Part 45 - Bersama Gitar

Part ini buat nebus kemaren yang gagal update ya.

Kok makin ke sini makin sepi yang baca sih.

Temen-temen kalian rekomendasiin cerita ini dong biar lapak ini makin rame.

Makasih juga buat kalian pembaca setia sampai part ini. :)

Happy reading.

🍁🍁🍁
Gimana bisa maju kalau hatimu ragu. Mencoba saja belum sudah merasa tidak bisa. Aku tahu ini sulit, tapi setidaknya, kamu harus bangkit.

🍁🍁

Mobil itu berhenti di parkiran salah satu Mall terkenal di Jakarta.

Gitar dan Melody masuk ke dalam.

"Sebenernya lo mau ngajakin gue kemana sih? Jalan-jalan kok ke mall, gak enak tau, mendingan ke pantai, anginnya alami," gerutu Melody sebal.

Dia sedari tadi mengikuti langkah kaki Gitar, naik eskalator ke lantai atas. meskipun beberapa kali tertinggal, dia berusaha menyamai langkah kaki cowok itu.

Gitar berhenti mendadak, membuat Melody yang berada di belakangnya menubruk punggung cowok itu.

"Aw. Kalo berhenti jangan dadakan dong." Melody mengelus-elus keningnya yang terbentur punggung Gitar.

Gitar membalikkan badannya, menatap Melody. "Bawel banget sih lo. Kalo komen, seharusnya tadi di mobil lo tanya gue mau bawa lo kemana? Lo diam aja kan?"

Sindiran itu membuat Melody terdiam. Dia sebenarnya tadi juga ingin bertanya, namun gengsinya lebih tinggi. Dia tidak suka bertanya duluan dengan orang. Apalagi dengan cowok.

Oke, fiks. Kayaknya pasal cewek selalu benar, gak berlaku buat gue. Batin Melody menggerutu. Dia mengikuti Gitar yang terus berjalan di depannya.

Cowok itu masuk ke area permainan. Gitar membeli saldo yang akan dia gunakan untuk memainkan permainan di sini.

"Nih, buat lo." Gitar memberikan kartu saldo itu pada Melody.

Melody melirik kartu itu sekilas. "Males lah, gue gak hobi main di area kayak gini."

"Ya iyalah, lo biasanya kan main game cacing di ponsel lo. Dasar kaum rebahan."

Melody merasa kesal dengan sindiran Gitar. Tangannya merebut saldo itu dari tangan Gitar, dan melangkah pergi dari cowok itu.

Langkah kaki Melody mengarah pada mesin pencapit boneka. Ada boneka panda berukuran sedang di dalamnya.

Melody menarik napas panjang, lantas menggesekkan kartunya pada mesin. Melody menggerakkan mesin pencapit itu sengan joystick.

Melody menekan tombol tangkap, mesin turun mengapit boneka. Mesin bergerak memutar dan... boneka kembali terjatuh ke tempatnya.

"Yah gagal." Melody menghela napas kecewa.

"Lo mau boneka itu? Sini biar gue yang main."

Melody melirik Gitar yang entah sejak kapan berada di belakangnya. "Gak perlu. Gue bisa sendiri."

"Halah. Tadi aja jatoh. Sini saldonya."

Belum sempat memberi, Gitar sudah merebutnya.

"Awas kalo gagal."

"Iya. Tapi lo tenang aja, gue gak bakal gagal. Nanti gue kasih boneka ini ke lo."

Melody hanya menanggapinya dengan senyum mengejek. Belum apa-apa dia sudah sombong duluan.

Gitar melakukan hal yang sama dengan Melody. Namun boneka itu kembali terjatuh. "Curang banget yang buat mesin ini. Gue beli boneka semesinnya tau rasa lo."

"Jangan gitu. Banyak orang. Lo sadar gak sih omongan lo jadi pusat perhatian tau nggak?"

Gitar berbicara begitu keras. Maka itu banyak orang yang berada di sana melihat kearahnya.

"Emang kenyataannya gitu kan?"

Gitar memulai ancang-ancang. Pandangannya kembali fokus pada mesin. Sedangkan tangannya kembali menggerakkan joystick.

