C.e.m.b.u.r.u
Masih terekam jelas di ingatan Ossy bagaimana ekspresi dan reaksi Lila beberapa hari yang lalu setelah kejadian itu. Dia langsung pulang tanpa sempat menemui mereka. Kini Lila tak henti-hentinya menghubunginya, menanyakan di mana dirinya berada.
Lila tidak mengerti ada apa dengan Ossy. Terakhir mereka saling kontak saat ia memberitahu perempuan itu bahwa ia akan menemui Talia di café sepulang kuliah. Ossy bilang akan gabung ke sana, tapi nyatanya Lila tidak mendapati kehadirannya setelah chat terakhir mereka. Sudah dua hari ia tidak menerima kabar dari Ossy, bahkan telah tiga kali ia singgah ke kosnya hanya untuk mendapati kamarnya terkunci dan gelap, menandakan penghuninya sedang pergi. Tapi ke mana?
Ossy membuatnya khawatir. Dan itu membuatnya berakhir di kamar Talia yang terletak di sebelah kamar Ossy.
Untuk menghindari pertanyaan dari Talia akan pencariannya terhadap Ossy, Lila selalu menjelaskan kedatangannya ke kos itu dilandaskan oleh hasrat interaksi sosialnya yang tinggi.
Benar, ia bahagia bisa jadi selalu menemui Talia hampir setiap saat. Tidak hanya di kampus tapi juga malamnya di kosannya. Tapi kekhawatirannya terhadap Ossy jauh lebih besar untuk saat ini.
Maka akhirnya ia pun bertanya pada Talia apakah dia tahu di mana Ossy berada. Untuk itu Talia menjawab bahwa dia tidak melihatnya sama sekali. Dan ini memberinya inisiatif untuk menelepon Ossy saat itu juga, di hadapan Lila.
"Ga nyambung." ucapnya geleng-geleng kepala melirik Lila, "duh, gue juga jadi baru nyadar dia ga kelihatan belakangan ini."
Mendengar itu Lila semakin sulit menyembunyikan kekhawatirannya terhadap Ossy.
"Mungkin dia lagi liburan sama teman-teman sekampusnya, berhubung besok mereka baru mulai kuliah." asumsi Talia seketika.
Nggak mungkin. Kalau iya, pasti dia ngabarin. Lila membatin.
Melihat respon Lila yang khawatir, Talia menambahkan, "Selow aja Lil, selama gue ngekos sama si Ossy, sering banget weekend itu dia melancong sama teman-temannya. Gue juga pernah diajak beberapa kali, tapi gue tolak karna males."
Iya, tapi sekarang kasusnya beda. Dia selalu ngabarin aku. batin Lila kembali. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana menjelaskannya tanpa menimbulkan kecurigaan.
"Lo kenapa sih? Cemas banget sama dia?"
Pertanyaan yang ia takuti itu pun meluncur dari bibir Talia.
"W-wajar kan kalo khawatir sama teman?"
...
"Kalo lo nggak ada kabar gue juga khawatir.." tambahnya.
Seusai mengatakan itu, tiba-tiba di dalam kamar terdengar suara seseorang memutar kunci di luar. Seketika, Lila keluar untuk memeriksa. Dan benar saja, ada Ossy. Mereka saling beradu pandang sesaat sebelum Ossy masuk dan mengunci kamarnya ketika Lila baru bergerak satu langkah.
Setelah dibuat khawatir, ia jadi sangat bingung.
"Udah pulang, kan?" tanya Talia yang ikutan keluar untuk mengecek.
"Iya, tapi, langsung nutup--"
"Paling kecapekan." setelah itu, Talia masuk kembali, membiarkan Lila sendirian di depan pintu kamar Ossy dengan perasaan bingung dan kesal.
Tidak mungkin ia memaksa masuk ke dalam kamar perempuan itu hanya untuk menuntut sebuah penjelasan.
--
"Bisa ngobrol sebentar?"
