Part 9 - Sedikit Perubahan
Jangan lupa vote-nya dulu sebelum membaca.
Happy Reading.
Kaiden Pramudya
🍁🍁🍁
Nilailah seseorang menggunakan mata dan hati. Bukan telinga. Apa yang dilihat saja belum tentu kenyataan, apalagi yang hanya didengar.
🍁🍁🍁
Gitar memasuki perumahan mewah. Rumah itu adalah rumah milik Kaiden. Seperti biasa, setiap minggunya anggota band Axellez selalu berkumpul untuk bersantai atau membahas hal-hal mengenai acara manggung yang dilakukan di kafe-kafe sekitar.
Cowok itu sudah menganggap rumah ini seperti rumahnya sendiri. Tak heran jika ia langsung masuk tanpa mengetuk ataupun menekan bel terlebih dahulu.
Rupanya semua anggota band Axellez sudah berkumpul. Mereka sedang bercanda ria di ruang keluarga. Dengan cemilan dan minuman yang tersedia di meja.
Kaiden memang tak pelit jika soal makanan. Sebab orang tua cowok itu mempunyai toko cemilan yang cukup besar di kota ini.
"Nih, pesanan kalian." Gitar menaruh belanjaannya tadi di meja.
"Nah gini dong. Ini baru yang namanya nongkrong. Ada cemilan, ada hisapan." Milo menggeledah isi kanting plastik belanjaan Gitar. Cowok itu mengambil sebungkus rokok dari dalam. Tanpa basa-basi, Milk menghidupkan putung rokoknya.
Diantara tiga anggota band Axellez yang suka merokok, Milo-lah yang paling berat ngerokoknya. Tak heran jika yang lainnya geleng-geleng kepala melihat tingkah Milo barusan.
Kaiden sendiri juga tidak merokok, dia sangat sayang kepada pita suaranya. Namun dia membolehkan teman sekaligus anak didiknya merokok di dalam rumahnya, ketika orang tua Kaiden tidak berada di rumah.
"Bagi dong, Mil."
Milo melempar bungkus rokok dan korek api secara bergantian pada Derby. Derby menerimanya dengan wajah semringah lalu menghisapnya saat putungnya sudah ia nyalakan.
Sedangkan Tristan, cowok itu lebih memilih meminum minuman soda kaleng yang ia peroleh dari hasil belanjaan Gitar. "Nyatanya nyegerin," ucapnya setelah meminum satu tegukan.
Marvel mengambil susu kotak yang berada di dalam kantong belanjaan yang dibeli Gitar tadi. Cowok itu lebih suka minuman sehat daripada minuman bersoda yang dapat merusak pita suara maupun lambung. Walaupun dia bukan vokalis band Axellez. Namun dia sangat menjada pita suaranya.
"Lo kenapa sih, Tar?" tanya Marvel ketika melihat Gitar dengan dagu yang mengeras.
"Jangan panggil Tar dong, Vel. Entar Gitar marah. Dikira lo manggil dia Tari."
"Sorry." Cukup satu kata untuk membalas ucapan Milo barusan.
Kaiden berdiri dari tempatnya, pindah ke samping Gitar. Tangannya menepuk bahu Gitar gantle. "Lo kalau ada masalah, cerita dong, Bro?"
"Gak ada kok, Kai." Gitar ataupun anggota band Axellez lainnya tak ada yang memanggil Kaiden dengan embel-embel kakak. Pasti dengan nama maupun bahasa gaul saja. Meskipun umur Kaiden jauh lima tahunan di atas mereka, tapi wajah Kaiden masih seperti remaja umur 17 tahunan. Lagi pula, memanggil Kaiden tanpa embel-embel itu bisa membuat mereka tambah akrab.
"Lo gak bisa bohongin gue, Gi. Lo itu udah kayak adek gue sendiri. Dan gue juga kenal lo udah lama, bahkan sebelum Axellez dibentuk."
