Part 49 - Sembunyi Rasa

Warning!!

Tolong ramaikan kolom komentar. Karena aku butuh penilaian sebagai penghargaan sebuah karya yang berharap suatu saat nanti akan dibukukan. :*

🍁🍁🍁
Jika ada pilihan pertama, kenapa harus memilih yang kedua? Jika memang cinta, kenapa harus menyembunyikannya?
🍁🍁🍁

(❤*_*❤)

Melody tidak tega melihat Rio harus menunggunya di UKS. Melody bilang dia sudah enakkan karena sudah beristirahat. Sehingga Melody membiarkan Rio latihan basket.

Melody hanya tahu jika Kenn sedang mencari Willona, itu saja karena Rio yang bercerita. Kini dirinya sedang berada di perpustakaan, untuk mencari buku yang menurutnya menarik.

"Mau baca novel, novel di perpus ini udah hampir gue bacain semua. Cari buku apa ya?" Melody nampak berpikir.

Mata Melody terbinar ketika menemukan buku 'Teknik Bermain Gitar'. Dulu dia sering minta diajari main gitar oleh Cinta, namun sekarang sudah lupa. Alat musik yang masih Melody sedikit ingat hanya piano. Itu pula, karena dari kecil dia sudah mempelajarinya dari kakaknya.

Setelah dia merehatkan badan di UKS, Melody bisa berpikir dengan jernih. Mungkin memang seharusnya dia meraih mimpinya kembali. Tapi dia bingung untuk meminta izin pada ayahnya.

Tangan Melody meraih buku itu. Meskipun dia harus menjinjit karena letakknya di atas kepalanya.

"Teknik bermain gitar. Hem... kayaknya seru-nih, kalo gue bisa mainin gitar." Melody tersenyum, dia telah berhasil mendapatkan buku itu.

"Lo boleh aja main alat musik gitar, asalkan jangan mainin hati Gitar."

Melody menatap Viola yang entah sejak kapan berada di belakangnya. "Maksud kak Vio?"

Viola duduk, di kursi perpustakaan. "Lo pasti udah denger kan, tentang gue dan Gitar dari Rebbeca?"

Melody menarik kursi dan mendudukinya. "Iya."

Viola mulai bercerita. "Gitar sakit hati  karena waktu itu gue nolak dia, dan lebih memilih Yasa yang jelas-jelas musuh besarnya."

"Gue merasa bersalah banget sama Gitar. Hatinya seperti termainkan oleh gue. Tapi Gitar gak dendam sama gue. Bahkan ketika gue sakit hati karena disakiti Yasa dia yang ada disamping gue, menjadi sandaran bagi gue," lanjut Viola.

Viola memegang tangan Melody. "Untuk itu gue minta tolong sama lo, Mel. Jangan sakiti Gitar ya. Jagian lo lakui hal yang sama kayak yang udah gue lakui ke dia."

"Maksud kak Vio apa?" Melody tidak paham.

"Gue liat, sekarang lo lagi deket sama Gitar. Mungkin saja hatinya Gitar yang sudah tertutup lama terbuka lagi buat lo, Mel. Makanya gue ngomong gini ke lo."

"Tapi aku sama kak Gitar gak ada hubungan apa-apa, Kak," balas Melody.

"Mungkin sekarang belum, tapi gak tau nanti. Untuk itu gue peringati lo dari sekarang." Viola menghela napasnya. "Jangan anggap ini ancaman ya, Mel. Ini hanya rasa khawatir berlebihan dari seorang sahabat pada sahabatnya."

Melody mengangguk paham. "Gue tau kok. Gue juga punya sahabat cowok. Jika gue berada si posisi kak Vio, gue bakal lakui hal yang sama."

"Tapi beda, Mel. Diantara lo sama Kenn, sepertinya gak ada sembunyi rasa diantara kalian."

Melody mendongak, ketika mendengar Viola mengatakan itu padanya. Lo salah kak, kenyataannya gue pernah melakukan hal yang sama, suka sama sahabat gue sendiri.

