Everything in Between

"Singkat cerita, minggu terakhir KKN Arka ngajak gue jadian."

"Dengan segala perhatian dan kebaikan yang dia curahkan selama masa KKN, di saat teman-teman gue yang lain bersikap acuh tak acuh dan cenderung brengsek, gue sulit untuk berkata tidak..."

"And to be honest, Lil ..." Talia menoleh ke arah Lila sebentar sebelum meneruskan perkataannya, "... at the time I thought I'd felt the same way towards him."

"Gue kira gue udah mulai jatuh cinta lagi dengan seseorang."

"Gue kira gue udah sangat merindukan perhatian-perhatian kecil yang rutin diberikan seseorang terhadap gue, yang selalu berusaha menghibur gue dan nggak pernah absen dari sisi gue setiap gue butuh ..."

"Dan pada saat itu, itu yang gue dapatkan dari Arka ..."

"... yang sebelumnya nggak ada di diri Ikra."

"He is a good man, though. Well, mereka berdua sama-sama baik, menyenangkan, dan peduli, sih. Tapi entah ya, mungkin intensitas kebersamaan gue dengan Arka punya pengaruh yang lebih besar dari yang gue kira."

Dengan berat hati Lila berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari bibir Talia dengan sebaik-baiknya, secermat-cermatnya. Sebab ia sudah bilang, bukan, bahwa dirinya akan selalu mendengarkan cerita perempuan itu, apapun situasi dan konteksnya. Dan saat pertemuan mereka pertama kali setelah sekian lama di kelas kosong pagi tadi, ia juga sudah menegaskan bahwa ia tidak akan bersikap cemburu, apapun status mereka kini dan nanti.

Tapi ungkapan hanyalah ungkapan. Karena sekarang ini sesungguhnya Lila ingin sekali menyumpal telinganya dengan kapas tebal agar tidak perlu mendengar kisah yang kembali mengobarkan api cemburunya tanpa mampu ia padamkan. Lila mulai tampak kurang fokus.

Menyadari itu, Talia berhenti berbicara. Meski menyesal, ada sedikit kelegaan di hatinya merasakan keengganan Lila terhadap ceritanya barusan. Itu artinya perempuan itu masih memiliki rasa yang sama padanya seperti dulu. Meski mereka sudah lama tidak bertemu.

"Jangan nanggung. Lanjutin lah." ujar Lila ingin menekan ego dan perasaannya.

Agak kaget, Talia menggeleng, "Cukup buat hari ini--"

"Lanjutin sekarang." Lila memotong dengan cepat dan lugas. Sorot matanya menusuk Talia tajam, menuntut perempuan itu menyelesaikan ceritanya.

Untuk itu Talia tidak bisa menolak. Lagi pula dia tidak ingin menyembunyikan apapun lagi.

Maka, dia pun kembali berbicara dengan hati-hati.

............................

Ikra pada akhirnya tahu tentang hubungan antara adiknya dengan Talia. Bahkan sebelum salah satu dari mereka yang mengatakannya, yang rencananya akan memberitahukan secara langsung padanya usai masa KKN. Entah siapa tepatnya yang memberitahukan, yang jelas itu adalah salah satu dari teman KKN mereka sendiri.

............................

*

Talia terdiam agak lama, menandakan dirinya telah usai bercerita. Kini dia menunggu respon dari Lila yang masih tampak bergelut dengan pikirannya sendiri.

Sesungguhnya Talia menikmati kekosongan ini. Dia menjatuhkan punggungnya ke tempat tidur, menatap lampu kamar yang remang sembari kedua tangannya dia jalinkan di atas perut. Lalu dia memperhatikan Lila dari bawah dan mencoba merekam lekuk samping wajah perempuan itu yang cekung dan tirus. Talia mencoba meraih pipi itu dengan tangannya, namun tak sampai. Dan pada detik itulah Lila menoleh ke bawah, menatapnya sejenak.

