16. Hamil?
Itu yang suka baca tapi nggak ngasi vote dan komen sumpah dah, pelit banget orangnya. Hahaha.
Apa aku kudu kayak author lain, yang nggak apdet kalo nggak banyak yang vote?
Emang vote itu sebenernya buat apa, sih? Dikejar-kejar bahkan didewa-dewakan banget sama penulis wp. Sebenernya, ya, kalo mau jujur. Pembaca wp harusnya bersyukur banget karena bisa baca gratis cerita-cerita yang ada di platform ini. Nggak disuruh bayar kecuali cerita itu emang masuk di paid story. Cuma vote loh, ini. Gratis pula. Cuma ngandelin jari dan kuota. Wkwkwk.
Tapi, ya udah, sih. Cuma nyampaiin apa yang ada dipikiranku ajah. Bye.
.
.
.
IFAH'S POV
.
.
.
Sudah satu bulan lebih sejak aku meminta Mas Hesa untuk menerima keberadaanku, tapi dia masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berubah dan berusaha. Aku juga tidak bisa memaksakan kehendaknya. Sekarang terserah dia. Aku sudah memberinya pilihan jika memang dia benar-benar ingin tahu siapa aku sebenarnya. Mungkin terdengar egois untuk sebagian orang, apalagi posisi kami sekarang ini adalah suami dan istri yang normalnya akan saling bertukar cerita mengenai kisah hidup masing-masing. Tapi kita tidak bisa menyamaratakan semua orang, aku punya batasan sendiri yang harus dituruti jika memang ingin membuka lembaran cerita masa laluku. Bukankah semua orang punya batasannya sendiri? Yang jika dilanggar, tentu akan membuatnya kesal atau marah.
"Ifah. Ayo, Nak. Sarapan dulu," panggil ibu yang sudah pasti berada di ruang makan.
Sebelum bangkit, aku terlebih dahulu melirik ke arah jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul tujuh lebih tujuh belas menit. Menghela napas pelan, aku kemudian mencoba bangkit dari kasur, namun kepalaku tiba-tiba rasanya sangat sakit. Apakah anemia-ku sedang kambuh?
Sambil berjalan menuju kamar mandi, kupijat kepalaku sedikit lebih keras. Namun, hal itu sama sekali tidak membuahkan hasil. Segera kunyalakan keran dan membasuh wajahku yang terlihat pucat. Tidak lama, karena rasa pusing kembali membuat kepalaku seperti mau pecah, kedua tanganku refleks bertumpu di pinggiran wastafel.
Seingatku, tidak pernah separah ini jika anemia-ku sedang kambuh.
Aku keluar dari kamar dan menuruni tangga dengan tertatih. Perasaanku kali ini benar-benar aneh. Bahkan aku sampai bangun kesiangan dan membiarkan ibu membuat sarapan sendiri.
"Nak Ifah? Ayo, sini."
"Bu, maafin Ifah karena bangunnya telat banget," ucapku dengan penuh rasa bersalah.
Ibu tersenyum lebar ke arahku. Piring yang kemudian ada di tangan ibu diisi dengan dua lembar roti yang sudah diolesi dengan selai cokelat. Piring itu lalu diserahkan padaku, tentu dengan senyuman di wajahnya.
Aku tersenyum canggung tapi tetap menerima piring yang disodorkan ibu. Tidak enak juga jika menolaknya.
"Tidak apa-apa, Nak. Lagipula kamu bukan mau ke sekolah, jadi meski bangun telat pun, ya, nggak masalah."
"Ibu pilih kasih. Giliran Hesa yang telat bangun malah disiram pake air. Garis bawahi, ya, Bu. Meski Hesa libur."
Aku, ibu dan ayah terkekeh mendengar ocehan Mas Hesa.
"Kamu kan cowok, ya beda lah."
"Bedanya di mana, Bu?"
"Kamu cowok, harus rajin bangun pagi. Nanti kalo kamu udah kerja, masa mau telat terus bangunnya."
Mas Hesa menghela napas berat, sepertinya masih belum bisa menerima. "Cewek selalu benar," gumam Mas Hesa namun masih bisa tertangkap oleh indera pendengaranku.
"Apa kamu bilang?"
"Semua cewek sama aja, Bu. Sama-sama cantik."
"Iya lah, semua cewek emang cantik."
Kali ini, Mas Hesa benar-benar diam. Tentunya setelah mendapat kode dari ayah kalau dia harus berhenti. Mungkin untuk menyadarkannya juga, bahwa cewek tidak mudah dikalahkan untuk urusan adu mulut.
Pertama-tama, hal yang kulakukan setelah menerima piring berisi dua lembar roti pemberian ibu adalah meminum air putih hingga tandas. Baru setelah itu, aku memotong kecil roti yang ada di hadapanku kemudian memasukkannya ke dalam mulut. Mengunyah dengan pelan, aku mencoba menikmati rasa manis dari selai cokelat yang sudah diolesi di atas roti itu. Namun, saat ingin kutelan, rasa pahit tiba-tiba terasa juga oleh lidahku. Aku mengernyit merasa aneh, dan sepertinya hal itu tak luput dari pandangan ibu.
