Part 68 - Tidak Pernah Ada

Hola semua.

Ada yang nungguin cerita ini gak nih?

Playing Now || Caitlin Halderman ~ Cinta Salah

Happy Reading.

🍁🍁🍁
Ada masanya di mana cinta itu berubah jadi luka. Ada masanya yang namanya benci akan segera pergi menjauhi. Adapula masanya dimana dua hati yang mencintai bisa saling menyakiti.
🍁🍁🍁

"Hachim."

Melody terus saja bersin, sudah 2 hari ini dia tidak berangkat sekolah. Badannya demam karena kehujanan tempo hari.

"Makan dulu, Ody."

Hilda yang sedari tadi di kamarnya sudah bosan mengingatkan anaknya untuk makan. Melody terus saja menolak.

"Gak mau, Bun."

"Kamu gak kasian sama Bunda? Bunda udah buatin bubur lho. Gak enak kalo diangetin lagi."

"Entar aja deh." Melody menyadarkan kepalanya pada sandaran ranjang.

"Tiap ditanya jawabnya entar mulu. Janji ya?"

Melody tak mengangguk, ataupula menggeleng.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam. Eh, Nak Gitar, sini masuk."

Melody yang tadinya sudah ingin tidur, kembali membuka mata. Melihat Gitar masuk ke dalam kamarnya.

"Gitar bawa, buah buat Ody, Bunda." Gitar menaruhnya di atas nakas.

"Ya ampun, jadi ngerepotin."

Gitar duduk di sisi ranjang Melody. Menatap gadisnya. "Gimana keadaannya?"

"Lumayan enakan kok. Udah gak terlalu mual kayak kemaren."

Gitar menaruh tangannya ke dahi Melody, mengecek suhu tubuh gadis itu. "Masih panas, tapi gak sepanas kemaren."

Gitar menurunkan tangannya, pandangannya beralih pada Hilda yang membawa bubur ditangannya. "Bunda, mau makan ya? Makan aja gak papa."

Hilda tersenyum. "Bukan. Ini buburnya Melody. Tapi dari tadi dia gak mau makan. Bunda sampai capek bujuk dia."

"Biar Gitar aja yang nyuapin Bunda."

"Oh, ya sudah kalau gitu. Bujuk dia ya." Hilda menyerahkan mangkok itu pada Gitar. "Bunda mau ke belakang dulu."

Gitar mengangguk. Dan Hilda pergi dari sana.

"Makan." Gitar melayangkan sendok bubur itu di depan Melody.

"Gak mau. Pahit rasnya di lidah," tolak Melody.

"Makannya sambil lihatin aku dong. Biar manis." Gitar tersenyum.

"Ih geli ah."

"Aku gak ngelitikin lho?"

"Ucapan kamu bikin aku geli." Melody mengalihkan pandangannya ke arah jendela.

"Ody sayang. Makan ya ...." bujuk Gitar semanis mungkin.

"Enggak mempan."

"Ayo dong makan. Entar kalau sembuh aku beliin es krim deh."

Dengan kilat, Melody kembali menatapnya. "Sama coklat juga?"

"Iya. Es krim sama coklat. Nanti bonusnya aku kasih permen kapas yang waktu itu kamu makan. Tapi jangan banyakan ya, kamu udah manis soalnya."

Melody mengulum bibirnya sejenak. Kemudian bersikap biasa saja.

"Cepet makan. Kasian buburnya meronta-ronta pingin kamu makan. Emang kamu gak kasian apa? Tangan aku udah pegel nih."

Melody melihat Gitar sejenak, lalu membuka mulutnya.

"Pinter. " Gitar mengacak-acak rambut Melody gemas. Ia kembali menyuapi gadisnya itu.

"Kamu gak sekolah ya?" Jam sekarang masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Dimana biasanya jam ssgini dia ada di kelas.

Gitar saja datang ke rumahnya dengan memakai seragam sekolah. Hanya saja ada jaket kulit yang melekat ditubuhnya.

"Gak ah. Masa Pangeran sekolah sedangkan sang Tuan Putrinya terbaring lemah di rumah. Gak asik."

