia semakin jauh, sang sopir menurunkan kaca mobil. Menolehkan kepalanya keluar dan berujar, "Semoga Anda menemukan apa yang Anda cari dan semoga Gusti melindungi Anda malam ini."
Membelakangi sang sopir, Talia tak ingin memberikan respon atau reaksi apapun. Dia bahkan sudah tidak yakin jika Tuhan masih ada bersamanya saat ini.
Semua telah pergi meninggalkannya seorang diri.
** * **
"Makasih udah nemenin gue Lil."
Lila menoleh ke sisi kirinya, menyentuh pipi perempuan di sampingnya itu lalu menarik dagunya agar kepalanya bersandar di bahunya saja—bukannya menempel di kaca jendela pesawat.
"Lo udah buang duit dan waktu sama gue, padahal gue nggak maksa." Menutup matanya, Talia masih saja berbicara.
Buang apapun aku rela, Tal. "Sssh. Justru karna lo nggak maksa lo nggak usah protes. Ini kemauan gue sendiri." Lila menatap kepala Talia, tak tahan untuk tidak menghirup harum rambutnya. "Lagian, gue juga kepengen jalan-jalan ke luar kota. Dan kebetulan gue belom pernah ke Bogor pula." Lila semakin dalam menghirup aroma raspberry yang tersembur dari rambut Talia yang telah bercampur dengan bau kulit kepalanya. Sempurna.
Tapi, tiba-tiba saja perempuan itu mengangkat kepalanya dari bahu Lila, membuat bibir dan hidung temannya itu terbentur oleh puncak kepalanya.
"Auuuw.."
Pada awalnya memasang ekspresi kesal, Talia langsung beralih cemas, "Sori sori soriii." Dia mendaratkan jempolnya di bibir bawah Lila yang sedikit terluka. Namun kemudian melepas jarinya dan menambahkan, "elu sih."
"Gue kenapa lagi doh." Lila meringis meraba-raba bibirnya sendiri. "Untung nggak dower." Ujarnya, harap-harap cemas.
Mendengar itu Talia terkikik lalu berkata, "Gue lagi berduka lo nya malah ngomongin jalan-jalan." Tampangnya kembali terpasang datar.
"Habisnya lo sibuk ngelarang gue ikut." Kini Lila menyentuh sudut hidungnya sendiri—yang tadi ikutan tersodok kepala Talia.
Kedua bola mata Talia terdorong ke kanan menatapnya. Cukup lama hingga membuat Lila salah tingkah dan berpaling ke depan. Diambilnya majalah lalu dengan pelan ia merangkai kata, "Gue kayaknya nggak bisa jauh-jauh dari elo, Tal." Bukan kayaknya lagi sih. Ia pun membuka lembaran majalah dan mencari-cari tulisan yang sekiranya menarik untuk ia baca.
"Sama, kayaknya." Kepala Talia akhirnya bersandar kembali di bahu Lila—kali ini tanpa tangan temannya itu menuntun dagunya.
Di hadapan halaman majalah berisi tulisan tentang Kuliner Sumatera, Lila tersipu malu mendengar dua kata barusan. Otaknya tak mencerna sama sekali tiap barisan kalimat yang dibacanya. Namun yang ia tahu pasti, bunga-bunga di halaman hatinya bermekaran seketika.
—
Setibanya di bandara Soekarno-Hatta mereka langsung berjalan menuju pintu keluar untuk mencari transportasi berikutnya. Tidak lagi menunggu lama barang di ruang pengambilan bagasi, karena bawaan mereka hanya backpack yang menempel di punggung masing-masing.
Singkat cerita, mereka tiba di Bogor dua jam lebih semenjak mereka menginjakkan kaki di bandara yang terletak di Tangerang tersebut, setelah menggunakan beragam transportasi darat. Dari stasiun Bogor, sekarang mereka berada di dalam taksi yang sedang melaju menuju rumah Talia. Sepanjang perjalanan keduanya hanya terdiam menatap jalanan Bogor yang ditumpahi rintik hujan melalui kaca jendela terdekat masing-masing. Cukup lama kemudian Lila mengalihkan pandangannya ke arah Talia, yang tampaknya telah menyembunyikan rintik air di matanya sedari entah kapan. Tanpa pikir panjang, Lila menautkan jemari tangan kirinya pada jemari tangan kanan Talia yang sedang mengatup di atas jok. Talia melihat ke tangan mereka dan membuka jemarinya untuk digenggam temannya itu. Kemudian dipeluknya Lila.
Tangisnya pun pecah, mengeluarkan jeritan suara yang dari semalam telah dia pendam.
Sang sopir taksi terkejut menyaksikan itu, mengucapkan sesuatu yang membuat Lila segera mengangkat tangan kanannya. Sebagai isyarat agar sopir tersebut diam dan menyetir saja. Lalu Lila membalas pelukan perempuan itu dan mencoba sebisa mungkin untuk membuatnya tenang. Hingga pada pukul dua belas siang lebih mereka akhirnya tiba di rumah Talia, yang ramai dikerubungi oleh orang-orang yang turut berkabung.
