Part 59 - Undangan

Selamat datang di part 59.

Jangan bosen-bosen ya baca cerita ini.

Happy Reading.

🍁🍁🍁
Sadar atau tidak, rasa membenci bisa jadi ingin memiliki jika kita, sudah tau apa yang disuarakan oleh hati. Walau bibir menolak berucap, mata menolak melihat, dan telinga menolak mendengar, tapi hati tak bisa menyangkal dan mengelak apa yang sebenarnya dia inginkan.

🍁🍁

Ingar bingar terdengar di salah satu club yang cukup populer. Cowok berjaket kulit berwarna coklat masuk ke dalam, disambut teman temannya dengan bertos ala laki-laki.

"Woy, bro."

"Datang juga, lo."

"Ya iya lah, masa gue gak dateng." Gitar ikut bergabung bersama teman-temannya di bar.

"Gue pikir lo gak dateng," ucap Derby, cowok itu mengeluar asap rokok dari mulutnya.

"Ya dateng lah. Kan kita udah janjian." Gitar meminum minuman yang mempunyai kadar alkohol rendah. Dia tidak ingin mabuk seperti Derby dan Tristan.

"Kali aja. Bye the way, lo kemana aja sama Melody? Sampai-sampai baru sekarang ke sini? Janjiannya kan jam delapan," tanya Tristan.

"Sorry. Gue kan jalan sama Melody. Diajak ke pasar malam juga gue sama dia. Nih, dia sampai beliin gue gelang. Katanya sebagai tanda persahabatan." Gitar mengangkat tangannya ke udara, menunjukkan benda yang diikatkan Melody di tangannya.

Derby tertawa mengejek. Tangannya terulur memegang gelang itu. "Coba lihat. Widih, bentuk gitar. Masa vokalis Axellez makai gelang?"

Derby meremehkan.

Tidak tahu kenapa, hati Gitar seperti tidak terima Derby mengatakan hal itu. Dia tidak suka benda pemberian Melody diejek oleh sahabatnya.

Padahal, Melody tulus banget ngasih gue ini.

Melihat raut wajah aneh Gitar, Derby dan Tristan menghentikan tawa. "Gitar, lo kenapa?" tanya Tritan.

"Mungkin lagi kesel karena mikirin tuh gelang kali Tris. Mau dibuang, gak enak sama doi. Mau di pakai, takut gengsi," sahut Derby, terkekwh kecil.

Gitar tersentak. Dia mencari alasan. "Apasih kalian berdua. Gue lagi mikirin acara keluarga gue lusa."

"Jangan dipikirin lah, kan, kostum udah jadi. Kita juga udah latihan. Undangan juga udah disebar, kan? Pasti lancarlah," ucap Derby. "Mendingan kita seneng-seneng dulu. Ke dance floor yuk?" ajaknya.

"Gue gak suka joget-joget bareng cewek alay. Lo aja sana." Sebenarnya Gitar datang ke tempat ini hanya untuk mencari suasana yang memberangsang saja. Itu saja tidak setiap hari. Tidak seperti Derby.

"Yaudah." Derby bersiri, lalu menatap Tristan. "Lo nggak ikut, Tris?

"Oke lah."

Gitar hanya duduk di bar sambil memperhatikan kedua temannya yang sedang berjoget ria.

Perasaannya jadi kacau ketika Derby menyindir gelang yang berbentuk namanya itu.

Walaupun Gitar tidak menyukai Melody, tapi dia tidak suka menghina pemberian orang.

Gitar tersenyum tipis, saat melihat kembali gelang di tangan kirinya itu. Bayangan Melody melintas seketika, gadis itu jauh terlihat manis dan cute jika dari dekat. Apalagi saat Melody tengah memakaikannya gelang. Gitar tak henti-henti memandanginya. Wajah cantik yang sedikit tertutupi rambut yang terombang-ambing karena angin.

"Kayaknya gue mulai gila deh." Gitar geleng-geleng. Akhir-akhir ini banyak kejadian yang membuat sifatnya berubah-ubah.

🍁🍁🍁

Setelah selesai mandi, Gitar keluar dengan menggosok-gosokan handuk di kepalanya, untuk mengeringkan rambut yang basah setelah keramas.

Cowok itu merangkapkan kaos putihnya dengan setelan kemeja. Kemeja biru muda dan celana jins hitam itu sangat pantas melekat ditubuh atletisnya.

Gitar mengabil papper bag yang sudah ia siapkan semalam. Hari ini ia akan ke rumah Melody. Ada hal yang ingin dibicarakan dengan gadis itu.

Gitar meraih kunci mobilnya. Bergegas turun ke bawah.