"Enak aja. Aku kuat tau." Melody membantah." Melody memperbaiki letak duduknya. "Bolos ya?"

"Ya tidak dong. Masa Pangeran bolos sekolah. Aku tadi udah izin sama guru tau." Gitar masih setua menyuapi Melody.

"Oh ya. Izin gimana?"

"Izin jengukin pacar yang lagi sakit."

"Gurunya percaya? Kok bisa sih diizinin? Ini masih jam KBM lho."

"Percaya dong. Guru juga pernah muda soalnya." Gitar teringat ucapkan Bu Mia kala meminta izin tadi.

"Udah ah, kenyang," ucap Melody, saat Gitar menyuapkannya kembali.

"Nanggung. Satu sendok lagi padahal." Gitar menaruh mangkuk itu ke nakas. "Obatnya udah diminum?"

Iris Melody menatap ke arah nakas. Ada nampan yang berisi obatnya di sana. "Belum. Gak suka minum obat. Pahit."

"Gimana mau sembuh kalau gitu?"

"Kenapa harus minum obat? Obat sesungguhnya aja udah ada si depan mata. Kamu."

Gitar menarik bibirnya, membuat lengkungan senyum. "Cie. Pacar aku sekarang bisa ngegombal nih."

"Enak aja. Itu bukan gombalan tau."

"Terserah kamu deh. Sekarang minum obatnya. Aku gak mau kamu sakit. Meskipun aku bisa jagain kamu, kamu harus sehat. Sekolah sepi gak ada kamu soalnya."

Melody menerima obatnya. Dia tersenyum, saat Gitar membantunya meminumpan air putih untuk menelankan obat.

Di depan pintu kamar Melody, Kenn bersembunyi dibalik tembok. Cowok itu tersenyum simpul melihat intraksi dua orang itu.

"Ternyata memang dia orang yang tepat buat lo, Mel. Gue jadi lega jadinya."

🍁🍁🍁

"Kita lama banget ya, gak pernah jalan berdua?"

Saat ini Melody dan Kenn jalan-jalan sejenak di taman dekat komplek mereka. Kenn yang mengajak Melody. Dia rindu kebersamaan bersama sahabatnya, semenjak mereka punya pasangan masing-masing.

"Iya. Lo sih berduaan sama alat musik mulu," sindir Kenn.

"Ngaca dong Masnya."

"Tadi sebelum ngajak lo ke sini gue udah ngaca. Tetep ganteng kok."

Melody memutar bola mata. Tingkat kepedean sahabatnya itu tidak pernah berubah dari dulu. Meskipun memang sebenarnya itu kenyataannya.

"Caramelo. Gue mau tanya sesuatu sama lo." Ucapan Kenn membuat Melody menoleh ke arahnya. Gadis itu mengangkat alis, menunggu ucapan Kenn selanjutnya. "Lo kok bisa jatuh cinta sih, sama si alat musik?"

"Sekarang gue tanya sama lo. Kenapa bisa cinta sama Willona?" Melody Balik bertanya.

"Lho kok malah tanya balik?"

"Jawab aja."

"Gak tau. Mungkin karena gue sering ngejekin dia kali." Kenn mengangkat bahu.

"Itu dia. Cinta itu datang tanpa alasan, tapi kebanyakan orang pengen dapat balasan. Padahal, cinta dengan diam-diam menyenangkan. Sekaligus menyakitkan juga sih."

"Kayak kita gitu ya?" tanya Kenn.

Keduanya terkekeh bersama. Lucu memang, teringat masa dimana mereka mencintai diam-diam. Tapi sekarang, mereka punya pasangan masing-masing dan bahagia dengan caranya masing-masing.

"Caramelo. Besok lo sekolah, kan?" tanya Kenn. "Gue  rasa, si Gitar galau gara-gara lo gak ada. Gue lihat dia beberapa kali ngelihat kelas lo gitu."

"Gak tau. Meskipun demamnya turun, tapi badan gue masih agak pusing." Terdengar helaan napas panjang dari Melody. "Gue juga kangen sekolah sih."