Viola berdiri dari tempatnya. "Yaudah gue pergi dulu ya. Semangat mempelajari teknik bermain gitar. Axellez pasti seneng kalo lo mau gabung sama mereka."

Melody memandangi Viola sebelum gadis itu benar-benar pergi dari hadapannya. Dia memang ingin belajar bermain gitar. Namun untuk gabung Axellez, Melody belum memikirkan akan hal itu.

"Kenapa sih, orang- orang di sekitar gue jadi ngomong aneh-aneh gini. Nggak Kak Gitar, Kenn, sekarang kak Vio."

Melody mendengus. Setelah meminjam buku di perpustakaan dia memutuskan untuk mencari tempat yang hening. Setidaknya di tempat itu pikirannya menjadi tenang, dan bisa mempelajari teknik bermain gitar dari buku yang dia pinjam.

Langkah kakinya tertuju ke roftoop. Tempat itu yang jarang dikunjungi oleh siswa-siswi.

"Gue tau lo itu sukanya sama Melody. Bukan gue, Kenn."

Deg.

Merasa namanya terpanggil, Melody menghentikan langkahnya. Dia masih berdiri di pintu roftoop.

"Lo benar, gue cinta sama Melody. Tapi...."

"Apa?!"

Mendengar namanya kembali disebut, Melody masuk ke dalam. Menemukan dua orang yang begitu dia kenali.

"Mel?"

Kedua orang itu nampak kaget dan terkejut atas kehadiran Melody yang tiba-tiba. Bahkan, keduanya mengucapkan nama Melody secara bersamaan setelah saling pandang satu sama lain.

"Maksudnya yang tadi apa?" tanya Melody, melirik Kenn dan Willona secara bersamaan.

"Bisa jelasin?" Kedua orang yang berada di hadapannya hanya bisa bergeming.

"Kenn?" Kenn terdiam, saat Melody memanggilnya. Bahkan pandangannya tertuju pada Willona.

"Will?"

Willona seakan maksud dengan ucapan tiba-tiba Melody memanggilnya seakan meminta penjelasan, dia menoleh sekilas pada Kenn. Lalu berkata, "Maaf, Mel. Gue gak berhak jelasin semua. Yang pantas jelasin ini semua itu ... Kenn. Karena dia yang selama ini menyimpan perasaannya sama lo."

Kenn sedikit tersentak dengan apa yang dikatakan Willona. Dia pikir Willona akan memberitahu, ternyata tidak. Memang benar, seharusnya dialah yang mengatakan sejujurnya pada Melody.

Melody bergeming, menatap sahabatnya. Siap mendengarkan kata demi kata yang keluar dari mulut cowok itu.

"Sebenernya ... gue... suka sama lo, Mel. Gue gak tau sejak kapan. Rasa ini tumbuh sendirinya beriring jalannya usia kita yang tiap hari nambah dewasa," aku Kenn akhirnya. "Tapi gue ngomong gini bukan berarti gue lagi nembak lo loh ya. Gue cuma mengatakan apa yang selama ini gue rahasiakan aja."

"Kenapa sih, Kenn. Lo sembunyiin ini dari gue?" Melody bertanya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Karena gue rasa, seorang sahabat yang telah menjadi Kakak, gak berhak cinta sama lo, Mel. Kalaupun berhak, lebih baik di simpan sendiri." Kenn diam sejenak. "Gue yakin, suatu hari... lo bakal dapat orang yang sayang dan tulus sama lo, begitu pula dengan gue. Gue percaya, bahwa cinta gak harus memiliki, tapi memahami. Dan selama tujuh belas tahun kita bersama, gue paham dengan apa yang lo rasain."

"Maaf ya, Mel, kalo dulu gue pernah bilang lo munafik. Padahal kenyataannya, yang munafik di sini itu gue, bukan lo," lanjut Kenn.

"Apa semua itu wajar buat dijadikan alasan?" tanya Melody.

