Part 51 - Persetujuan

Udah banyak ya partnya, sayangnya pembacanya malah makin sedikit :(

Tolong partisipasinya ya 🙏

Ramaikan lah! Happy Reading.

🍁🍁🍁
Mungkin ini adalah garis awal untuk berjuang. Berada di garis awal itu tidak sesulit apa yang kamu bayangkan. Yang lebih sulit jika saat berada di tengah jalan, kau terjatuh karena keraguan dan kelelahan untuk menggapai tujuan.

🍁🍁🍁

(❤~♡~❤)

Melody menunggu kendaraan umum di halte. Sebenernya dia lumayan takut juga jika kejadian waktu dulu kembali lagi terjadi padanya. Dia takut supir kendaraan yang di tumpanginya gadungan.

Namun harus bagaimana lagi. Ponselnya lobet, sehingga Melody tidak sempat memesan lewat online. Mungkin dia bisa pulang dengan angkot meskipun harus berdesakkan dengan penumpang yang lain.

Kenn dan Willona sudah pulang sejak lima belas menit yang lalu. Kenn akan melakukan kejutannya pada Willona sore ini. Dan di sekolah hanya tinggal beberapa murid saja di dalamnya. Itu pula anak yang melaksanakan jadwal piket.


"Kok sepi kendaraan lewat ya? Atau udah lewat semua?" Gadis itu bermonolog. "Pasti gue kelamaan piket nih."

Melody mondar mandir ke sana kemari. Kesal menunggu dengan duduk.

Melody sesikit terlonjak. Mendengar suara klakson motor. Dua motor ninja dengan warna berbeda berdiri di depannya. Kedua orang itu membuka helm mereka masing masing.

"Kalian." Melody menganga tak percaya. Ternyata orang itu adalah Gitar dan Kaiden.

"Belum pulang, Mel?" Itu pertanyaan yang terlontar dari mulut Gitar.

"Belum, lagi nunggu angkutan umum."

"Kalau gitu lo pulang bareng gue aja."

Gitar dan Kaiden mengucapkan itu secara bersamaan. Setelahnya mereka saling pandang dengan tatapan yang sama-sama datar. Melody yang melihat itu tertawa kecil.

"Gitar, gue aja yang nganterin Melody. Ada perlu soalnya," ucap Kaiden kemudian.

Gitar melirik Melody sekilas sebelum membalas ucapan Kaiden. "Oh... yaudah."

"Kak Rebbeca gimana kalau Kak Kaiden nganterin gue pulang? Entar dia mikir gue ngerebut pacar orang lagi," tanya Melody diselingi dengan canda diakhir kalimatnya.

Kaiden terkekeh. "Ya enggak lah. Rere pengertian kok. Lagian dia udah pulang sama Viola."

"Oh...." Reflek, Melody membulatkan mulutnya.

"Ayo, naik," ajak Kaiden, sambil memakai kembali helm-nya.

Sebelum menghampiri Kaiden, Melody terlebih dahulu menatap Gitar. "Kak Gitar gak papa?"

"Kenapa harus kenapa-napa? Lo gak lagi ngarep gue cemburu kan?" Gitar balik bertanya.

Melody tercengang mendengar kalimat yang dilontarkan Gitar. Dia melirik Kaiden yang sepertinya sedang menahan tawanya.

"Dih, pede," balas Melody kesal. "Maksudnya tadi lo kan nawarin gue pulang, tapi gue pulangnya sama Kak Kaiden."

"Iya gak papa. Gue pulang sendirì juga bisa kok, tanpa lo duduk di jok belakang motor gue."

"Ish." Merasa jawaban yang diberikan Gitar nyeleneh, Melody segera menghampiri Kaiden.

"Helm-nya pakek. Gak bau kok." Kaiden menyodorkannya pada Melody.

"Kok Kakak punya helm cewek?"

"Punya Rebbeca."

Melody memakai helm itu dan duduk di jok belakang motor Kaiden.

"Kai, gue pulang dulu ya. Hati-hati bawa motornya," ucap Gitar, kemudian cowok itu melajukan motornya.

"Iya, lo tenang aja. Calon pacar lo gue jagain!" Kaiden sedikit berteriak, motor Gitar sudah lumayan jauh dari mereka.

Melody tersentak dengan ucapan Kaiden. Cewek itu mendaratkan pukulan pada bahu cowok itu. "Ih... apaan sih, Kak."

"Jangan gitu dong, Mel. Tinggal di-Amin-nin aja kok susah," ucap Kaiden disertai kekehannya.

"Kok Kak Iden sekarang nyebelin ya. Mirip sama Kenn."

"Ya enggak lah. Muka gue kan, gak ada bule-bulenya. Meskipun gue tiga tahun tinggal di Amrik, tapi orang tua gue kan asli Jawa."