Bisa dihitung, sudah empat hari ini Melody di rumah saja. Kehujanan tempo hari membuat badannya demam.

"Kangen sekolah apa kangen Gitar?" sindir Kenn.

"Ih, nyebelin lo."

Wajah kesal Melody malah membuat Kenn terkekeh.

"Kentang. Gue haus nih. Beliin minum dong!" Melody meminta.

"Oke."

🍁🍁🍁

Lorong mading di penuhi orang-orang yang melihat pengumuman baru. Perihal anak eskul musik yang berhasil lulus seleksi beberapa hari lalu.

Karena waktu itu Melody sakit, jadi Kaiden meminta bantuan dari beberapa anak Axellez. Gitar dan Marvel-lah yang dia pilih.

Sorak gembira terdengar dari beberapa siswa-siswi yang namanya terpampang jelas pada kertas pengumuman. Yang tidak diterima ada yang kecewa, ada pula yang turut bahagia.

Siswa-siswi itu pergi saat mendengar bel masuk berbunyi. Tinggal Gitar-lah yang melihat pengumuman itu.

"Melody sebagai vokalis. Nolan sebagai gitaris. Jovan sebagai dramer.  Regan sebagai gitaris. Gita sebagai pianis." Senyum sumir tercetak jelas di bibir Gitar, kala membaca isi pengumuman itu.

"Pengumuman gak penting. Gitu aja heboh," sindirnya.

"Harusnya aku yang di sana ... tampil nyanyi dan bukan dia ...."

"Harusnya aku yang terpilih dan bukan dia."

"Harusnya kau tahu bahwa ... suaraku lebih darinya."

"Harusnya yang terpilih bukan dia."

Gitar menoleh, mendengar nyanyian lagu yang liriknya diubah untuk menyindirnya. Sedangkan dua orang tersangka, Derby dan Tristan tampak senang menyanyikan lagu itu. Mereka berdua berangkulan. Menyayikannya dengan tenang. Bahkan mengulang lirik yang sama sampai membuat Gitar geram.

"Bisa diem enggak? Fals suara lo pada." Sebenarnya itu berupa peringatan. Tapi ia tak ingin marah-marah saat ini.

"Eh, iya kah? Wah, padahal sebelumnya kita udah latihan lho," ucap Derby. Menghentikan nyanyiannya.

"Sialan. Kalian sengaja mau nyindir gue?" Gitar menatap keduanya secara bergantian.

"Siapa yang nyindir? Justru kita berdua mewakili perasaan lo." Tristan heran sendiri dengan Gitar. Kadang sahabatnya itu bertingkah seolah-olah benar cinta pada Melody. Kadang malah seperti membenci.

"Gak usah sok tau. Udah ah, ke kelas. Nanti keburu gurunya masuk." Gitar melangkah pergi dahulu sebelum mereka.

Tristan menatap Derby. "Menurut lo, dia suka bener gak sih sama tuh cewek?"

"Melody maksudnya?"

"Siapa lagi."

"Gak tau gue." Derby mengedikkan bahu. "Tanya sendiri aja ke orangnya."

"Sebenernya kasian Melody kalau Gitar cuma pura-pura."

"Iya sih. Tapi kan itu lo yang ngasih teorinya."

"Ngaca, Der," sindir Tristan. Lalu segera menyusul Gitar.

🍁🍁🍁

Seperti biasa, istirahat seperti ini Axellez lebih memilih berkumpul di basecamp mereka, ruang musik. Di kantin pasti penuh jam segini. Setelah memilih makanan ringan, mereka memakannya di sini.

"Eh, Mil. Main srobot makanan gue aja lo," dengus Derby, saat makanan yang dibelinya di ambil oleh Milo.

"Pelit amat lo. Gue doain kuburan lo sempit." Milo yang tak tau diri malah langsung memakannya. Tanpa memedulikan si empunya yang mendengus.

"Bukannya pelit. Kalau mau ya minta baik-baik, jangan asal ambil. Kan, gak sopan namanya." Derby menatap Milo jengah. "Lo kan bisa beli sendiri. Kalau makanan gue lo embat semua, gue makan apa jadinya?"

