Part 41 - Mencoba kembali
Welcome to part 41
Jangan bosen-bosen ya baca cerita ini.
Note = Di part ini ada beberapa bagian cerita yang memuat alur flashback ya. Jadi jangan bingung.
Happy reading.
🍁🍁🍁
Terkadang ada pertanyaan yang tak mampu dijawab lewat kata-kata. Karena waktu sendirilah yang akan mencari jawaban yang sebenarnya.
🍁🍁🍁
"Kenapa lo senyam-senyum gitu?"
Kenn bergidik ngeri saat melihat Melody dari tadi mengembangkan senyumnya. Dia takut sahabatnya itu ketempelan, apalagi waktu Melody diculik, dia disekap di gedung tua yang jaraknya tidak jauh dari hutan.
"Kenapa sih? Syirik lo liat gue bahagia?" Melody sebal.
Gadis itu menggigit-gigit pipit es jus jeruk yang tadi dia beli dari kantin. Kebiasaan Melody dari dulu yang tidak pernah hilang ya begitu, selalu membuat gepeng pipet minuman yang dia belu. Kini dia dan Kenn sedang berada di taman.
"Eh, tunggu-tunggu, sejak kapan lo makek kalung ini? Beli baru ya?" Kenn memegang bandul dari kalung yang Melody kenakan. Lebih tepatnya bandul Gitar.
"Oh, ini dari kak Gitar. Dia ngasih ke gue tadi pagi."
"Baik bener. Dalam rangka apa?" Kenn menaruh curiga. Setahunya Gitar tidak suka terhadap Melody.
"Katanya sih buat ganti rugi kalung gue yang waktu itu dipatahi Zela. Kalung yang peninggalan kak Cinta itu loh?" Kemudian Melody meminum jus jeruknya.
"Mel?"
"Hem?"
"Mendingan lo jauhin Gitar deh."
Ucapan Kenn itu membuat Melody menghentikan aktivitas meminumnya.
Kerutan terlihat jelas di kening Melody. "Jauhin? Orang kita gak pernah deket kok."
"Kalo gak deket, gak mungkin dia kasih kalung itu ke lo, Mel," hardik Kenn.
"Lo kenapa sih, Kenn? Demam lo ya?" Melody mengecek suhu tuhuh Kenn menggunakan tangannya. "Normal kok."
Entah mengapa sikap polos Melody malah membuat Kenn kesal. Penjelasan apa agar gadis itu tau maksudnya?
"Pokoknya jauhin Gitar. Dia gak baik buat lo," tekan Kenn.
Melody semakin tidak mengerti. "Terus yang baik buat gue siapa, lo gitu?"
"Y-ya bukan. Bukan si Gitar juga lah pokoknya."
Melody terkekeh kecil. "Lo tenang aja, Kenn, gue gak suka kok sama dia. Dia itu cowok aneh yang sekarang gak tau kenapa gue bisa deket sama dia." Melody menepuk-nepuk bahu Kenn. "Yang terbaik buat gue cuma lo, Kenn, kan lo sahabat gue, sekaligus abang gue."
Kenn tersenyum tipis, membawa Melody dalam dekapannya. "Sorry ya, kalo perkataan gue tadi mengganggu pikiran lo?"
"Enggak papa, gue tau kok, kalo lo kayak gitu karna khawatir sama gue."
"Mel, kenapa lo ninggalin gue di kantin sih!"
Teriakan Willona yang keras, membuat Kenn dan Melody terkejut, mereka melepaskan pelukan.
"Oh my god! Kalian malah kangen-kangenan di sini? Uh." Willona berkata dengan nada yang dibuat-buat. Tangan Willona membekap mulutnya sendiri.
Gadis itu duduk di kursi samping Melody.
"Kenapa lo? Mau gue peluk juga?" tanya Kenn, menatap lurus Willona.
"Idih. Itu sih maunya elo."
"Lo udah puas jajannya, Will?" sindir Melody.
Tadi Melody dan Willona di kantin bersama. Namun Melody hanya sekedar ingin membeli jus jeruk. Willona merasa lapar, jadi dia memesan bakso. Dan Melody meninggalkannya. Karena Melody tak ingin lama-lama di kantin yang ramai. Apalagi banyak pasang mata yang melihatnya. Dia tahu ini semua efek dari kejadian beberapa minggu yang lalu.
"Udah kenyang malahan." Willona tersenyum kecil, melihat kejadian tadi di kantin. "Gue tadi ketemu sama kakak Ganteng juga."
"Siapa? Lo selingkuh dari gue? Kita cerai."
Melody dan Willona saling pandang, membuat kerutan di dahi masing-masing. Mereka merasa jijih dengan ucapan Kenn yang lebay.