Melody menepuk dahinya. "Maksud gue sifatnya, Kak. Bukan wajahnya. Udah ayo jalan. Keburu magrib entar."

Kaiden segera menghidupkan motornya. Melajukannya dengan kecepatan sedang.

"Kak, boleh tanya enggak?"

"Tanya aja."

"Kakak jadi lakuin yang tadi dibicarain di Kantin?"

"Yang gue ngomong sama orang tua lo?" Kaiden bertanya, namun fokusnya masih mengendarai motor.

"Iya."

"Gue nanti mampir, tapi gak tau jadi bilang atau enggak. Siapa tau orang tua lo lagi gak di rumah."

Melody diam. Dalam hatinya berharap semoga ayahnya malam ini lembur. Jadi Kaiden tidak jadi membicarakan hal ini pada orang tuanya.

Bukannya Melody tidak suka ayahnya pulang cepat, atau Kaiden berbicara pada ayahnya, tapi dia memang belum siap. Belum siap hati dan mental untuk menghadapi hal itu.

"Habis ini kemana, Mel?"

Melody tersentak dari lamunannya. Dia baru sadar bahwa sekarang kendaraan itu berada di jalan menuju rumahnya.

"Lurus aja Kak, nanti ada Talea butik belok kiri." Melody memberi arahan.

"Oke."

Tidak ada percakapan diantara mereka. Kaiden sibuk mengendarai motornya, sedangkan Melody sibuk berdoa di dalam hati agar hal buruk tidak terjadi nanti.

Kaiden menghentikan motornya begitu sampai di rumah Melody yang semuanya seba cat putih gading.

"Emang udah berubah ya. Dulu pohon cemaranya masih kecil, sekarang udah tinggi." Kaiden memperhatikan halaman rumah Melody yang makin asri karena ada pepohonan dan tanaman hias cantik.

Melody menanggapinya dengan tersenyum kecil. Dia turun dari motor Kaiden. Melepas helm dan menaruhnya pada spion motor cowok itu.

"Makasih ya, Kak. Udah nganterin gue pulang."

Kaiden turun dari motor, sekarang dia sudah berdiri di samping Melody. "Iya, Ody."

Melody rindu saat Irama dulu memanggilnya dengan nama itu. "Gue lama banget gak denger nama itu dari Kakak."

"Kakak yang mana nih?"

"Kak Rama, kan, Kakak gue juga."

Kaiden tersenyum merangkul Melody. Dia terkadang rindu juga dipanggil orang dengan nama Irama. Nama yang kini telah diubahnya menjadi Kaiden.

"Yuk, Masuk."

Melody menatap Kaiden saat cowok itu mengajakknya masuk ke dalam.

Kaiden menaikkan alisnya, menatap Melody. "Kenapa? Gue gak boleh mampir di rumah lo?"

"Bukan gitu. Harusnya gue yang ngajak Kakak masuk," dengus Melody.

"Ya habis dari tadi lo diam aja."

Melody membuka pagar rumahnya. Mempersilahkan Kaiden masuk. Diketuknya pintu rumah itu dengan mengucapkan salam.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumusalam."

Terdengar suara Hilda dari dalam rumah. Saat pintu terbuka, Hilda terkejut, pasalnya anaknya tidak pulang sendirian, tapi dengan laki-laki yang terlihat lebih dewasa dari anaknya.

"Dia siapa, Dy? Kok Bunda berasa pernah liat gitu?" tanya Hilda pada Melody.

Melody dan Kaiden saling lirik dengan tersenyum.

"Bun, Ody udah pulang."

Deg. Itu suara Ayah.

Ternyata Heri sudah pulang. Jika Kaiden mengatakan hal itu sekarang, maka tamatlah riwayat Melody.

"Iya, Yah. Sama temennya." Pikir Hilda Kaiden itu teman Melody. Dia tidak mengingat jika Kaiden itu Rama. Pacar almarhum anak pertamanya.

"Suruh masuk dong, Bun. Jangan di ambang pintu. Nggak sopan."

Hilda mempersilahkan Melody dan Kaiden masuk. Mereka berkumpul di ruang tamu.

Heri yang sedang membaca koran meletakkan korannya saat melihat laki-laki datang bersama anaknya.

"Yah." Kaiden menyalimi tangan Heri. Namun sepertinya ayah dari almarhumah kekasihnya itu belum mengenali siapa dia.

"Kamu siapa ya?" Biasanya teman Melody yang datang ke sini selalu memanggilnya dengan sebutan Om, meskipun dia lebih suka dipanggil Ayah. Namun laki-laki itu sudah memanggilnya demikian tanpa perlu dia minta.

"Ayah sama Bunda lupa ya?" tanya Kaiden.

Heri dan Hilda saling pandang. "Apa sebelumnya kamu kenal dengan kami?" tanya Heri.