Pengapit itu bergerak ke segala arah. Mencapit kapala boneka panda. Gitar mengangkat boneka ke atas dan menggerakkannya pada kotak. Alhasil, boneka panda itu telah dia dapatkan.

Gitar menghembuskan napas lega. Senyum manis terukir dibibirnya. "Gue bilang apa, berhasil kan."

Gitar mengambil boneka itu dan diberikannya pada Melody. "Nih, buat lo."

Melody menghargai kerja keras Gitar. Tapi ada satu fakta yang tidak Gitar ketahui. "Gue gak suka boneka."

Gitar melongo. "Terus kenapa lo pilih mainan itu?"

"Ya gak papa. Kata lo, gue boleh mainan apa aja. Ya udah, saldo kartunya gue habisin buat permainan mesin itu. Lagian bentuknya lucu, tapi dari kecil gue takut boneka."

"Terus kenapa coba, gue capek-capek ambil boneka ini?"

Melody mengangkat bahu. "Siapa suruh. Kan gue udah bilang, gak usah."

"Yaudah gue buang aja."

"Jangan dong. Pamali tau." Melody melirik gadis kecil yang rambutnya dikucir dua. "Adek sini."

Gadis kecil itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sepertinya benar kakak itu memanggilnya. "Aku, Kak."

"Iya." Melody merebut boneka itu dari Gitar. "Nih buat kamu."

"Beneran?"

"Iya." Melody tersenyum manis.

"Makasih, Kak." Gadis itu menerimanya dengan senang hati.

"Sama-sama, cantik."

"Katanya takut boneka. Tapi tadi lo pegang," sindir Gitar.

"Kalo megang doang mah, gak takut. Tapi kalo dibawa pulang buat teman tidur takut."

🍁🍁🍁

Selesai di area permainan, Gitar mengajak Melody berbelanja. Daritadi Melody mengikuti cowok itu.

Gitar membeli beberapa mainan serta baju-baju yang berukuran kecil.

"Emang dia punya adek ya?" Pikiran Melody bertanya-tanya. Seperti tadi, Melody terlalu gengsi bertanya. Dia tidak suka di cap kepo oleh cowok itu.

"Kalo lo mau beli baju, beli aja, pilih yang lo suka. Duit gue gak akan habis cuma buat beliin lo baju doang," ucap Gitar sembari melirik Melody.

"Iya-iya, sultan, percaya. Lagian, siapa juga sih yang mau dibeliin baju sama lo, gue mah, ogah banget."

Gitar tak menanggapi. Dia sibuk memilih barang apalagi yang akan diberinya.

"Biasanya cowok yang nemenin cewek belanja, kok ini kebalik ya?" tanya Melody entah pada siapa, dia tersenyum kecil sembari melirik Gitar. "Eh, diakan bukan cowok gue."

Untung jaraknya dengan Gitar lumayan jauh, jadi cowok itu tidak mendengarkan gumaman kecilnya.

Kini di tangan Gitar penuh dengan kantung belanjaan. Dia tak ingin meminta tolong pada Melody untuk membantu membawakannya. Begitu pula Melody tak ingin menawaekan dirinya untuk membantu cowok itu.

"Beneran nih lo gak mau beli apa-apa?" Gitar memastikan.

"Iya...." Melody malas sekali mengulang jawaban yang sama. "Lo cowok kok suka belanja. Kayak cewek aja."

"Bukan buat gue." Gitar menanggapinya dengan tersenyum kecil. "Lo laper kan? Makan yuk. Gue ada kenalan restoran enak di sini."

Tampak berpikir, Melody akhirnya mengangguk. Sebenarnya sedari tadi dia juga lapar.

Masuk ke dalam retoran bintang lima, Gitar langsung disambut oleh waiters yang bekerja di sana.

Gitar tersenyum. Membalas selamat datang dari mereka dengan akrab. Sepertinya cowok itu sudah sering ke restoran ini.

Restoran ini sangat berkelas. Makanan dan minuman yang disuguhkan tidak diragukan lagi.

"Woy, mas bro. Cewek cantik siapa tuh? Pacar ya? Kenalin dong?"

"Bukan. Dia temen."

"Temen lama-lama demen loh."

Melody hanya tersenyum tipis mendengar percakapan dua cowok dihadapannya. Sesekali dia melirik ke arah lain. Meneliti betapa berkelasnya restoran ini.

