Part 44 - Dilema
Menunggu?
Kok makin ke sini makin sepi sih. Ramein dong.
Happy reading.
🍁🍁🍁
Ada hal yang sulit dilakukan. Meskipun sudah berulang kali pura-pura melupakan, namun tetap saja sebuah impian yang terpendam akan terungkapkan.
🍁🍁🍁
Melody sebal. Dia sudah bercerita panjang lebar, namun Kenn masih tetap menatap layar ponselnya.
Cowok itu sedang bermain game WormsZone. Game yang baru-baru ini menjadi game favoritnya.
"Kenn, daritadi lo dengerin gue cerita gak sih?" Melody mengguncang-guncang lengan Kenn. Namun cowok itu masih enyandarkan kepalanya pada ranjang dan fokusnya masih melihat ponsel.
"Iya gue denger. Lo jangan ganggu gue mulu ah. Mati nanti cacing gue." Kenn mendengus sebal.
"Bodo ah, bodo. Daritadi gue ngomong sama lo berasa ngomong sama patung tau nggak?" Melody kesal. Dia melanjutkan aksinya. Masa bodo dengan omelan Kenn padanya.
"Yah. Nabrak." Kenn memandang Melody. ''Lo sih. Kalo lo gak ganggu gue udah dapat dua juta nih bobotnya. Ah, ganggu aja lo."
"Oh, jadi gue ganggu lo gitu." Melody berdiri. "Oke, gue balik."
Belum sempat Melody melangkah, Kenn mencekal tangannya. "Jangan dong. Sini dulu."
"Percuma gue di sini, lo
sekarang gak mau dengerin gue lagi. Pacaran aja sana sama cacing di game lo itu."
"Gak usah marah. Sini duduk." Kenn menepuk-nepuk sisi ranjangnya.
Melody melirik Kenn, lalu duduk di samping cowok itu.
"Sekarang lo mau cerita apa? Gue dengerin nih?"
"Daritadi lo gak dengerin gue berarti ya? Ih, nyebelin banget. Udah cerita panjang lebar juga. Gue udah cerita dari A sampai Z, lo masih di nol ternyata."
Kenn menghela napas. "Sebenarnya gue denger lo ngomong apa. Cuma mau ngetes lo aja. Beneran marah nih ternyata?"
"Tau ah, sebel gue. Makanya kalo ada orang ngomong tuh di dengerin, jangan asik sendiri." Melody masih kesal dengan sikap Kenn tadi padanya.
Cowok itu tersenyum tipis. "Mau denger pendapat gue gak?"
"Tentang apa?"
"Tentang hal yang barusan lo ceritain."
"Maksud dan tujuan gue cerita ya memang minta pendapat plus saran dari lo, Kenn.... Gimana sih? Ganteng-ganteng kok nyebelin."
Melody heran sendiri. Cewek-cewek banyak yang mendekati sahabatnya itu. Bilang dia ganteng lah, keran lah. Dan banyak lagi pujian-pujian untuk sahabatnya itu.
Namun mereka tidak tahu sikap asli Kenn yang menyebalkan, keras kepala, dan terkadang emosional.
Meskipun begitu, Kenn adalah cowok terpeka yang Melody punya. Mampu memahami perasaan Melody.
"By the way, makasih udah bilang gue ganteng." Kenn meletakkan ponselnya di atas nakas. "Jadi kak Kaiden itu Abang ganteng yang dulu pacaran sama kak Cinta?"
Tadi Melody sudah menceritakan hal yang dialaminya di sekolah. Tentang dia yang bertemu Kaiden, dan bercerita panjang juga bersama Rebbeca.
"Iya. Kehadiran mereka ngingetin gue sama impian gue tau, nggak? Menurut lo gimana?" Melody bimbang. Dia butuh saran dari seseorang. Dan saat ini, hanya Kenn yang bisa diandalkan.
"Gimana apanya?"
"Gue harus gimana?" tanya Melody. "Mereka bilang, gue harus maju, mengejar impian gue. Tapi, gue ragu, karena gak mau kisah lama terulang. Lo tau kan, kalo dulu Ayah marah karena kak Cinta ikut eskul musik?"
Kenn mengangguk. Membiarkan Melody kembali bercerita.
