Part 48 - Per Sekian Detik

Ketemu lagi di lapak Love Is Music.

Udah siapin hati buat baca part ini?

Happy reading.

🍁🍁🍁

Semua luka akan sembuh bersama beriringnya waktu. Meskipun luka itu masih membekas di hatiku. Aku akan belajar ikhlas untuk melepasmu. Karena aku yakin, suatu hari nanti aku akan mendapatkan orang baru yang akan membuat bahagia hatiku, begitu pula kamu.
🍁🍁🍁

(❤*-*❤)

Setelah meletakkan kaos olahraganya ke loker, Willona melangkah kembali ke UKS. Tubuhnya bergetar saat pertama membuka pintu, pemandangan tak mengenakkan yang membuat hatinya sakit telah di lihatnya.

Matanya berkaca-kaca, melihat Kenn mengecup kening Melody. "Apa gue cemburu?"

Lantas Willona menutup pintu dengan pelan. Dia berlari dari sana secepat mungkin.

Bruk.

"Eh, maaf."

Cowok yang tidak sengaja di senggol bahunya oleh Willona membulatkan mata. "Lo_?"

"Duluan."

Belum sempat cowok itu berbicara, Willona lebih dahulu melanjutkan langkahnya.

"Dia-kan sahabatnya Melody. Kok kayak mau nangis gitu sih." Cowok itu bermonolog, melanjutkan langkahnya.

"Woy, bro." Kenn menyapa cowok itu. Dia adalah Rio, teman sekelasnya.

"Lo dari mana, Kenn?" tanyanya.

"UKS, habis jengukin Melody," jawabnya dengan menunjukkan jari telunjuknya ke gedung bangunan UKS.

Rio mengangguk. "Eh, tadi gue liat temennya Melody, kayaknya dia dari arah UKS juga deh."

"Terus urusannya sama gue apa?"

Cowok itu memutar bola mata. "Tadi gue liat matanya berair. Kayak mau nangis gitu tapi ditahan. Lo ngapain dia sih sampe sedih gitu?"

Mata Kenn membulat. Lalu cowok itu menggeleng. "Gue anak baik-baik. Gak mungkin nglakuin itu ke anak orang."

Rio mendaratkan pukulan pelan di kepala Kenn. "Mikir lo kejauhan bego."

"Lo tau, dia larinya ke arah mana?" tanya Kenn kemudian.

"Ke lantai atas. Mungkin aja ke roftoop."

Kenn memberi tepukan di bahu Rio. "Thanks, bro. Gue minta tolong, jagain Melody bentar, ya."

Setelah mengatakan itu, Kenn langsung pergi.

"Woy, Kenn! Lo mau kemana? Gue ada latihan basket, woy!" teriak Rio yang sama sekali tidak di dengar Kenn.

🍁🍁🍁

Willona duduk di bangku panjang yang berada di rooftoop. Dia menangis sejadi-jadinya.

"Gue udah coba belajar ikhlas buat lepasin lo, Kenn. Tapi tetep aja gak bisa. Lo itu abadi, bukan sebagai cinta sejati, tapi sebagai luka yang membekas."

Willona merasa marah kepada dirinya sendiri. Kenapa dia harus cemburu melihat Kenn dengan Melody. Padahal Kenn dan Melody sudah berteman sejak kecil.

Mungkin ini karena ada satu fakta yang dia ketahui, Kenn mencintai Melody. Sampai kapanpun akan seperti itu.


"Seharusnya gue sadar dari awal, kalo lo itu bukan buat gue, Kenn." Willona terisak. "Luka ini pasti sembuh, yang gue butuhin hanyalah waktu. Gue yakin, suatu saat nanti, lo bakal dapat orang yang benar-benar tulus cinta sama lo, begitu pula gue."

"Tapi apa gue bisa? Apa gue bisa lupain lo semudah itu? Kayaknya gue gak mampu. Cinta sama lo itu mudah, lupain lo itu sulit, sama seperti buat lo juga cinta ke gue."

Willona membiarkan air matanya menetes. Mungkin benar kata orang, air bisa memadamkan api. Dan saat ini hatinya sedang terbakar, maka dari itu dia menangis, membasahi hatinya yang telah terluka.

"Kenapa sih, gue harus sayang, sama orang yang gak bisa cinta sama gue?!" tanya Willona, entah pada siapa.

"Kenapa coba, gue harus cinta sama cowok nyebelin kayak lo?!" teriak Willona sejadi-jadinya.

"Karena gue ganteng."

"Eh?" Willona menutup mulutnya. Saat mendengar suara orang di belakangnya. Sepertinya suara itu sangat familiar. Jangan-jangan...?

