Part 39 - Hujan Kenangan
Hola Readers.
Update lagi nih.
Cie-cie yang udah nungguin.
Jangan lupa pencet tombol bintang di bawah ya.
Happy Reading.
🍁🍁🍁
Hujan itu istimewa, dia bisa menciptakan alunan musik sendiri. Hal itu merupakan identitas diri, supaya dia dapat dikenali.
🍁🍁🍁
Melody merasa sedikit tidak nyaman. Motor sport milik Gitar tidak cowok untuk tubuhnya yang mungil.
"Jalannya pelan-pelan dong," keluh Melody.
"Ini juga udah pelan kali. Makanya pegangan dong."
Cowok itu merasakan bajunya seperti ditarik-tarik. "Pegangan yang bener, kalo lo cuma pegang ujung bajuku gitu, gue gak jamin keselamatan lo."
"Iya... bawel!" Melody mendengus.
Perlahan, Melody melingkarkan tangannya di perut Gitar. Membuat senyum kecil terukir di ujung bibir cowok itu.
Gitar sedikit memperlambat laju motornya. Dia ingin bicara sesuatu pada Melody. "Mel?"
"Hem?"
"Sorry, ya? Tadi gue bilang lo cewek gue ke Yasa. Itu cuma reflek karena gue gak mau lo diapa-apain sama dia. Padahal kenyataannya kan gak kayak gitu." Gitar menjelaskan.
"Gak papa, kok, gue tau kali."
"Gue jelasin ini biar lo gak ke ge'er-ran karena gue bilang lo itu cewek gue."
"Dih. Pede. Siapa juga yang ge'er? Lagian gue tau kok, lo itu sukanya sama kak Viola."
"Tapi perasaan itu bisa kapan saja menghilang, Mel."
Melody hanya samar-samar mendengar ucapan Gitar. Larena cowok itu makin mempercepat laju kendaraan bermotornya.
Kendaraan itu kini telah sampai ke jalan raya. Meskipun masih jauh untuk menuju rumah Melody.
Perlahan, langit mulai tampak gelap. Bahkan suara halilintar menggema dilangit.
"Mel, mau hujan nih. Kita berteduh dulu."
"Yaudah deh. Lagian gak baik mengendarai motor sambil hujan-hujanan. Jalanannya kan licin."
Gitar menepikan motornya di sebuah tempat yang jaraknya tak jauh dari taman.
"Yuk, masuk," ajak Gitar.
Melody mengedarkan pandangannya ke sekitar. "Ini...?"
"Ini basecamp Axellez. Waktu dulu due ninggalin lo ke taman, gue ke sini."
Melody ingat saat Gitar meninggalkannya saat cowok itu sudah minta tolong padanya. Hal menyebalkan yang membuatnya terjatuh.
Matahari bersembunyi dibalik awan hitam yang menutupi langit. Titik-titik air hujan mulai merjatuhan, menciptakan bunyi tersendiri setelah bertabrakan dengan bumi. Aroma petrikor menyerbak, menyusup pelan-pelan ke dalam hidung.
"Axellez punya berapa basecamp?"
"Empat. Satu di sekolah, satu di rumah gue, satu deket studio bokap gue dan yang terakhir di sini."
Setelah mendengar penjelasan Gitar itu, Melody masuk ke dalam. Karena hujan perlahan mulai mengguyur bumi.
Melody bergeming. Dia sedang memperhatikan alat-alat musik yang terletak di sana. "Ini alat musiknya kalian beli sendiri?"
"Ya iyalah, masa maling."
"Bukan. Maksud gue kok bisa beli alat musik banyak gini. Ini mereknya mahal loh." Melody memegang salah satu gitar yang berada di sana. "Emang gak ngerepotin orangtua, minta uang buat beli ini?"
Gitar tersenyum tipis. "Alat-alat ini belinya bukan pake uang orangtua kita. Axellez sering manggung dan dapet honor yang lumayanlah. Jadi kita sisihin uangnya buat beli alat-alat musik ini."
"Tapi apa gak mubajir ya. Alat musik ini kan banyak. Belum yang di rumah lo dan di ruang musik sekolah."
"Lo bawel banget ya. Ini gak mubajir kali. Kadang ada temen gue yang minjem ruangan ini buat mereka latihan."
Melody diam. Rupanya Gitar mempunyai sikap baik juga.
"Kayaknya hujannya mulai deras deh. Lo kedinginan gak? Gue buatin coklat panas ya?" tawar Gitar.
"Emang ada?"
"Ada. Di sini ada dapur sama satu kamar juga. Jadi daripada basecamp yang lainnya gue lebih betah di sini. Gue buatin dulu ya?"
"Boleh deh."
Melody hanya meletakkan. Tasnya di sofa. Matanya menatap jendela kaca yang memperlihatkan. Derai hujan yang berjatuhan.
Tangannya mengusap-usap lengannya saat suhu dingin mulai menusuk ke kulitnya.
"Nih." Gitar membawa dua cangkir coklat panas. Satunya telah dia berikan pada Melody.
"Makasih." Melody menyeruput coklat itu perlahan. Suhu tubuhnya mulai hangat.
"Ngapain di jendela liatin hujan. Ingen kenangan sama mantan ya?" tanya Gitar.
"Ih, enak aja. Orang gue gak punya mantan ya...." Melody kembali melihat ke arah jendela. "Gue suka liatin hujan karena hujan mempunyai alunan musik sendiri."
Gitar ikut melihat ke arah luar jendela. "Iya. Hujan menghasilkan suara saat derainya bergesekan dengan bumi."
