11. Laki-laki yang bersama Ifah
Hai, adakah?
.
.
.
HESA'S POV
.
.
.
Saat ini gue lagi sibuk ngunyah bakso di kantin. Pagi-pagi sekali gue sudah ngacir duluan ke kampus. Tentunya tanpa sarapan dulu di rumah. Setelah apa yang terjadi di antara gue dan Ifah, gue benar-benar mengunci diri dari dia. Sementara dia ... gue nggak tahu kenapa dia bisa sesantai itu setelah gue melakukan itu padanya. Jujur, itu kali pertama buat gue dan ... gue nggak pernah terbayang bakal ngelakuinnya sama orang yang nggak gue cintai. For God sake.
"Woi, pagi bener dah lo di sini? Mana udah nyicip bakso aja."
Gue menoleh sekilas dan melihat Bima sudah mengambil posisi di kursi seberang gue. Males banget sebenarnya ketemu sama dia. Apalagi setelah semalam dengan bodohnya dia bawa gue pulang dalam keadaan mabuk. Hanya saja gue ngga punya wewenang untuk melarang dia datang ke kantin. Kantin adalah hal semua mahasiswa.
Menghela napas pelan, gue beralih menatap dia sepenuhnya. "Kenapa emangnya?"
Dia terkekeh. "Ya nggak pa-pa, sih. Hanya saja, gue kepikiran kok bisa lo sepagi ini bangunnya? Seinget gue lo kan sempet mabuk."
"Siapa yang mabuk?"
Gue menoleh cepat pada orang yang berdiri tepat di sampingku. Di sana sudah ada Adit dengan tampang penuh tanya.
Mampus gue.
Selama gue temanan sama Adit, nggak pernah sekalipun dia ngajak gue buat minum-minuman beralkohol. Yang ada dia selalu mengingatkan gue buat ngejauhi yang namanya minum minuman keras seperti itu. Tapi sumpah, yang semalam itu gue beneran khilaf.
"Hesa lah, Dit. Ckck, ternyata dia jago juga minumnya. Meski dia katanya baru pertama kali, tapi dia patutlah diacungi jempol. Oh, iya. Sayang banget sih lo nggak ikutan," tambah Bima dengan semangat.
Beneran, gue jadi nggak napsu lagi buat ngabisin makanan gue.
"Sorry, gue nggak minum."
"Lo kudu coba sekali-kali, Dit. Hesa aja udah."
"Di agama gue ngelarang minum minuman beralkohol, sorry."
"Cielah, sok suci banget sih, Dit."
"Gue bukan sok suci, sih. Tapi itu udah peraturan dari agama gue."
"Gue juga islam. Tapi nggak ketat-ketat amat kayak lo."
"Ketat gimana? Setahu gue yang namanya islam itu ngelarang minum minuman beralkohol."
"Gue tahu, tapi–"
"Nah, itu lo tahu," sela Adit cepat. "Sa, ikut gue dulu. Gue mau ngomong bentar. Makannya lo lanjut aja nanti, atau gue yang traktir deh ntar."
Gue tahu pasti Adit mau sidang gue, nih. Tapi ya sudah lah. Gue terima.
Gue pamit ke Bima dan mengikuti langkah Adit. Adit berhenti tepat di taman sebelah perpustakaan yang kebetulan banget lagi sepi, seolah tahu kalau gue bakal disidang di sini.
Gue ikutan duduk saat Adit sudah duduk lebih dulu. Sebenarnya gue nggak takut sama Adit, terserah dia mau marah-marah, nonjok gue, nggak takut gue. Gue cuma ... ngerasa bersalah aja karena memang dulunya gue pernah berjanji kalau nggak akan pernah menyentuh yang namanya hal-hal yang diharamkan dalam agama gue. Kata Adit waktu itu, kita boleh berbaur sama siapa saja, tapi kita harus tahu batasan antara yang diperbolehkan dan juga terlarang. Meski tampangnya guyon dan urakan, dia itu bagai ustad di kala gue hilang arah. Selalu memberi petunjuk dan pencerahan. Mungkin hal itu juga kali yang bikin gue betah sahabatan sama dia.
"Yang dibilang Bima bener, Sa?" tanyanya langsung tanpa basa basi.
Gue menghela napas pelan seraya mengangguk cepat. Percuma juga gue bohong, kan?
"Ya, itu bener. Sumpah, Dit. Gue bener-bener khilaf."
"Lo khilaf kenapa, deh. Sok-sokan banget khilafnya. Khilaf makan bakso kek, atau susu beruang aja dah. Ini minum alkohol segala. Tabungan pahala lo dah banyak emang? Udah tumpah ruah? Sampai melarikan diri ke kelab segala."
"Udahlah, Dit. Dah terjadi juga. Nanti gue tobat."
Adit mendengus pelan. "Emang kenapa sih lo tiba-tiba banget mau ke klab?"
"Nggak tahu, ntar gue tanya syaiton yang terkutuk karena udah ngegoda gue sampai berhasil bikin gue terjebak di sana."
"Sahabat banget ya lo sama syaiton sampai mau nanyain segal?" Adit berdecak. "Gue nggak percaya kalo secara tiba-tiba banget lo mau ke kelab tanpa alasan yang jelas. Please lah, gue–"
"Gue kesel karena ibu dan ayah minta gue jauhin Edel," sela gue cepat.
Adit terdiam sejenak. Mungkin lagi berusaha mencerna apa yang baru saja gue ucapin. "Lo ... ngelakuin itu karena ayah ibu lo minta lo jauhin Edel?"