"Lo bisa aja." Bagaimana tidak akrab. Yang menyapanya barusan adalah Tejo, waiter yang bekerja di sini. Walaupun begitu, Gitar sudah menganggapnya seperti saudara. Tejo merupakan kakak kelas-nya masa SD.

"Gue tau. Pesenenan lo kayak biasanya kan?"

"Tau aja lo, bro."

"Terus temen cewek lo itu mau apa?"

Mendengar itu, Melody melirik pada waiter teman Gitar itu. "Hm... samain aja."

"Oke. Gue bikinin dulu. Kalian silahkan duduk."

"Lo udah sering ya dateng ke sini? Mereka akrab banget sama lo?" Memutuskan gengsinya, Melody bertanya.

"Iya."

"Jangan-jangan, ini restoran punya keluarga lo ya?"

"Bisa dibilang iya, bisa dibilang enggak."

Dahi Melody mengerut. "Ih kok jawabnya gitu. Gue nanya bener juga. Jadi yang bener yang mana nih, iya atau enggak? Gitu aja susah."

"Restoran ini punya Om gue. Papanya Zela itu loh." Gitar memberi tahu.

"Waw, berarti Pak Aryo juga sultan kayak keluarga lo dong?"

"Keluarga gue bukan sultan. Yang sultan itu keluarganya Zela. Bokapnya Zela baik banget ke bokap gue. Dia mempercayai bokap gue buat mengolah sahamnya. Hasilnya di bagi dua."

Melody diam, mendengarkan.

"Dan bokapnya Zela itu sering nyumbangin dana dalam jumlah besar ke sekolah kita. Makanya jika Zela berulah, guru-guru mikir berulang kali buat menghukum dia," lanjut Gitar.

Bersamaan dengan itu, pesanan mereka telah dihidangkan di meja.

"Thanks ya, bro," ucap Gitar, Tejo hanya melayangkan jempol sebagai jawaban.

Sedangkan Melody, dia hanya menyembangkan senyum sebagai balasan sikap ramah teman Gitar itu padanya.

Gitar menikmati makanannya, sedangkan Melody masih terdiam. Kedua iris gadis itu memperhatian pemuda dihadapannya.

Merasa di perhatikan, Gitar menghentikan cewek dihadapannya. "Kenapa gak dimakan? Gak suka ya?"

"Hah? Enggak. Gue suka kok." Melody mengambil pisau dan garpu untuk mengiris steak dihadapannya. Memegangnya aja dia sampai salah tangan. Merasa salah tingkah karena tertangkap basah memperhatikan Gitar.

"Bisa motongnya enggak? Sini gue ajarin," tawar Gitar.

"Gak usah. Gue bisa sendiri." Setelah itu, Melody memasukkan potongan daging itu ke dalam mulutnya.

Gitar terkekeh geli. Dia lanjut melahap makanannya. "Gue gak nyangka deh, lo kenal Kaiden sejak lama."

"Gue juga gak nyangka, kalo Kak Kaiden itu Kak Rama." Melody menanggapi perbincangan Gitar itu.

"Gue pikir, tadinya Kaiden itu mantan lo. Soalnya habis liat permainan instrument piano Kaiden, lo langsung lari meluk dia."

"Ya bukan lah, gue itu single dari lahir."

"Iya. Percaya." Seketika Gitar ingat perbincangannya tadi dengan bunda Melody.

"Eh, gue mau nanya deh. Lo gak ada niatan buat nembak kak Vio gitu?" entah mengapa tiba-tiba Melody ingin menanyakan hal itu.

"Udah. Tapi ditolak mulu."

"Uh... kasian."

Gitar tak menanggapi ucapan Melody. Dari awal yang menyukai adalah Gitar. Dan Viola tidak pernah membalas rasa sukanya. Viola hanya menganggap Gitar sahabat yang selalu melindungunya. Seperti yang Melody rasakan pada Kenn.

Melody meletakkan pisau dan garpunya. Matanya menatap raut wajah Gitar yang tanpa ekspresi. Benar-benar tidak dapat dibaca.

Sepertinya cowok itu agak tersinggung dengan ucapannya. Melody jadi merasa bersalah. "Sorry ya. Gak seharusnya gue ngomong itu tadi."

