Part 57 - Mulai Terbiasa
Hai readers.
Ada yang kangen Melody sama Gitar gak nih?
Makasih buat kalian yang udah nunggu.
Semoga sehat selalu.
Ssmoga dapet ya feel-nya.
Happy reading.
🍁🍁🍁
Ibarat sebuah koin, kamu sering menilai orang dari satu sisi aja yang terlihat, tanpa mau mengetahui sisi lainnya. Walaupun begitu, kedua sisi itu mempunyai fungsi yang sangat penting. Itu artinya, sangat penting mengetahui sisi orang baik yang terlihat ataupun yang disembunyikan.
🍁🍁🍁
"Dah beres nih."
Marvel selesai membenahi gitar milik Melody. Cowok itu selesai memasang senar, bahkan senar lama gitar tersebut ia ganti yang baru.
"Hebat ya."
Marvel tersenyum. Menyerahkannya pada Melody. "Lo coba dulu. Siapa tahu nadanya ada yang aneh juga."
Melody mengambilnya. Ia mencoba memainkan gitar itu. Akhirnya nada yang dikeluarkan seperti semula.
"Yang ini juga udah selesai, Neng."
Giman menghampiri Mereka. Melody menerima gitar yang diserahkan Giman.
"Makasih, Mang."
Satu gitar ia letakkan di meja. Jemarinya mencoba membunyikan gitar yang sudah dibenahi oleh Giman. Nada yang dikeluarkan mulus. Melody senang, akhirnya dia mempunyai gitar untuk bahan latihan di rumah. Jika kelak punya uang, maka Melody akan membeli gitar baru di toko ini. Toko milik Marvel itu menjual gitar mulai dari kualitas standar sampai sangat berkualitas.
"Kok gak dilanjutin?"
Melody menatap Marvel. "Apanya?"
"Main gitarnya. Gue belum denger loh, permainan gitar lo. Kan, kemaren lo udah belajar."
"Gue cuma nyoba doang, Kak. Lagian walaupun udah latihan, pasti lebih bagusan permainannya Kak Marvel lah. Secara Kakak kan, gitaris."
"Gue gak sehebat itu, Mel. Lagian banyak juga kok, gitaris di luar sana yang lebih hebat dari gue."
"Oh, iya, Kak. Ini jadi berapa ya?" Melody menanyai harga perbaikan alat musiknya. Dia membuka tas ransel untuk mengambil uang.
"Enggak usah, Mel. Lo kan temen gue. Masa gini aja bayar." Marvel menolak.
"Ya nggak bisa gitu dong, Kak. Mentang-mentang gue temen lo masa di gratisin. Kan, gue gak enak."
"Gapapa, Mel. Di enakin aja. Kan, baru pertama kali lo ke sini."
"Tapi, kan_"
"Kalau lo masih kekeh soal itu, gimana kalau bayarnya lo gue anterin pulang aja." Marvel memotong ucapan Melody. Dia tahu gadis itu ingin pulang karena sedari tadi Melody selalu memperhatikan arloji di pergelangan tangannya. Jelas saja gadis itu ingin pulang. Sudah hampir dua jam dia berada di sini.
"Kok malah jadi gue ngerepotin lo sih, Kak." Melody terkejut dengan ucapan Marvel. Memang dia ingin pulang, tapi tidak ingin meyusahkan orang lain. Apalagi Marvel menolak uang yang dia berikan sebagai bayaran perbaikan alat musiknya.
"Nggak repotin, Kok. Gue juga pingin tahu rumah lo di mana." Marvel memberi jeda. "Jadi, gimana?"
Tak enak rasanya Melody menolak permintaan Marvel. Lagipula dia memang harus pulang. Jika masih berlama-lama di sini, maka Heri dan Hilda akan cemas.
"Ya udah deh."
Marvel membantu Melody membawakan salah satu gitarnya. Cowok itu berpesan pada Mang Giman untuk menjaga tokonya.
Mobil silver milik Marvel siap menghantarkan Melody sampai ke rumah gadis itu. Tentu saja Melody memberi arahan agar Marvel tahu jalannya.
"Makasih, Kak, udah nganterin pulang."
