5. Dia

Hai, sebenarnya kemarin aku udah ngetik sampai 600-an word, tapi baru bisa nyelesaiin hari ini karena kemarin mood nulis tiba-tiba anjlok lagi pas ngetik di pertengahan hahaha.

Akhir-akhir ini, mood aku emang kayak mainin aku banget. Sama kayak kamu /hiyaaa. Dan aku nggak suka. Hhhh.

.

.

.

HESA'S POV

.

.

.

Gue sebenarnya males banget ke rumah Ifah, tapi ... biar ngga dikira menantu durhaka, ya sudahlah. Lagian Ayah dan Ibu juga maksa banget, heran.

Hari ini hari kedua gue berada di rumah Ifah. Menurt gue, suasananya lumayan lah. Udaranya juga segar banget, beda sama udara di kota. Di sini juga nggak bising, jadi tidur gue bisa terasa nyenyak banget semalam.

"Mas, ini ada telpon dari Edel."

Gue yang tadinya sibuk mengunyah nasi goreng segera mengambil ponsel yang disodorkan Ifah. Dan dengan segera masuk ke kamar meninggalkan nasi goreng gue.

"Halo, Del."

"Iya, gue lagi di luar kota ini. Jadi nggak bisa dateng kemarin."

"Cieee nyariin, ya?"

"Atau kangen? Hahaha."

"Oke deh, see you, i love you."

"Apa? Nggak ada. Hahaha. Nggak ada siaran ulang."

"Dih, ngambek."

"Oke, deh. Nanti, ya. Kalo gue udah balik gue beliin cokelat, deh."

"Hmm, bye."

Duh, kenapa sih Edel ini manis banget. Kan gue jadi kangen, jadi pengin cepet-cepet pulang dan nemui dia. Ck. Apa gue udah masuk kategori bucin, ya?

"Loh, Nak Hesa mana, Fah?"

Mendengar Papa nyariin gue, gue bergegas keluar dari kamar setelah menaruh lagi ponsel di atas nakas.

"Ayo, habisin dulu makanannya, Nak." Gue mengangguk pelan lalu melanjutkan makan gue yang sempat tertunda. "Papa mau ke kebun dulu, nemenin Nenek. Nggak pa-pa, ya?"

"Memangnya kebunnya di mana, Pa?" tanya gue cukup penasaran.

"Di belakang. Di dekat sungai. Ifah tahu itu, nanti kalo mau jalan-jalan ajak Ifah aja, ya."

Gue mengangguk lagi. Sungai? Gunung? Kok rasanya gue pengin ke sana, ya? Yaa itung-itung refreshing lah dari kepenatan kota. Nanti coba deh gue ajak Ifah. Itu pun kalo dia ngerasa nggak gue repotin.

"Papa berangkat, ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

"Loh, katanya Papa mau nemenin Nenek. Terus Nenek mana?" tanya gue saat ngga ngelihat keberadaan Nenek.

Ifah menatap gue sekilas. "Nenek udah duluan tadi, Mas." Gue ber-oh ria. Nenek itu, ya, meskipun tubuhnya terlihat sudah sangat renta, tapi tenaganya masih oke untuk seusianya. Meskipun terlihat bungkuk, tapi jalannya cepet juga. Apa mungkin karena dia ngga terpapar polusi dan ngga makan junkfood kayak anak jaman sekarang, ya? Entah lah, yang pasti gue takjub ngelihatnya.

"Mas mau ke kebun nanti?" tanya Ifah tiba-tiba.

Gue yang baru saja menghabiskan nasi goreng pun otomatis mendongak. "Boleh. Bisa naik mobil nggak ke sana?"

Ifah tersenyum tipis, membuat gue mengernyit. "Nggak bisa, Mas. Harus jalan kaki."

Gue menaikkan sebelah alis. "Nggak jauh?" tanya gue lagi.

"Umm, mau bilang jauh nggak juga. Tapi mau bilang deket nggak juga."

"Lah, gimana etdah."

"Mas mau pergi nggak? Kalo mau ganti baju dulu. Pake celana panjang dan kaos berlengan panjang juga. Soalnya di area perkebunan biasanya banyak nyamuk juga."

"Ya Allah, persyaratan yang bikin deg-degan."

Ifah tertawa pelan, sementara gue bersiap-siap mau ganti baju sesuai instruksi Ifah. Tapi, sebelum gue benar-benar pergi, Ifah tiba-tiba nahan gue.

"Mas, aku mau nanya."

"Apa?"

"Edel itu ... siapa?"

Gue mengernyit tak suka. Ngapain juga dia nanyain Edel. "Kenapa emangnya?"

"Apa yang di wallpaper Mas itu ... Edel?"

