Part 46 - Haruskah
Selamat datang readers yang terhormat. Kalian telah sampai di part 46.
Tolong ramaikan kolom komentar dan sertai vote di bagian ini. Sekian, terima kasih.
Part ini masih kelanjutan yang kemaren ya. Mau aku terusin tapi kepanjangen.
Happy reading.
🍁🍁🍁
Semua orang itu punya masalah. Ada yang mengekspresikannya dengan amarah, ada juga yang dengan senyuman seolah tak terjadi apa-apa. Yang penting kita jangan menyerah. Kita harus tepat langkah agar tujuan terarah.
🍁🍁🍁
"Yang ngajarin mereka saat Mbak masih sekolah siapa?"
"Biasanya Gitar memanggil guru untuk datang kemari. Kadang pula dia yang datang kemari. Tapi banyak juga warga yang ikut berpartisipasi buat mendidik mereka. Saya bersyukur, berkat Gitar, saya menjadi orang yang berguna." Mbak Wina tersenyum, matanya menerawang ke arah lain.
Bersamaan dengan itu pula, Gitar kembali dari toilet. "Pada ngapain nih?"
"Gak ngapa-ngapain. Cuma ngobrol biasa." Mbak Wina yang menyahuti.
"Lagi gibahin gue ya?" Gitar melirik Mabk Wina dan Melody secara bergantian.
"Gak usah ge'er." Melody-lah yang menjawab pertanyaan itu.
"Kakak. Nyanyi buat kita dong, Kakak." Anak berumur enam tahun itu menghampiri Gitar.
"Oke. Oke. Kakak ambil Gitar dulu ya."
"Hore."
Mereka sangat berbahagia. Selain memberi hadiah atau perlengkapan sekolah, Gitar juga sering menyanyikan sebuah lagu untuk mereka.
Cowok itu telah memangku gitar. Anak-anak yang tinggal di sana siap mendengarkan. Dengan duduk melingkar dengan Gitar tengah berada ditengahnya.
"Kakak ganteng, Kakak yang cantik itu namanya siapa, kenalin dong?" Anak perempuan yang mempunyai lesung pipit itu melihat ke arah Melody.
"Dia namanya kak Melody, cantik." Gitar melirik sekilas ke arah Melody.
Gadis itu mendekat ke arah Melody. "Kakak cantik banget. Pacarnya Kakak ganteng ya?"
"Kamu juga cantik. Tapi, Kakak bukan pacarnya Kak Gitar." Melody tersenyum simpul.
"Dan Kak Melody yang akan nyanyi buat kalian hari ini."
Ucapan Gitar itu seketika membuat Melody membulatkan matanya.
"Kakak cantik bisa nyanyi?" tanyanya pada Melody.
Melody yang mendengar pertanyaan dari gadis manis dihadapannya bingung harus menjawab apa. Dia memang mempunyai bakat itu, namun selama ini Melody menyembunyikannya dari orang-orang.
"Bisa dong. Suara Kak Melody bagus banget." Itu bukan Melody yang menjawab, melainkan Gitar.
"Ayo kak, Mel. Nyanyiin lagu untuk kami," sahut bocah laki-laki bertubuh gembul.
"Iya, Kak. Kakak duduk di sebelahnya Kakak ganteng ya. Biar kita bisa dengerin suara Kakak." Gadis yang rambutnya dikepang dua ikut menimpali.
Melody nampak berpikir, ini keputusan yang sulit. Namun dia telah mengambil langkah yang benar saat menggantikan Gitar diajang festival musik tahun lalu. "Tapi...."
"Ayolah, Mel. Buat anak-anak. Lo gak kasian liat wajah imut mereka. Mereka pingin banget denger lo nyanyi." timpal Gitar. "Jangan buat mereka kecewa."
Melody mengabsen satu per satu wajah kecil anak-anak itu. Mereka sangat menantikan dirinya untuk nernyanyi.
Melody melirik Gitar lalu mengangguk pelan. Dia mengambil tempat di sebelah Gitar.
"Kalian mau dinyanyiin lagu apa?" tanya Melody.
"Lagunya Nidji aja Kak, yang judulnya Laskar Pelangi," sahut gadis yang tadi menghampiri Melody.
Melody mengangguk.