"Dan Ayah makin marah saat kepergian Kak Cinta. Dia bilang itu ada hubungannya dengan musik. Ayah makin benci musik, Kenn. Jadi, mana mungkin gue meraih mimpi yang jelas-jelas cita-cita itu sama sekali gak ngebuat orangtua gue bahagia." Melody melanjutkan ucapannya.
"Gini ya, Mel. Lo turuti kata hati lo, jangan ucapan, kemauan atau perasaan orang lain. Kalo passion lo masih di musik, lo lanjutin, kejar impian lo."
Sebenarnya sudah berulang kali Kenn memperingatkan Melody agar gadis itu melanjutkan impiannya, namun Melody tetap saja keras kepala. Dia dirundung dilema. Dan Kenn tidak bisa berbuat banyak, karena dia juga sedang memiliki masalah.
"Lagian, kalo lo sukses. Dan cita-cita lo tergapai, Ayah dan Bunda pasti bangga kok. Orangtua mana yang gak bahagia anaknya berhasil?"
Kenn benar, jika Melody sukses pasti orangtua gadis itu akan bangga padanya. Namun tetap saja dia bimbang.
Di satu sisi, Melody masih memiliki jiwa musik, ingin melanjutkan impiannya. Tapi disisi lain, restu dari orangtuanya. Melody tidak berani mengatakan ini pada ayahnya. Bukan larena dia tidak punya nyali, namun takut membuat ayahnya sakit hati.
"Mel, lo masih bingung ya?" Kenn tahu, kerutan di dahi Melody menggambarkan gadis itu sedang memikirkan sesuatu. Helaan napas yang berhembus, adalah sebuah kegusaran tersendiri dari gadis itu.
"Huh?" Gadis itu tersentak dari lamunannya. "Iya."
Jemari Kenn menggenggam tangan Melody, menyematkan jari-jarinya pada sela jari gadis itu. "Jangan terlalu dipikirin."
"Mau gue sih gitu. Bagaimana pun, gak gue pikirin, gue masih kepikiran, Kenn...."
"Gue tahu. Yang penting sekarang, lo tenangin diri dulu. Siapa tahu, semakin berlalunya hari, lo menemukan jawaban yang sebenarnya."
Waktu. Hanya waktu yang Melody butuhkan untuk mencari jawabannya.
"Makasih ya, atas waktunya. Lo udah mau dengerin gue, ngasih pendapat ke gue." Perasaan Melody menjadi lega, setelah dia bercerita dengan Kenn.
"Iya, Caramelo." Mata cowok itu menerawang ke arah jendela. "Udah malem, lo gak pulang?"
"Ngusir nih ceritanya?"
"Bukan. Takut dicariin Ayah sama Bunda. Semenjak kak Cinta gak ada, mereka khawatir sama lo. Cuma lo anak satu-satunya yang sekarang mereka punya."
Gadis itu tersenyum tipis, melihat kepekaan Kenn kepada keluarganya. Bukan hanya dirinya, namun Kenn juga dapat memahami perasaan Heri dan Hilda sebagai orang tua.
"Tapi... kalo mainnya sama lo mereka gak khawatir. Karena mereka tau, lo akan selalu melindungi gue." Senyuman indah terukir di wajah Melody.
"Mau pulang sendiri atau perlu gue anter?" tawar Kenn.
"Pulang sendiri lah. Emang gue manja apa. Lagian tinggal melangkah beberapa meter aja nyampe."
🍁🍁🍁
Akhir pekan sering digunakan pelajar untuk malas-malasan, rebahan contohnya. Sekarang pun Melody sedang begitu. Gadis itu masih terlelap di ranjangnya.
Sinar matahari masuk melewati celah jendela. Hangatnya sang mentari pagi menusuk hingga ke tulang. Silau cahanyanya membuat gadis itu mengerjap beberapa kali.
"Aah, Bunda, kok di buka sih gordennya silau tau." Melody mengucek-ucek matanya, sesekali menutupi mulutnya yang terus menguap.
"Bangun. Udah siang juga, masih ngebo aja." Hilda menatap anaknya yang sedang merentangkan kedua tangannya.
"Bunda, dimana-mana jam tujuh itu masih pagi. Siang itu jam dua belas." Melody mengubah posisinya menjadi duduk. "Lagian hari libur juga."
