14. Belum bisa percaya

Mungkin ini part terakhir yang kuapdet sampai lebaran usai, ya.

Muuungkiiiin. Soalnya, kalo lebaran tuh (meski idul adha), udah tradisi di rumah orang-orang bakal sibuk banget. Hhhh.

.

.

.

IFAH'S POV

.

.

.

Mendengar Mas Hesa akan meminta jawaban atas banyak pertanyaannya sukses membuatku berkali-kali menarik napas panjang. Rasanya ... aku belum siap untuk membagi cerita kelam yang pernah kualami. Apalagi kepada Mas Hesa. Aku tahu, Mas Hesa adalah suamiku. Dia berhak tahu, tapi aku juga tidak mau dihakimi jika dia tahu yang sebenarnya. Ah, memikirkannya saja sudah berhasil membuatku ketakutan.

Sekarang jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dan posisiku saat ini pun sudah berada di kamar. Berkali-kali pula aku melirik ke arah pintu, tapi Mas Hesa tak kunjung datang. Apakah dia tidak ingin tidur di kamar ini karena ada aku?

Karena penasaran, aku pun memutuskan untuk keluar dan mencari keberadaan Mas Hesa. Cukup lama aku mencarinya, hingga samar kudengar suaranya berasal dari taman belakang. Sepertinya, dia sedang berbicara dengan seseorang.

Aku semakin mendekat dan mencoba mendengar dengan siapa Mas Hesa berbicara.

"Ya ampun, ribet banget, Dit. Malesin banget tau kalo kudu kuliah online. Gimana, sih," keluh Mas Hesa.

"Ya lo pikir gue juga mau? Anak-anak yang lain juga mau? Kagak lah."

"Si Yasa bisa kali bujuk dosen biar nggak usah adain kuliah online. Sumpah, ya. Gue kuliah di kelas aja kadang otak buntu, gimana kalau sampai kuliah online coba? Demi Allah, bukannya gue tambah pinter malah tambah bego."

Aku tersenyum tipis mendengar keluhan Mas Hesa. Ah, sekarang bumi memang sedang tidak baik-baik saja. Dan semua kebiasaan lama harus ditinggalkan untuk kebiasaan baru. Entah sampai kapan.

"Berarti gue jarang ketemu sama Edel, dong?"

Deg.

Senyumku perlahan menghilang mendengar nama perempuan itu disebut. Ternyata, peringatan yang diberikan oleh ibu dan ayah tidak membuat Mas Hesa mundur. Hal itu membuatku bertanya-tanya, apakah sudah tak ada ruang lagi untukku di hati Mas Hesa?

"Lupain Edel, Sa. Mending lo deketin Ifah dan tanya ke dia tentang kejadian tadi siang di hotel. Sumpah, ya. Apa lo ngga penasaran?"

"Tadi gue udah coba mau nanya ke dia, tapi ibu keburu nelpon dan otomatis fokus gue teralihkan. Sekarang gue juga mau nanya-nanya, tapi Ifah keburu masuk kamar."

"Ya lo samperin lah. Gimana, sih."

"Dia udah tidur kali."

"Alesan aja lo."

"Udah, ah. Anak baik mau tidur, nih."

"Anak baik. Bilang aja lo mau nelpon Edel."

"Hahaha. Bye."

Mendengar Mas Hesa memutuskan panggilan dengan Mas Adit, aku buru-buru kembali ke kamar sebelum ketahuan habis menguping pembicaraan mereka.

Perlahan, kudengar langkah kaki yang semakin mendekat ke arah kamar. Aku berpura-pura menutup mata, lalu kudengar pintu kamar dibuka dengan pelan. Aku yakin itu Mas Hesa.

"Fah, lo udah tidur?"

Aku tidak bergeming. Sengaja, aku belum terlalu percaya diri untuk ditanya-tanya sama Mas Hesa. Tunggulah, sampai aku benar-benar siap. Tapi, entah kapan.

Mas Hesa menghela napas pelan lalu kudengar langkah kaki yang semakin menjauh dan akhirnya pintu pun ditutup.

Sedikit-sedikit mataku terbuka dan mencari keberadaan Mas Hesa. Namun, tak kutemui sosoknya. Mungkin dia keluar. Tapi, kembali ... aku teringat dengan ucapan Mas Adit tadi mengenai Mas Hesa yang akan menelepon Edel. Apakah sekarang Mas Hesa benar-benar menelepon perempuan itu?

Aku menghela napas panjang, kutatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Pertanyaan kenapa hidupku seperti ini kembali menghujami otakku. Apa kesalahanku sampai Tuhan memberikan cobaan ini? Apa aku diciptakan memang tidak untuk bahagia?