Jemari Gitar mulai memetik senar gitar. Menghasilkan nada yang syahdu. Bersamaan dengan itu pula, Melody mulai bernyanyi.
Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukan dunia
Menarilah tanpa lelah
Sampai engkau meraihnya....
Melody menyanyikan lagu itu dengan sangar merdu. Anak-anak panti bahagia mendengarnya. Sesekali Gitar melihatnya bernyanyi dengan tersenyum.
Lagu itu dinyanyikan Melody sampai selesai. Mereka mengapresiasikan suara Melody dengan tepuk tangan. Raut wajah gembira terlihat di wajah mereka. Begitu pula Melody dan Gitar.
🍁🍁🍁
"Makasih ya, buat hari ini. Gue seneng lo ajak ke sana. Dan gue juga seneng liat wajah gembira dari mereka."
Senyum tulus terukir di wajah Melody. Dia merasa jadi orang yang berharga hari ini. Melody senang, bisa membahagiakan orang dengan bakat yang selama ini ia sembunyikan.
"Sama-sama. Kapan-kapan lo mau gue ajak ke sana lagi?"
"Maulah. Mereka itu asik."
"Anak-anak itu seneng banget lo dateng. Lo juga mudah akrab ya, sama mereka."
Melody tersenyum kecil.
"Mereka juga suka sama suara lo, bagus." Gitar diam sejenak. "Gue juga suka dengan suara lo."
Seketika itu Melody menghentikan langkahnya.
"Kenapa?" Gitar mengangkat alisnya, saat melihat gadis yang berada di sebelahnya berhenti melangkah.
"Gue...."
"Lo masih bingung ya?" tanya Gitar.
"Maksudnya?"
"Gue sebenernya gak tau jelas apa yang membuat lo selama ini menutupi bakat lo. Tapi menurut gue, lo harus yakin dengan apa yang diinginkan hati lo saat ini."
Melody terdiam, mendengarkan namun pikirannya melayang ke hal yang lain.
"Gue rasa, mendingan lo setuju aja deh sama Keinginan Kaiden. Gabung ke Axellez."
Melody menatap Gitar. "Gue gak bisa."
Gadis itu melanjutkan langkahnya. Gitar melihat Melody sambil tersenyum yang sulit diartikan.
🍁🍁🍁
Sebelum mengantarkan Melody pulang, Gitar lebih dahulu mampir ke butik mamanya. Kebetulan lokasinya searah dengan rumah Melody.
"Sebentar ya. Gue ada perlu sama nyokap. Daripada nunggu di mobil, mendingan ikut ke dalam aja," ajak Gitar.
Melody turun dari mobil. Matanya melihat plang nama di butik itu. 'TALEA BUTIK'. Melody tahu jika talea adalah alat musik jaman dulu. Ternyata keluarga gitar pencinta musik. Beberapa dinding diisi lukisan tentang alat musik.
"Jangan bengong. Yuk masuk."
"Eh. Iya."
Melody mengikuti langkah kaki cowok itu.
"Hai, Ma." Gitar memeluk mamanya.
"Hai, sayang. Kok tumben ke sini."
"Sekalian mampir, Ma."
"Ini, siapa?" Mata mama Gitar mengarah pada Melody.
"Dia Melody, Ma. Adik kelas Gitar."
"Ooooh." Mama Gitar ber 'oh' ria panjang. Kemudian dia mengulurkan tangannya pada Melody. "Saya, Monika."
Melody menerima uluran tangan itu. "Melody, Tante."
"Kamu cantik," puji Monika.
"Tante juga gak kalah cantik. Masih kelihatan muda."
Mama Gitar memang sering perawatan. Jadi wajahnya masih awet muda.
Monika yang mendengar pujian dari Melody itu tersenyum.
"Ma, seragam Axellez yang baru udah jadi?" tanya Gitar.
"Udah dong. Emang kenapa sih minta dibikinin yang baru, bukannya yang buat festival itu masih bagus ya?"
"Iya. Tapi itu tahun lalu, sekarang udah beda tahun. Lagian, sebentar lagi Axellez juga kedatangan orang baru kok." Gitar melirik Melody sekilas.
Seketika tubuh Melody menjadi tegang. Entah mengapa dia merasa orang yang dibicarakan Gitar itu adalah dirinya. Padahalkan bisa saja orang lain.
