18. Tidak diinginkan
Sebelum baca, aku mau nanya dong. Kenapa kalian bisa bertahan di lapak ini?
Itu aja. Hihii
Happy reading
.
.
.
IFAH'S POV
.
.
.
Aku benar-benar kaget saat dokter mengucapkan selamat atas janin berusia lima minggu yang ada di dalam rahimku. Rasanya ... sedih sekaligus bahagia. Sedih karena dia harus hadir di tengah dinginnya hubunganku dengan Mas Hesa. Dan bahagia karena kehadirannya ... entahlah, seperti sesuatu yang sudah lama dinantikan dan tiba-tiba dihadirkan untuk menemani.
Tapi, terlepas dari itu semua, selama perjalanan pulang dari rumah sakit, pikiranku terus tertuju pada Mas Hesa. Banyak perkiraan buruk yang tidak bisa kuhindari.
"Yaaah, Hesa kayaknya lagi keluar, Nak Ifah. Mungkin lagi beli makanan. Kita tunggu saja, ya. Atau kamu mau istirahat dulu?" tanya ibu setelah kami sampai dan masuk ke dalam rumah.
Meski tubuhku rasanya sedikit lemas, aku memilih untuk duduk di ruang TV bersama ibu. Selama kami menunggu kedatangan Mas Hesa, ibu banyak berbagi informasi saat mengandung Mas Hesa. Beberapa hal justru baru kuketahui, termasuk ibu yang ngidam pisang ijo sewaktu hamil. Ayah katanya sampai harus bangun tengah malam untuk membuat sendiri pisang ijo-nya karena ibu hanya ingin makan pisang ijo buatan ayah. Kalau dipikir, lucu juga. Aku jadi membayangkan bagaimana jika Mas Hesa berada di posisi ayah. Apakah dia mau aku repotkan?
"Assalamu'alaikum."
Aku dan ibu secara bersamaan menoleh ke arah Mas Hesa yang baru pulang. Di tangannya terdapat bungkusan yang entah apa isinya.
"Wa'alaikumussalam."
Ibu lalu bangkit dan langsung memeluk Mas Hesa dengan erat.
"Alhamdulillah. Selamat, Nak. Ifah positif," ujar ibu dengan nada penuh semangat.
Dari wajah Mas Hesa, terlihat jelas kalau dia bingung dengan perkataan ibu. Keningnya bahkan mengerut sakit bingungnya.
"Po-positif apa, Bu?"
"Positif hamil, Nak.
Aku tersenyum mendengar nada bahagia terus mengalun dari bibir ibu, tapi itu tidak bertahan lama tatkala kulihat Mas Hesa justru menampilkan wajah yang ... tidak menyiratkan kebahagiaan. Aku tahu jika aku hanya menebak saja, tapi perasaanku mengatakan kalau Mas Hesa ... tidak senang dengan kabar yang disampaikan oleh ibu.
"A-aku ke kamar dulu, Bu."
Mas Hesa lalu meletakkan bungkusan yang ada di tangannya di atas meja. Kemudian dengan terburu-buru dia berjalan menuju kamar di lantai dua tanpa sedikitpun menoleh ke arahku.
Apakah firasatku tentang Mas Hesa benar?
***
Sudah hampir sejam-an aku duduk di ruang TV tanpa niat sedikit pun untuk masuk ke dalam kamar. Ibu sampai terheran-heran melihatku yang begitu betah duduk di depan televisi.
"Nak Ifah, kok nggak istirahat?" tanya ibu saat keluar dari kamarnya.
Aku tersenyum dan mengambil satu potong apel yang sudah kukupas. "Lagi betah di sini Bu. Dramanya seru-seru." Tiba-tiba kulihat Mas Hesa turun dan berjalan menuju dapur. "Tentang azab suami yang mengabaikan istrinya tenggelam dalam lautan coco crunch."
Aku melirik ke arah Mas Hesa yang tampak tak menghiraukan ucapanku, padahal judul itu kubuat khusus untuk menyinggungnya. See? Bukannya menanggapiku, dia justru sibuk dengan satu bungkus coco crunch di tangannya.
"Loh, Sa. Udah makan, kan?" tanya ibu yang sudah ikut bergabung denganku.
Mas Hesa melirik sebentar ke arah ibu. "Tadi kan udah, Bu."
"Kirain kamu laper lagi."
"Ini cuma mau ambil camilan, Bu."
Aku melirik sinis ke arah Mas Hesa. "Itu kan coco crunch punyaku, Mas. Ngapain diambil lagi?" tanyaku dengan nada sarkas.
Mas Hesa yang tadinya mau memasukkan coco crunch ke dalam mulutnya pun tertahan. Dia lalu melirikku dengan sebelah alis dinaikkan. Tampaknya dia ingin protes tapi aku sengaja membuat wajahku sesangar mungkin agar dia paham bahwa aku sedang tidak ingin dibantah. Kekanakan memang, tapi ini juga cara agar Mas Hesa mau me-notis keberadaanku.
"Lah, gue yang beli juga," protesnya.
Aku menaikkan kedua bahu tidak mau tahu. "Ya kan Mas beli juga buat aku."
"Jangan ke-geeran lo. Gue beli dua, satu buat lo dan satu buat gue."
"Dih, aku nggak mau tahu. Dua-duanya itu buat aku."
"Maruk banget, sih. Astaghfirullah."
Dalam hati sebenarnya aku tertawa melihat Mas Hesa tidak terima dengan keputusanku mengambil semua coco crunch yang dia beli, tapi terserah lah, yang penting dia tidak secuek tadi. Sebenarnya aku heran dengan diriku sendiri, jarang-jarang aku melakukan hal jail seperti sekarang ini. Apalagi hanya untuk menarik perhatian orang.
