Part 61 - Julian Company
Nah, update kan ya.
Sebelum baca, aku mau tahu harapan kalian dong buat cerita Love Is Music.
Tismoti juga boleh.
Happy reading.
🍁🍁🍁
Bisa jadi orang yang mendukungmu adalah orang yang ingin menjatuhkanmu, begitu pula sebaliknya. Untuk itu, jangan terlalu percaya pada teman, dan jangan terlalu tidak suka pada musuh. Keduanya suatu saat bisa bertukar peran yang bisa membantu dan menyingkirkanmu.
🍁🍁🍁
Melody sudah siap untuk acara hari ini. Gadis itu sudah didandani oleh sekedemikian rupa oleh Willona.
"Coba deh, lo muter."
Melody menurut apa yang diucapkan Willona. "Gimana?"
"Cakep, Mel. Gue yakin, orang yang ada di sana pasti terpukau sama kecantikan lo. Sama suara lo juga."
Ucapan Willona membuat semangat tersendiri bagi Melody.
''Thanks, Will." Melody memeluk Willona.
"Halah, kayak sama siapa aja."
tin ... tin ... tin.
Suara klakson mobil membuat mereka melerai pelukan, keduanya menoleh ke arah jendela.
"Tuh, pangeran lo udah dateng," ucap Willona, disertai senyumannya.
"Gue berangkat duluan ya." Melody berpamitan.
"Gitar lo jangan lupa." Ingat Willona.
"Gue gak bawa gitar, Will. Kan udah disediain di sana."
"Iya ya. Tapi kan lo berangkat juga sama Gitar. Gitar yang ini bisa lo peluk, gak dipetik melulu.'' Willona terkekeh.
"Apa sih lo. Gak jelas."
"Mel, gue minjem kamar mandi lo ya? Mau mandi. Badan gue lengket semua nih. Kan gue juga mau nyusul bareng Kenn nanti." Willona sudah membawa semua perlengkapannya. Itung-itung supaya tidak membuang waktu. Jika Kenn menjemputnya di rumah kan lama.
"Hm ... tapi jangan boros air." Melody menggendong tas slempangnya. Sesekali melihat tampilannya yang didandani oleh Willona.
"Siap Memel."
Setelah berpamitan dengan Willona dan orang tuanya. Melody bergegas ke depan. Menghampiri Gitar yang bertengger di luar mobilnya.
Gitar menatap Melody tanpa mengerjapkan mata. Penampilan gadis itu beda dari biasanya. Mungkin karena selama ini Melody selalu tampil natural dan jarang berdandan.
Gitar berdehem, untuk menghilangkan rasa debaran jantungnya. "Yuk."
Melody mengangguk. Dia masuk ke dalam mobil saat Gitar membukakan pintu untuknya.
Keduanya sama-sama diam. Bingung untuk memulai pembicaraan duluan. Hanya alunan musik yang terdapat di dalam mobil tersebut.
Sesampai di mana acara itu diadakan. Melody menghela napas. Dia harus percaya diri untuk tampil nanti.
Melody tersentak, merasakan sentuhan tangan di jemarinya.
Gitar menggenggam tangannya?
Iris mata Melody beralih ke Gitar, cowok itu tersenyum padanya. Membuat hatinya merasakan debaran yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Ayo masuk."
Tentu saja mereka tidak diperiksa dahulu oleh penjaga di depan. Semua orang tahu jika Gitar Exel Julian adalah anak semata wayang Zein Julian. Pemilik perusahaan Jullian Company.
Penjaga di sana memberi hormat pada mereka. Gitar membalas dengan senyum ramah. Sedangkan Melody tersenyum kaku. Belum pernah mendatangi acara seperti ini sebelumnya.
Dekorasi megah nan mewah membuat Melody kagum.
"Mel. Kita ke atas yuk."
"Eh ... nggak nunggu sampe pembukaan acara atau pemotongan pita?" tanya Melody.