"Oh ya, cewek atau cowok?" tanya Monika antusias.
"Cewek, Ma."
"Cantik gak orangnya? Kenalin dong ke Mama."
"Iya, Ma. Kalo dia mau." Gitar tersenyum penuh arti. "Ya udah kalo gitu Gitar mau nganterin Melody pulang ya, Ma. Gak enak sama orangtuanya, ngajak pergi anak gadisnya kelamaan."
"Emang rumah Melody dimana?"
"Deket sini kok, Tan. Tinggal lurus aja nyampe." Melody menjawab.
"Kapan-kapan Tante main deh."
Melody mengangguk tersenyum.
"Yuk, Mel. Gue anterin lo pulang." Gitar mengajak Melody. "Dah, Ma."
"Dah Gitar, Dah Melody."
🍁🍁🍁
Melody melambaikan tangan pada Gitar yang baru saja meninggalkan halaman rumahnya. Sebenarnya dia sudah menawari cowok itu masuk, namun Gitar bilang dia masih ada urusan yang lain.
Langkah kaki gadis itu masuk ke dalam rumahnya. Matanya terbelalak, melihat Kenn yang sedang bersender di depan pintu rumahnya. Mungkin karena rumah Melody ada bunga pucuk merah, jadi Kenn tidak kelihatan dari gerbang.
"Kenn."
"Lo dari mana?" tanya Kenn. Kedua tangan cowok itu dilipat di depan dada.
"Jalan-jalan," jawab Melody apa adanya.
"Sama Gitar?" Entah mengapa pertanyaan itu mengacu pada kecemburuan.
"Iya. Kok lo tau?"
"Bunda lo di rumah gue."
Melody manggut-manggut. Memang tadi Hilda bilang dia akan ke rumah Kenn untuk membuat bolu bersama tante Liana.
"Bunda sekarang masih di sana?" tanya Melody. Perasaan dia tadi pergi dengan Gitar cukup lama. Ternyata bundanya malah lebih lama darinya.
"Iya. Lagi curhat-curhatan sama istri bokap gue."
"Terus lo di sini ngapain?"
"Emang salah ya, gue ke rumah lo? Gak boleh? Sedangkan Gitar boleh?" Kenn merubah posisi tangannya. Sekarang tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.
Melody terkekeh geli. "Bukan gitu. Gue mau masuk. Kalo lo berdiri di depan pintu, gimana gue bisa masuk."
"Oh." Kenn ber'oh' malas. Dia menggeser badannya agar Melody masuk ke dalam rumah.
Setelah pintu rumah terbuka, Melody langsung merebahkan badannya di sofa. Lelah? Memang. Tapi dia bahagia karena Gitar mengajaknya canda tawa bersama anak-anak panti kecil di komplek yang sempit.
"Lo diajak kemana aja sama dia?" Kenn ikut merebahkan badannya di sofa.
"Ke panti." Melody memberi jeda. "Gue gak nyangka, ternyata dibalik sikapnya kak Gitar yang sombong dan angkuh itu dia dermawan juga ternyata.
"Maksud lo?"
Kemudian Melody menceritakan semuanya pada Kenn. Selama ini tidak ada sesuatu yang ia tutup-tutupi dari sahabatnya itu.
"Lo nyanyi?" tanya Kenn.
Melody menegakkan badannya.
"Iya."
"Aneh ya, gue yang waktu itu nyuruh lo nyanyi gak mau. Sedangkan Gitar? orang yang baru lo kenal, iya-iya aja."
"Habisnya gue gak tega Kenn, liat wajah anak-anak panti yang imut dan lucu itu. Mereka pingin banget gue nyanyi."
"Dan lo tega selama ini. Lo tega ingkari janji lo sama kak Cinta kalo lo bakal meraih cita-cita lo jadi musisi."
Melody meletakkan tangannya di kepala. "Gue bimbang. Gue takut melangkah karena khawatir akan salah. Tapi tadi gue udah berbuat benar kan, Kenn, menghibur anak-anak panti?"
"Iya. Benar." Kenn diam sejenak. "Lebih benar lagi, kalo lo mulai semuanya dari awal. Lanjutin mimpi lo."
"Tapi...."