"Sudah, sudah. Kalian kok jadinya bertengkah gini. Hesa, kamu duduk aja sini sama kami."
"Ogah, Bu. Yang ada telinga Hesa bakal berasap dengerin gosip ibu sama Ifah. Mending juga Hesa ngerjain tugas, meski nggak paham setidaknya nggak nambah dosa dengan ghibahin orang."
"Eh, eh. Mulut ni anak. Ibu dan Ifah tuh kalo ngeghibah bukan ghibahin orang, tapi ghibahin film, barang-barang dapur atau tanaman di depan rumah."
"Ya ya. Terserah Ibu, deh. Dah lah, Hesa pamit juseyeo."
"Eh? Eh? Juseyo apaan, Sa?"
"Tanya Ifah tuh, Bu. Paling dia paham."
Aku membulatkan kedua mata. Mana aku paham. Lagian, itu bahasa apa?
"Artinya apa, Nak Ifah?"
Aku gelagapan. Mas Hesa ada-ada saja, sih. "Ifah nggak tahu, Bu."
"Ya sudahlah. Nak Ifah, kamu istirahat, gih. Nggak capek apa daritadi duduk terus."
Aku terdiam sejenak untuk menimbang-nimbang usulan ibu. Sebenarnya aku bisa saja pergi istirahat, tapi mengingat ekspresi penolakan Mas Hesa sukses membuat aku mundur teratur. Sementara aku sibuk menimbang-nimbang, Mas Hesa ternyata sudah pergi duluan.
Mungkin ini kesempatanku juga untuk tahu, apakah benar dugaanku mengenai Mas Hesa yang menolak kehadiran bayi ini atau tidak. Oke.
Aku segera berpamitan dengan ibu dan menyusul Mas Hesa yang sudah berada di kamar. Berbagai kemungkinan kembali berkecamuk di dalam diriku. Aku terlalu takut dengan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika saja aku terlalu berani. Apakah aku harus bermasabodoh saja? Tapi hal itu justru akan semakin membuatku tidak tenang.
Oke, mari memberanikan diri Ifah.
Tok tok tok
Tak mendapat respon dari Mas Hesa, aku kemudian memutuskan untuk membuka pintu. Wajar saja jika Mas Hesa tidak mendengar aku mengetuk pintu, ternyata dia sedang sibuk bermain game di laptopnya. Tidak lupa dengan kedua telinga yang disumpal memakai earphone.
"Mas" panggilku. Namun, dia sama sekali tidak mengindakan panggilanku.
"Maas." Kali ini suaraku sedikit mengeras. Tapi Mas Hesa belum juga mendengarku.
Aku kemudian mencolek bahunya, barulah saat itu Mas Hesa menoleh sebentar lalu menjeda game yang dimainkannya.
"Kenapa?" tanyanya dengan kening mengerut.
Aku berdeham pelan seraya mencari pemandangan lain agar tidak bersitatap dengannya.
"Katanya lagi ngerjain tugas kok malah main game?"
Mas Hesa berdecak kemudian berniat untuk melanjutkan acara main game-nya. Ish.
"Lagi mumet, banyak tugas. Otak gue juga perlu di-refresh. Bisa gila gue kalo berhadapan sama tugas melulu."
Aku mmengerucutkan bibir, sepertinya mode sinisnya sedang dalam mode on. Tapi aku juga tidak mau mundur. Mumpung sekarang lagi berani, kalau kutunda bisa-bisa besok aku tidak berani lagi menanyakan satu hal yang cukup sensitif itu.
Ya ampun, Ifah. Memangnya apa yang kamu harap dari jawaban Hesa? Kalau dia senang menerima kehadiran bayi itu, ya untung. Kalau tidak, yang ada kamu yang gedek sendiri.
Mengigit bibit bawah, aku kemudian memanggil Mas Hesa lagi untuk kembali berfokus padaku. "Mas, aku mau tanya sesuatu."
"Apa?" Mas Hesa menatapku dengan tatapan malas.
"Mas nggak seneng aku hamil?" tanyaku pelan.
Mendengar pertanyaanku itu, ekspresi Mas Hesa langsung berubah drastis. Apa aku salah bicara? Sepertinya tidak.
Cukup lama aku menunggu jawaban Mas Hesa sampai betisku terasa kram. Saat aku menghentak-hentak pelan kakiku, barulah dia berdeham pelan.
"Nggak tahu, tapi rasanya gue belum siap jadi ayah."
Kakiku yang tadinya bergerak-gerak pelan perlahan berhenti, tepat saat itu pula Mas Hesa meninggalkanku. Dia keluar tanpa menunggu reaksiku atas jawaban menyakitkannya.
Jadi, apakah aku boleh menyimpulkan bahwa ... dia tidak menginginkan anak ini?
***
Hareudang hareudang hareudang /bacanya jangan bernada, please.
Wkwkwk
Santai, santai. Tarik napas dulu. Ini baru mau naik ke puncak gunung, belum apa-apa ini. Hahaha.
Btw, selamat berbahagia menyambut ulang tahun Indonesia yang ke 75. Di tempat kalian apa ada lomba? Lomba tarik ulur perasaan misalnya. Wkwk.
Tadi aku lihat ada lomba menatap foto mantan selama sejam. Wei, gokil. Haha itu mah nggak membangkitkan jiwa nasionalisme, tapi membangkitkan kenangan lama yang sudah dikubur dalam-dalam. Ceunah.
Guys, kalo klean nge-share ceritaku di IG klean, jan lupa tag akun IG-ku, ya. Nanti kurepos di IGS-ku. Yuhuuu.
Begimana part ini? Beneran hareudang atau B aja?
See you di part selajutnya :)
Lope,
Windyharuno
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top