🍁🍁🍁

Gitar keluar dari kelas, setelah mendengar sekaligus berdiskusi dengan kedua sahabatnya itu. Sedangkan Derby dan Tristan, memutuskan untuk main game online kesukaan mereka.

Gitar tercengang, saat di depan pintu, tidak sengaja bertemu dengan Milo dan Marvel. Sepertinya mereka berdua mendengar pembicaraan Gitar, Tristan, dan Derby di dalam tadi.

"Kalian?"

Marvel dan Milo saling pandang. Lalu menatap Gitar kembali.

"Kenapa lo? Kaget liat kita?" tanya Milo.

"Gue gak habis pikir sama lo. Dari dulu sampe sekarang lo belum juga berubah. Bermain dengan cara licik." Marvel diam sejenak. "Lo bener-bener gila ya, lebih dari Zela."

"Jadi, kalian denger semuanya?" Gitar bertanya, memastikan.

"Iya. Tapi kita gak masuk. Mau denger apa yang lo bicarain sama si dua curut itu." Milo yang menjawab. "Mana ngata-ngatai gue bodoh segala lagi. Kejam."

Marvel melirik Milo. Dia pikir cowok itu mempunyai jalan pemikiran yang sama dengan dirinya, ternyata tidak. Milo malah membela dirinya sendiri yang telah di bilang bodoh oleh Derby.

Tatapan Marvel kembali ke Gitar. "Lo jahat ya, Gi. Bukan hanya impian cewek yang bakal hancur, tapi hatinya juga. Gue kira, setelah denger cerita dari kak Kaiden lo bakal tersentuh, ternyata ... hati lo tetep keras dan ego lo gak pernah runtuh."

"Terus lo mau apa? Mau gagalin rencana gue?" tantang Gitar.

"Kalo aja gue bisa." Marvel tersenyum kecut. "Gue tau, lo itu orangnya ambisius. Lo pingin itu, ya harus lakuin itu. Lo bakal singkirin orang yang coba halangi langkah lo, termasuk sahabat lo sendiri."

Ya, semua sahabat Gitar telah mengetahui semua seluk-beluknya. Tak terkecuali.

"Baguslah, kalo lo udah tau. Jadi, jangan coba-coba."

Gitar pergi begitu saja setelah dia mengatakan itu.

Marvel ingin mengejarnya, namun ditahan oleh Milo. "Gue masih ada perlu sama dia, Milo. Gak seharusnya dia kayak gini."

"Udah, biarin aja," ucap Milo.

"Gimana bisa dibiarin sih, dia itu bisa aja lukai perasaan orang." Marvel tampak tidak terima.

"Tenang, Vel. Biarin aja Gitar kayak gitu. Biarin dia lakui apa yang dia inginkan." Milo menjeda ucapannya. "Orang yang main-main pakek hati, dia akan kena batunya."

"Maksud lo?"

"Hukum karma, Vel?"

Marvel mengangguk paham. "Tapi jika pikiran lo bener, kalo nggak gimana?"

"Pasti benerlah. Lo pernah denger pepatah cinta datang karna terbiasa kan?" Marvel mengangguk, menjawabnya. "Semoga aja di saat Gitar menjalani misinya, dia jatuh cinta beneran sama Melody."

"Amin."

Sebenarnya Marvel juga merasa nyaman jika berada di dekat Melody. Namun jika Gitar yang bisa membahagiakan Melody, maka dia turut bahagia. Melody gadis baik, tak pantas disakiti, apalagi oleh sahabatnya sendiri.

"Yaudah, masuk yuk. Gue mau kasih pelajaran sama Derby karena dia udah bilang gue bodoh," ujar Milo.

"Pelajaran apa? Bahasa? Kimia? Atau sejarah?"

"Ah, lo bisa aja."

Keduanya terkekeh bersama. Meladeni bercandaan Marvel yang garing. Kemudian mereka masuk ke dalam kelas.

🍁🍁🍁

"Beneran lo suka sama gue?"

Willona tercengang. Ternyata tebakannya benar. Mati lo Will, skakmat.

Gadis itu berdiri dari tempatnya ketika Kenn berjalan mendekat ke arahnya.

"Lo, sejak kapan, di sini?" tanyanya, terbata.

"Tujuh menit, empat puluh detik."

Willona membulatkan mata. Mati? Berarti Kenn denger dong gue ngomong apa?

Willona mundur beberapa langkah, saat Kenn makin mendekat ke arahnya.

"Detik-detik itu juga, gue denger ada cewek yang suka sama gue," lanjut Kenn.

Willona semakin mundur, Kenn juga semakin mencoba mendekatinya. Willona sangat cemas, jika Kenn sampai menertawakannya karena ternyata dia menyukai cowok itu.