"Lo mau lihat acara yang membosankan gini?" tanya Gitar. "Kalau bukan karena bisnis keluarga, gue juga males ikut acara begini."
Gitar memang jadi pewaris satu-satunya dari keluarga Julian. Namun dia lebih suka dibidang musik daripada manegemen.
Jika bisnis, mungkin Gitar hanya akan mengurusi studio musik milik papanya.
"Eh gak boleh gitu. Masa anak pebisnis gak suka acara kayak gini." Melody menegur.
"Bukannya gak suka, Mel. Tapi gue males berurusan sama rekan-rekan bokap yang kepo sama privasi gue. Bahkan ada dari mereka yang mau menjodohkan gue sama anaknya males banget lah." Gitar menghela napas. "Gue maunya dapat jodoh tulus karena cinta, bukan perjodohan semata."
Melody tak bergeming, mendengar ucapan Gitar. "Apa orang itu kak Vio?"
"Dulu iya. Sekarang, gue lagi nyari. Siapa tahu sebenarnya dia ada di sekitar gue. Atau mungkin malah di samping gue."
Melody jadi salah tingkah. Di samping Gitar sekarang adalah dirinya. Tapi Melody tidak mau berharap, siapa tahu yang dimaksud cowok itu adalah orang lain.
"Melody."
Keduanya menoleh. Kenn datang bersama Willona. Keduanya menghampiri mereka.
"Lo ngapain di sini?" Pertanyaan itu meluncur pertama kali oleh Gitar. Pasalnya dia sama sekali tidak mengundang kedua orang tersebut.
"Mewakili bokap." Kenn menjawab sekenanya.
"Maksudnya?" Gitar tak mengerti.
"Entar lo juga ngerti sendiri." Kenn tersenyum penuh arti.
"Mel, Kak. Kalian nanti tampilnya semangat ya," ucap Willona secara gamblang.
"Pasti." Gitar yang menjawab. "Yuk, Mel, ke atas. Kita harus siap-siap."
Gitar kembali menggandeng tangan Melody. Pergi dari hadapan dua pasangan itu.
"Oh my god. Mereka gandengan tangan? Jangan-jangan udah jadian lagi." Willona antusias sekali mengatakan itu.
"Gak mungkin, Willo. Caramel aku gak mungkin semudah itu jatuh ke pesona si alat musik." Setelah mengatakan itu pandangan Kenn menoleh pada kekasihnya yang sedang terkekeh geli. "Ngapain ketawa?"
"Ya lucu aja gitu. Secara gak langsunģ, kamu bilang kalau Kak Gitar mempesona." Willona tak dapat menahan tawanya kembali.
"Enak aja. Lebih gantengan aku ya."
"Iya, percaya."
🍁🍁🍁
Setelah penyambutan, kini acara yang ditunggu-tunggu di mulai. Penampilan dari Axellez. Mereka berada si panggung.
Semua tamu undangan terhipnotis dengan suara Gitar dan Melody yang terdengar merdu. Keduanya tak luput dari perhatian semua orang yang berada di sana.
"Ternyata aslinya dia memang cantik. Suaranya juga merdu dari yang Papa lihat di youtube." Fokus Zein masih mengarah ke Melody. Gadis berambut sepunggung itu memang benar memiliki suara yang lembut. Pantas saja Gitar merasa tersaingi.
"Papa malah muji orang lain. Anak sendiri si biarin." Monika yang berada di sampingnya protes. Hatinya memang mengakui suara Melody itu bagus. Nyanyian keduanya merupakan kombinasi yang sempurna.
"Gitar udah sering kali, Ma, dapat pujian. Lagi pula ... di atas langit masih ada langit, Ma. Ingat."
Kedua lagu telah mereka nyanyikan dengan baik. Tepukan tangan dari para tamu membuat Axellez tersenyum. Menghibur orang dengan musik merupakan kebahagiaan tersendiri bagi mereka.