"Mau ke mana, Gitar? Pagi gini udah rapih. Biasanya kalau libur masih molor si kamar."

Gitar menghampiri mamanya yang ada di meja makan. Monika tengahenyiapkan sarapan untuk mereka.

"Biasa, Ma. Anak muda." Gitar mengambil sandwich buatan Monika dan memakannya.

"Eh ... gak sopan banget main nyomot aja. Makan sambil duduk, Gitar!" Perintah Monika. Tak habis pikir dengan anak semata wayangnya.

Gitar akhirnya menurut. Dia duduk namun masih terburu-buru mengunyah makanan.

"Ah, Mama. Gitar buru-buru tahu," ucap Gitar, lalu meneguk segelas susu.

"Buru-buru ke mana? Orang libur kok?" tanya Monika.

"Pasti ngumpul sama temennya. Atau sama fans-nya," sahut Zein yang sedang menikmati sarapnnya.

"Tet .... Tebakan kalian gak ada yang bener. Orang Gitar mau ke rumah Melody ye...." Gitar sedikit mengejek. Karena tebakan orang tuanya tidak ada yang tepat.

Bertepatan dengan itu pula, Zain yang sedang makan tersedak. Segera meminum air putih untuk menghilangkan batuknya.

"Papa, makan gak hati-hati." Peringat Monika.

"Kamu jadi masukin dia ke band kamu?" tanya Zein, memastikan.

"Iya lah. Orang dia juga mau. Apa salahnya coba."

Monika yang kebingungan dengan intraksi keduanya memutuskan bertanya. "Jadi Melody yang kamu kenalin di butik itu adalah Melody yang udah ngancurin perfom kamu?" tanyanya pada Gitar.

"Iya. Bukan ngancurin sih, Ma. Gitar emang telat datangnya." Gitar meralat cepat. "Dia yang gantiin. Dan namanya jadi trandding saat itu. Kan kesel jadinya."

"Tapi Mama lihat dia anaknya baik? Gak mungkin mau nyingkirin kamu?"

"Mama kayak gak tau kelakuan anak sendiri aja." Zein membalas ucapan Monika. "Orang sebaik apapun bakal dianggap saingan oleh orang yang berambisi kayak Gitar."

"Papa ngomong gitu seakan tahu Melody aja." Gitar lama-lama kesal, Ayahnya seolah memuji Melody. Padahal melihat Melody saja dari video viral di akun youtube sekolah. Secara langsung Zein belum mengenal sifat Melody.

"Papa yakin dia baik. Om kamu, Aryo, bilang gitu ke Papa." Zein menjeda. "Kalau begitu, undang saja Melody ke pembukaan perusahaan baru Papa. Papa akan lihat gadis seperti apa yang membuat anak Papa merasa terkalahkan."

"Oke. Tapi satu hal yang Papa harus tahu, Gitar gak merasa terkalahkan sama dia ya. Dia aja belajar gitar dari Gitar." Gitar berdiri. Menenteng papper bag, lalu pergi.

"Ih Papa gimana sih. Tau anaknya tempramen malah ngomong gitu." Protes Monika pada suaminya.

"Biarin aja, Ma. Walaupun dia anak semata wayang kita, Mama jangan terlalu manjain dia. Gitar itu udah gede, dia sebentar lagi lulus SMA. Dia harus bisa pikirin mana yang baik dan bener, buat dia atau orang lain."

🍁🍁🍁

Melody menyirami bunga dan tumbuhan lainnya di halaman rumah. Dia membantu Hilda bersih bersih rumah. Untuk meringankan pekerjaan ibunya itu.

Gadis itu bersenandung kecil. Suara percikan air dari selang dan nyanyiannya, membuat dia tidak sadar jika ada tamu di rumahnya.

Gitar yang melihat itu berniat mengerjai dengan mengagetkan Melody. Namun malah senjata makan tuan yang dia dapat. Bajunya basah, tak sengaja tersiram air oleh Melody.

"Ya ampun." Melody panik, dia mematikan selangnya. "Maaf, kak, gak sengaja. Habis lo ngagetin sih. Gue kira maling."

"Emang ada maling seganteng gue?"

"Pede lo. Duduk dulu yuk."

Gitar dan Melody duduk di kursi teras. Tangan Gitar sibuk mengeringkan bajunya yang basah dengan tisu yang diberikan Melody.

"Beneran gak mau ganti aja?" tawar Melody. "Ada baju Ayah yang pas sama Kakak loh."

Gitar menggeleng. "Gak usah, Mel. Entar juga kering."