Pandangan mereka mengunci satu sama lain.

Talia dengan pikirannya yang menganggap bahwa perempuan di sebelahnya sedang tidak sehat dan tampak bosan. Dan Lila yang melihat Talia sebagai perempuan lemah, rapuh, dan membingungkan. Sukar diprediksi.

Mengapa mereka saling curiga dan menuding ketidakberdayaan dalam kepala masing-masing?

Akhirnya Lila pun merespon, memecah keheningan, membuat Talia reflek menegakkan punggungnya. Dan kini keduanya kembali duduk bersisian.

"Jadi"

Lila mendesis kecil, lalu memilih untuk tidak melihat ke arah Talia selagi berbicara.

"Jadi intinya, lo baru aja lepas dari hubungan dengan Arka, setelah kesengitan yang kalian berdua hadapi di tempat KKN, karena Ikra ga terima adiknya berkhianat sama dia dengan "merebut" elo dari dia," Lila memberi tanda kutip untuk kata 'merebut' dengan dua jarinya, "sampe-sampe dia datang langsung ke sana hanya untuk memastikan kebenaran gosip yang dia terima?" Intonasi Lila meninggi dalam satu tarikan napas. Meski tidak melihat lawan bicaranya, terasa jelas penghakiman dari nada suaranya.

"Gue ga pernah punya hubungan apa pun dengan Ikra." balas Talia membela diri. "Jadi Arka maupun gue ga berkhianat sama sekali." Kini dia turut membela Arka.

"Ck. Tapi dia udah menganggap lo spesial di hidupnya, dan lo malah pacaran sama adiknya, Talia!" balas Lila nyaris berteriak ke arah Talia. Ketegangan kini meliputi mereka berdua. Lila menutup mata dan menarik napas sejenak. Mencoba meredam suaranya dan berusaha meluruskan pikirannya yang mulai kusut.

"Kenapa lo malah marah?" tanya Talia heran dengan Lila yang marah untuk alasan yang tidak dia duga.

"Karna gue bingung dengan jalan pikiran lo!" Lila menatap gusar Talia sambil menekan-nekan pelipisnya. Lalu ia menggelengkan kepala, tidak habis pikir.

"Lo pacaran sama Arka, lalu lo putusin dia setelah semua kesulitan yang udah kalian berdua lalui." cecarnya.

"Bahkan lo udah sempat ngajakin dia ke tempat favorit kita, maksud gue tempat favorit lo tadi--" Lila meralat ucapannya, meski dirinya juga memfavoritkan tempat itu. Hanya saja ia tidak pernah mendeklarasikannya seperti Talia.

"Sebenarnya apa sih yang lo mau?" tanya Lila sungguh-sungguh, mengakhiri tudingannya.

"Apa yang lo mau dari semua kekacauan yang udah lo lalui?!"

"Bukannya dari tadi udah jelas? Gue mau elo. Gue mau kita." balas Talia tanpa keraguan. Matanya yang tak berkedip menandakan keseriusannya.

Namun, bukannya terlihat romantis dan terdengar manis di telinga Lila, ia malah merasa muak dan geli. Ia terkekeh sinis.

"Apa alasan lo bilang begitu? Apa karna lo udah tau perasaan gue sama lo, makanya lo bisa ngomong kayak gitu? Kalau memang itu alasannya, apa arti satu tahun terakhir ini buat lo? Apa itu artinya lo bisa sesuka hati mengisi kekosongan lo, lalu membuangnya ketika lo mulai merasa kalau diri lo ternyata ga bisa terisi sesuai kemauan elo? Jadi kasarnya gue ini hanya cadangan buat jadi percobaan elo."

"Itu kan arti satu tahun belakangan ini buat lo, Tal?"