Melody tersentak, saat tiba-tiba lampu menjadi padam. Ia meremas ujung kostum yang ia gunakan, melody takut kegelapan.
Tak selang lama, ruangan di gedung tersebut kembali terang. Namun yang membuat Melody terkejut, hanya tinggal dirinya dan Gitar-lah yang masih di panggung.
Kemana anggota Axellez yang lainnya?
"Belum sampai di sini saja semuanya. Vokalis dari Axellez akan memberi penampilan spesial ke kalian. Khususnya untuk Bapak Zein Julian." Suara pembawa acara membuat kening Melody mengernyit.
Acara?
Acara apa?
Setahunya dia hanya cukup menyanyikan dua lagu lalu selesai.
"Loh, kata Melody, dia cuma nyanyi dua lagu doang?" Willona bertanya-tanya. Jika saja bukan berada si khalayak ramai, dia sudah menghampiri Melody di panggung.
"Ada yang gak beres nih, kayaknya."
Ucapan Kenn membuat Willona menoleh ke arahnya. "Gak beres gimana?"
"Aku sama Melody sahabat dari kecil, Wil, bahkan sebelum kita lahir. Telepati diantara kita itu kuat. Lihat deh ke depan." Ucapan Kenn membuat Willona menoleh ke depan. Dia diam, menunggun Kenn menyelesaikan ucapannya. "Mukanya kelihatan bingung."
"Bener, Kenn. Melody gak tau apa-apa soal hal ini." Willona hanya mampu berdoa dalam hati. Semoga Melody mampu melewati hal ini.
Sementara di panggung, Gitar menatap Melody dengan tatapan yang sulit diartikan. Bibirnya terangkat, membuat senyum sumir namun hanya sekilas.
"Mel, kita harus nunjukin kemampuan kita."
"Maksudnya apa, Kak? Gue gak ngerti," tanya Melody, berbisik.
"Gunakan salah satu alat musik yang ada di sini. Kita mainkan secara bersamaan. Usahakan semua orang terpukau. Pakai irama lagu."
"Irama lagu apa?"
Situasi semakin membingungkan bagi Melody. Bukannya menjawab, Gitar malah pergi dan duduk di deoan piano. Jari-jarinya bergerak, menghasilkan nada dari lagu yang sepertinya Melody kenali.
Para hadirin terpukau dengan tarian indah jemari Gitar. Sedangkan Melody, masih tak bergeming, menatap semua yang ada si sana. Matanya tertuju pada Kenn yang mereka itu kuat.
Lagu yang Gitar mainkan itu lagu barat yang masih klasik. Dan alat musik yang tersisa tinggal gitar, drum, harmonika, sexsofon, dan biola. Semua alat musik itu di sediakan di panggung.
Tangan Melody terulur, mengambil biola. Untung saja beberapa minggu ini dia berlatih alat musik itu pada Viola. Jadi untuk membunyikannya dia lumayan bisa.
Melody menyambung lirik berikutnya dengan biola yang ia mainkan, terdengar merdu di indra pendengaran. Bahkan orang yang berada si sana terperangah, kagum melihat bakatnya.
Gitar yang sedang bermain piano pun sempat terhenti. Tak menyangka Melody bisa melakukan itu.
Emosi Melody tertuang pada gesekan biola tersebut. Dia merasa tertipu, Gitar tak pernah bicara tentang hal ini sebelumnya.
Namun hatinya tak semudah itu untuk rapuh. Justru malah menjadi ke kuatannya untuk mebunjukkan pada dunia jika dia bisa.
Gitar menghentikan permainan pianonya. Begitu pula Melody. Tepuk tangan meriah diberikan oleh orang-orang.
Melody menatap Gitar, namun cowok itu hanya menatapnya sekilas, lalu turun dari panggung dengan perasaan campur aduk. Padahal Melody ingin menanyakan sesuatu padanya. Ada kejanggalan di dalam hatinya.