Napas Willona tersenggah-senggah. Dia tak sadar jika sekarang berada di pagar pagar pembatas. Badannya hampir terhuyung ke belakang.

"A...!" teriak Willona.

Mungkin saja sekarang dia sudah jatuh ke bawah dan berdarah jika tangan Kenn tidak meraihnya dengan cepat. Kini posisi tubuhnya berdekatan dengan Kenn, lebih tepatnya memeluk cowok itu.

"Makanya, jangan mundur-mundur." Kenn masih bertahan dengan posisi yang sama.

Willona sudah merasa tenang. Dia meleraikan pelukannya. Mundur selangkah agar memberi jarak pada mereka.

"Lo sih maju-maju," balas Willona.

"Kan gue cuma mau nanya. Bener nggak, lo suka sama gue?" ulang Kenn.

"Kalo lo udah di depan pintu kurang lebih tujuh menitan, lo pasti denger kan, semuanya?"

Kenn mengangguk.

"Gue gak papa kok, Kenn. Kalo lo mau ketawain gue karena udah suka sama lo," ucap Willona.

"Siapa juga yang mau ketawa? Gue malah seneng, ternyata ... ada orang yang sayang tulus ke gue."

Willona bingung harus berkata apa. Dia masih bergeming, mengamati Kenn yang berada di depannya berkata.

"Kenapa lo gak bilang dari awal sih?" tanya Kenn.

Willona bingung berkata apa. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Jangan tatap arah lain. Gue yang lebih ganteng ada di depan lo ini."

Sontak, Willona kembali menatap Kenn mendengar cowok itu bicara padanya.

Willona tersentak, saat tiba-tiba Kenn menggenggam kedua tangannya. "Maaf, ya kalo selama ini gue kurang peka sama perasaan lo. Sebenernya gue udah tahu, tapi hati gue ragu karena rasa cinta gue ke Melody yang begitu dalam."

"Gue tau kok, Kenn sedalam apa perasaan lo ke Melody. Untuk itu gue memilih sembunyi rasa, sama kayak perasaan lo ke dia." Willona melepaskan tangannya yang dipegang oleh Kenn. Dia mengulas senyum tipis, senyum yang menginsyaratkan rasa sakit.

"Kenapa harus diam? Kalo lo punya kesempatan untuk mengatakan? Gak ada salahnya lo duluan yang ngomong." Kenn diam sejenak. "Kalo lo ngomong, kita kan bisa mulai dari awal."

Mata Willona mengerjap beberapa kali, seakan tak percaya dengan apa yang Kenn katakan.

"Sekarang belum terlambat, kan?" tanya Kenn.

"Tapi Kenn, lo itu sukanya sama Melody, bukan sama gue, lo gak bisa kayak gini. Lo gak bisa ngebahagiain gue sementara hati lo masih buat orang lain..., buat sahabat lo sendiri." Willona tak banyak berharap. Dia cukup tahu diri.

"Gue melakukan ini bukan karena kasian sama lo. Tapi karena gue juga sayang sama lo, Will. Gue baru sadar, ternyata selama gue ngejek-ngejekin lo selama ini, dan gue sering bersilat lidah sama lo, itu menembuhkan rasa di hati gue. Gak tau dari kapan, yang jelas, gue selalu rindu berantem sama lo."

Willona menyimak perkataan Kenn. Tanpa bisa membalasnya. Dia ingin mendengar semuanya dengan jelas.

"Gue tau, lo pasti ragu karena gue pernah cerita sama lo kalo gue cinta sama Melody. Tapi asal lo tau, Will. Lo itu bukan pelarian rasa yang tak pernah tersampaikan ke Melody. Tapi lo itu tujuan gue buat singgah," lanjut Kenn.

Willona bingung dia harus senang atau sedih. "Gue gak tau harus ngomong apa, Kenn. Lo sayang tulus ke gue, tapi cinta lo cuma buat Melody."

"Lo benar, gue cinta sama Melody. Tapi...."

"Apa?!"

Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Kenn mendengar suara lain selain dirinya dan Willona. Sontak keduanya menoleh, pada seseorang yang entah sejak kapan berada di belakang mereka.

Saat itu pula, Kenn dan Willona saling pandang. Bingung harus menjawab apa jika orang itu ingin bertanya lebih.

TBC

Sorry typo.

Aku mau minta tismoti kalian dong di part ini.

Menurut kalian gimana Love Is Music ke sini. Semakin nge-feel atau malah il-feel?

Alay gak sih ceritanya?

Justru aku bingung kalian diam cuma baca aja gak komentar serasa ceritaku makin ke sini makin jelek. Padahal ceritanya mau aku ikutin event loh.

Sorry juga ya kalo part ini pendek.

Love.

Dedel.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top