—
Semua urusan pemakaman telah diatur oleh om Frans, adik angkat ibu Talia. Keluarga ibunya yang lain telah terpencar dimana-mana. Ada yang di luar negeri, ada yang di luar kota. Dan sisanya sudah berakhir di alam baka—termasuk kakek dan neneknya—yang kini disusul oleh ibunya pula. Dengan yang masih hidup Talia sendiri tidak dekat dengan mereka, apalagi om Frans. Meski omnya ini adalah seseorang yang cukup mengerti dengan keadaan Talia dan ibunya, karena secara geografis mereka sama-sama tinggal di satu kota—sebelum Talia pindah kuliah.
Betapapun juga, tidak berarti mereka pernah berkomunikasi lagi semenjak itu. Pertama dan terakhir kali mereka berkomunikasi adalah ketika omnya meneleponnya saat itu. Saat dia menyampaikan pada Talia bahwa ibunya meninggal dunia akibat serangan jantung.
Sedangkan dengan keluarga ayahnya yang berada di Semarang—dimana ini merupakan tempat kelahirannya juga—Talia tidak mengenal mereka. Entah untuk alasan apa, baik ibunya maupun ayahnya—sewaktu masih hidup—belum pernah memperkenalkan Talia dengan keluarga besar ayahnya. Begitu juga sebaliknya.
Pernah Talia bertanya kepada ibunya sewaktu hubungan mereka baik-baik saja, tentang mengapa dirinya yang tidak pernah berkenalan maupun bertemu dengan keluarga ayahnya sejak dia kecil. Tak hanya sekali dua kali namun akhirnya terjawab setelah Talia menuntut haknya atas jawaban. Tentu hal ini dipicu oleh sesuatu.
Saat itu ayahnya baru saja meninggal. Talia heran mengapa dia tidak mendapati keluarga ayahnya datang melayat. Membuat dirinya mau tak mau mempertanyakan kembali hal tersebut dengan lantang dan berapi-api pada ibunya. Yang dengan raut sedih memberikannya pernyataan yang belum terlalu dia pahami kala itu.
"Terkadang, orang-orang yang sudah lama saling mengenal, bisa begitu saja melupakan satu sama lain dengan bermacam alasan yang mereka pegang teguh dalam diri masing-masing."
Usai mengucapkan itu ibunya pergi meninggalkan Talia dengan perasaan bersalah karena sudah membuat ibunya terluka.
Kini Talia merenungi lagi pernyataan ibunya tersebut. Menyadari bahwa mungkin itu pula yang dia alami dengan ibunya setahun belakangan ini.
—
Di dapur Talia menyeduhkan teh dan kopi. Meletakkannya di atas nampan, dia membawanya ke meja di dekat ruang tv. Waktu menunjukkan pukul delapan malam dan televisi sedang memutarkan berita seputar olahraga.
Sudah satu jam mereka berbenah diri, setelah sebelumnya berberes-beres yang perlu dibereskan. Tinggal mereka bertiga di rumah ini; Talia, omnya, dan Lila. Tadi ada anak dan istri omnya yang turut membantu, namun sudah pulang karena besok pagi Lana—putri omnya—harus bersekolah.
"Kamu belum lelah?" Omnya bertanya sebelum mengembuskan kopinya yang masih mengepul panas.
Talia menghempaskan tubuhnya di kursi dan membalas, "Nggak pernah selelah ini." Tentu saja, dia belum istirahat sejak hari kemaren.
"Nggak istirahat nyusul teman kamu itu? Tidur di ruang mana dia?"
"Di kamarku."
"Yasudah? Tunggu apa lagi?" Om Frans mengerutkan jidatnya. Menyarankan agar Talia beristirahat saja.
"Aku mau ngobrol. Bisa?"
"Apa yang mau kamu obrolin, anak muda?"
Talia terdiam sejenak. Kemudian mengangkat cangkir tehnya dari atas meja dan menyeruputnya perlahan. Meletakkan cangkirnya kembali di posisi semula, dia menatap omnya itu.
"Gimana kuliahmu? Lancar?" Omnya bertanya hal lain.
Talia tergelak sinis, lalu berkata, "Nggak usah pura-pura peduli, om."
"Tadi kamu bilang mau ngobrol? Sekarang sudah saya mulai, ini respon yang kamu kasih?" Om Frans menarik satu sudut bibirnya. "Lagipula saya tidak sedang berpura-pura. Saya cuma kasian, siapa lagi yang masih peduli sama kamu?"
"Yang jelas aku nggak butuh om buat jadi salah satunya."
"Lalu sekarang mau kamu apa?" Ucap omnya lugas. Omnya mengambil bungkus rokok dari dalam saku kemejanya. Setelah mengeluarkan satu batang, dia menaruh bungkusnya di atas meja. Memantikkan api ke ujungnya, dia menghisap panjang. Sambil mengeluarkan asap, lanjut dia berkata, "Kamu mau bicarain apa, hah?"
Talia menunduk dan masih membisu. Bibirnya kaku dan ragu untuk mengucapkan sesuatu. Lalu tiba-tiba saja bel rumahnya berbunyi. Omnya hendak berdiri namun Talia segera mendahuluinya berjalan menuju pintu.
Betapa kagetnya Talia saat pintu telah dia buka. Mendapati seseorang yang tidak pernah dia sangka akan kembali menginjakkan kakinya di rumah ini. Berdiri dengan canggung dan menyapanya dengan, "Tal?"
** * **
https://youtu.be/25k84y1uwoI
Don't mind the 'Aubrey' name,
for you can replace it to another name;
The name of your loved one.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top