17. Hamil? (2)
Aku baca semua komentar teman-teman semua di part kemarin, ya selamanya aku memang senang baca dan balas komentar para readers, kok. Cuma, ada yang mau aku jelasin perihal autor note di part kemarin, honestly itu aku nggak marah-marah, dan aku selalu sabar, kok. Kecuali pada komentar hate yang memang tidak bisa ditolerir. I miss my readers so much. Tapi bukan berarti aku menolerir semua sikap atau komentarnya padaku. :)
.
.
.
HESA'S POV
.
.
.
Gue mengikuti prosesi kulia online dengan tidak khidmat. Rasanya ... aneh banget. Bukannya konsen, gue malah mengantuk. Gila, sih, ini. Gue yang udah bego bisa-bisa jadi tambah bego. Ya Allah, maafkan prasangka ini.
Gue terus menatap Pak Ali yang menjelaskan materinya. Berusaha keras gue fokus, tapi nggak bisa, astaga. Bunyi kendaraan yang lewat di depan rumah, bunyi mesin tukang perbaikan rumah di samping rumah, sampai teriakan anak-anak dan ibu-ibu kompleks yang lagi beli sayur serta ikan bikin gue benar-benar pusing.
Gue melirik ke arah ponsel yang layarnya menyala. Diem-diem gue ambil benda tipis itu dan mengecek siapa yang mengirim pesan.Ternyata Adit.
Adit
Fokus woi
Gue menatap layar yang tepat menampilkan wajah cerah dan penuh semangat Adit, tapi dia masa bodoh dan justru fokus pada Pak Ali yang masih sibuk menjelaskan.
Adit tahu bangetlah gue tipikal yang nggak bisa fokus belajar kalau lingkungannya bising seperti sekarang ini. Beruntung Pak Ali tidak lama-lama memberi materi, hanya sekitar satu jam lebih, habis itu beliau langsung memberikan tugas.
Setelah kelas benar-benar selesai, gue langsung membalas pesan Adit.
Dit, beneran, deh. Baru sehari aja gue rasanya mau mati belajar kayak gini.
Adit
Lebay banget, sih. Lagian, ya. Mau gimana lagi. Ini cara teraman agar korona nggak nyebar.
Gue memutuskan nggak membalas pesan Adit. Gue lebih memilih untuk keluar dari ruangan kecil yang biasa ditempati ayah untuk bekerja dan menuju dapur untuk mencari camilan apapun yang ada di sana. Pertama-tama, gue membuka kulkas, namun yang gue temui hanya susu beruang dan dua kaleng coca-cola. Tentu gue lebih memilih coca-cola dibanding susu beruang yang hambar itu. Setelah gue mengubek-ubek isi kulkas, barulah gue membuka isi lemari yang lain. Sayangnya camilan yang tersisa hanya coco crunch milik Ifah. Ya, selain roti, dia ternyata senang ngemil coco crunch juga kalau nonton. Ya sudah, gue ambil itu saja. Lagian gue malas banget keluar rumah hanya untuk beli camilan. Mana kelas kedua mau dimulai pula.
Saat gue kembali ke ruang kerja ayah, gue berpapasan dengan Ifah yang kebetulan sudah bersiap-siap mau ke dokter bareng ibu. Dia kelihatan pucat, beda banget sama kondisinya kemarin-kemarin.
Gue mengangkat stoples coco crunch-nya saat kedua mata Ifah tertuju pada tanganku yang dua-duanya menggandeng makanan dan minuman sekaligus.
"Gue minta coco crunch lo, ya. Nanti gue beliin, deh."
Ifah tampak kaget mendengar ucapan gue, mungkin juga karena merasa nggak enak karena gue harus minta ijin segala. Maybe.
"Nggak pa-pa, kok, Mas," balasnya dengan nada pelan.
Gue tebak Ifah memang sedang dalam kondisi yang nggak baik-baik saja. Ketika otak gue berpikir demikian, refleks gue menatap pergelangan tangannya yang mungkin saja suda diapa-apain lagi. Tapi ternyata gue salah, nggak ada luka baru setelah kejadian itu. dia juga sudah menutupi pergelangan tangannya dengan handsaplast, yang membuat gue semakin yakin kalau sakitnya bukan karena luka di pergelangan tangannya.
"Nak Ifah, udah siap?"
Gue menoleh ke arah ibu yang terlihat sudah rapi. Ibu mendekat ke arah gue dan menepuk pelan bahu gue.
"Ibu dan Ifah pergi dulu, kamu belajar yang rajin. Dan ... jangan lupa berdoa, semoga Ifah benaran hamil." Gue sedikit menegang saat ibu mengucapkan kata hamil. Entah mengapa, otak gue masih menolak kemungkinan itu. Tapi, gue juga nggak bisa berbohong, kalau praduga mengenai kehamilan Ifah benar-benar membuat gue kepikiran. I mean, dengan keadaan gue sekarang ... sama sekali nggak ada bayangan kalau gue bakal jadi seorang ayah. Oh, my. Memikirkannya pun bikin gue merinding, bagaimana jika itu benaran terjadi? Apa kata teman-teman kampus gue kalau mereka tahu ... nantinya? Membayangkan mereka tahu gue udah nikah aja sukses bikin gue ketakutan, apalagi kalau tahu gue udah punya anak.