Melody menghela napas perlahan. Dia turun dan segera dihampiri oleh Kenn dan Willona.
"Gila, Mel. Perfom lo bagus banget. Gue gak nyangka lo bisa main biola. Kapan latihannya?" Willona berdecak kagum.
"Beberapa minggu lalu. Gue belajar dari Kak Viola." Melody menjawabnya dengan lesu.
"Gue yakin dari awal lo memang bisa Mel," ucap Kenn.
"Melody, bisa kita bicara sebentar."
Ketiganya menoleh, pada pria paruh baya yang menghampiri mereka. Pria berstelan kemeja putih dan jas hitam yang membuat acara ini. Pak Zein Julian, ayah dari seorang Gitar.
Sebelum menjawab, Melody melihat Kenn dan Willona bergantian. Ketika iris matanya bertemu dengan Zein kembali, gadis itu mengangguk.
Mereka pergi ke ruangan atas. Ruang pribadi yang sengaja Zein siapkan untuk menyambut Melody.
"Mau makan sesuatu atau minum?" tanya Zein, basa basi.
"Maaf, Pak. Langsung ke intinya saja. Apa yang sebenarnya anda ingin tanyakan ke saya."
Zein tersenyum. "Jangan terlalu formal gitu, panggil Om saja."
Melody mengangguk.
"Saya senang bertemu dengan kamu. Ternyata, kamu lebih cantik dari yang pernah saya lihat di video yang viral itu. Suara kamu memang merdu, kamu jago di bidang permusikan."
Melody sebenarnya bingung. Kenapa Zein bicara seperti itu? Dia sama sekali tidak butuh pujian dari seseorang. Memang benar, Melody ingin dunia tahu bakatnya, tapi bukan pujian yang dia harapkan.
"Om, apa kenal dengan saya sebelumnya?"
"Tidak. Saya tidak kenal kamu, tapi tahu kamu. Gitar sering bercerita tentang kamu. Tentang bakat yang kamu miliki." Zein menghela napas. "Sebelumnya, gadis yang pertama dekat dengan Gitar itu Viola. Tapi ternyata mereka tidak cocok. Om yakin, kamu bisa merubah Gitar, Melody."
"Maksud Om ngomong gitu apa ya?" Melody sungguh tidak mengerti.
"Kamu akan mengerti itu suatu saat nanti." Zein berpikir, belum saatnya Melody tahu tentang hal ini. "
"
Kalau sudah selesai pembicaraannya, boleh saya keluar?" Melody meminta izin. Tapi Zein hanya diam, menatapnya. Detik berikutnya, baru mengangguk.
"Permisi." Lantas Melody pergi dari sana.
"Sebenarnya saya di sini ingin menawarkan kamu kerja sama. Tapi saya rasa, itu tidak perlu. Kamu bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan saya." Zein bergumam, menatap kepergiaan Melody.
Melody menyusuri lorong gedung. Tak sengaja matanya menangkap Gitar dan Viola sedang mengobrol di ruang dengan pintu yang terbuka.
Cowok itu terlihat ceria, mengobrol bersama Viola. Entah mengapa hati Melody kecewa. Dia merasa Gitar sengaja melakukan hal tadi.
Melody ingin melangkah pergi, namun panggilan dari Viola membuatnya menoleh lembali ke dalam sana. Ajakan dari Viola membuat Melody masuk bergabung dengan mereka.
"Gue gak nyangka, kalau kalian ngasih kejutan di acara ini." Viola menatap Gitar dan Melody secara bergantian. "Perpaduan yang sempurna."
Jangankan Viola, Melody saja tidak percaya. Lagipula dari awal rencana itu tidak termasuk rencana awal performan yang ditampilkan.
Viola menatap Melody, tersenyum. "Gue salut sama lo, Mel. Baru beberpa minggu lo udah bisa belajar biola."