"Sebenernya bukan masalah besar sih. Gue sendiri juga bisa menghadapinya. Tapi lo tau sendiri kan? Kalau gue orangnya gampang emosi."
Kaiden hanya mengangguk-angguk mendengar penuturan Gitar.
"Oh iya, Gi. Terus nasib si Zela gimana? Udah jadi di keluarin?" Tristan bertanya-tanya.
"Boro-boro dikeluarin. Di skors aja enggak," ujar Gitar lesu.
"Bukannya lo udah minta bantuan Bu Mita?"
Gitar seketika menoleh pada Marvel yang bertanya padanya. Cowok itu menghela napas sebelum menjawab. "Udah sih. Tapi pendapat guru-guru yang lain tetep sama. Bu Mita cuma bisa membantu membimbing Zela doang."
"Semoga aja tuh cewek bar-bar berubah jadi baik." Derby membuka suara.
"Aamiin."
Sedari tadi mereka asik berbincang-bincang, sedangkan Milo malah sibuk dengan ponselnya. Cowok itu menyimak tanpa minat menimpali ucapan mereka yang menurutnya tidak berguna. Dia sudah bosan bahkan muak saat mendengar nama Zela disebut-sebut setiap kali berkumpul.
"Eh, Bro. Ternyata video yang tadi kita unggah udah banyak yang nge-like," ucap Milo dengan wajah berbinar. "Padahal tadi Gitar kayaknya gak mood gitu waktu nyanyi." tambahnya lagi.
"Kalau yang suaranya bagus mah, suasana hati senang apa enggak ya tetep aja," timpal Derby.
"Bukan yang suaranya bagus, Der. Tapi yang fans-nya banyak." Tristan menambahi.
"Ini semua bukan karena tim kita." Untuk pertama kalinya Gitar mengakui kesuksesan dari tim. Biasanya dia hanya membanggakan dirinya sendiri.
"Kita harus pertahanin yang kayak gini nih." Marvel menyunggingkan senyum khasnya. Dia menemukan sedikit perubahan dalam diri Gitar. Entah hal apa yang membuat cowok angkuh itu sedikit berubah. Dia sendiri pun juga tidak tahu.
''Makanya kalian jangan sampe ada yang berantem sampe Axellez terpecah belah." Kaiden diam sejenak, lalu melanjutkan perkataannya. "Apalagi karena cewek."
"Gak bakal terjadi kalau itu mah, Kai." Tristan sangat yakin. "Kalau Gitar mah, bakal senang hati ngasih Zela ke Milo. Iya enggak?" kekeh Tristan.
Milo yang namanya dibawa-bawa apalagi disangkut pautkan dengan Zela menggeram kesal. Cowok itu melempar bantal sofa kepada Tristan. ''Guenya yang sepet, Tan. Mending buat lo aja."
"Kalau gue mah udah banyak yang suka. Pacaran juga udah sering. Lah elo belum pernah." Tristan menyindir.
"Heh, yang di sini bukan cuma gue aja ya yang belum pernah pacaran. Gitar sama Marvel aja belum pernah tuh?" Milo meralat ucapan Tristan barusan.
"Yah kalau mereka walaupun belum pernah pacaran banyak yang mau. Tapi mereka aja yang nolak. Lah elo, siapa yang mau? Masih untungkan, Gitar ngasihin Zela ke lo?"
"Guenya yang buntung, Tristan. Heran deh, setiap kumpul gini pasti sebuat nama Zela Zela terus. Bosen gue deh ah."
Tristan dan Milo jika sudah bertemu memang seperti itu. Saling menyindir satu sama lain. Tapi salah satu diantara mereka tak memasukkannya ke dalam hati. Karena hal itu sama sekali tidak berguna. Persahabatan d iantara mereka bisa hancur. Maka dari itu teman yang lain hanya menanggapinya dengan diam. Toh nantinya mereka akan baikan dengan sendirinya.
🍁🍁🍁
"Udah?"