"Sa, kamu denger apa yang ibu bilang, nggak?"
"Eh? Kenapa, Bu?"
"Ibu bilang, ibu udah mau berangkat, dan kalau misal ibu belum pulang dan kamu udah laper, pesan online aja makanannya. Ibu dan Ifah belum sempat masak apa-apa soalnya."
Gue mengangguk cepat. "Oh, iya, Bu. Tenang aja."
"Ya udah, ibu berangkat. Assalamu'alaikum."
"Assalamu'alaikum, Mas."
"Emm, wa'alaikumussalam."
Gue menatap kepergian ibu bersama Ifah hingga pintu benar-benar ditutup rapat. Meninggalkan gue yang masih menatap pintu kokoh itu dengan perasaan yang campur aduk.
***
Sebenarnya tadi gue berniat untuk memesan makanan, tapi tiba-tiba ada chat dari Edel yang masuk dan ngajak gue makan di luar. Gue tahu, di masa pandemi ini warung masih serba tutup. Tapi Edel bersikeras mengajak gue makan di luar. Katanya dia sedang bosan di rumah. kebetulan banget gue juga lagi bosan banget sekarang, butuh penyegar mata dan batin.
Dan di sinilah gue sekarang, di sebuah warung kecil di pinggir jalan yang kebetulan masih buka. Untungnya Edel bukan tipikal cewek yang jijik kalau diajak makan di pinggir jalan, jadi di manapun itu asal dia suka sama menu yang dihidangkan, dia oke-oke saja. Dia juga pernah bilang ke gue kalau dia bisa makan di mana saja asal sama gue. Beuh, hati gue auto melayang-layang.
"Tahu dari mana lo kalau ada warung yang buka?" tanya gue ke Edel yang sedang melepas helmnya. Gila, lepas helm aja cantik banget.
"Bermodal yakin aja, sih. Karena gue yakin, kalau cuma buka warung yang jadi jalan satu-satunya buat nyari nafkah, sudah pasti yang punya bakal buka. Kalau nggak, mereka mau makan apa coba kalau nggak berusaha."
Gue mengangguk pelan, setuju dengan ucapan Edel. Selain cantik dan nggak jijikan, apa lagi coba yang bikin gue kagum sama cewek satu ini? Otaknya, otaknya tuh terbuka banget. Maksud gue, dia pintar dalam segala hal. Dan kadang, ucapannya bikin gue insight. Calon istri idaman banget, kan?
Kami memesan ayam geprek dengan sambal super pedas, plus es teh yang jadi minuman andalan di kala kepedasan. Di sini gue aja sih yang kepedasan, soalnya Edel itu penyuka pedas. Oh, gue menyesal menyuruh dia yang memesan di Mamangnya.
Setelah menyantap makan siang kami, gue dan Edel nggak berniat ke mana-mana lagi karena niat kita memang cuma makan habis itu pulang. Gue mengantar Edel pulang, dan selama di perjalanan gue sengaja melambatkan laju motor gue, padahal jalanan kali ini sepi banget. Ya, sekali-kali lah, karena pandemi ini juga, gue dan Edel jadi begitu jarang bertemu.
Tidak ada yang spesial selama di perjalanan, kami hanya bercerita tentang apa saja yang kami lakukan selama libur dan kuliah online. Hanya membahas hal itu, gue nggak henti-hentinya tersenyum hingga sampai di parkiran rumah. Berikut gue masuk ke dalam rumah dengan satu kantung kresek berisi dua bungkus coco crunch kesukaan Ifah. Iya, tadi di tengah perjalanan pulang, gue tiba-tiba ingat kalau gue menghabiskan coco crunch miliknya, jadi ya mumpung sedang berada di luar, tidak kusia-siakan kesempatan untuk membeli camilan itu.
Dengan perasaan yang lebih baik dari sebelumnya, gue membuka pintu yang tidak dikunci. Saat itu pula gue tersadar, kalau ibu dan Ifah pasti sudah pulang. Jantung gue kembali berdetak tidak normal, perasaan aneh kembali berkecamuk. Nggak tahu kenapa, firasat gue rasanya ... sedikit tidak enak.
Gue melangkah perlahan hingga menemukan ibu dan Ifah yang sedang mengobrol yang diselingi tawa di ruang TV. Sepertinya mereka tidak sadar kehadiran gue.
"Assalamu'alaikum."
Keduanya menoleh bersamaan.
"Waalaikumussalam."
Dengan langkah riang ibu kemudian menghampiri gue dan langsung memeluk gue dengan erat.
"Alhamdulillah. Selamat, Nak. Ifah positif."
Gue menegang. "Po-positif apa, Bu?" Korona?
Ibu melepas pelukannya dan menatapku dengan mata berbinar bahagia. "Positif hamil, Nak."
Gue belum bisa merespon ucapan ibu. Rasanya ... gue jadi nggak tahu harus bagaimana. Berita ini terlalu ambigu untuk gue respon dengan segera.
Ifah ... hamil?
***
Alhamdulillah, Ifah hamil.
Mana, nih, yang mendambakan ponakan online? Wkwkwk
Chukkae, akhirnya kalian jadi tante online. :D
Di sini ada cowok nggak? Kalo ada, selamat jadi om online. Haha
Luv luv,
windyharuno
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top