"Jadi Melody belajar biola sama lo?" tanya Gitar. Dia terkejut, tidak tahu fakta yang mencengangkan ini.
"Iya." Viola melirik melody. "Emang lo gak cerita, Mel?"
Melody melihat Gitar yang tengah memandang objek lain. "Gak ada gunanya juga gue cerita. Maksudnya ... gue belajar biola karena keinginan gue. Gak ada niatan tampil di acara gini, sebelumnya."
Melody kembali melihat Gitar, cowok itu masih bertahan di posisi semula. Apakah mungkin Gitar marah? Seharusnya kan, Melody yang marah padanya.
🍁🍁🍁
Gitar duduk di ruangan dengan penerangan yang temaram. Matanya menatap lurus ke depan. Entah apa yang dia pikirkan, sampai-sampai, ia tidak mendengar panggilan orang di balik pintu.
Engsel pintu dipegang oleh seseorang, dan membuat pintu terbuka.
"Lo kok menyendiri di sini. Yang lain nungguin di bawah lo." Derby mengambil tempat di sebelah Gitar.
"Gue butuh sendirian." Gitar menjawab, tanpa menoleh.
"Lo kesel karena acara tadi?" tanya Derby.
Derby tahu ada yang disembunyikan dari Gitar. Dia dan Axellez yang lainpun terkejut dengan penampilan permainan alat musik dari Gitar dan Melody.
"Jelas. Yang bikin gue kecewa, gue gagal membuktikan ke orang itu kalau gak ada yang lebih baik daripada gue."
"Orang itu siapa maksud lo?" Derby mengernyit, bingung.
Lalu Gitar menceritakan kejadian yang beberapa hari lalu dialaminya. Walaupun sebelum acara dimulai, Gitar sudah mengganti nomor teleponnya yang baru.
Di acara tadi, Gitar yakin jika si pengirim pesan misterius itu datang. Namun dia sudah menyuruh penjaga mengecek cctv yang ada. Tidak ada satupun orang yang mencurigakan.
"Jadi lo ngelakuin hal itu karena ada pesan aneh itu?" tanya Derby. Dan Gitar mengangguk. "Gila lo, Gi. Kasian Melody."
"Lo belain dia?"
"Bukan gitu. Maksudnya kasian Melody kalau dia tadi gak bisa mainin alat musik. Secara lagu yang lo pilih itu nadanya terdengar bagus dimainkan dengan piano, gitar, harmonika, dan biola. Sedangkan piano, udah lo pakai. Dan gitar kalau dikombinasi piano terdengar biasa. Jika Melody gak bisa main biola, mungkin lo yang menang."
"Secara gak langsung lo bilang gue kalah gitu?"
"Mungkin, kan lo yang bilang ini permainan." Derby terdiam. "Baru pertama kali gue liat lo kayak gini. Lo kecewa sama diri lo sendiri."
Gitar menoleh. "Maksud lo?"
"Ya aneh aja gitu. Seorang Gitar Exel Julian, merasa tersaingi oleh seorang gadis seperti Melody."
"Gue ngerasa aneh sama lo, Der, ucapan lo kayak meremehkan gue gitu." Gitar menatap Derby penuh selidik. "Atau jangan-jangan, lo adalah dalang dibalik semua ini. Lo kan yang mengirimkan pesan aneh itu?"
"Maksud lo apa? Lo nuduh gue?" Derby tidak terima. "Kalau tahu gini, mending gue gak ikut campur urusan lo. Terserah lo mau lanjutin rencana awal tau enggak, gue gak peduli."
Derby berdiri, dan pergi begitu saja.
"Aneh banget sih dia."
TBC
Sorry typo.
Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan.
Maaf baru bisa update, kehidupan di dunia nyata sibuk soalnya. Gak bisa di tinggal.
Jangan lupa vote dan comen ya.
Love Dedel
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top