"Pilihan lo cuma ada dua, Mel. Melangkah, atau menyerah," potong Kenn.
Melody menatap Kenn cukup lama, cowok itu selalu ada untuknya dalam suka maupun duka.
"Kenapa sih, Kenn. Lo selalu ada buat gue, bantu menyelesaikan masalah gue, sedangkan lo sendiri lagi banyak masalah?"
"Karena gue cinta sama lo, Mel. Dan gue gak mau lo terluka."
Ingin sekali Kenn mengatakan itu. Namun bibirnya terasa kelu. Cinta itu tidak harus memiliki. Tapi harus saling memahami.
Kenn mampu memahami masalah Melody. Maka itu dia putuskan untuk menyembunyikan semua ini. Bukan hanya karena itu, tapi Kenn yakin jika suatu saat Melody dapat orang yang tepat dan dia pun juga begitu.
"Karena gue sayang sama lo, Mel."
Perkataan itu membuat Melody mengembangkan senyumnya.
"Kenn, apa menurut lo, gue harus mengejar impian itu kembali?" tanya Melody.
Sejak dia bernyanyi di panti tadi ada getaran aneh tentang musik di hatinya. Sepertinya ia harus mengilang masa itu.
Gitar membuat Melody menjadi ingat dengan Cinta. Dulu Cinta mengenalkannya dengan musik di depan anak-anak panti. Dan tadi pun Gitar juga begitu. Dia jadi merasa de ja vu.
"Harus." Kenn membalasnya dengan senyum.
🍁🍁🍁
"Papa denger dari Mama. Kamu bawa cewek ke butik Mama ya. Melody kan namanya?"
Zein menutup majalah bisnisnya saat melihat putranya duduk di depannya sambil menikmati secangkir coklat.
"Iya." Gitar membalasnya dengan datar.
"Kamu gak merancanakan sesuatu buat Melody, kan?" tanya Zein penuh curiga.
Gitar meletakkan coklatnya ke meja. "Papa su'udzon sama anak sendiri?"
"Papa kenal kamu hampir delapan belas tahun, Gitar. Dan Papa kenal betul sikap kamu."
"Gitar lebih tau diri Gitar sendiri daripada Papa."
"Jika itu benar, seharusnya kamu tau, jika langkah yang kamu ambil ini salah." Zein meletakann majalah ke meja.
"Apa yang salah sih, Pa?"
"Jangan pura-pura bodoh. Bagaimana mungkin, kehadiran gadis yang selama ini gak pernah kamu terima dengan baik, tiba-tiba kamu setuju jika dia gabung di band kamu?" tanya Zein penuh selidik.
"Gitar cuma membantu Melody menunjukkan bakatnya."
"Papa yakin itu bukan jawaban. Kamu itu gak punya hati yang semurah itu Gitar. Kamu terlalu angkuh dengan sikapmu. Tempramen, dan selalu benci dengan seseorang yang menghalangi jalanmu."
"Terserah Papa. Apa yang menjadi urusan Gitar, biar Gitar yang jalani. Lebih baik, Papa gak usah ikut campur." Gitar berdiri meninggalkan Zein.
Zein yang melihat itu hanya tersenyum miris. Anaknya begitu tempramental. Bahkan jika marah tak segan-segan pergi dari rumah.
Gitar takut kemarahannya malah menjadi berkata kasar pada Zein. Untuk itu dia lebih baik pergi untuk menenangkan diri.
"Kamu jadi seperti itu karena sering dimanjakan oleh Mamamu, Gitar. Tapi Papa gak akan menyalahkan Mama akan hal itu. Kamu adalah anak semata wayang yang kami punya." Zein menjeda ucapannya.
"Kami senang kamu mengembangkan bakat untuk meraih mimpimu. Tapi jangan sampai libatin impian orang lain dalam hal ini," lanjutnya.
TBC
Gimana part ini, dapet gak feelnya?
Sorry ya kalo akhir-akhir ini telat update maupun sebagainya.
Aku lagi sibuk-sibuknya. Maklumin lah ya. Mau PTS soalnya.
Jangan lupa vote dan komen. Karena itu sangat berharga buat aku.
Follow
Wp = @DellaRiana
Ig = @della_riana24
Love.
Dedel
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top