"Bentar lagi, Nih."
Willona mengganti plester Melody. Luka di kening Melody sudah lumayan mengering. Kepalanya sudah sudah tidak terasa pening lagi.
"Nah, udah selesai nih, Mel." Willona memasukkan plester yang masih utuh di dalam kotak P3K yang ia bawa dari UKS. Niat awalnya ia ingin mengajak Melody ke UKS untuk menganti plester gadis itu. Namun Melody menolaknya. Makanya Willona berinisiatif sendiri mengambil kotak P3K dan membawanya ke kelas.
"Balikin lagi sana ke UKS." Jemari Melody sibuk membenahi poninya. Poninya yang panjang sampai sedagu itu ia gunakan untuk menutupi keningnya. Ya walaupun masih kelihatan juga sih.
"Iya-iya. Bawal amat lo ah."
Willona beranjak dari tempatnya. Ketika perjalanan di koridor, ia tidak sengaja berhadapan dengan Viola.
''Melody ada?"
"Ada kok, Kak. Di kelas."
"Lo mau kemana?" Viola baru menyadari jika willona membawa kotak P3K di tangannya.
"Balikin ini ke UKS. Tadi habis ganti plesternya Melody." Willona menjelaskan. "Yaudah, kalau gitu gue duluan ya, kak."
"Oh, iya." Viola membalas senyuman Willona dengan ramah.
Gadis rambut sepunggung itu melanjutkan langkahnya menuju kelas Melody.
"Melody?" panggilnya ketika sudah memasuki kelas IPA 1.
"Eh, ada kak Vio." Melody yang tadinya asik bermain ponsel kini menatap Viola yang berbicara padanya. Dia baru sadar jika ada orang di kelas ini selain dirinya. Jam istirahat kelas memang kosong, kebanyakan pada pergi ke kantin maupun ke perpustakaan sekolah.
"Gue ganggu enggak?" Viola bertanya setelah mendudukkan bokongnya di kursi depan Melody.
"Enggak tuh. Emang kenapa?"
Seulas senyum tipis terukir di wajah Viola." Maaf ya, gara-gara gue kening lo jadi luka." Viola berkata tulus dari hati.
"Ini bukan salah Kakak, kok. Justru gue berterima kasih karena Kakak udah bawa gue ke UKS. Lagian ini juga udah mendingan."
"Yang bawa lo bukan gue, tapi Gitar."
"Gue tau. Tapi itukan karena permintaan Kakak, kan? Gak mungkin dia inisiatif sendiri nolongin gue. Pria angkuh kayak gitu mana mau. Eh." Melody reflek menutup mulutnya dengan tangan.
Apa yang barusan ia katakan? Oh tidak, dia baru saja memaki Gitar. Walaupun tidak langsung di hadapan cowok itu, tetapi dia memaki langsung di depan Viola. Cewek yang sedang digosipkan dekat dengan Gitar.
"Gak papa kok, Mel. Gitar itu emang kelihatan angkuh. Tapi sebenarnya dia baik kok."
Melody hanya tersenyum canggung. Iya, baik. Kalau sama lo. Kalau sama gue, angkuh banget tuh orang.
"Maaf ya, Mel. Kemaren gue langsung balik ke kelas. Gak nungguin sampe lo sadar." Sepertinya Viola sedikit berubah. Dia mulai terbiasa saat berbicara dengan Melody. Bukan sebagai senior dan junior, tapi sebagai teman.
"Santai aja kali Kak. Orang kemarin gue pingsan kan waktu pas jam pelajaran. Kenn sama Willona aja meski izin dulu sama guru mau jagain gue di UKS." Perasaan kesal Melody kepada Viola seolah menghilang. Nada bicaranya berubah menjadi lebih sopan sekarang.
"Maaf juga ya. Kemarennya lagi gue ngomong kasar sama lo." Entah sudah berapa kali kata maaf yang keluar dari bibir Viola.