Gue nggak menjawab, nggak juga mengangguk. Gue tahu kok alasan gue terlalu ... nggak bisa diterima, tapi kenyataannya memang kayak gitu.
"Astaga, Sa. Hahaha."
Udahlah, biarkan Adit songong itu ngetawain gue. Bodoh amat. Terserah dia.
Beberapa menit tertawa, Adit akhirnya menyeka air mata yang keluar dari sudut matanya.
"Ntar gue ke rumah lo, ya."
Kening Adit langsung mengerut. "Ngapain?"
"Nyokap bokap gue lagi nggak di rumah."
"Lah, kan ada Ifah. Lo mau biarin dia sendiri di rumah lo?"
"Ya kan gue nggak bilang mau nginep juga. Nanti gue balik, kok."
"Ya udah."
***
Gue bersyukur banget dosen di mata kuliah kedua nggak masuk. Soalnya mata gue sekarang nggak bisa banget diajak kompromi. Kalau saja di sini nggak ramai, gue pasti sudah rebahan terus melayang ke alam mimpi.
"Jadi ke rumah gue nggak?" tanya Adit yang tiba-tiba udah berada di samping gue lengkap dengan tas ranselnya.
"Iya, jadi." Gue kemudian ikut menyampirkan ransel gue di bahu. "Lo bawa motor?"
"Iya. Why?"
"Gue ikut lo aja lah. Ngantuk banget nih gue, bisa-bisa nabrak tiang kalo dipaksain nyetir sendiri."
Adit nggak banyak ngomong lagi. Dan gue berhasil nitip motor gue ke pak satpam biar dijagain. Nanti sore gue ambil sehabis dari rumah Adit.
Sesampainya kita di rumah Adit. Adit langsung nyuruh gue masuk ke dalam rumah sementara dia mau pergi sebentar untuk jemput adiknya yang lagi ada acara di sebuah hotel yang gue nggak tahu namanya. Gue langsung aja masuk karena kata Adit, mama papanya ada di dalam. Jadi, gue ngga perlu nungguin dia untuk bukain pintu.
"Loh, Nak Hesa? Yuk, masuk."
"Iya, Tante."
"Adit udah pergi ngejemput adiknya, kan, Nak?"
"Iya, Tante. Tadi dia cuma nurunin Hesa di depan terus dia jemput Naina."
Tante Raya mengangguk pelan. Dan gue lantas pamit mau ke kamar Adit. Rebahan dan kalau bisa langsung tidur. Nggak main-main, saat ini gue benar-benar ngantuk.
Gue menatap langit-langit kamar Adit saat gue sudah merebahkan diri di atas kasurnya. Napas gue tenang dan siap banget menuju alam mimpi.
***
"Sa, ya Allah. Dah asar, nih. Bangun, gih. Motor lo juga mau lo ambil kan?"
Gue bergerak sedikit lalu mengerjapkan mata pelan. Posisi gue masih sama seperti tadi, senyenyak itu gue tidurnya.
"Lo dah daritadi datengnya?" tanya gue dengan suara serak.
"Ya iya, lo pikir gue mau nginep di sana?"
Gue diam. Belum sanggup untuk ngeladenin bacotnya Adit.
"Sa, gue tadi ketemu Ifah di hotel." Gue masih diam. Tapi telinga gue fokus ngedengerin ucapan Adit yang sudah pasti ada lanjutannya. "Gue liat dia sama seorang cowok yang ... kalo dilihat dari segi umur, kayaknya dia seumuran kita."
"Terus?"
"Ifah kayak ngehindar gitu, tapi si cowok keliatan kekeh ngedeketin dia. Bahkan si cowok itu narik-narik tangan Ifah. Karena gue risih liatnya, akhirnya gue samperin. Gue kaget sama reaksi Ifah, karena dia tiba-tiba megang jaket gue, seolah minta pertolongan. Ngga tahu juga sih, apa guenya aja yang terlalu sok tau atau gimana, tapi cowok itu tiba-tiba pergi setelah ngelihat gue kenal sama Ifah." Adit yang tadinya fokus ke laptop seketika berbalik ke gue. "Lo kenal sama cowok itu? Soalnya gue pengin tanya Ifah, tapi dia kayak yang ... diem-dieman gitu. Sangsi gue nanyanya."
Gue mengedikkan bahu. "Ciri-cirinya gimana?"
"Dia tinggi, lebih tinggi dari kita berdua. Terus kulitnya sawo matang gitu. Matanya agak sipit, mirip-mirip Bima lah. Di telinganya ada tindik terus di deket ibu jarinya ada tato yang gambarnya nggak jelas."
Kening gue refleks mengernyit. Gue bahkan berusaha mengingat-ingat siapa orang yang cocok dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan Adit. Tapi, tak seorang pun yang mampir di otak gue.
"Ck. Ngga tahu gue.
***
Sebenarnya mau apdet dari sore, tapi wattpad error dan malah minta ganti password. Aku yang lupa email pun kudu disibukin dulu sama kejadian itu. Hhhh.
Saran aku, kalian jangan sign out dulu dari wattpad kalian sebelum wattpad benar-benar pulih. Pun, kalo kalian pengin sign out, usahakan kalian ingat email kalian. Karena pihak wattpad akan mengirim konfirmasi perubahan password di email itu.
Oke, deh. Semoga wattpad segera pulih.
Btw, kira-kira siapa cowok yang bareng sama Ifah, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top