"Kenal banget lah, Yah. Masa lupa sih?" Melody menjawab pertanyaan ayahnya yang terlontar untuk Kaiden.

"Emang mukanya kayak mirip siapa gitu?" pendapat Hilda. "Kayaknya Bunda pernah liat tapi di mana ya?"

"Ayah, Bunda, dia ini Kak Rama," ucap Melody, antusias.

"Maksud kamu Irama Pramudya? Pacarnya Kak Cinta?" tanya Hilda.

Melody mengangguk sembari tersenyum. "Iya, Bunda. Ternyata kalian bener-bener lupa ya."

Dalam pikiran Kaiden, cowok itu mengejek. Halah, lo juga lupa gue, Mel. Kalau gak denger irama piano waktu itu.

"Ya ampun. Udah lama banget kamu gak main ke sini, Nak. Sekarang makin ganteng." Hilda tak meyangka jika cowok di hadapannya ini adalah orang yang dulu sudah ia anggap anak sendiri.

"Ayah gak nyangka. Kamu udah banyak berubah, Ram." Perubahan yang dimaksud Heri adalah penampilannya. Sekarang Kaiden tidak lagi menggunakan kacamata seperti dulu. Bahkan pakaiannya terlihat modis.

"Tapi sekarang nama dia bukan Kak Rama lagi, Yah, Bun." Melody menjelaskan sedikit, sisanya biar Kaiden saja.

"Yang dibilang Ody bener, Bun, Yah. Saya ganti nama jadi Kaiden. Kaiden Pramudya." Kaiden menambahi ucapan Melody.

"Kenapa ganti nama? Padahal nama Irama itu bagus loh. Malu atau diejek temen?" Heri bertanya. Setahunya dulu, Kaiden tidak pernah malu dengan nama yang dianugrahkan ayahnya padanya.

"Bukan begitu, Ayah. Saya senang dengan nama Irama. Nama itu pula lah yang mengenalkan saya dengan musik, dan gadis pencinta musik." Untuk sesaat, Kaiden mengingat Cinta begitu pula dengan keluarga Melody. "Tapi setelah kepergian gadis penyuka musik itu membuat saya takut tidak bisa mengikhlaskan kepergiannya. Waktu saya pindah ke Amerika pun masih sama. Untuk itu saya memutuskan untuk mengganti nama."

"Ayah tau, kamu begitu mencintai Cinta." Heri merasa terharu. Dia memaklumi kesedihan Kaiden, sehingga cowok itu memutuskan mengganti namanya.

"Ya ampun, Nak, Bunda sampai lupa belum menyuguhkan minuman dan cemilan." Hilda bangkit, pergi ke dapur. Sebenarnya dia juga tak ingin menangis ketika nama Cinta disebutkan. Apalagi yang mengatakannya adalah orang yang sudah sejak dulu dia anggap anak laki-laki sendiri selain Kenn.

"Jadi kamu pernah pindah ke Amerika?" tanya Heri, mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin membuka luka lama.

Kaiden mengangguk. "Saat kenaikan kelas dua belas. Tadinya mau kuliah di sana juga. Tapi gak jadi."

"Terus kamu kuliah di mana?" tanya Heri.

Bersamaan dengan itu, Hilda kembali dari dapur dengan membawa nampan yang berisi minuman serta cemilan.

"Di Universitas Adyatma."

"Waw, itu kan salah satu Universitas terbaik di Indonesia," ucap Hilda sembari meletakkan minuman di meja. "Kamu ambil jurusan persenian, kan? Kamu kan suka banget main drama."

"Iya, Bun. Tapi, saya gak ngambil jurusan itu. Saya mengambil jurusan musik," ucap Kaiden meluruskan.

Sudah ada kata 'musik' yang keluar dari mulut Kaiden, membuat Melody cemas. Pasti cowok itu akan mengatakannya. Dengan segera, Melody meraih tasnya yang ia letakkan di sofa.

"Bun, Yah, Kak. Ody ke kamar dulu ya, mau ganti baju."

Belum sempat mendapat jawaban, gadis itu sudah terlebih dahulu pergi meninggalkan mereka.

Heri dan Hilda saling pandang, melihat gelagat putrinya yang aneh.

"Mungkin ada masalah di sekolah kali," pikir Hilda.

Kaiden jadi merasa bersalah. Dia tahu Melody kenapa. Tapi dia rasa ini saatnya yang tepat.

"Oh iya, Nak. Tadi kamu bilang ambil jurusan musik ya? Kok bisa?" Hilda penasaran.

Kaiden menceritakan semua tentang dia yang mengambil keputusan itu demi menjalankan mimpi Cinta yang tertunda.

"Tapi gak seharusnya kamu ngelakuin itu, Ram. Mimpi kamu itu jadi sutradara, bukan musisi."

