15. Hal besar?
Minal aidin wal faidzin, readers kesayangan akuh.
Masih ada daging kurban, kah?
.
.
.
HESA'S POV
.
.
.
Gue menatap Ifah yang sudah meninggalkan gue dengan berbagai macam perasaan. Marah, kesal dan ... merasa tidak dihargai. Ternyata dia nggak sepolos dugaan gue. Dia benar-benar pintar mainin perasaan orang, termasuk perasaan gue. Aku masih ragu untuk berbagi dengan orang yang tidak bisa menganggapku ada. Hah. Demi apapun, gue nggak pernah kepikiran bahwa dia bakal bilang kayak gitu. I mean, di sini gue nyoba care sama dia ... dan dia berlagak kayak orang lain ke gue.
BAM
Kayaknya malam ini gue nggak bisa tidur di kamar. Mending gue ambil jeda dan tidur di kamar tamu.
***
Hari ini, gue berinisiatif pengin ketemuan sama Adit. Gue bakal cerita habis-habisan kekecewaan gue sama Ifah. Gue tahu kelakuan gue sama dia selama ini nggak bisa dia terima, tapi bisa nggak sih dia nyoba nerima perlakuan baik gue ke dia? Maksud gue, kenapa coba dia harus membatasi diri dengan gue?
Dan karena gue pusing mikirin hal itu, di sinilah gue sekarang, di kamar Adit yang sibuk banget mengumpat karena gue ganggu waktu tidurnya. Ngomong-ngomong, sekarang sudah pukul delapan pagi, dan gue emang ngaku kalau ini kepagian banget buat gue bertamu. Tapi toh mamanya Adit nerima gue, jadi nggak masalah berarti.
"Kurang ajar banget emang lo, Sa. Ngapain, sih pagi-pagi banget lo udah nangkring di sini?"
Gue mengunyah roti tawar yang dikasi mama Adit tadi sebelum gue berada di kamar yang lebih mirip kapal pecah ini. Gue nggak peduli sama ocehan dia, karena sebentar-sebentar dia juga bakal nimbrung sama ocehan gue.
"Sa, sekarang tuh lagi korona. Lu malah asyik-asyik bertamu ke rumah orang? Dih," ujar Adit sewot.
Gue menelan roti dengan khidmat, kemudian dengan santai mengibaskan tangan ke arah Adit yang sibuk memperbaiki sprei dia yang acak-acakan.
"Ya ampun, yang penting kan gue nggak kena korona, Dit. Serius amat etdah."
"Siapa yang bisa menjamin kalo lo nggak korona? Lagian ngada-ngada aja deh. Kuliah aja diadain pertemuan online, eh dia malah kelayapan."
"Gue ke sini juga karena ada tujuan penting, ya. Kalau nggak juga ya gue ogah. Mending gue tiduran di rumah, main game."
"Kirain main sama Ifah," timpal Adit dengan mulut laknatnya.
Gue berdecak malas. Apa-apaan dengan pikiran si Adit. Lagipula, cukup sekali gue khilaf ngelakuin itu sama Ifah. Ah, ngapain juga, sih, Adit ngingetin gue sama kejadian itu?
"Kenapa lo? Gue bener, ya?"
Sebelah alis gue naik. Malas banget sebenarnya, tapi gue memang belum cerita apa-apa ke Adit perihal gue yang ... udah melakukan hal itu sama Ifah. Gue tahu, kalau urusan kamar sepasang suami istri baiknya dirahasiakan. Tapi, gue nggak bisa nahan buat ngga cerita karena gue ngerasa kejadian itu merupakan suatu kesalahan yang ... nggak bisa gue simpan sendiri. Lagipula, gue percaya sama Adit. Meski mulutnya kadang paling terlaknat, dia bisa jaga rahasia. Termasuk rahasia gue.
"Kalau iya, kenapa emang?" ujarku sarkas.
Adit yang tadinya sibuk merapikan bantalnya pun refleks menatap ke arah gue. Yep, tentu dengan ekspresi tidak percayanya.
"Serius lo? Tadi malam lo–"
"Bukan tadi malam, sih. Lebih tepatnya dua hari yang lalu," sela gue.
Adit menatap gue dengan tatapan menggoda. Tak lupa senyum mengejeknya yang pengin banget gue tampol.
"Bukannya lo ngga demen sama Ifah. Cih, dasar. Munafik banget, Saaa, Saa."
"Gue khilaf, ya. Gue bener-bener nggak ada niat buat ... ngelakuin itu sama dia. Gue mabuk dan–"
"Omg, ternyata waktu lo mabuk? Hah. Tapi, gue bersyukur, sih. Setidaknya lo ngelakuin sama pasangan halal lo. Gue ngga bisa bayangin kalau lo sampai ngelakuin hal itu dengan cewek lain. Auto dicoret lu dari kartu keluarga." Adit tertawa. Iya, tertawa yang menyebalkan di mata gue. "Eh, tapi. Bukannya bagus lo ngelakuin itu sama Ifah? Berarti cita-cita emak bapak lo bisa segera terwujud, dan gue bisa segera jadi om. Terus kenapa muka lo nggak ikhlas gitu dah."