Lila telah menunggu Ossy di warung bubur, karena ia tahu kuliah pertama perempuan itu dimulai pukul 8 pagi. Jadi sewaktu ia melihat Ossy berjalan kaki seperti biasa menuju kampusnya, usai membayar Lila segera menghampirinya dan berjalan di sisinya.
Agak terkejut, Ossy mempercepat langkahnya tanpa menjawab pertanyaan itu.
"Kamu kenapa?" Lila menghentikan langkah Ossy dengan berdiri di depannya.
"Minggir." jawab Ossy pelan. Dia menghindari Lila dan terus berjalan.
Kembali Lila menghadangnya dengan berdiri di depannya. "Kamu tau, aku cemas tiga hari ini nggak dapet kabar dari kamu. Dan sekarang kamu malah mengabaikan aku. Kamu kenapa?"
Lagi-lagi Ossy menghindarinya. Membuat Lila sedikit emosi dan meninggikan suaranya. "Kamu kenapa sih?!"
Akhirnya Ossy berhenti dan menjawab pertanyaan Lila dengan pelan dan penuh penekanan. "Jangan sekarang, kamu ga liat lagi rame dan udah ada yang merhatiin kita?" Ossy melihat sekeliling, memberi kode pada Lila. "Aku udah telat 5 menit. Nanti malam aku ke kos kamu dan aku bakal jelasin, oke?"
"Untuk sekarang, mending kamu lontarin pertanyaanmu tadi ke dirimu sendiri." lanjutnya.
Ossy berlalu meneruskan langkahnya menuju kampusnya yang asri, meninggalkan Lila yang sudah tidak lagi mencoba menghentikannya, bertanya-tanya dalam hati,
Aku kenapa?
--
Pada jeda kuliah hari ini, Lila memilih untuk istirahat di perpustakaan.
Beginilah sulitnya jadi anak yang tidak mengikuti organisasi apapun. Tidak punya sekretariat tempat untuk berlabuh di saat-saat kejepit kuliah semacam ini. Berbeda dengan Atik atau Joni yang punya tempat "tongkrongan" tersendiri. Atik di kampus dan Joni di gelanggang.
Ketika Lila berjalan terhuyung sejengkal dari perpustakaan, ia mendengar namanya dipanggil. Lila menoleh dan mendapati Joni melambai ke arahnya. Setelah saling mendekat, Joni mengajaknya pergi.
"Ngapain?"
"Temenin gue hunting foto."
Lila pun mengiyakan, mengingat tidak ada hal lain yang lebih menarik untuk ia kerjakan.
--
"Makin tua makin nggak asik ya kita ini." ucap Joni seraya mereka berjalan kaki.
"Gaya lo, baru juga semester 3."
"Yee tetap aja lah, makin tua. Gua sedih kita udah jarang sekelas lagi, nyaris nggak ada!"
"Ada, satu. Nanti jam dua. Minggu lalu kan emang dosennya belum masuk aja."
"Ah, iya, syukur lah. Tapi dikit banget ya?"
Lila tersenyum kecut membenarkan pernyataan Joni. "Mau gimana lagi.."
"Sama yang lainnya juga...si Atik dan Talia. Hadeuh, misah-misah gini bikin canggung tau!"
Lila mengerutkan dahi, "Maksudnya?"
"Iya, biasanya kan kita sekelas berempat dan suasana di kelas bisa jadi cair banget. Tapi sekarang, kita dah nggak ada yang sekelas berempat lagi, bahkan bertiga barengan pun kagak!"
"Ya, trus? Lo ga menjawab pertanyaan gue."
"Hmm, gini maksud gua, Lil. Mungkin kalo gua sekelas sama lu atau Atik, kita bakal duduk sebelahan dan bebas ngomongin apa aja. Tapi kalo gua sekelas sama Talia, itu anak cuek banget! Gua berasa nggak dianggep ada di kelas. Dan gua pun segan buat duduk di samping dia atau basa basi apa kek."
"Lo suka sama dia?" tanya Lila dengan enteng dan suara datar. Entah mengapa ia justru menyimpulkan hal ini dari perkataan bertele-tele Joni tadi.
"Eh buset, kagak lah, jangan cemburu gitu dong!" respon Joni gelagapan.