Kenn diam sejenak, lalu menggeleng perlahan. "Gue gak tau. Tapi gue tau satu hal. Kalo cinta itu adalah hal yang paling indah untuk dirasakan, makanya gue memilih menyembunyikan dan gak mau menyuarakan. Gue diam bukan berarti takut jika nantinya mendengar jawaban yang jauh dari bayangan gue. Tapi karena gue tau, tetep berada disisi lo sebagai sahabat dan kakak lo adalah cara mencintai yang paling indah."

"Apa sih, Kenn, yang buat lo suka sama gue?"

"Gak ada alasan buat kita suka sama seseorang, Mel, karena cinta gak butuh alasan, tapi balasan. Namun bagi gue, cinta itu mengikhlaskan dan membiarkan kalo suatu saat nanti, orang yang kita cinta itu mendapat orang yang bisa membuat dia tersenyum dan nyaman."

"Gak perlu orang lain, Kenn. Lo sama Willona udah bisa buat gue tersenyum dan nyaman," balas Melody. Tatapan matanya terlihat sendu. "Andai gue tau dari dulu, Kenn ... dan andai lo suka sama gue dari dulu."

"Maksudnya?" Raut wajah Kenn terlihat kebingungan mendengar perkataan Melody.

"Lo inget, dulu SMP lo pernah pacaran sama cewek yang namanya Laras?" Kenn mengangguk mendengar pertanyaan Melody. "Lo pacaran sama dia lewat bantuan gue, Kenn. Lo tanya-tanya apa yang biasa disukai cewek. Hal apa yang biasanya membuat cewek marah. Jujur, waktu lo nembak dia, hati gue kayak teriris gitu. Lambat laun gue sadar, gue suka sama lo, Kenn. Lebih dari seorang sahabat."

Kenn dan Willona terkejut mendengar kejujuran yang dilontarkan Melody.

"Setelah lo pacaran sama dia, gue merasa perhatian lo ke gue terbagi. Walaupun terkadang lo sering mentingin gue dibanding Laras," lanjut Melody. "Waktu itu Laras pernah ngelabrak gue, dan bilang gue jangan dekati lo lagi. Jelas gue gak bisa, kita sahabatan udah dari lama. Laras tau kalo gue suka sama lo, maka itu dia nyari cara dengan fitnah gue di depan lo, Kenn."

"Iya gue inget dulu lo numpahin kuah bakso ke baju Laras," sela Kenn.

Melody tersenyum tipis mengingat masa itu. "Sebenarnya itu bukan salah gue, dia sengaja melakukan itu biar lo benci sama gue. Dan setelah itu, lo gak ngomong sepatah kata pun ke gue. Lo bawa Laras ke UKS dan tinggalin gue sendirian di kantin. Untuk itu gue memutuskan untuk mengubur rasa itu ke lo. Dan anggap lo sebagai sahabat pada umumnya."

"Maafin kejadian dulu ya, Mel? Gue diem bukan berarti marah sama lo. Gue cuma gak mau aja Laras nyakiti lo lagi. Dan gue sadar, kalo perasaan gue ke Laras cuma sebatas kagum aja. Dia itu gak cocok jadi pacar gue, karena dia gak bisa menerima lo di sisi gue sebagai sahabat gue."

"Apa karena itu  seminggu setelah kejadian lo mutusin dia?"

"Iya. Cewek kayak dia gak berhak bertahan di sisi gue."

Tatapan mereka saling beradu satu sama lain.

Jika Melody punya rasa sama kayak Kenn, berarti mereka bisa jadian dong? Lo tenang Will, jangan cemburu. Lo pasti dapat yang lebih baik dari Kenn. Iya.

Willona hanya bisa menguatkan hatinya sendiri. Walaupun rasa perih masih menyelimuti. Memang seharusnya dia tidak berharap lebih dengan Kenn. Apalagi mendengar Kenn yang tadi bisa dibilang menembaknya, rasa harap Willona makin bertambah.

"Kenn, gue sayang sama lo. Gue gak mau kehilangan lo. Lo sahabat terbaik gue," ungkap Melody. "Gue sadar, rasa gue ke lo selamanya akan tetap sama, sebagai sahabat yang udah lo anggap adik perempuannya."