"Libur sih libur. Tapi kamu jangan males-malesan. Rebahan terus..., hibernasi mulu gak bosen apa?"
Ini nih, kebiasan pagi kalau dengerin emak-emak ngomel. Panjang lebar sampai dhuzur baru kelar.
Lagian Melody sedang datang bulan, makanya itu dia puas-puasin tidur sampai siang. Kan dia tidak sholat subuh. Walaupun sebenarnya itu gak baik sih.
"Bunda, rebahan itu bukan berarti malas-malasan. Rebahan itu mengistirahatkan badan, pikiran, dan perasaan."
"Ngomong apa sih kamu? Udah sana mandi terus sarapan."
"Bunda udah masak?"
"Udah lah. Tinggal nyapu-nyapu dikit. Bunda ke bawab dulu ya." Hilda keluar dari kamar Melody.
Melody jadi merasa bersalah. Seharusnya dia bangun lebih pagi, untuk membantu meringankan pekerjaan rumah bundanya. Bukan malah enak-enakan rebahan di kamar.
"Kenapa sih, Bunda gak bangunin Ody lebih awal? Apa karena Ody anak satu-satunya yang sekarang mereka punya?" Walaupun itu benar, mereka tidak pernah memanjakann Melody. Mereka ingin putri mereka mandiri.
🍁🍁🍁
Gadis itu sedang mencuci piring serta gelas kotor bekas wadah sarapannya, dan beberapa peralatan masak juga yang belum sempat dibersihkan Hilda.
"Ody, ada teman kamu nyariin nih!" teriakan Hilda sampai di pendengaran Melody.
"Siapa, Bun?"
Melody hanya basa-basi. Palingan yang mencarinya Kenn, jika bukan, itu pasti Willona. Memang teman siapa lagi yang dia punya. Sedikit teman lebih bermakna, daripada banyak teman tapi ada maunya.
"Cowok!"
Sudah Melody duga, pasti itu Kenn.
Setelah menaruh piring yang sudah dicuci ke rak piring, Melody membalikkan badannya. Bertepatan dengan itu pula Hilda masuk ke dapur.
"Bunda mau ngapain?"
"Buat minuman buat temen kamu," sahut Hilda, sambil mengambil gelas dari lemari.
"Manja banget sih, biasanya kalo dateng dia sering bikin minum sendiri."
Hilda mengernyit. Perasaan cowok itu jarang atau malah tidak pernah datang di kediaman mereka. "Kamu lagi ngomongin siapa sih?"
"Kenn. Dia kan yang dateng ke sini?"
Ternyata dari tadi Melody tidak tahu siapa yang datang menemuinya. "Bukan. Itu loh cowok ganteng yang waktu itu nolongin kamu."
Nolongin Melody? "Maksud Bunda, Kak Gitar?"
"Oh iya namanya Gitar, Bunda lupa." Hilda tadi belum sempat menanyakan kembali nama cowok itu. "Iya dia yang dateng. Vokalis band di sekolah kamu yang lagi tenar itu loh?"
Mata Melody mengerjap berkali-kali. Tumben sekali dia kemari? Dan untuk apa menemuinya.
"Udah sana ke depan. Bunda mau nyiapin cemilan dulu."
Melody melangkahkan kakinya ke ruang tamu. Mendapati Gitar yang tengah duduk di sofa.
Merasa orang yang ditunggu datang, Gitar melirik Melody. "Gue seneng, benda pemberian gue lo pake."
Melody menaikkan alisnya, saat Gitar tersenyum padanya. Pandangan cowok itu seperti melihat di lehernya. Kalung berbandul Gitar terpajang di sana.
Tangan Melody memegang bandul kalung itu, sesekali matanya melirik melihatnya.
"Kalung itu cocok sama kulit lo yang putih."
Melody baru menyadari, jika sekarang rambutnya ia gulung. Otomatis leher jenjangnya terlihat. Tapi dia masa bodoh, toh ini rumahnya. Jika di rumah dia tidak memperhatikan tampilannya. Ini saja dia hanya memakai baju kodok kesayangannya.
Melody duduk di depan cowok itu. "Lo ngapain di sini?"
"Gitu ya, cara nyambut tamu. Gak ada manis-manisnya sama sekali." Gitar mengejek.
"Le mineral kali ah."
Gitar berdehem. "Sebenernya, niat gue ke sini mau ngajak lo jalan."