"Kenapa minta maaf? Kakak gak salah kok. Harusnya gue yang minta maaf. Karena gak sopan ngomong gitu sama kakak kelas."
"Lo juga gak usah minta maaf, Mel. Kayak lebaran aja saling minta maaf," kekeh Viola.
Ternyata selama ini penilaian Melody tentang Viola itu salah. Dia pikir Viola gadis sombong nan jutek sama seperti Gitar. Ternyata Viola juga mempunyai selera humor yang tinggi. Sama seperti sahabatnya, Kenn.
"Mel, gue minjem power bang lo dong. Hape gue mati!" teriak Kenn sembari memasuki kelasnya Melody. "Eh ada tamu rupanya." Kenn jadi salah tingkah sendiri. Ini kedua kalinya dia teriak memanggil nama Melody dan kebetulan ada Viola.
"Hai, Kenn," sapa Viola ramah.
"Hai, kak Vivi." Kenn menarik kursi dan duduk diantara mereka. "Udah lama ya di sini? Maaf ya tuan kelasnya emang pelit, jadi kakak gak disuguhin apa-apa deh."
Kenn terkekeh gemas, melihat ekspresi Melody yang kesal menatapnya. Apa-apaan dia menyebutnya pelit?
Dasar Kenn-tang goreng.
"Selow dong, Mel. Gue cuma bercanda keles."
"Selera humor lo rendah juga, ya,'' ucap Viola.
"Iya dong. Gue tuh tipean cewek-cewek banget. Cowok humoris," ucapnya lantang. "Dan sekarang cowok yang humoris itu lebih banyak dicari daripada cowok yang romantis."
"Masa? Buktinya gak ada tuh cewek yang mau sama lo?" Melody menyindir.
"Ada kok, Mel. Cuma dianya aja gak peka sama perasaannya sendiri."
"Siapa? Jangan bilang Willona?" Wajah Melody seketika terkejut.
Kenn mengangkat bahunya tak acuh.
"Tunggu-tunggu. Gue jadi bingung nih. Jangan-jangan di antara kalian ada cinta segitiga biru ya?" Viola menyelidiki. "Antara Kenn, Melody, dan Willona?"
"Apaan! Enggak! Gue sama Melody itu kakak adek angkat."
"Ah masak?" Viola menggoda.
"Gue lagi ngomong kak, bukan masak."
Seketika Viola mengerucutkan bibirnya sebal mendengar ucapan Kenn. Sedangkan Melody justru terkekeh. Ada-ada saja sifat konyol sahabatnya ini. Pura-pura polos.
"Oh ya, Kenn. Lo tadi katanya mau pinjem power bang. Jadi enggak?"
"Jadi dong. Mana?" Kenn mengulurkan tangannya.
"Dasar gak modal." Maki Melody. "Nih."
"Tadi bilang gak modal, sekarang malah ngasihin."
"Em, gue balik ke kelas dulu ya. Mau ngerjain tugas dari Bu Irma." Viola berdiri dari tempatnya.
"Mau gue anterin gak?" tawar Kenn.
Viola menggeleng seraya tersenyum. "Gak usah. Deket kok."
"Oh iya gue lupa." Kenn menepuk jidatnya. "Kan cuma deket, gak sampe jadian."
"Dasar bucin." Maki Viola dan Melody berbarengan.
Viola lalu keluar dari kelas itu. Meninggalkan Kenn dan Melody.
"Mel, ngomong-ngomong Nyai Rombeng ke mana?"
"Cie nanyain Willona. Kangen ya?" ucap Melody disertai cengirannya.
"Gak ah, kangen itu berat. Gue gak kuat."
Astaga, sebenarnya nyidam apa sih mamanya saat hamil Kenn? Sampai-sampai keluar anak yang sebucin ini. Melody sampai kewelahan sendiri menghadapi sikap sahabatnya itu.
TBC
SORRY TYPO.
maafkan authormu ini yang baru bisa update.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top