"Udah, Der, ikhlasin aja. Lo makan punya gue aja nih." Marvel melempar snack yang dibelinya pada Derby.

"Emang pengertian lo, Vel." Derby langsung memakannya.

"Gitar. Lo kenapa sih? Gue perhatiin dari tadi diem terus. Sariawan lo?" tanya Tristan.

Gitar melirik Tristan malas. "Gue gak sariawan."

"Lo masih mikirin soal lomba itu?" Marvel menimpali. "Bukannya kemaren waktu Kaiden tanya, lo bilang gak masalah ya? Atau kemaren lo cuma pura-pura aja?"

Mungkin perkataan Marvel terdengar menusuk. Tapi dia tidak bermaksud menyakiti Gitar, ia hanya tanya apa yang ingin hatinya tanyakan.

Semua mata kini menoleh pada Marvel dan Gitar secara bergantian. Mereka khawatir jika akan terjadi keributan di sini.

"Penting banget buat gue jawab?" Tatapan Gitar begitu tajam, meskipun kalimat pertanyaan yang ia lontarkan terdengar tajam.

"Penting. Karena yang harus dengar itu bukan gue ataupun mereka ...." Marvel melihat ke arah tiga sahabatnya, kemudian melanjutkan ucapannya, "Tapi lo sendiri. Terutama hati lo."

Sebenarnya Gitar tidak terlalu mempermasalahkan hal ini. Dia memang sudah bisa menerima ini, meskipun di hatinya masih terbesit rasa kecewa karena tidak bisa mewakili sekolahnya tahun ini.

Lagipula, dia bisa apa? Keputusan sekolah sudah begitu. Sekarang fokusnya hanya untuk mempersiapkan ujian kelulusan dan juga menjaga Melody. Ah, memikirkan gadis itu dia jadi rindu.

"Hati gue tau apa yang harusnya gue lakuin," balas Gitar.

Dan yang sekarang ia bisa lakukan mungkin menyemangati gadisnya. Meskipun bukan dia yang dipilih, tapi setidaknya SMA inilah yang menjadi juara.

"Lo sendiri, suka bener gak sih sama Melody?" Akhirnya sekian lama, Tristan bertanya seperti itu pada Gitar. Dia lihat sahabatnya itu mulai bisa mengontrol emosinya akhir-akhir ini.

"Menurut lo?" Gitar selalu saja membalas pertanyaan orang dengan balik bertanya. Membiarkan semuanya ambigu. Menurutnya masalah hati dia saja yang mengetahui yang lain tidak perlu tahu.

"Enggak ngerti deh gue. Lo kadang bersikap seolah benci dia, kadang malah sebaliknya," ucap Tristan.

"Gue rasa, lo suka bener deh ke dia. Kalau gitu kan enak, lo bisa beliin gue handphone keluaran terbaru dong." Derby membuka suara.

Sebelumya Derby dan Gitar membuat perjanjian jauh-jauh hari. Jika Gitar benar jatuh cinta dengan Melody, maka dia akan memberikan Derby ponsel keluaran terbaru. Jika sebaliknya, maka Derby bersedia menjadi babu Gitar selama seminggu.

"Yang harganya dua puluhan juta ke atas itu?" tanya Milo, terkejut.

"Yoi," balas Derby, bersemangat.

"Kalian taruhan?" tanya Marvel.

"Menurut lo aja."  Kini Derby ikut-ikutan cara berbicara Gitar.

Sebenarnya Gitar mampu saja membelikan ponsel yang Derby mau. Namun dia juga senang jika selama seminggu Derby menjadi babunya.

"Kayaknya lo jadi dibeliin handphone deh, Der," ucap Tristan, melihat keterdiaman Gitar.

"Enak aja. Justru Derby yang akan jadi babu gue," balas Gitar.

"Jadi lo gak beneran cinta sama Melody nih?" Derby kembali bertanya. Padahal ia sudah merasa senang jika Gitar membelikannya ponsel baru.

