Ending

"Shit, Lil. Bahkan gue ga tau, lo pacaran sama siapa, atau naksir sama siapa aja selama ini!" ujar Talia yang kini sudah berdiri tepat di belakangnya. "Kenapa sih lo ga pernah cerita sama gue?!"

Tiba-tiba Lila merasakan bulu-bulu halus di permukaan tengkuknya naik, dan perutnya mual. Entah oleh sebab ketakutannya terjadi dan ia bingung harus mulai bercerita dari mana, atau karena Talia yang sekarang sedang memeluknya erat dari belakang.

"Gue ga bisa cerita sekarang, Tal."

"..."

"Nanti, kalau menurut gue waktunya udah tepat."

"..."

"Tal...gue mau pulang.."

"..."

"B-bisa lo lepasin t-tangan elo sekarang, Tal..?" tanya Lila terbata. Talia masih belum menanggapinya.

Akhirnya, dengan berat hati Lila memegang kedua tangan Talia yang tengah melingkari perutnya, dan hendak menariknya. Sulit. Perempuan itu tampaknya makin mengeratkan tangannya ketika Lila mencoba melepaskan diri darinya. Kali ini Lila merasa seperti bukan dipeluk, tapi serasa lebih, ditekan--dihimpit?

"Tal, lo baik-baik aja...? Karena gue, enggak..."

Baiklah, Lila semakin merasa tersiksa. Bukan hanya batin tapi jasmaniah juga. Entah memang dasar tenaga Talia yang terlampau kuat menahan tangannya, atau karena ia yang sudah tak bertenaga, Lila jadi gerah. Emosinya terpancing oleh "siksaan" tersebut. Tapi belum sempat ia meluapkan emosinya itu, Lila merasakan suatu hentakan di bahu kanannya. Lalu, basah.

Dan Lila semakin dibuat tak berdaya. Walau kini, kedua tangan itu sudah tidak lagi mendekapnya erat.

Entah mengapa ia berharap siapa saja akan menghampiri dapur ini untuk mengakhiri siksaannya. Biarlah terkesan canggung atau aneh, yang penting ia tidak harus menghadapi situasi ini sendirian. Perubahan sikap Talia nyaris membuatnya kehilangan akal.

Ia sungguh mengharapkan Shinta keluar dari kamarnya dan mendapati situasi ini, lalu merecoki mereka berdua seperti yang sudah-sudah! Ayolah Shinta, keluar kau!

Tapi tidak. Keheningan meliputi pojok ruangan dapur ini. Hingga kemudian terdengar isak tangis tertahan di balik punggungnya.

Detak jantungnya bergemuruh, mau tak mau Lila membalikkan badan. Tanpa memandang wajah Talia, Lila menarik tangan perempuan itu dan menuntunnya ke arah kamarnya sendiri. Sembari berjalan, Lila masih tak habis pikir, untuk apa Talia menangis karenanya? Untuk persahabatan mereka yang tidak sesuai ekspektasi? Atau untuk hal-hal lain yang bahkan tidak dimengerti oleh dirinya sendiri? Entahlah, Lila mengabaikan pertanyaan itu tatkala pintu kamar sudah ia tutup.

Lebih tepatnya terlupakan, sesaat Talia menatap tajam dirinya dengan air mata masih membasahi pipi.

Lila berusaha mengatur nafasnya dengan teratur, "Mungkin lo mau duduk dulu, Tal."

Talia menggeleng, "Supaya apa? Supaya gue bisa tenang?" Saat ini mereka sama-sama berdiri sejajar.

Tiba-tiba, seperti tersadar akan sesuatu, dia melanjutkan, "Ah, shit Lil. Gue ga ngerti kenapa gue harus nangis kayak gini... kalau lo mau cabut, silahkan.."

"Sori kalau gue terlalu mengharapkan sesuatu yang ga bakal mungkin terjadi." Kemudian Talia duduk di kasur dan menyandarkan kepalanya di dinding.

Keheningan kembali meliputi keduanya, dan Lila masih mematung berdiri menatap dinding. Tangannya mulai terkepal, dan terbuka. Mengepal dan membukanya berulang kali. Tampak ragu. Akhirnya, ia berjalan menuju pintu, untuk keluar. Tanpa mengucap sepatah kata.

Tiba-tiba...

Bruk.

Seketika ia merasakan benda kecil mengenai kepalanya.

Korek gas.

Memutar badannya, kali ini sekotak rokok sudah mendarat di jidatnya.

"Aduh." keluhnya.

Lalu bahunya. Oleh kepala charger. Perutnya. Botol minuman. Talia benar-benar melempari seluruh isi tasnya ke arah Lila. Menjadikan badannya objek lemparan maut.