"Kenapa, Nak?"
"Ah, itu, Bu. K-kok rotinya kayak pahit, ya?"
Ibu tampak kaget mendengar ucapanku. Aku kemudian buru-buru menuang air lagi ke dalam gelas lalu meneguknya.
"Rasanya nggak pahit, kok, Nak," jawab ibu. "Apa selainya atau rotinya yang sudah expired, ya?"
Ayah mengambil selai cokelat yang ada di hadapannya lalu mencari tanggal kadaluarsanya. "Loh, belum, kok. Kadaluarsa tahun 2022."
Semuanya kemudian menatapku dengan tatapan aneh. Aku terang saja merasa aneh juga. Apa aku yang salah?
"Kamu kelihatan pucat, Nak. Kamu sakit?"
Aku menatap ibu yang juga tengah menatapku dengan tatapan khawatir.
"Aku ... rasanya cuma sedikit pusing, Bu."
"Ya ampun, kamu sakit berarti. Kenapa nggak bilang, Nak? Kita ke dokter, ya?"
Aku buru-buru menolak, paling-paling anemia-ku yang kabuh. Minum obat penambah darah saja pasti pusingnya hilang. Ibu hanya terlalu khawatir.
"Nggak usah, Bu. Paling anemia Ifah yang kambuh. Minum obat penambah darah aja nanti pusingnya bakal reda."
Dari raut wajah ibu, tampak sekali kalau beliau masih mengkhawatirkan aku. Tapi aku memaklumi, karena memang orang di rumah ini belum ada yang tahu terkait anemia yang memang kuderita.
"Tapi ... kok, Ibu curiga, ya?"
"Curiga kenapa, Bu?" tanyaku sedikit ciut.
Tatapan ibu beralih ke arah Mas Hesa yang sedang mengunyah rotinya. Pun dengan ayah. Hal itu membuat Mas Hesa berhenti mengunyah dan menatap balik ibu dan ayah secara bergantian.
"Ibu dan Ayah, kenapa, deh? Bikin takut aja," sahut Mas Hesa.
Ibu melipat kedua tangannya di atas meja makan lantas menatap Mas Hesa dan aku secara intens. Melihat ekspresi ibu sukses mengingatkanku pada sosok papa jika sedang ingin memarahiku. Ah, jadi kangen papa, kan.
"Nak Ifah," panggil ibu dengan nada rendah. Jujur, aku sedikit merinding mendengarnya.
"I-iya, kenapa, Bu?"
"Terakhir datang bulan kapan?"
Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan ibu. Tapi dengan begitu, aku pun berusaha mengingat-ingat, kapan terakhir kalinya aku datang bulan. Seingatku, bulan lalu aku tidak datang bulan.
"Kayaknya sebulan yang lalu, Bu."
Ibu meluruskan punggungnya mendengar jawabanku. Berikut, ibu beralih menatap ayah. Mereka bertatapan seolah sedang membicarakan sesuatu melalui tatapan mereka. Tapi aku tidak paham. Mungkin itu adalah isyarat mereka, jadi hanya ibu dan ayah yang paham.
"Haduuh, masih pagi banget, nih, Bu. Ada apa, sih? Bikin negative thinking aja," ujar Mas Hesa sambil menatap ibu dengan tatapan kesal.
"Kalian berdua sedang mengusahakan memiliki bayi?" tanya ayah dengan satu alis terangkat.
Aku dan Mas Hesa refleks menggeleng bersamaan.
"Tapi kenapa ciri-ciri Nak Ifah mirip-mirip seperti orang yang lagi ... hamil, ya?"
Aku tersentak mendengar ucapan ibu. Apa? hamil? Aku? Sejak kapan?
Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, hingga ibu berinisiatif mengajakku ke dokter kandungan untuk mengecek apakah dugaannya benar atau salah. Tapi aku bersikeras menolak, bahwa ibu pasti salah duga. Mana bisa aku hamil sementara ... aku dan Mas Hesa jarang bertemu. Bertemu pun kadang tidak saling bicara. Jangankan berbicara, kontak mata pun sangat jarang. Bagaimana bisa aku ... oh, ya ampun. Apa kejadian waktu itu?
Aku melirik Mas Hesa yang saat itu juga tengah menatapku. Sepertinya apa yang ada di pikiranku juga terlintas di pikirannya.
***
Omo omo, apakah benar Ifah hamil?
Hmmm.
Btw, sebenarnya kemarin mau apdet ini, tapi pas di akhir-akhir nulis, tiba-tiba mood-ku anjlok. Jadilah apdetnya hari ini, deh. Wkwkwk
Semoga masih pada betah, ya, di lapak ini.
Luv,
windyharuno
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top