Gue menyenderkan punggu di sandaran kursi belajar Adit. Demi apapun niat gue ke sini sebenarnya bukan mau ngomongin ini, ada hal lain yang pengin gue bicarain, ini malah belok ke arah lain.
"Gue nggak keberatan karena gue ngelakuinnya ngga dalam keadaan sadar."
"Serius lo nggak inget apa-apa?"
"Gue cuma inget pas–"
"Stop, stop, stop. Lo nggak perlu ngejelasin sedetail itu juga kali." Adit masuk ke dalam kamar mandi lalu keluar dengan wajah lebih fresh karena habis cuci muka. "Oke, jadi niat lo ke sini sebenarnya buat nyeritain ini?"
"Ya, enggak. Ada hal yang lebih penting."
Adit berdecak pelan. Dia lalu memilih duduk di sisi ranjangnya, bersiap mendengarkan curhatan berfaedah gue kali ini.
"Oke, lo bisa mulai."
Gue menopang dagu di atas tangan gue yang terlipat di bawah dada. Dengan ekspresi serius, gue menatap Adit yang sudah kemudian bergerak mengambil ponselnya di atas nakas.
"Lo inget kan, ketemu Ifah di hotel sama cowok yang nggak lo kenal?"
"Jelas lah, Sa. Itu kejadiannya masih kemarin. Masa gue udah lupa."
"Nah, karena gue penasaran, gue beraniin nanya ini itu ke Ifah, tapi lo tahu nggak respon dia kayak gimana?"
"Gue yakin dia nggak mau bilang ke lo," tebaknya.
Kening gue mengernyit dalam. Kok Adit bisa tahu? Apakah diam-diam dia adalah seorang cenayang?
"Kok lo tahu?"
Adit kemudian mendongak menatap gue yang masih mengernyit bingung. "Gue cuma nebak aja, sih. Soalnya, dari yang gue perhatiin. Ifah itu tipe cewek yang emang sulit buat dijangkau. Maksud gue, dia itu nggak mudah terbuka sama orang yang nggak dia kenal."
"Nggak dia kenal? Emang dia nggak kenal sama gue? Maksud gue gini, gue kan suami dia."
"I know, lo itu suaminya. Tapi lo tahu nggak bedanya antara orang yang kita kenal dan orang yang kita tahu?" Gue semakin bingung sebenarnya, jadi gue memilih diam. "Orang yang kita kenal itu, orang yang kita tahu semua luar dalamnya. Maksud gue, luar dalam itu ... dia udah bener-bener kenal orang itu. Baik buruknya, hal ternista dan sebagainya yang ada di diri lo. Sementara orang yang kita tahu, ya sekadar tahu aja. Sama kayak posisi lo sekarang sama Ifah. Ifah cuma tahu lo sebagai suaminya, dia nggak kenal lo yang sebenarnya. Why gue bilang kayak gini? Karena lo sengaja bikin space dengan Ifah, yang notabene adalah istri lo sendiri."
Gue menghela napas panjang, agak frustrasi rasanya mendengar penjelasan Adit. "Dia emang ngomong sesuatu, sih, ke gue."
Adit yang tadinya sibuk melihat sesuatu di ponselnya, otomatis menatap gue. "Dia bilang, dia masih ragu buat berbagi sama orang yang nggak bisa nganggep dia ada. Ambigu banget nggak, sih? Nggak nganggep dia kek gimana? Untung-untung kemarin gue cepet sampai rumah, kalau nggak, gue nggak tahu mau bilang apa."
"Maksud lo?"
"Dia ngiris pergelangan tangan dia, Dit. Gila nggak tuh?"
Adit menaruh ponselnya di samping, fokusnya kemudian penuh ke arah gue. "Dia nyakitin dirinya sendiri? Kok gitu?"
"Ya mana gue tahu, Dit. Makanya gue rada pundung karena dia menutupi semuanya dengan rapat. Gue bahkan nggak bisa menerka-nerka karena dia bener-bener ambigu di mata gue."
Adit tediam sejenak. Sepertinya dia berusaha mencerna apa yang baru saja gue ucapkan. See? Dia saja sampai nggak tahu mau bilang apa, gimana gue coba? Yang tiap hari harus menghadapi sikap anehnya itu.
"Dia nyakitin diri sendiri. Hmmm, bentar. Apa ini pertama kalinya dia kayak gitu?"
"Nggak tahu, soalnya baru pertama kali ini gue ngelihat dia kayak gitu. Tapi ... gue pernah nemu lebam di jidatnya. Apa dia jatuh dan terbentur, gue nggak tahu. Cuma, gue curiga aja ... dia yang sengaja bikin lebam itu."
"Wah, sepertinya Ifah menyembunyikan hal yang besar, Sa."
"Hm, i think so. Apa ini ada hubungannya sama cowok yang di hotel itu?"
"Maybe."
***
Hey hooo.
Kira-kira ada hal besar apa, ya, yang disembunyikan Ifah.
Ada yang bisa nebak? Hihihi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top