Shit. Gue lupa kalo gue emang make foto Edel sebagai wallpaper hp gue. Tapi, bentar. Kenapa juga gue harus ngerasa bersalah? Edel cewek yang gue suka, jadi wajar, dong.

"Iya."

"Dia ... cantik."

"Hmm. Kita jadi kan ke kebun Papa?"

Dia mengangguk pelan seraya meminum air putih yang ada di sampingnya. Sementara gue langsung ngacir ke kamar buat ganti baju seperti saran Ifah.

***

Tepat setelah gue ganti baju, gue keluar dari kamar dan langsung menuju teras karena ngelihat Ifah kayak yang udah nunggu di sana.

"Lo nggak ganti baju?"

"Nggak perlu, ini udah aman, kok." Gue mengangguk. "Ya udah, yuk."

Gue menghela napas pelan seraya mengikuti langkah Ifah yang sudah lebih dulu berjalan. Sepanjang jalan, yang gue lihat rumah penduduk memang nggak terlalu banyak. Mungkin kalo gue punya niat gede bisa lah dihitung pake jari. Orang-orang di sini juga nggak terlalu banyak, beberapa yang kutemui cuma berkisar empat atau lima orang perrumah. Atau gue aja yang sok tahu. Tahu deh. Dan, gue juga akhirnya paham kenapa Ifah bilang mobil nggak bisa sampai di sini. Gila, jalanan bebatuan, mana batunya gede-gede pula. Gue sampai beberapa kali kesandung. Udah gitu, jalannya juga lebih sempit dari jalanan di depan rumah Ifah. Dan menurut gue, yang bikin kampung ini sedikit sepi ya karena rumah penduduk ternyata jaraknya jauh-jauhan kayak orang yang lagi ngambekan.

Sementara gue dan Ifah menelusuri perjalanan, gue terus memperhatikan beberapa semak belukar yang lumayan banyak di pinggir jalan. Gue sampai berpikir negatif kalo di situ ada banyak ularnya. Astaghfirullah.

Tapi, bentar, deh. Kok Ifah dari tadi diem-diem terus, ya? Dia nggak lagi kesambet hantu, kan? Jangan sampai, deh.

"Fah," panggil gue. Ya untuk memastikan aja sih kalo perkiraan gue itu salah.

"Ya?"

Diam-diam gue menghela napas pelan, setidaknya Ifah masih ngerespon panggilan gue, jadi bisa gue simpulkan kalo dia baik-baik aja.

"Kapan lo mau ke makam ibu lo?"

Ifah memetik satu bunga liar berwarna putih. Nggak diapa-apain, cuma dipetik terus dipegang-pegang gitu.

"Kayaknya nanti sore, Mas."

Gue mengangguk lagi. Sebenarnya gue bingung dengan sikap Ifah sekarang. Biasanya dia cerewet dan nanya-nanyain apa aja gitu, tapi sekarang dia kayak cewek PMS yang mode senggol bacoknya lagi aktif.

"Masih jauh?" tanya gue lagi. Cari mati emang.

"Itu di depan."

Gue menatap ke depan. Di sana gue langsung berhadapan dengan hamparan perkebunan. Untuk sungai, gue belum ngelihat, cuma ngedengar bunyi air khas sungai gitu. Udaranya juga jadi lebih sejuk sih. Gue jadi nggak sabar pengin cepet-cepet sampai.

Nggak jauh dari posisi gue dan Ifah berdiri, Nenek terlihat sedang duduk tepat di bawah sebuah pohon besar yang ada di pinggir kebun. Sementara Papa, gue ngga lihat keberadaan beliau.

"Fah, Papa mana?"

"Kayaknya lagi di sungai."

Gue menyeberangi jembatan kecil yang terbuat dari dua kayu berukuran sedang. Agak pelan karena Ifah pun bergerak cukup pelan. Wajar, karena kayunya sedikit licin akibat dari percikan air yang mengalir di bawah.

"Ah."

Gue yang ngelihat Ifah hampir tergelincir pun dengan cepat memegang kedua bahunya dari belakang.

"Lo nggak pa-pa?"

Ifah menggerakkan kedua bahunya pelan dan gue segera melepasnya. Mungkin dia nggak nyaman dipegang sama orang lain.

Saat gue dan dia udah berhasil melewati jembatan kecil itu, tiba-tiba langkah Ifah terhenti. Setelah itu, dia langsung menghadap ke gue dengan ekspresi datarnya.

Gue yang refleks ikut berhenti pun cuma bisa natap dia dengan tatapan penuh tanya. Why? Ada yang salah?

"Dia ... perempuan yang Mas suka?"

***

Kira-kira, apa jawaban Hesa?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top