"Nggak usah GR lo Jon!" dalam hati Lila merasa lega. Repot juga kalau sahabat lelaki satu-satunya ini turut menyukai perempuan yang ia suka pula.
"Siapa yang GR, orang gua takut lu cemburu sama gua."
Deg.
Otak Lila kurang mencerna pernyataan Joni tersebut, namun hatinya tiba-tiba saja jadi berdebar kencang.
Berhenti, Lila bertanya serius,
"Cemburu sama lo?"
"Santai bro. I like her but not in a romantic way."
Cemburu sama Joni. Kenapa Joni nggak bilang, cemburu sama Talia? Apa ini berarti, Joni....
"Jon..."
"Ape?"
"Lo tau?"
Joni menyunggingkan senyum tanda paham.
"Dari dulu."
Mendadak Lila lemas. Jika saja lelaki itu tidak merangkul bahunya, mungkin ia akan jatuh pingsan.
--
"Atik tau?"
"Entah, gua nggak nanyak."
Di lapangan GSP yang luas dan hijau, Joni tengah membidikkan kameranya ke obyek manusia-manusia yang berlalu lalang. Walau siang namun cuaca cukup adem, sehingga mendukung aksinya kali ini.
"Lo tau dari mana?"
Sementara Lila duduk lesehan di atas rumput, mencabut rumput-rumput liar yang menyemak pemandangan.
"Dari observasi gua selama temenan sama elu." kali ini Joni mengarahkan kameranya pada Lila yang seperti anak kurang kerjaaan yang tampak bosan hidup.
Lila langsung mendongakkan kepalanya. "Berarti gue gampang ditebak? Kalo lo tau mungkin yang lain pada tau.." ujar Lila lemah.
Apa Talia tahu kalau dirinya dicintai oleh seorang perempuan?
"Gua doang yang tau."
Tak percaya, Lila meremas rambutnya frustasi hingga kusut, dan Joni semakin tertarik untuk mengabadikannya.
"Gue ga yakin. Gue takut, Jon."
Joni akhirnya mendudukkan pantatnya di rumput di sebelah Lila. Meletakkan kamera mahalnya dengan hati-hati di pangkuannya.
"Percaya sama gua. Lu tau kenapa gua bisa tau?"
Dengan tampang pasrah Lila menggerakkan dagunya tanda lanjutkan.
"Gua pernah suka sama lu tapi lu nya nggak peka-peka."
Lila memelototkan mata tidak percaya.
"Saking perhatiannya gua sama lu sampai lambat laun gua menyadari kalo elu udah terpikat sama orang lain."
"Dan orang itu adalah Talia. Yang selalu bikin mood lu kalo nggak bahagia ya berantakan, secara dramatis. Apa lagi namanya itu kalo bukan cinta?!"
Lila semakin shocked. Antara percaya dan tidak, Joni telah sukses membungkamnya cukup lama.
...
"Lo masih mau temenan sama gue, Jon?" akhirnya Lila memecah keheningan.
"Gua maunya sih lu jadi pacar gua."
...
"BECANDA GEBLEK!!!" Joni tertawa sekencang-kencangnya akibat ekspresi Lila yang semakin kacau.
"Perasaan romantik gua ke elu lenyap Lil seketika gua sadar kalo lu nggak bakal masuk jangkauan gua. Lu tenang aja, gua cukup tau diri."
Lila tersenyum lega. Meski perasaannya telah diobrak-abrik dengan pengakuan Joni.
"Gua bakal selalu jadi teman elu. Kalo lu butuh apa-apa atau pengen curhat dan lain semacamnya, gua siap menampung."
Usai Joni mengatakan itu, tidak bisa tidak Lila pun memeluk tubuh kerempengnya yang berbau cokelat.
"Makasih Jon. Gue selalu bersyukur ketemu manusia kayak lo dari pertama kita ospek." Lila pun melepaskan pelukannya.
"Janji lo ga bakal ngumbar aib gue?" Lila mengacungkan kelingkingnya.
"Dasar bocah."
Setelah melakukan yukibiri, Lila pun memegang tangan Joni untuk segera menariknya berdiri dan pergi.