"Iya." Marvel tersenyum simpul.
"Makasih juga udah gratisin gue." Melody tergelak. Dia sebenarnya juga merasa tidak enak hati.
"Kan lo udah bayar dengan mau pulang gue anterin." Marvel menelik ke rumah Melody. "Jadi ini rumah lo?"
"Bukan." Ucapan Melody itu membuat Marvel menoleh ke arahnya. "Rumah orang tua gue."
Melody mengikuti ucapan Marvel tadi. Menurutnya benar, rumah itu adalah milik orang tuanya. Dia hanya menumpang saja di sini.
Marvel tahu Melody mengikuti ucapannya di toko tadi. Sehingga bibirnya tertarik ke atas untuk melengkungkan senyum.
"Rumahnya Kenn, deket sini juga?" tanya Marvel. Dia sering kali bertemu sahabat kecilnya Melody itu. Mereka bahkan bisa dibilang berteman. Marvel terkadang menanyai kabar Melody lewat Kenn.
"Rumahnya Kenn dua rumah sebelum ini Kak. Yang elite itu." Melody melepas sabuk pengaman. Dia mengambil gitar yang diletakkan di kursi belakang. "Gue masuk ya, Kak."
"Gak mau gue bantuin bawanya?" Marvel menawarka diri. Melihat Melody yang tampak kerepotan membawa dua buah gitar.
"Nggak usah, Kak. Gini doang. Kakak beneran gak mau mampir?"
Melody sudah menawarkan pada Marvel agar mampir sebentar. Namun Marvel menolaknya dengan halus. Cowok itu harus menjaga toko Harmoni.
"Lain kali."
Melody mengangguk. "Hati-hati ya."
Marvel membalasnya dengan senyuman.
Melody membuka pintu mobil. Dia turun dengan membawa dua gitarnya.
Marvel menurunkan kaca mobil, memberi lambaian tangan singkat pada Melody. Setelahnya ia pergi dari sana.
🍁🍁🍁
Gitar masuk ke toko Harmoni milik Marvel. Toko itu jaraknya tidak jauh dari studio Doremi milik Ayahnya. Lagipula, Gitar jika membeli atau memperbaiki alat musik juga di sini.
Memang tidak terlalu ramai. Karena semua orang tidak setiap hari membeli alat musik yang baru. Hanya hari-hari tertentu saja. Paling banyak sih anak sekolah yang membeli, untuk praktek alat musik di pelajaran seni budaya.
Gitar melambaikan tangan pada semua pekerja di sana. Dia sudah akrab dengan mereka. Gitar juga sering memberi makanan pada pekerja di toko milik keluarganya Marvel itu.
Langkah kakinya mengarah ke ruang yang biasanya digunakan untuk perbaikan alat musik. Banyak jenis-jenis alat musik yang harus diperbaiki oleh pekerja.
"Hoy, Mas bro."
Sapaan dari Gitar membuat Mang Giman yang sedang bekerja menoleh kearahnya. Laki-laki yang sudah kepala tiga itu tersenyum kearahnya. "Eh, Mas Gitar. Apa kabar, Mas?"
"Baik."
Mata Giman merosot pada benda yang sedang dibawa Gitar. Cowok itu membawa bag papper yang ia yakini berisi makanan. "Itu apa, Mas. Makanan buat saya ya?"
"Ye, makan mulu pikiran Mang. Bukan makanan ini. Lagian Mang kayak gak dikasih makan aja sama bini." Gitar terkekeh.
"Dikasih sebenernya, Mas. Tapi kan lebih enak makanan luar." Protes Mang Giman.
"Lebih enak makanan rumah lah. Kan dibuatnya penuh dengan cinta." Gitar menelik sekitar. "Oh iya. Marvel mana, Mang? Gak kelihatan batang hidungnya."
"Mas Marvel mah lagi nganterin temennya pulang. Cewek cantik."
"Temen? Cewek? Siapa?" Tentu saja Gitar terkejut. Setahunya Marvel tidak dekat dengan gadis manapun saat ini. Dulu cowok itu pernah dekat dengan sepupunya, namun sekarang tidak lagi.