"Nggak papa. Makanan lo gak dihabisin?"

"Udah kenyang."

"Oh, ya udah. Berarti sekarang lo bisa kan temenin gue jalan-jalan lagi. Gue mau bawa lo ke suatu tempat.

Lagi? Sepertinya Melody merasa di kerjai oleh cowok itu. Ingin sekali dia melayangkan pukulan pada cowok itu, namun dia cukup waras. Sekarang dia berada ditempat ramai.

"Kok diem?"

"Lo gak lagi ngerjai gue, kan?

"Maksudnya?"

"Ya daritadi muter-muter mulu. Katanya ngajak gue jalan-jalan. Tapi kebalikannya, gue yang nemenin lo jalan."

Gitar meminum jusnya. "Lo tenang aja. Gue gak ngerjai lo kok. Habis ini gue mau ngajak lo ke suatu tempat. Gue yakin lo akan suka."

🍁🍁🍁

Gitar memarkirkan mobilnya di pinggir jalan.

"Gak papa kan kalo kita jalan kaki? Mobilnya gak bisa masuk ke dalam soalnya."

Mereka berhenti di gang kecil yang tak mampu dilewati oleh mobil. Hanya motor saja yang mampu masuk ke dalam.

"Iya," jawab Melody.

Gitar menenteng kantong belanjaan yang di belinya tadi. Melody yang melihat itu nampak kasihan.

"Mau gue bantuin bawa?"

"Nggak usah. Nanti berat. Lo cukup jalan di samping gue aja."

Hanya kalimat kecil seperti itu namun hati Melody nampak tersentuh.

Gadis itu menyamai langkah kaki Gitar, sesekali melirik cowok jangkung di sampingnya yang nampak bulir-bulir keringat keluar di pelipis cowok itu.

Dapat Melody maklumi, namanya juga anak orang kaya pasti seperti itu. Eh, tapi nggak juga sih, Melody juga sesekali mengelap keringat menggunakan tangannya.

Gang itu merupakan komplek perumahan kumuh. Aroma air comberan menguar ke udara membuat aroma tak sedap.

"Lo kebauan ya, Mel. Harap maklumi ya."

"Enggak papa."

Bertemu dengan warga di sana, Gitar tersenyum ramah. "Pak, lain kali jangan buang sampah sembarangan ya. Bisa menyebabkan banjir."

"Eh, iya, Mas." Bapak itu tersenyum menanggapi. Padahal sudah sering Gitar peringatkan namun tetap saja begitu. Hanya bilang iya-iya. Namun tangannya tidak bekerja.

Langkah mereka berhenti di rumah sederhana bercat hijau muda.

"Ini rumah siapa?" tanya Melody.

"Bukan rumah, ini panti asuhan." Gitar tersenyum kecil melihat raut wajah bingung Melody. "Gak nampak ya? Memang, panti ini bukan resmi, hanya buatan warga biasa kampung ini untuk menampung anak jalanan. Yuk masuk."

"Assalamualaikum, adek-adek." Gitar tersenyum.

"Waalaikum'salam, Kakak Ganteng." Anak-akan yang berada di panti itu berhamburan memeluk Gitar.

"Kakak bawa hadiah nih buat kalian, bagi-bagi ya." Gitar memberi kantung belanjaan itu pada anak-anak yang tinggal di sana.

Anak yang tinggal di sana bermacam-macam usia. Dari 3 tahun sampai dengan duabelas tahun. Mereka merupakan anak jalanan yang sudah tidak mempunyai orang tua.

Ada juga anak yang putus sekolah. Sesekali datang ke panti kecil ini untuk memperoleh pendidikan yang diberikan Mbak Wina. Guru SD sekaligus pemilik panti itu.

"Makasih kakak ganteng." Anak itu pada berebut hadiah yang Gitar bawa untuk mereka.

Gitar tersenyum kecil melihat tingkah mereka. "Tenang, adek-adek, jangan rebutan,  kebagian kok."

Gitar dan Melody duduk di tikar rotan.

Mbak Wina muncul dari arah dapur sambil membawakan nampan berisi teh dan juga biskuit.

"Silahkan dinikmati ya. Di sini cuma ada ini doang."

"Makasih, Mbak. Jadi ngrepotin."