"Apaan sih lo. Nikah aja enggak, cerai." Willona berpikir, sepertinya kepala Kenn telah terbentur sesuatu.
"Ya elah, gue bercanda keles."
"Garing tau nggak?" Willona merasa senang setiap dirinya dan Kenn mengalami perdebatan kecil seperti ini.
"Garing? Kasih aer, biar basah."
Melody menatap Kenn sekilas, lalu melirik Willona. "Kalian pada ngomong apa sih? Gak jelas banget."
"Lagian siapa sih, cogan yang ketemu lo di kantin tadi?" lanjut Melody, bertanya.
"Kak Tristan." Sebenarnya bukan hanya Tristan, tapi Willona juga bertemu dengan orang yang selama ini menjadi idolanya. Namun jika dia mengatakan itu, dia takut jika Melody marah karena Willona memberi sedikit bocoran tentang Melody pada cowok itu.
"Apa cakepnya sih si Tristan? Cakepan juga gue," ucap Kenn dengan bangganya.
"Dih, lo mah menang cakep karena ada darah blasteran ya. Lagian kak Tristan itu manis kok. Apalagi setiap dia pakek kacamata." Mungkin sekarang Willona bisa memuji orang lain, tapi dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya untuk orang lain.
Kenn berdehem. "Mel, gue ke kelas dulu ya. Si Rio nge-chat katanya ada tugas tambahan dari guru."
Kenn melirik Willona sekilas, lalu meninggalkan taman.
"Eh bocah. Belum bilang iya malah nyolong pergi aja."
"Aneh banget dia. Mana pamitnya cuma ke lo doang lagi. Gue enggak." Willona jadi merasa tidak dianggap.
"Mungkin dia cemburu kali, gara-gara lo nyebut nama cowok lain."
"Hah? Cemburu?" Willona membeo.
"He-em. Kayaknya Kenn suka sama lo deh." Melody menyenggol bahu Willona dengan tersenyum merekah.
Kenyataannya enggak, Mel. Kenn itu sukanya sama lo. Lo bukannya gak peka, tapi Kenn yang berusaha menutupinya saja.
"Mending kita ke kelas juga yuk. Ngapain di sini berduaan. Kayak pacaran aja."
"Gue tadi juga niatnya mau ke kelas."
🍁🍁🍁
Melody bernapas lega, dia sudah selesai membuang hajatnya. Kini langkahnya kembali ke kelas. Mungkin saja ada guru yang akan masuk.
"Mel! Melody!"
Tadinya Melody tak mau berhenti. Mungkun saja orang itu memanggil nama Melin atau Amel. Ternyata benar namanya yang dipanggil.
Melody menghentikan langkah. Menoleh pada orang yang memanggilnya. "Kenapa?"
"Ikut gue yuk." Gitar memegang tangan Melody.
Melody terdiam, melirik tangannya yang dipegang oleh Gitar. Sepertinya cowok itu sekarang kebiasaan melakukan hal itu.
"Kemana?"
"Ruang Musik."
"Ngapain? Lagian sebentar lagi guru masuk, gue ada pelajaran seni budaya loh."
"Guru lo Pak Seno, kan?" tanya Gitar.
"Iya. Kenapa?"
"Gue tadi udah izin sama Pak Seno buat bawa lo ke ruang musik. Pak Seno setuju kok, lagian sekarang lo bagian dari Axellex juga."
Perkataan Gitar membuat Melody membulat. Segitu niatnya dia sampai meminta izin pada guru yang akan mengajar di kelasnya.
Tunggu. Tadi Gitar bilang Melody bagian dari Axellez? Sejak kapan? Melody saja tidak pernah setuju jika dia ikut bergabung di eskul band.
"Sejak kapan gue bagian dari Axellez?" Dari pada menyimpan sendiri, lebih baik dia menanyakan pikirannya pada Gitar.
"Sejak lo bantuin Axellez tahun lalu. Waktu lomba itu." Gitar tersenyum tipis.
"Kok bisa? Gak mau. Gue aja gak bisa main alat musik kok. Itu aja nyanyi karena gak sengaja nemu lirik lagu lo doang," jelas Melody. "Udah gitu aja, gak lebih. Gue gak tau apa-apa tentang musik."
"Gue tau, Mel. Lo punya keahlian tersembunyi. Gak mungkin, kan, lo bisa ngafalin lirik lagu cuma semalaman doang?" tanya Gitar.
Melody terdiam. Sebenarnya dia juga tidak tahu kenapa bisa melakukan itu padahal waktu kecil dia susah sekali dalam menghafal lagu. Melody berpikir, mungkin saja bakat ini menurun dari kakaknya.