"Masa Mas bro Gitar gak tau sih. Kan satu sekolahan juga sama kalian. Kalau enggak salah namanya neng Melani, eh bukan deng. Melankolis, duh bukan juga. Mel siapa gitu, saya lupa. Tapi bukan caramel."
Mel? Jangan-jangan....
"Melody?" Gitar bertanya memastikan.
"Iya, Melody. Baru inget saya."
Tangan Gitar mengepal, mengetahui fakta itu. Entah mengapa ia merasa marah pada Marvel. Bukanya cemburu, melainkan takut kalah start dengan cowok itu. Bisa saja Marvel terlebih dahulu membongkar rancangannya dan mengatakan yang senbenarnya pada Melody. Maka semuanya akan kacau.
"Udah lama?
"Sekitar dua puluh menit adalah, Mas. Mas Gitar mau nunggu, duduk sana dulu." Mang Giman menunjuk sofa yang berada di sana.
"Nunggu di luar aja, Mang." Putus Gitar akhirnya.
Kini dia duduk di kursi rotan yang terletak di teras toko. Kaki kanannya ia naikkan, menindihi kaki kiri. Matanya tak henti menatap jalan masuk, menunggu Marvel.
Tak lama, mobil sedan berwarna silver memasuki halaman toko. Si pemiliknya keluar setelah menghentikan laju mobilnya di parkiran.
"Gitar. Tumben banget lo ke sini?" Kata pertama yang dikeluarkan Marvel seperti itu. Gitar berpikir, sepertinya cowok itu tidak suka dengan kedatangannya. Padahal Gitar hanya menerka saja.
"Emang gak boleh?" Gitar merubah posisi kakinya. Lalu ia berdiri.
"Boleh lah. Siapa coba yang ngelarang?"
"Lo barusan."
Alis Marvel terangkat. Dia merasa ada yang aneh. Gitar tidak seperti biasanya. Baru bertemu, cowok itu sudah dahulu ketus padanya.
"Lagian gue juga sering ke sini kali. Sekarang aja memang jarang," lanjut Gitar. "Lo habis nganterin Melody pulang, kan?"
"Tau dari Mang Giman?"
"Iya. Lo gak lagi ngerencanain sesuatu, kan?"
"Bukannya lo ya, yang lagi ngerencanain sesuatu?" Marvel balik bertanya.
"Sialan emang lo. Gue tau, sosok Melody ngingetin lo sama almarhum adek lo. Gue juga gak peduli lo mau anggap dia adek atau gebetan lo. Yang jelas, sebelum gue menang, lo jangan bertindak."
"Maksudnya?"
"Gak usah pura-pura bego deh, Vel. Lo sama Melody sama aja. Sok masang muka polos, tapi sebenernya...."
"Lo memang selalu bawa nama Melody dalam pembicaraan kita." Marvel memotong ucapan Gitar. Dia kembali melanjutkan ucapannya. "Gue paham maksud lo apa. Tapi inget, Gi. Melody itu baik, dia gak seperti yang lo pikirin."
"Yang bilang dia jahat siapa?" Gitar mengejek." Gue tau kok dia baik. Tapi kebaikan dia yang bisa merusak masa depan gue."
"Susah ya ngomong sama lo. Orang yang cuma menilai orang lain dari satu sisi. Pikirannya nething terus."
Sejak Melody hadir di kehidupan mereka, persahabatan mereka seperti diujung tanduk. Mereka selalu saja memulai perdebatan kecil. Sering berbeda pandang mengenai orang, terkadang keduanya sama-sama meradang. Untung saja itu tidak berlangsung lama. Persahabatan keduanya kembali terang.
"Ibarat koin, lo lihatnya cuma dari satu sisi, tanpa mau memahami sisi yang lain," lanjut Marvel
Gitar bergeming. Kemudian tangannya mengambil bag papper yang ia bawa dari rumah. Di dorongnya bag paper itu ke dada Marvel.
"Kostum baru band kita," ucap Gitar datar.
Marvel meraihnya. Tatapannya kembali beralih pada Gitar. "Yang kata lo buat tampil di acara pembukaan perusahaan baru bokap lo?"
"Hem...." Gitar membalasnya dengan cuek.