Perlahan aku menyingkap selimut dan berniat untuk mengambil air minum di dapur. Kali ini, aku benar-benar tidak berniat untuk tahu atau bahkan menguping pembicaraan Mas Hesa. Namun, sepertinya aku salah, karena tepat saat aku melewati dapur, kudengar suara Mas Hesa yang berbicara dengan seseorang. Tapi aku berusaha tidak peduli dan meneruskan langkah menuju dapur.

Perasaanku benar-benar tidak keruan sekarang. Kesal, marah dan pengin menangis rasanya. Ah, aku ini kenapa sensitif sekali, sih?

"Oke, Del. Sampai jumpa nanti. Hahaha."

Buru-buru aku menuangkan air ke dalam gelas yang baru saja kuambil saat mendengar Mas Hesa tiba-tiba mengakhiri perbincangannya. Setelah itu, aku berjalan cepat meninggalkan dapur. Hingga aku menggapai anak tangga kedua, suara Mas Hesa membuatku berhenti seketika.

"Loh, habis ngapain lo?"

Aku berbalik dengan gerakan yang kaku dan dengan refleks gelasku terangkat sedikit untuk memberitahunya bahwa aku baru saja habis mengambil air minum.

Kepalanya mengangguk sekilas dan hal itu membuatku kembali berbalik dan berniat untuk meninggalkannya.

"Gimana tangan lo?"

Aku berbalik lagi seraya menatap pergelangan tangaku yang dibalut dengan kain kasa itu. "Sebenarnya, ini biasa saja. Tapi Mas terlalu berlebihan sampai mengobati segala."

Kulihat kening Mas Hesa mengerut. "Apa lo bilang? Berlebihan? Fah, kalo gue nggak dateng, gue nggak tahu gimana nasib lo saat itu."

"Aku biasa melakukannya, Mas. Dan aku tahu, tidak akan bisa mati semudah itu."

Mas Hesa mendecih. "Apa lo bilang? Udah sering melakukannya? Lo sering nyakiti diri lo sendiri?" tanya Mas Hesa dengan nasa sarkas.

Aku sedang malas berdebat, maka dengan segera aku berbalik dan meninggalkan Mas Hesa yang masih bertanya-tanya. Tapi, ternyata aku salah menanggapi Mas Hesa. Dia tidak semudah itu untuk diabaikan. Karena setelah aku memilih untuk mengabaikan semua rasa penasarannya, dia lantas bertindak cepat dengan cara menghadang langkahku.

"Udah gue bilang, kan? Lo itu berutang banyak jawaban atas semua pertanyaan yang muncul di benak gue."

Aku menatap ke arah lain. "Mas, aku ngantuk."

"Bo'ong banget."

Aku bergeser ke kanan ingin lewat, tapi dia kembali menghadang. Pun saat aku bergeser ke kiri, dia juga ikut bergeser.

"Mas, aku benar-benar ngantuk."

"Tapi matamu kelihatan nggak ngantuk."

"Jangan berspekulasi sendiri, Mas. Aku yang rasakan."

Mas Hesa menghela napas panjang dan akhirnya membiarkanku lewat.

Sejujurnya, aku bersyukur karena ternyata Mas Hesa masih mempunyai rasa empati terhadapku. Tapi, aku benar-benar belum bisa mengungkapkan semuanya. Aku berpikir, Mas Hesa belum tahu saja dengan keadaanku yang dulu sudah sering abai dengan kehadiranku. Bagaimana jika dia tahu semuanya?

Terserah jika ada yang ingin menganggapku pecundang. Tapi berada di posisi seperti sekarang ini benar-benar tidak mudah.

Aku tahu, kebanyakan orang-orang hanya pandai menghakimi perasaan orang lain tanpa tahu bagaimana rasanya bila berada di posisi itu. Tidak heran jika orang-orang tanpa empati itu, hanya bisa hidup dari kesengsaraan orang lain.

"Jika Mas benar-benar ingin tahu siapa aku yang sebenarnya. Maka, Mas harus meninggalkan perempuan itu. Dan belajar menerima aku seutuhnya."

"Hah? Apaan, sih, lo?"

"Aku masih ragu untuk berbagi dengan orang yang tidak bisa menganggapku ada."

***

Fiuhhhh.

Bingung aku tuh mau nulis apa. wkwkwk.

Gimana tahun ini? Ikut kurban sapi atau kurban perasaan? :')

Sampai jumpa di part selanjutnya J

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top