"Kakak ngapain ke sini?" Pernyataan itu terlintas di pikiran Melody.

"Mau jengukin Tuan Putri. Eh libur gini Tuan Putri belum mandi ternyata." Gitar terkekeh.

"Kok tau, cenayang ya?"

Memang jika libur Melody jarang mandi, lebih tepatnya sekali sehari. Bukan hanya hemat air, namun hemat waktu juga. Jika dulu waktunya dihabiskan oleh rebahan dan makan, sekarang dengan belajar alat musik dan membaca buku-buku yang berkaitan dengan musik milik kakaknya. Dan sudah dua minggu ini Melody pergi ke Rumah Viola untuk belajar biola bersama gadis itu.

"Bukan cenayang, lebih tepatnya sayang," balas Gitar.

"Idih."

"By the way, orang tua lo ke mana, Dy? Sepi amat?" Biasanya jika ke mari, Hilda lah orang pertama yang menyambutnya. Tapi sekarang suaranya saja pun tidak terdengar.

"Bunda lagi ke pasar sama Ayah. Naik motor lagi. Biasa... mengenang masa remaja katanya." Melody terkekeh mengingat jawaban bundanya ketika ia tanya 'kenapa boncengan pakai motor?' Dan 'kok tumben berduaan ke pasar?'.

"Sweet banget. Bokap nyokap gue aja jarang pergi bareng. Nyokap ngurus butik, bokap ngurus perusahaan. Dan gue cati hiburan ngurus Axellez jadinya."

Melody hanya tersenyum tipis. Kebanyakan anak orang kaya begitu. Merasa kurang waktu untuk kumpul bersama keluarga.

"Yang penting keduanya sama-sama perhatian sama lo," ucap Melody.

Gitar sampai hampir lupa tujuannya kemari untuk apa. Dia meletakkan papper bag yang di bawanya ke meja.

"Ini apa?" tanya Melody.

"Kostum lo."

"Hah?"

"Kostum buat lo, Mel. Yang dibuat di bitik nyokap gue waktu itu. Sekarang kan lo udah bagian dari Axellez." Gitar menjelaskan.

"Jadi anggota Axellez harus punya kostum?"

"Iya. Dan gue sekalian mau menyampaikan sesuatu sama lo." Gitar berdehem. "Lusa bokap gue buka perusahaan baru, dan Axellez diundang di  sana. Gue harap lo hadirnya, ikut tampil bareng kita. Tenang aja, kok, walaupun itu acara bokap gue, kita tetep di bayar, jadi suara emas lo gak didengar cuma-cuma sama mereka."

Melody paham betul dengan hal ini. Waktu itu Kaiden sudah menjelasjan. Dia terima atau tidak itu urusanya. Tapi jika menolak, Melody merasa tidak enak. Axellez sudah menjadikannya keluarga. Dan mengenalkannya lebih luas tentang dunia permusikan.

"Mau ya, Mel. Lusa gue bakal jemput lo kalau mau, jadi lo gak usah bingung mau naik apa ke sana," lanjut Gitar.

"E... gimana ya? Ini kan acara keluarga Kakak. Dan orang yang hadir pasti orang hebat dari kalangan pebisnis kayak bokap lo. Belum lagi rekan-rekan kerjanya. Pasti rame banget. Gue gak bisa tampil di depan banyak orang. Malu, grogi, san gak pede. Takut salah dan nantinya malah biat Axellez malu." Alasan lainnya sebenarnya Melody juga tidak pernah hadir di acara seperti itu.

"Gue ajarin deh biar percaya diri." Gitar membujuk. "Sebelum tampil kita latihan dulu. Biar gak salah lirik atau kelalaian apa pun di acara itu."

"Emang latihan sehari bisa?"

"Bisa kalau ada niat. Lagian kita hanya membawakan lagu yang biasa Axellez nyanyikan. Jadi latihannya gak perlu lama."

Sebenarnya Gitar dan yang lain sudah latihan beberapa hari ini. Dan dia tidak ada niat untuk mengundang Melody. Sepertinya karena ucapan papanya tadi pagi membuatnya melakukan ini. Gitar ingin menunjukkan bahwa tidak ada yang lebih hebat darinya, termasuk Melody.

"Gimana, Mel? Mau, kan? Jangan kecewain nyokap bokap gue. Mereka pengin lo hadir dalam acara itu."

Melody menganga tak percaya. "Hah? Orang tua lo pingin gue dateng."

"Iya. Bokap pingin kenalan sama lo. Dia dekat sama semua anak Axellez, tinggal lo yang belum. Lo, kan, anggota baru."

Melody diam. Silaturahmi tidak ada salahnya, kan?