"Melody ikut?"
Gitar menaikkan alis. "Kok tanya gue? Emang gue Emaknya?"
"Lo gak mau ngundang dia?" tanya Marvel.
"Gue rasa permainan musiknya belum bagus. Nanti bisa merusak acara." Gitar merogoh saku untuk mengambil kunci motornya. "Gue balik."
Deruman motor Gitar menghilang, si empunya sudah jauh dari halaman toko.
"Gitar-gitar. Kapan lo bisa berubah?" Pertanyaan itu entah siapa yang akan menjawabnya. Marvel melengos ke dalam.
🍁🍁🍁
Melody sudah mulai terbiasa dengan semua anggota Axellez. Dia sudah tidak merasa canggung lagi pada kelima kakak kelasnya itu.
Semuanya menerimanya dengan baik. Bahkan jika ada yang tidak paham mengenai pelajaran musik. Mereka dengan senang hati mengajari Melody.
Melody bersyukur gabung dalam band ini. Dia harap, impiannya bisa dimulai dari sini. Dari hal kecil, yang kelak akan menjadi besar pada waktu tepat yang telah digariskan oleh takdir.
"Kak Vio."
Melody berlari kecil untuk menghampiri Viola. Panggilannya membiat si pemilik nama menghentikan langkah.
"Kenapa, Mel?"
"Kakak mau kemana?"
"Ke lantai bawah. Mau ke ruang seni untuk memotret lukisan karya murid sekolah kita."
Pantasan saja Viola membawa kamera di tangannya.
"Disuruh siapa?"
"Wakil Kepala Sekolah. Katanya mau di kirim ke dinas kabupaten. Sebagai bukti kalau sekolah murid-murid sekolah kita itu pintar berkreasi," ucap Viola. "Kalau eskul band sekolah kita udah terkenal maju sampai provinsi. Bahkan Axelez pernah beberapa kali kolaborasi dengan band-band terkenal di Indonesia."
"Oh ya?"
Viola mengangguk.
Mungkin dulu Melody terlalu kudet dan tidak ingin tahu tentang Axellez. Sampai-sampai tidak tahu mengenai fakta ini. Alasan lainnya, Melody tidak mau berurusan lagi dengan hal yang berhubungan dengan musik.
Tapi sekarang, Melody ingin lebih mengetahui tentang Axellez dan dunia permusikan. Dunia Melody sekarang bukan hanya belajar prestasi, tapi juga mimpi, tentang musik.
"Lo sekarang udah bisa main gitar ya?"
"Lumayan sih, Kak. Tapi gak jago banget."
"Namanya juga proses. Semangat ya, Mel. Dan semoga lo betah di Axellez."
"Aamiin." Melody tersenyum simpul. "Kak Viola masih bisa main biola kan ya?"
"Emang kenapa?" Viola balik bertanya.
"Boleh dong ajari gue. Gue pingin mengenal alat musik satu per satu. Kan kak Viola jago mainnya tuh."
"Gue gak pernah ngajarin orang sebelumnya, Mel. Mendingan lo cari orang yang lebih jago dari gue."
"Yah... ayo lah, Kak. Mau ya? Lagian orang yang gue kenal bisa main biola cuma Kak Vio doang." Melody terus membujuk.
"Em... ya udah deh." Viola memberi keputusan setelah berpikir.
"Makasih, Kak."
Viola tersenyum tipis. "Gue duluan ya, Mel. Harus ke ruang seni. Kalau nggak ngirim gambar sekarang, dimarahin lagi sama Wakepsek."
Sesudah mendapat anggukan singkat. Viola turun ke lantai bawah. Lantai dasar di sekolah Kencana Bakti. Kakinya melangkah ke gedung F, ruang seni. Banyak sekali lukisan karya murid di sini yang terpajang di dinding ruangan itu.
"Kok lama, Vi?"
"Sorry. Tadi gue ngobrol dulu sama Melody."
"Ngobrol atau diajakin?" tanya Rebbeca.
"Diajakin sih tepatnya. Dia minta gue ngajarin dia main biola." Viola bicara terus terang. Dia tidak pernah menyembunyikan apapun pada Rebbeca. Begitu pula sebaliknya.