Kenn tersenyum." Lo gak lagi ngarep gue nembak lo, kan?"

Melody melotot. Melayangkan pukulan di lengan Kenn. "Pede lo. Gue ngomong gini maksudnya biar lo gak berharap lebih sama gue. Kita tetap sahabat seperti sedia kala gitu loh."

"Oh, syukurlah kalo gitu. Soalnya gue mau nembak cewek lain." Mata Kenn sedikit melirik ke arah Willona.

"Lo jadi cowok kok plinplan sih. Katanya suka sama gue... eh malah mau nembak cewek lain. Emang siapa ceweknya?"

"Kan lo sendiri yang bilang, kita cocoknya sahabatan aja. Dan rasa cinta gue ke lo itu rasa sayang Abang ke Adeknya, sahabat ke sahabatnya. Dan selamanya akan begitu."

Melody tersenyum merekah mendengar perkataan Kenn. "Iya gue juga gitu kok. Emang siapa ceweknya? Lo belum jawab. Jangan buat gue penasaran."

"Ada, Mel. Dia di samping gue."

Jawaban Kenn tidak membuat Willona terkejut. Sebab cowok itu audah mengatakannya sebelum Melody datang. Namun Willona tak dapat memungkiri rasa senang di hatinya. Tapi si satu sisi dia takut, dia takut dijatuhkan ekspetasi yang terlalu tinggi.

"Oh... ya ampun Kenn. Ternyata dugaan gue selama ini bener. Lo suka sama Willona?" Melody terlihat semringah. "Kapan nembaknya? Jangan digantungin, orangnya udah denger soalnya."

"Tadi udah nembak sebelum lo dateng. Tapi kayaknya dia masih ragu tentang perasaan gue ke dia deh. Jadi belum ngasih jawaban."

Willona sedikit melirik Kenn yang sedang berbicara, saat tatapan mata mereka beradu, Willona segera mengalihkannya ke arah lain.

"Orang lo aneh. Nembak kok di roftoop sekolah. Gak ada romantis-romantisnya." Melody mengeluarkan pendapat.

"Ya udah deh, besok gue replay acara nembaknya," sahut Kenn tanpa memedulikan tatapan Willona.

"Jadi gimana, Will, udah punya jawabannya buat besok?" Melody bertanya pada Willona.

Willona merasa salah tingkah. Bukan karena pertanyaan sahabatnya, tapi karena Kenn juga tengah memperhatikannya. "Nggak tau."

Sontak, jawaban Willona membuat Melody tertawa. "Siap-siap aja mas bro kalo lo ditolak," ejek Melody pada Kenn.

Kenn tersenyum meremehkan. "Lo hak tau aja kalo sebenarnya____ aw!"

Ucapan Kenn terhenti karena tiba-tiba saja Willona menginjak kakinya dengan keras. Sehingga cowok itu mengeluarkan pekikan yang cukup keras juga.

"Willo, jangan gitu sama calon pacar loh," ucap Kenn.

"Lo rese," balas Willona.

"Gue gak tau ya, rahasia apa yang kalian sembunyikan. Tapi gue tunggu kabar baiknya." Melody tersenyum, meririk Kenn dan Willona secara bergantian.

"Gue baru tau, hati bisa selogis itu ternyata," ucap seseorang yang berada di pintu roftoop.

Orang itu membalikkan badan. Pergi meninggalkan roftoop sebelum mereka mengetahui jika sedari tadi dia mendengar semuanya.

Padahal itu hanya tidak sengaja. Niatnya ingin menenangkan diri. Eh malah mendengar pembicaraan dari tiga sahabat yang sama-sama jatuh hati.

TBC

Sorry typo. Males ngoreksi soalnya.

Maaf baru update.

Gimana. Part ini dapet gak feelnya?

Yang kangen dialog Melody - Gitar harap sabar ya. Aku mau fokus ke Kenn Willona dulu soalnya.

Jangan lupa follow ya.

Ig. @della_riana24

Di sana bakal ada qoutes-qoutes bucin karyaku lainya.

Love

Dedel

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top