"Ya enggak lah." Dengan lantang, Gitar berbicara itu. "Gue pacarin Melody itu, biar gampang aja singkirin dia dari Axellez. Tinggal tunggu waktu yang tepat. Dia itu musuh dalam selimut gue di bidang permusikan. Jadi, gak mungkin lah, gue cinta beneran sama Melody. Dia itu gadis polos, mudah ditipu. Mudah jatuh dalam pesona kegantengan gue."

"Apa?"

Pintu ruang musik terbuka, Melody masuk dengan mata yang sudah merah menahan sesak di dada.

"Melody?" Gitar terkejut dengan kehadiran Melody, begitupun yang lainnya.

Semuanya berdiri, terperanjat dengan kehadiran gadis itu yang tiba-tiba.

"Apa?! Kaget karena sekarang aku tahu kebusukan kamu?" Mata Melody semakin memanas, sudah berkaca-kaca sekarang.

Gitar mendekat. "Ini gak seperti apa yang kamu dengar, aku bisa jelasin."

"Jelasin apa lagi? Semuanya udah jelas! Kamu selama ini gak tulus sama aku. Gak serius cinta ke aku. Kamu cuma modus biar bisa nyingkirin aku dari eskul band." Cairan bening itu sudah menetes, dadanya sudah terlanjur sesak, menyikapi keadaan ini. "Bahkan, kamu sendiri tahukan sejak awal, aku gak mau gabung ke band kalian, tapi kamu maksa. Kenapa Gitar? Kenapa? Kenapa kamu ngelakuin itu kalau akhirnya cuma pingin nyingkirin aku?!"

Gitar diam, dia bingung harus bagaimana. Nasi sudah menjadi bubur, Melody sudah terlanjur tahu rencana awalnya mendekati gadis itu. Sebelum dia mengatakan yang sebenarnya.

"Ternyata selama ini, aku salah karena udah cinta sama kamu. Dan sebenernya, aku gak pernah ada di hati kamu, iya, kan?" tanya Melody pelan.

"Itu salah, Mel. Kamu ada di hati aku," ralat Gitar, meyakinkan.

"Bohong! Kamu bohong Gitar. Kamu bohong! Aku benci kamu!" teriak Melody.

Gitar menggeleng, dia mencoba meraih tangan melody. "Mel, aku bisa jelasin dari awal, kalau sebenarnya__"

Plak

Melody melepaskan tangannya dari genggaman Gitar, langsung melayangkan tamparan pada pipi cowok itu. Gitar memegangi pipinya, terkejut dengan apa yang Melody lakukan.

"Aku gak mau dengerin apa-apa lagi dari kamu. Semua yang keluar dari mulut kamu itu palsu. Sama kayak perasaan kamu ke aku." Melody menghapus air matanya secara asal. "Kita akhiri semua ini ya. Biar kamu gak merasa terbebani dengan pura-pura cinta ke aku."

Melody melangkah ke arah pintu. Sebelum dia pergi, teringat sesuatu. Melody membalikkan tubuhnya kembali. Menatap Gitar nyalang.

"Oh iya. Satu hal yang perlu kamu denger." Melody menghela napas kasar. "Asal kamu tau, rasa cintaku ke musik lebih besar dari cintaku ke kamu!"

Sehabis mengatakan itu, Melody langsung pergi dari sana. Menenagkan diri dari perasaannya yang sudah tidak karuan.

TBC

Sorry typo. Lagi males baca ulang soalnya. Btw, ini nulisnya ngebut lho. Habis sahur.

Gaes yang lagi libur mari merapat. Butuh hiburan baca ceritaku aja. Jangan lupa rekomendasikan ke temen-temen kalian ya!

Gimana part ini, dapet gak feelnya?

Sorry ya kalo akhir-akhir ini telat update maupun sebagainya.

Aku lagi sibuk nugas. Tugas online gak selesai-selesai. Wkwk curhat. Bantuin emak buat kue juga buat lebaran.

Jangan lupa vote dan komen. Karena itu sangat berharga buat aku. Kita simbiosis mutualisme, sama-sama menguntungkan. Kalian nulis komen yang banyak, aku nulis chapter selanjutnya.

Follow

Wp = @DellaRiana
Ig = @della_riana24

Love.

Dedel

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top