"Lo mau?"
"Iya. Gue seneng lihat antusias Melody ingin belajar alat musik yang menjadi kebanggaan sendiri buat gue." Walaupun sekarang Viola sudah jarang memainkan biola, namun dia masih bisa memainkan alat musik itu.
Biola juga yang telah membuatnya punya pengalaman gabung di Axellez. Biola juga yang mengantarkan namanya sebagai siswi terbaik di sekolah. Biola juga yang harus membuatnya berhenti memainkan alat musik yang dicintainya itu, demi membuat orang yang mencintainya baik-baik saja.
"Melody memang benar-benar mirip kakaknya." Rebbeca mengingat Cinta dulu. Walaupun waktu itu dia masih kelas 1 SMP, namun Rebbeca masih ingat tentang Cinta. Cinta pernah beberapa kali manggung di kafe milik papanya dengan memainkan alat musik yang berbeda.
"Gue mau dong, Re. Dengerin cerita Kakaknya Melody. Katanya dulu dia sekolah di sini juga, kan ya?"
"Iya. Makanya gue juga sekolah di sini. Nanti gue cerita, tapi sekarang kita bagi tugas dulu. Lo foto sebelah kanan, gue sebelah kiri."
"Oke."
🍁🍁🍁
"Derby ... Derby. Udah berapa kali gue bilang, kalau ngerokok jangan di depan gue." Gitar mengalihkan pandangannya ke samping, menghindari kepulan asap rokok yang keluar dari mulut Derby.
''Sorry."
Tristan menyerahkan satu minuman bersoda pada Gitar. Lalu cowok itu meminum sendiri minuman kalengan itu. "Gimana rencana lo?" tanya Tristan.
"Belum berjalan." Lalu Gitar meminum minumannya.
"Anjir, lo mau nyerah jadinya?" ejek Derby.
"Nggak ada di kamus gue sebelumnya, nyerah sebelum bertindak ya. Camkan itu." Gitar mengelak, tanda tidak terima. "Kemarin Marvel nganterin Melody pulang. Gue khawatir, dia bakal gagalin rencana gue."
"Lo gercep dong," ucap Tristan. "Lagian Marvel nggak mungkin juga ngomong ke Melody. Dia kan lemah. Gak mau nyakitin hati cewek."
"Bener juga ucapan lo, Tris." Pandangan Derby kembali ke Gitar. "Lo harus satu langkah di depan Marvel. Atau jangan-jangan, lo takut baper ya, makanya belum deketin Melody sampai sekarang."
Gitar melempar sebungkus snack pada Derby. "Sembarangan. Gue butuh waktu yang tepat. Gak mungkin langsung deketin Melody gitu aja."
"Dan di hati lo, kan masih ada Viola," sahut Derby.
"Enggak usah bawa-bawa Vio dalam masalah ini."
"Sorry."
"Mulut lo ternyata ceplas-ceplos juga kayak Milo ya." Gitar tersenyum sumir.
"Jangan bawa-bawa susu kotak. Lagi sebel gue sama dia." Peringat Derby.
"Why?" Gitar penasaran.
"Biasa, Gi. Mereka berdua paling lagi bersedebat soal Zela." Tristan terkekeh.
"Ya elah, gue kira apa." Gitar geleng-geleng." Lo belum bisa move on dari sepupu gue? Jadi lo nggak terima Zela mau digebet sama Milo?"
"Dih, gue enek kali sama Zela. Milo tuh yang suka sama Zela."
"Enak aja, gue gak suka sama Zela kali." Milo keluar dari tempat persembunyiannya. Dia hilang kontrol saat namanya dibawa-bawa.
"Milo, lo nguping pembicaraan kita?" Gitar, Tristan, dan Derby bertanya secara bersamaan.
Mampus.
Satu kata itu merupakan makian Milo pada dirinya sendiri.
TBC
2400 word.
Maaf ya kalo part ini gak dapet feel-nya.
Jangan lupa, Vote, komen, dan share ke temen-temen kalian ya.
Maaf juga telat update. Tugas online numpuk soalnya.
Love
Dedel
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top