"Jalan? Jalan kaki maksudnya?" beo Melody. "Jalan kaki keliling komplek sini? Udah siang kali. Lo kalo mau ngajak gue maraton pagi-pagi harusnya."
"Bukan itu. Jalan ya jalan."
Bersamaan dengan itu, Hilda kembali lagi ke ruang tamu. Meletakkan minuman dan cemilan untuk Gitar.
"Makasih, Bun," ucap Gitar.
"Udah terima aja ajakan nak Gitar. Daripada kamu di rumah terus. Rebahan mulu emang gak bosen?" timpal Hilda, kemudian duduk di samping Melody.
"Tapi kalo Ody pergi, nanti Bunda sendirian dong. Ayahkan lagi kerja," sanggah Melody.
"Kalo kamu sekolah, Bunda juga serung di rumah sendiri." Hilda diam sejenak. "Lagian, hari ini Bunda mau ke rumahnya Kenn. Mau bikin kue bareng Tante Liana."
"Jadi gimana, Mel. Lo mau kan?" Gitar memecahkan lamunan Melody.
Melody melirik Hilda sekilas, sebelum menjawab. "Boleh deh. Gue ganti baju dulu ya. Gak lama kok."
Melody meninggalkan mereka. Dia segera mengganti pakaiannya.
Sambil menunggu Melody, Hilda bercakap-cakap sebentar dengan Gitar.
"Nak Gitar, kenal Melody berapa lama?"
"Baru beberapa hari ini sih, Bun. Maksud saya, saya udah tau Melody dari lama. Tapi baru beberapa hari aja dekat." Ya sejak insiden Gitar menolong Melody dari pembully-yan itu mereka menjadi dekat.
"Oh..., Bunda pikir dari lama. Soalnya kamu cowok temen Melody yang datang ke rumah selain Kenn."
Gitar diam mendengarkan. Memang sejak kapan dirinya jadi teman Melody?
"Melody memang gitu orangnya. Jarang berbaur dengan orang. Temen cowoknya ya cuma Kenn doang," lanjut Hilda.
"Pantesan sih, waktu Melody kelas sepuluh Gitar gak pernah liat dia."
Hilda hanya menanggapi ucapan Gitar dengan senyuman tipis.
"Bun, Gitar boleh nanya?"
"Nanya apa sih, nak Gitar? Kalo bukan pelajaran sekolah, insya Allah Bunda bantu."
Gitar terkekeh. "Bukan, Bun. Em... sebenernya Melody sama Kenn punya hubungan apasih, kok deket gitu?"
"Mereka itu sahabatan dari kecil." Kemudian Hilda menceritakan sedikit persahabatannya Melody dan Kenn dari mereka yang masih di dalam perut ibunya masing-masing.
"Masa sih, Bun? Biasanya kalo cowok sama cewek berteman dari kecil, salah satunya ada yang jatuh cinta."
"Tapi Bunda gak liat tanda-tanda jatuh cinta diantara mereka. Kenn menyayangi Melody sebagai sahabat sekaligus adik." Hilda menjeda ucapannya. "Memang sih, dulu... Bunda sama Mamanya Kenn ingin menjodohkan mereka. Namun setelah beranjak dewasa, kita sadar, mereka berhak memilih pasangan hisup masing-masing."
Tak lama Melody turun.
"Yuk."
"Ody berangkat, Bun." Melody mencium tangan Hilda.
Gitar ikut mencium tangan Hilda.
"Hati-hati ya, Nak Gitar."
"Iya, Bun."
Sesampai di halaman, Gitar membukakan pintu mobil sport hitam miliknya, mempersilahkan Melody masuk.
Lalu cowok itu mengambil duduk di kursi kemudi samping Melody.
Mobil itu meninggalkan halaman rumah Melody. Memecah jalanan Jakarta yang ramai.
Mereka berdua saling diam. Tak ada yang membuka pembicaraan. Melody hanya pasrah saja Gitar mau membawa dia kemana. Dia yakin jika Gitar tidak akan macam-macam.
TBC
SORRY TYPO.
Gimana kesan di part ini?
Feelnya dapet gak?
Jangan bosen-bosen baca cerita ini ya.
Satu vote dan komentar sangat berharga.
Love.
Dedel
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top