"Mau, kan, Mel?"

Setelah berpikir, Melody memutuskan sesuatu. "Gue ikut di acara itu."

Gitar tersenyum. Selamat datang di dunia Gitar Melody. Gue akan  tunjukin ke lo, posisi lo yang sebenarnya.

"Thanks, Melody." Gitar berdiri. "Kalau gitu gue pamit ya."

Melody mengangguk, mengiyakan.

🍁🍁🍁

Setelah kepergian Gitar dan selesai beres-beres, Melody sedikit berolah raga untuk menjaga kesehatan tubuhnya.

Aktivitasnya terhenti ketika melihat cowok memakai training hitam dan kaos putih berlari.

"Woy, kentang goreng!" Melody sedikit berteriak.

Kenn berhenti. Membiarkan Melody menghampirinya.

"Dari mana lo?" tanya Melody.

"Biasa. Lari keliling kompleks. Siapa tahu nemu cewek."

"Heh kok gitu. Gue bilangin Willona nanti lo. Diputusin baru tau rasa lo," ancam Melody.

"Jangan dong. For you informations, sebelum kenal Willona gue udah kenal rasa, Mel. Rasa asin, manis, asam, pedas. Dan setelah ketemu Willona, rasanya jadi lebih manis, Mel."

"Ye elah. Bucin lo."

"Bodo." Tiba-tiba Kenn teringat sesuatu. "Tadi mobil ke sini siapa?"

"Oh, itu Kak Gitar. Dia nganterin baju buat tampil di acara perusahaan baru papanya."

"Lo mau datang ke sana?"

"Iya. Axellez kan diundang buat hadir."

Entah mengapa perasaan Kenn tidak enak. "Gue ikut."

"What?" Melody kaget dengan ucapan Kenn. "Emang lo diundang? Gak sembarangan orang bisa masuk, kentang...."

"Ya tinggal bilang gue anaknya Rudy William. Bokap gue kan terkenal di kalangan pebisnis. Walaupun sekarang dia gak di Indonesia."

"Mentang-mentang kaya bisa seenaknya lo." Melody mencibir. "Lagian emang mereka percaya kalau lo anaknya Om Willi?"

"Percaya lah, muka gue kan bule-bule gitu kayak bokap." Kenn menyisir rambutnya yang sedikit basah karena berkeringat dengan tangannya.

"Tapi, kan, lo biang rusuh Kenn. Entar acaranya jadi rusak."

Kenn merangkul bahu Melody. "Tenang, gue gak sebego itu ngerusakin acara orang. Gue cuma mau ngelindungi lo doang."

"Kenn anterin gue yuk?"

"Ke mana?"

"Ke rumah Willona," jawab Melody.

"Mau ngapain?" tanya Kenn. "Gue yang pacarnya aja jarang main ke sana. Takut sama bokapnya yang sesikit galak."

Melody tau jika ayah Willona sedikit galak. Tapi jika dengannya biasa-biasa saja. Bahkan dia  beberapa kali menginap di sana.

"Jangan gitu loh sama calon mertua." Peringat Melody. "Gue ke sana mau minta tolong sama Willona buat dadanin gue. Masa ke acara orang besar kok buluk."

"Baru nyadar lo kalau buluk?" Ejekan itu membuat Melody mendengus. "Tumben banget mentingin penampilan? Biasanya masa bodo aja."

"Sekali-kali lah, Kenn...."

Alasan yang sebenarnya adalah, Melody ingin dunia tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Dia ingin dunia tahu bakatnya dan layak untuk menjadi bagian dari Axellez. Karena beberapa hari ini dia mendapat teror dari seseorang yang menyuruhnya keluar dari Axellez.

Nomor yang tidak dikenal itu terus menggangunya dari pagi, siang, sore, dan malam.  Akhirnya melody mengganti nomor ponselnya. Dan tidak ada satupun orang yang ia ceritakan tentang kejadian ini, termasuk Kenn, sahabatnya sendiri.


TBC

Aku update kan.

Sorry kalau ada typo.

Aku update karena terharu buku antologiku terbit. Gak nyangka banget.

Kalau suatu saat bisa nerbitin secara solo sangat bersyukur banget. Dan semoga aja cerita Love Is Music ini yang akan ku terbitkan pertama.

Tapi gak tau waktunya kapan. Sekarang mau fokus dulu belajar. Dan banyak banget draf cerita baru yang belum sempat aku update di sini.

Maaf ya jadi curhat. 😂

Oke. Seperti biasa, jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca. Karena satu vote dan komen dari anda sangat berarti untuk saya.

Love.

Dedel

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top