"Karena buat gue pribadi, semuanya ga berarti apa-apa. Kalau pun harus ada arti, maka gue mengartikannya "selesai". Sekalipun gue tau ga pernah ada kata "mulai" di antara kita. Itu kejelasan versi gue." Lila melontarkan semua kegelisahannya. Meski itu tidak sedikit pun membuatnya lebih lega.

"Gue--"

"Terus tiba-tiba, gue kembali lagi ke kota ini. Dan lo tiba-tiba nyamperin gue, bersikap manis ke gue. Ngajakin gue ke sana lagi, lalu kita cerita banyak hal seolah-olah ga pernah ada masalah yang berarti ..."

"lalu ... melakukan itu di depan umum ..." Lila menjeda kalimatnya barusan, yang merujuk pada ciuman konsensual pertama mereka sore tadi. "Terus kita pulang ke kosan lo, dan sekarang, lo melanjutkan cerita lo lagi ..." ujarnya melemah. Lila benci harus merekap kejadian satu hari ini.

Merasa konyol, kini Talia yang menggelengkan kepala. Merasa serba salah. "Pertama, ga pernah sedikit pun terbersit di kepala gue buat menjadikan elo bahan percobaan. Sejahat itu gue di mata lo, Lil?" tanyanya, sedih.

"Dan kedua, gue cuma pengen jujur, Lil ... Lo sendiri tadi yang bersedia dan maksa gue untuk lanjutin." rujuk Talia pada permintaan Lila agar dirinya menceritakan pengalamannya selama KKN, yang berujung pada fluktuasi emosi Lila sendiri.

Lila yang sebelumnya sudah meyakinkan diri dan malah secara terang-terangan berkata pada Talia di kampus tadi, bahwa dirinya tidak akan cemburu dan segala tetek bengek lainnya, nyatanya saat ini menjilat ludahnya sendiri. Tapi ia sendiri tidak yakin, apakah ini benar-benar dipicu oleh rasa cemburu atau hanya tumpukan kemarahan atas sikap plin-plan Talia selama ini?--siapa sih yang plin-plan?

Apapun itu, Talia sudah mengatakan kalau dirinya hanya ingin berkata jujur. Lalu mengapa Lila tidak bisa mendengar saja dengan hati dan pikiran yang terbuka?

Karena kejujuran itu kejam dan menyakitkan.

Menghela napas, Lila membalas, "Gue tau. Maaf." Ia akhirnya menyadari kemunafikannya sendiri. "Hanya aja, satu hari ini terasa amat panjang." tambahnya, mencari pembenaran. Meski Lila memang sangat lelah.

"Gue boleh pulang sekarang? Bisa kan besok kita lanjutin lagi pembahasan ini?" tanya Lila entah mengapa merasa perlu meminta persetujuan Talia usai luapan emosinya barusan. Barangkali merasa bersalah.

Menyaksikan energi Lila yang tampak terkuras melalui sorot matanya yang layu dan redup, Talia pun mengangguk mengiyakan. Memang satu hari pertama ini terasa panjang sekali. Dia tidak akan mengelak sebab dia sendiri yang berkontribusi membuat hari ini menjadi panjang dan melelahkan. Maka dia pun mengatakan, "Masih ada besok dan besok-besok lainnya."

"Yuk, gue anter ke kosan elo."

Masih terduduk di atas tempat tidur Talia, Lila membalas, "Gue bisa bawa motor sendiri. Tadi pulang dari sana kan gue yang bawa, bukan elo. Inget?" Mencoba mencairkan suasana, Lila menyentuh kening Talia dengan punggung tangannya, seolah-olah memastikan bahwa perempuan itu tidak sedang lupa ingatan.

Talia tersenyum kecut. "Tapi sekarang lo kecapekan, Lil. Gue anter ya, please?" mohonnya.

"Heii, tadi itu motor siapa jadinya? Motor gue, bukan? Yaudah, gue sendiri yang bawa pulang."