"Yuk ke kelas."
Selama di jalan, ucapan Joni padanya tadi terus berputar di kepalanya.
Lelaki itu cukup tahu diri ketika mengetahui temannya berada di luar jangkauannya.
Bagaimana dengan dirinya sendiri?
--
Malam harinya.
"Aku mau kita ngontrak bareng."
"Kenapa?"
"Supaya hubungan kita bisa jalan lebih leluasa."
"Tapi di sini kita aman-aman aja, Ossy."
"Jadi harus selalu di kosan kamu, gitu?"
"Apa salahnya? Kosan kamu juga ga ada masalah sejauh ini."
"Sejauh ini itu masih 10 hari. Kamu ngga mikir gimana ke depannya kalo aku sering nginep di tempat kamu atau kamu di tempatku? Sooner or later people are gonna find out."
"Jadi ini yang bikin kamu diemin aku tiga hari belakangan?" akhirnya Lila to-the-point. Sedari tadi ia menunggu Ossy membahas hal yang sudah mengganjal pikirannya tersebut.
Ossy menghela nafas kasar. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, tapi dia tampak tidak ingin membicarakannya.
"Jadi kamu ngga mau kita ngontrak bareng?"
"Jadi kamu ga mau bahas alasan kamu menghilang kemaren-kemaren?"
"Jawab pertanyaanku dulu. Setelah ini kita ganti topik ke situ."
"Ya, aku nggak mau." ucap Lila tegas.
Dirinya terlalu nyaman tinggal di kosannya ini. Tidak ada ibu/bapak serta penghuni kos yang menyebalkan. Mungkin adanya jam malam menjadi masalah bagi sebagian besar orang, tapi tidak baginya. Dan terlalu banyak kenangan pula di dalamnya membuat ia enggan untuk pindah.
Lila lalu menambahkan, "Lagian kamu ga mikir, kalo kita ngontrak bareng, Talia mungkin bakal kepengen ikutan. Atik juga. Kan sama aja?"
Ekspresi Ossy berubah semakin jengkel setelah Lila menyebut nama itu.
"Apa susahnya ngga usah kasih tau mereka?"
Agak terkejut Lila membalas, "Mereka teman kita berdua, Ossy! Masa kita nyembunyiin hal sebesar ini dan ujug-ujug langsung pindah dari kosan semudah itu? Itu artinya kita ga mikirin perasaan mereka."
...
"Kamu ngga mikir perasaan aku." ucap Ossy pelan, hampir tak terdengar. Cairan di pelupuk matanya siap-siap meluncur, kalau saja dia tak susah payah menahannya.
Namun Lila melihat itu. Ia juga mendengar kata-kata Ossy tadi--walau teramat pelan. Maka ia mendekapnya dan berkata,
"Jangan bilang gitu. Aku selalu mikirin perasaan kamu, Sy. Tapi kita juga harus realistis." Lila mengelus punggung Ossy dengan lembut karena ia mendengar suara tangis yang tertahan.
Saat ia menarik diri dari pelukannya, ia melihat air mata itu telah menetes sedikit. Lila mengusapnya dan mengucapkan dengan penuh sesal,
"Maafin aku, Ossy. Aku ga bermaksud bikin kamu sedih kayak gini."
Lila pun menyapu air mata itu dengan kecupannya yang bertubi-tubi hingga menimbulkan gelak tawa di bibir Ossy. Pun ia akhiri kecupannya itu di bibir merekah milik Ossy.
"Asin." ucapnya kemudian.
Ossy tertawa dan pura-pura melayangkan tinjunya di bahu Lila. Lila menahan kepalan tangan itu dan kembali mendekap perempuan itu ke dalam pelukannya.
Ia tak pernah kuat melihat perempuan menangis.
--
"Aku menghilang karena aku pengen kamu nyari aku sampai ketemu."
Akhirnya Ossy memilih untuk tidak mengutarakan alasan yang sebenarnya. Meski pernyataannya barusan kurang lebih mengungkapkan secuil isi hatinya yang terluka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top