"Justru saya yang merasa direpotkan karena Gitar setiap dua bulan sekali kemari, membawa hadiah buat anak-anak."

"Itu kan sudah kewajiban saya sebagai manusia supaya saling berbagi. Lagipula, anak di sini baik-baik dan butuh hiburan juga."

Mbak Wina tersenyum tipis. Matanya melirik Melody. "Dia itu pacar kamu ya, Gitar? Cantik. Tapi kok baru sekarang kamu ajak ke sini?"

Seketika itu juga, Gitar yang sedang meminum teh, tersedak.

"Eh, hati-hati kalo minum." Mbak Wina terkekeh geli melihat tingkah Gitar.

"Bukan, Mbak. Saya adek kelasnya Kak Gitar." Melody menyahuti.

"Oh, padahal kalian cocok lo kalo pacaran."

"Mbak, saya numpang ke toilet ya." Gitar berdiri, meninggalkan mereka.

"Oh iya, kita belum kenalan loh. saya namanya Wina. kamu namanya siapa?" tanya Mbak Wina.

"Melody, Mbak."

"Nama yang cantik. Sama seperti orangnya."

Melody hanya menanggapinya dengan senyum.

"Padahal kamu cocok loh sama Gitar. Nama kalian aja saling berkaitan."

Ucapan Mbak Wina itu membuat Melody dahi mengerut. "Maksudnya?"

"Nama kamu itu kan Melody, artinya rangkaian nada. Sedangkan Gitar artinya alat musik. Nama kalian sangat berkaitan dengan musik." Mbak Wina menjeda ucapannya. "Melody Gitar, itu artinya rangkaian nada penyusun alat musik gitar."

Melody diam, mencermati ucapan mbak Wina. Benar, nama dia dan Gitar sama-sama berkaitan dengan musik. Tapi itu bukan berarti mereka harus pacaran kan?

"Maaf ya kalo ucapan saya ngawur."

Melody tersenyum menggeleng, menandakan tidak apa-apa. Menanggapi ucapan Mbak Wina. "Mbak, saya boleh tanya?"

"Iya. Silahkan."

"Kak Gitar sering ke sini ya? Kalau boleh tau sejak kapan?"

"Dari pertama saya bangun panti ini." Mbak Wina mulai menceritakan. "Saya ini anak yatim piatu, bercita-cita sebagai guru. Alhamdulilah sekarang saya sudah menjadi guru SD, walaupun masih honor."

"Mbak sendiri, kenapa bisa kepikiran buat panti ini? Sendirian lagi?"

"Kepikiran buat bikin panti ini itu karena melihat anak-anak mengamen di jalan. Mereka bekerja keras mencari uang untuk kebutuhan. Terus waktu itu saya melihat Gitar mengajari mereka bermain musik. Dia sukarelawan membantu mereka. Terus Gitar nangkap basah saya ngasih makanan ke mereka. Jadi Dia menawarkan supaya saya rawat mereka, beberapa kebutuhan dia yang bantu."

"Karena di rumah saya tinggal sendirian, akhirnya saya menyetujui. Mereka bisa menghibur kesepian saya. Lagipula ini adalah rumah warisan almarhum kedua orangtua saya."

Melody sangat tersentuh mendengar penuturan Mbak Wina. "Mbak Wina baik hati sekali. Saya salut sama Mbak."

"Harusnya yang kamu saluti itu Gitar, Karena dia yang memotivasi saya supaya merawat anak-anak itu."

Ada getaran aneh dalam hati Melody, mendengar ketulusan Gitar yang diceritakan Mbak Wina. Ternyata, dibalik sikap sombongnya Gitar selama ini, dia orang yang suka menolong orang lain.


TBC

Part terpanjang nih. 2447 word 🙏🙏

Ini buat nebus part kemaren yang gak sampai 2000 word.

Aku gak tau ke depannya bakal update berapa kali seminggu. Soalnya sibuk dengan urusan nyata. Banyak tugas sekolah yang numpuk apalagi sebentar lagi PTS.

Tapi tenang aja, aku bakal usahain update kok.

Jangan lupa Vote dan Komen ya. Vote memang penting, tapi komen membuat aku lebih merasa dihargai.

Love.

Dedel

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top