"Lo itu hebat, Mel."
Melody menatap mata Gitar cukup lama. Ada ketulusan yang terlihat di sana. Baru pertama kali orang asing memuji bakatnya seperti itu. Bakat yang selam ini dia tutup-tutupi.
🍁🍁🍁
"Mbak, ini uangnya."
Willona membayar dua mangkok bakso dan es teh manis yang sudah dia habiskan.
Dia sangat kelaparan karena tidak sarapan. Tadinya Willona bersama Melody, namun Melody pergi lebih dahulu dari kantin.
Willona tahu jika Melody tidak ingin menjadi pusatperhatian orang-orang di sini. Apalagi setelah insiden Gitar yang membela Melody di hadapan Zela.
"Gak ada uang kecil, neng, saya gak ada kembaliannya," ucap Mbak-Mbak pemilik stand kantin tersebut.
"Yah, gak punya." Willona mendesah, kecewa.
Padahal uangnya hanya selembar seratus ribuan. Tapi tidak ada kembalian. Dia maklumi sih, orang yang bersekolah di sini umumnya anak orang-orang kaya. Jadi kalau jajan tidak ada yang pakai uang recehan.
"Ini, Mbak, saya bayar minuman dingin sekalian bayarin dia."
Willona tersentak, dengan seseorang yang tiba disampingnya. Dua orang cowok tampan. Tapi kini mata Willona lebih tertuju pada orang yang ingin membayar makanannya.
"Eh, gak usah, Kak. Kan gue yang makan, masa lo yang bayar sih."
"Udah terima aja, itung-itung sedekah," pinta Tristan.
"Emang gue fakir miskin apa perlu di sedekahin. Bayar makan gue masih mampu kali," gerutu Willona kesal.
"Lo ngomong apa?" Tristan hanya mendengar samar-samar Willona menggerutu.
"Hah? Enggak," sangah Willona.
Akhirnya Willona menerima maksud baik Tristan untuk membayar makanannya.
"Makasih ya."
Tristan hanya membahasnya dengan deheman.
"Kalian kok tumben jajan di kantin sini? Di atas penuh ya?" tanya Willona.
"Enggak sih, cuma pengen ke sini aja. Lagian bentar lagi kita juga mau ke ruang musik." Gitar menjawab.
Willona mengangguk, paham.
"Duduk dulu, Will, Gitar mau ngomong sesuatu sama lo." Trisran tidak suka basa-basi. Sebentar lagi Axellez akan latihan. Jika hanya buang-buang waktu di sini, untuk apa dia menemani Gitar.
Willona melirik Gitar. "Ngomong apa, ya, Kak?"
''Duduk dulu."
Mereka bertiga duduk di kursi kantin yang masih kosong. Untung saja di stand pojok tidak ramai orang. Jadi tidak ada yang akan mendengarkan perbincangan mereka.
"Sebenernya, kak Gitar mau ngomong apa sih?" Willona jadi penasaran.
"Bukan ngomong, lebih tepatnya nanya." Tristan mengelap kacamata putihnya yang sedikit berdebu, lalu memakaikan kembali ke semula. "Udah buruan, Gi. Keburu di tunggu kak Kaiden."
Gitar melirik Tristan sekilas, lalu kembali mrnatap Willona. "Lo temenan Melody udah dari lama?"
Willona tercengang, rupanya hal itu yang akan ditanyakan Gitar. Willona jadi yakin jika Gitar menyukai sahabatnya.
"Dari kelas sepuluh sih, kak." Willona diam sejenak. "Belum terlalu lama sih, tapi gue udah deket banget sama Melody. Bahkan, kita seperti saudara."
"Jadi lo tau dong, bakat terpendam Melody?"
Dahi Willona mengerut. "Maksudnya?"
"Tentang Melody yang nyembunyiin kemampuannya dalam bernyanyi." Gitar menoleh ke kanan ke kiri, berharap tidak ada yang mendengarnya. Untung saja sepi. "Apa sih, yang disembunyiin Melody? Kenapa dia gak mau berhubungan dengan musik padahal dia punya kemampuan dalam hal itu?
Willona bingung harus berkata apa. Dia tak ingin Melody memarahinya saat tau dia membongkar hal ini.
"Jawab aja, kita gak bakal bilang siapa-siapa, kok. Percaya sama gue."
Willona melirik Tristan yang baru saja mengatakan kalimat itu padanya. Tatapan mata teduh yang membuatnya luluh untuk mengatakan yang sebenarnya. Willona yakin Tristan maupun Gitar bisa dipercaya.