Lila meringis membentengi diri dengan tangan kanannya, dan meminta Talia agar berhenti. Tapi perempuan itu malah tambah gencar meneruskan aksinya: bantal, guling, tas, semua yang ada di sekitarnya, dia lemparkan tanpa beban dan ekspresi. Poker face.

Menyaksikan sekaligus menjadi sasaran amukan itu, Lila bergidik ngeri. Namun ia tetap berjalan ke arah tempat tidur, duduk di samping perempuan yang sedang mengamuk itu.

Karena lewat lisan tak mampu, ia pun mengunci tangan Talia ke belakang. Awalnya perempuan itu berontak, mencoba menepis tangan Lila dan memakinya dengan nama-nama binatang. Namun sejurus kemudian dia pun berhenti. Barangkali lelah dengan tingkahnya sendiri.

Dari belakang, Lila menyandarkan dagunya di bahu kiri Talia. Tangannya masih memegang kedua tangan perempuan itu sekuat tenaga, takut-takut Talia akan menonjoknya tanpa aba-aba. Dengan tersengal, Lila berkata, "Sebenarnya, apa yang elo mau, Tal? Gue jujur atau gue pergi?"

"Tapi apapun itu jawaban elo, gue harap lo siap dengan konsekuensinya."

"Konsekuensi apa?" respon Talia seketika, menoleh ke kirinya. Kini jarak antara wajah mereka begitu rapat.

"Gue pergi atau jujur?" Lila mengulangi pertanyaannya dengan berat. Tenggorokannya serasa dijejali kerikil.

"Fuck Lil, just fucking tell the truth--!"

"..."

"Itu yang pengen gue sampaikan. Puas?"

Talia terpaku menatap temannya itu. Mulutnya menganga, kemudian jarinya menyentuh bibir bawahnya.

"M-maksud lo...?" Tatapannya masih menunjukkan rasa tidak percaya. Lila baru saja mengecup bibirnya.

"Gue suka sama lo."

"..."

"Lebih dari sekedar teman."

"Gue ga tau harus merespon apa.." ucap Talia pelan.

"Gue, bukan l-lesbi, Lil.." Ada getaran saat Talia melanjutkan kalimatnya.

Bahkan setelah mengungkapkan isi hatinya pada Talia, Lila masih tak sanggup melihatnya. Hanya tertunduk lesu menatap lantai. Mendengarkan respon Talia barusan, hanya menambah kegetirannya. Meski Lila sudah dapat memprediksi itu.

Sial, sejujurnya ia tak pernah memprediksi akan coming out pada obyek cintanya secepat ini.

"Gue, tau. Makanya selama ini gue memilih diam.."

"Gue udah naksir elo sejak pertama kali kita kuliah--"

"Bisa tinggalkan gue, sekarang?" Pinta Talia memotong pernyataan Lila. Kini, giliran perempuan itu yang menatap lantai--apa saja, asal bukan wajah Lila.

Lila berdiri, dan akhirnya memberanikan diri menatap Talia. Wajahnya menunjukkan penyesalan mendalam, meskipun secara bersamaan ada kelegaan di dasar hatinya. Sebuah kontradiksi yang sulit ia pahami.

Lalu, seutas senyuman terukir di wajahnya, dan tangannya menyentuh pundak Talia dengan lemah.

"Dulu gue berharap, kalau suatu waktu gue berani mengungkapkan semuanya sama elo, lo akan membalasnya dengan hal yang sama. Tapi sekarang, setelah itu terjadi, gue malah ga mengharapkan apa-apa dari elo, Tal."

"Gue cuma ingin lo tahu, kalau ada teman perempuan lo yang sayang banget sama lo. Dan saking sayangnya dia bingung harus berbuat apa terkait perasaannya itu. Kalau dia laki-laki mungkin dia hanya malu di awal-awal. Tapi sialnya, dia perempuan--meski, dia ga pernah menyesal sedetik pun menjadi perempuan."

"Makanya dia cuma bisa jaga jarak dari elo, Tal. Sedekat apapun kondisi kalian."

"Banyak yang ga bisa dia ceritakan sama lo, karena, gimana dia bisa cerita, kalau yang jadi obyek cintanya itu adalah elo sendiri?"

"Jadi, gue harap lo mengerti, kalo ga pernah sedikit pun terbersit di kepalanya untuk menyakiti hati lo. Untuk membuat lo merasa diabaikan dengan sikapnya."

"Karena, ketika dia udah jujur, mungkin dia yang akan diabaikan oleh lo seumur hidupnya."

https://youtu.be/oiPkWDNPghY

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top