Kaiden tersenyum tipis mendengar ucapan Heri. "Jadi musisi juga gak kalah hebat, Yah. Mereka dapat mengguncang dunia melalui alunan nadanya yang indah. Bahkan, sebelum ini pun, saya sudah pernah belajar alat musik dari Cinta."

Mereka tersentuh dengan kalimat yang diucapkan Kaiden.

"Bahkan karena musik juga, saya menjadi pelatih band sekolah yang namanya jadi tranding," lanjutnya.

"Kalau boleh tau, nama band-nya apa?" Hilda penasaran.

"Axellez."

"Loh, itu kan band yang ada di sekolahnya Ody. Yang vokalisnya si Gitar itu. Kamu ngajar di sana?"

Kaiden mengangguk mendengar pertanyaan Hilda.

"Hebat ya kamu, masih muda sudah berbakat," puji Hilda.

Kaiden hanya menanggapinya dengan tersenyum tipis. Satu senyum, dengan dua makna yang berbeda. Andai saja mereka tahu bahwa anak gadis mereka jauh lebih berbakat darinya.

"Oh iya, tehnya di minum dulu. Nanti kebiru dingin," ucap Heri, sambil meminum tehnya sendiri.

Kaiden mengangguk, lalu sedikit demi sedikit menyeruputnya. "Yah, saya mau ngomong sesuatu sama Ayah," ucap Kaiden, sambil meletakkan kembali teh ke atas meja.

"Silahkan. Memang kamu mau ngomong tentang apa sih?" tanya Heri.

"Tentang Melody."

"Ody?" beo Heri dan Hilda. Pasalnya setahu mereka anak mereka itu baik-baik dan tidak pernah berulah.

"Iya. Kalian tau, dia sangat berbakat seperti kakaknya." Kaiden mulai bercerita.

"Maksudnya?" Heri belum paham.

"Melody punya bakat sama seperti Cinta, bernyanyi. Bahkan dia punya mimpi yang sama juga seperti anak pertama kalian, menjadi musisi."

Ucapan Kaiden selanjutnya membuat mereka tercenung. Pasalnya selama ini Melody tidak pernah cerita ke mereka. Bahkan mereka tidak melihat tanda-tanda bahwa Melody menyukai musik.

"Sebenarnya kedatangan saya ke sini, selain untuk bersilaturahmi yaitu ingin meminta izin ke kalian agar Melody diperbolehkan bergabung di eskul band sekolah, di grub musik kami," lanjut Kaiden.

Lagi-lagi, pernyataan itu membuat keduanya terkejut. Bukan hanya mereka, namum Melody yang mendengarkan dari lantai atas pun sama halnya. Yang dia takutkan akan terjadi, Kaiden benar-benar akan menceritakan semuanya.

Melody mersa salah tingkah, ketika ayahnya mendongak ke atas. Yang secara tidak langsung telah memergokinya telah menguping pembicaraan mereka. Bukan hanya Heri, namun Kaiden pun ikut mendongak, menatapnya.

Melody segera berlari, masuk ke kamarnya. Dia tidak ingin mendengar semuanya, semua perkataan yang membuat hatinya tambah sakit.

Gadis itu mengurung diri di kamar, menangis sejadi-jadinya. Dia ketakutan, takut jika ayahnya marah padanya. Takut juga jika luka lama ayahnya kembali tergores.

Cukup lama ia menangis, Melody bangkit dari posisi telungkupnya. Gadis itu sedikit membuka gorden jendela kamarnya, melihat Kaiden yang juga sedang menatap ke arahnya. Melody yakin, jika Kaiden sudah mengatakan semua pada ayahnya.

Cowok itu memandang Melody dengan khawatir. Dan raut wajah Kaiden seperti merasa bersalah. Dia ingin meminta maaf kepada Melody secara langsung, tapi sepertinya ini bukan saat yang tepat.

Melody kembali menutup gordennya saat motor Kaiden benar-benar meninggalkan halaman rumahnya. Gadis itu duduk di tepi ranjang dengan perasaan yang tidak dapat dinetralkan. Di lihatnya foto keluarganya. Saat ini yang Melody butuhkan hanya satu.

"Kakak ... hiks."

Gadis itu tidak banyak berharap. Dia bisa bertemu dengan kakaknya lewat mimpi pun sudah bersyukur.

TBC

Sorry typo.

Maaf ya baru bisa update lagi. Soalnya masalah di dunia nyata emang gak bisa ditinggalkan.

Jangan bosen-bosen baca cerita ini. Jangan lupa juga tambahain ke reading list kalian.

Jangan lupa juga rekomendasikan cerita ini ke temen kalian yang suka baca. Siapa tahu suka.
Sampai jumpa di part selanjutnya.

Tinggalkan jejak setelah membaca.

Love

Dedel

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top