"Gue gak banyak tau tentang hal ini sih, Kak. Yang tau semuanya tentang Melody itu Kenn. Secara, mereka sahabatan dari kecil." Willona memberi jeda. "Yang jelas, Melody memang punya bakat tentang musik, apalagi dalam bernyanyi, suara dia memang benar-benar merdu. Melody memendam bakatnya ini berkaitan dengan orang di masalalu. Yang jelas orang itu spesial banget dalam hidup Melody."
Orang di masalalu? Siapa? Cowoknya? Pertanyaan itu menggantung dalam pikiran Gitar
"Melody nyembunyiin ini karena dia gak mau buat orangtuanya kecewa. Makanya orangtua Melody selalu jagain dia dan gak mau dia kenapa-napa. Apalagi saat kejadian Melody diculik, mereka sangat cemas."
"Tunggu-tunggu. Maksud lo, Melody dulu punya pacar terus dia pernah diculik pacarnya apa gimana? Atau pacarnya Melody pernah berbuat macem-macem makanya orang tua dia khawatir?" Pertanyaan bertubi-tubi itu keluar dari bibir Tristan.
Willona terkekeh kecil. "Kakak mikirnya kejauhan. Melody gak mungkin kayak gitu cuma gara-gara cowok doang." Willona lalu melirik Gitar. "Kalo Kakak mau tau tentang Melody, dekati dia."
Perkataan itu membuat Gitar terdiam.
Willona berdiri dari tempatnya. "Gue duluan ya. Mau nyusul Melody soalnya."
Tristan menatap Gitar. "Lo beneran mau dikati Melody? Buat apa? Lo gak mau main hati kan sama dia?"
Gitar melirik Tistan, salah satu ujung bibirnya terangkat. "Kalaupun itu terjadi. Maka gue yang akan menjadi pemenangnya.
🍁🍁🍁
Gitar sekilas membayangkan percakapannya dengan Willona tadi di kantin. Mungkin dia memang harus mendekati Melody agar tahu tentang gadis itu.
Kini Gitar telah menuntun Melody ke ruang musik. Ruang musik memang sudah menjadi base camp Axellez di sekolah. Walaupun begitu, anak eskul musik masih sering berlatih di sini. Inikan punya sekolah, bukan punya Axellez pribadi. Walaupun Axellez yang sering membersihkan dan merenovasi ruangan ini menjadi klasik.
''Weh, Babang Gitar bawa cewek baru cuy," celetuk Milo.
"Pindah haluan sekarang ya, Gi?" Derby ikut menimpali.
Gitar menatap tajam kedua sahabatnya itu. Membuat mereka semua menundukkan pandangan.
"Melody, lo mau gabung ke Axellez?" Wajah Kaiden begitu semringah ketika Melody datang bersama Gitar. Dia sangat menantikan gadis itu ikut bergabung di sini.
"Enggak Kak, gue ke sini cuma diajak kak Gitar aja." Melody sebenarnya merasa tidak enak karena telah mengecewakan Kaiden.
"Oke, gak papa. Gue harap saat nanti lo berubah pikiran. Karena musik itu asik." Kaiden tersenyum tipis.
Musik itu asik? Sebertinya perkataan itu cukup familiar di dengar oleh Melody.
"Duduk."
Melody duduk di kursi yang sudah dibersihkan oleh Gitar. Cowok itu ikut duduk di sampingnya.
"Oke. Gue di sini mau ngajarin kalian instrumen piano. Meskipun pianist di sini itu Tristan, kalian semua juga harus latihan membuat instrumen piano." Kaiden bersiap, dia duduk di depan pianonya. "Di sini gue mau nyontohin kalian instrumen piano. Instrumen ini bukan murni buatan gue. Tapi ini murni bikinan orang yang spesial dalam hidup gue."
"Pasti cewek nih," celetul Tristan.
Kaiden hanya menanggapinya dengan tersenyum tipis.
Kemudian jemari Kaiden telah bergerak lincah di atas tuts piano. Menghasilkan alunan nada yang begitu syahdu. Walaupun tanpa musik tapi tidak menghilangkan unsur keharmonisannya.
Melody terkejut. Nada yang dihasilkan dari tarian tangan Kaiden begitu merdu. Lama-kelamaan dia menyadari. Instrumen piano ini familiar dipendengarannya.
Melody menatap Kaiden insten. Apakah mungkin dia orang yang sama?
"Kak Rama?"
Panggilan dari suara lembut Melody itu, membuat Kaiden berhenti menggerakkan jarinya.
TBC
Sorry ngantung.
Menurut kalian Rama itu siapa?
Cowok di masalalu Melody?
Atau alasan lain Melody ingin melupakan musik?
Note : Vote memang perlu, tapi komenan lebih membuat karyaku merasa dihargai.
Love.
Dedel
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top