Sebal, Talia mengerucutkan bibirnya. Sebab dia tidak tahu harus menjawab apa lagi. Tapi pernyataan Lila memang ada benarnya. Motor itu sudah jadi miliknya--karena memang miliknya--dan tadi, selama di perjalanan pulang menuju kos Talia, harus Talia akui bahwa keterbatasan yang Lila miliki pada kakinya, tidak mengurangi sedikit pun kemahirannya dalam hal berkendara. Justru perempuan itu semakin lihai dan tenang, meskipun jalanan yang mereka turuni saat awal perputaran balik tadi sungguh terjal dan berbahaya. Barangkali, berbeda hasilnya apabila Talia yang membawa motor. Bisa-bisa motor mereka jungkir balik dan mereka, sebagai efeknya, mencium jalanan berlobang. Talia nyengir sendiri membayangkan.

Namun Talia tidak ingin menyerah. Jadi dia menambahkan, "Nanti yang megang tongkat lo siapa?"

"Hm, gini aja, Tal. Kalau lo ikut bareng gue ke kos gue, terus lo pulang ke kos lo lagi naik apa? Naik motor gue lagi, gitu? Ogahlah, ga mau gue. Enak aja!"

"Hoh." Talia mendengus, tambah sebal dengan pernyataan Lila yang makin lama makin menyebalkan. Bukannya justru menjawab pertanyaannya yang memang cemas bagaimana perempuan itu nanti mampu membawa tongkatnya sembari berkendara.

Tapi tanpa mendebat lebih lanjut, Talia yakin Lila bisa melakukan apa saja, termasuk hal sesepele membawa tongkat sembari berkendara--sepele, eh?

Akhirnya, dengan berat hati Talia pun mengantarkan Lila turun ke lantai dasar menuju parkiran motor.

"Hati-hati." ujar Talia sambil menyerahkan tongkat milik Lila setelah perempuan itu melandaskan pantatnya di atas jok motor. Kemudian dia memperhatikan bagaimana Lila menjepit bagian tengah tongkat dengan telunjuk dan jari tengah, selagi jari-jari lain tangan kirinya menggenggam handel motor. Talia bernapas lega, menyudahi kekhawatirannya.

Walau ribet, Lila berusaha menampilkan wajah setenang mungkin. Tidak ingin membuat Talia semakin merasa benar dan berkata, Kan, apa gue bilang padanya.

Setelah berada dalam posisi siap untuk tancap gas, Lila berkata dengan lirih,

"Makasih dan maaf ya untuk satu hari ini?" Suaranya sungguh mengesankan penyesalan untuk segala yang terjadi dan terucap seharian ini. Segala yang kasar dan buruk.

Tersentak, Talia mengangguk membalas, "Gue juga, ya?"

Lila tersenyum, menandakan bahwa dirinya juga menyambut ungkapan terima kasih dan permintaan maaf Talia. Sejenak kemudian ia tersadar, lalu berucap, "Apa jadinya ya kalau dua kata itu harus terlontar berkali-kali? Apa lagi yang terakhir--maaf. Apa ga capek?"

Sebelum Talia berhasil mencerna kata-kata barusan yang membuat jidatnya berkerut bingung, Lila telah pergi menjauh tanpa menunggu jawaban atas pertanyaannya sendiri.

Sebab, bukan jawaban Talia yang lebih ia pikirkan.

Jadinya, kecamuk yang tidak berkesudahan.

*

https://youtu.be/2UxsUJVg8-k





Kita yang sedang menghadapi pandemi ini
di tanah rantau
tanpa sanak - famili.
Sendirian,
kebosanan,
frustasi,
dan semakin hari semakin sedih
akibat rasa sepi yang menggrogoti,
tidaklah benar-benar sendiri.
Kita menghadapinya bersama-sama.
Meski,
kebersamaan dalam duka ternyata
tidak sedikit pun
membuat kondisi diri jadi lebih baik.





Terima kasih sudah menunggu cerita sampah ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top