"Kita harusnya belajar dari hujan. Punya jati diri sendiri." Melody tersenyum kecil. "Walaupun hujan sering kali dibenci, karena membuat basah bumi, ataupun mengingatkan seseorang dengan orang lain yang telah membuatnya kecewa maupun luka, tapi sebenarnya hujan gak sejahat itu."
"Hujan itu mampu menyamarkan tangis seseorang yang berada di bawah derainya, mampu mengundang rasa rindu dan kenangan kepada seseorang yang kita sayang. Dan yang terakhir, hujan mampu mengundang pelangi untuk tampak di langit setelah hujan berhenti menjatuhkan airnya." Melody mengalihkan pandangannya pada Gitar. "Aneh jika orang bilang suka hujan tapi malah milih berteduh."
"Kayak lo dong?" sindir Gitar.
"Kan lo yang ngajak gue berteduh. Lagian sekarang gue juga bisa kok hujan-hujanan, tapi gue gak mau nantinya sakit dan hujan yang disalahkan."
Terakhir kali Melody hujan-hujanan itu kelas satu SMP. Dan setelah itu dia tidak diizinkan lagi bermain air hujan oleh kedua orangtuanya. Niat orangtuanya baik, ingin menjaga anak yang tinggal satu-satunya yang dia punya.
Gitar menatap Melody lekat, senyum terukir di bibirnya. "Gue suka."
Melody tersentak. Betapa terkejutnya dia dengan apa yang dikatakan Gitar. "Suka sama gue?"
"Bukan. Tapi sama kata-kata lo. Pikiran lo yang begitu mengistimewakan hujan. Baru pertama kali gue tersentuh apa yang dikatakan orang." Gitar diam sejenak. "Orang bilang... pemikiran seseorang menunjukkan kualitas orang tersebut. Sekarang, gue tau kualitas lo. Lo punya hati dan pemikiran yang beda dari orang lain. Ada orang yang gak suka hujan karena menahannya untuk bepergian, ada juga yang kesel karena membuat basah jemuran, contohnya ya emak-emak."
Melody tersenyum kecil. Dia pernah melihat emak-emak ngomel karena jemurannya belum kering sudah keburu hujan.
"Eh itu pipi lo biru kena pukulan ya? Karena selamatin gue tadi?" Melody baru menyadari hal itu, padahal sudah beberapa menit dia berada di sini.
"Oh ini." Gitar menunjuk pipinya dengan jemarinya. "Iya. Tapi gak pa-pa kok."
"Gak pa-pa gimana. Itu memar loh. Di belakang ada handuk sama air anget?"
"Ada. Buat apa?"
"Gue mau ngompres pipi lo." Melody meletakkan cangkir yang kosong ke meja. "Bentar ya."
Gitar akhirnya duduk di sofa.
Tak berangsur lama, Melody kembali dengan membawa baskom berisi air panas di dalamnya. Dia ikut mendudukkan pantatnya di samping Gitar.
"Maaf ya." Dengan telatan Melody mengompreskan itu pada pipi Gitar.
Gitar diam. Matanya menatap Melody lekat. Baru pertama kali dia melihat perempuan yang tulus padanya selain mamanya dan Viola.
"Selesai." Melody senyum semringah setelah mengobati pipi Gitar.
🍁🍁🍁
Waktu sudah semakin malam. Setelah hujan reda Gitar mengantarkan Melody pulang.
Melody turun dari motor Gitar. Saat dia akan masuk, Gitar menahannya. Melody menaikkan alisnya. Seolah bertanya 'kenapa?' pada orang yang memegang tangannya.
Gitar turun dari motornya. "Gue ikut masuk. Mau jelasin ke orangtua lo. Pasti mereka khawatir banget sama lo."
"Tapi, gue bisa jelasin sendiri."
"Enggak, Melody. Di sini gue yang bertanggung jawab."
Akhirnya Melody mengalah. Dia membiarkan Gitar ikut dengannya masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum."
Melody membuka pintu rumahnya yang tidak dikunci. Memang jika ada salah satu anggota keluarga yang belum pulang, pintu rumah tidak di kunci.
"Waalaikum'salam. Ody, kamu krmana aja? Bunda khawatir." Hilda memeluk Melody.
Gitar ikut masuk setelah Melody. Pandangannya mengarah ke semua orang yang berada di dalam mengkhawatirkan gadis itu.
"Ody gak pa-pa, Bunda." Melody melepaskan pelukan mereka.
Pandangannya mengarah pada Ayah, Kenn dan juga Willona yang ada di sana. "Maaf ya, udah buat kalian khawatir."
"Dia siapa?" Heri bertanya pada Melody, mengenai cowok yang berada di belakang gadis itu.
"Saya Gitar, Om, kakak kelas Melody." Gitar menanggapi.
"Oh, Bunda tau. Kamu vokalis band yang lagi tenar itu kan? Ternyata kamu satu sekolah sama Melody?
"Iya, Bun." Melody yang menjawab. "Dan Kak Gitar ini yang udah nolongin Ody." Melody menambahkan.
"Nolongin? Emangnya lo kenapa?" tanya Kenn khawatir.
"Iya, Mel. Lo bikin kita cemas tau nggak?" timpal Willona
Melody dapat melihat kekhawatiran dari kedua sahabatnya itu. Tapi jika dia mengatakan yang sebenarnya, maka orang rumah makin cemas, walaupun sekarang dia sudah tidak apa-apa.
"Sebenarnya, tadi Melody di culik." Yang mengatakan itu adalah Gitar, dia akan membantu menjelaskan semuanya pada keluarga Melody.
"Apa? Di culik?" Mata Heri membulat, mendengar bahwa anak perempuannya telah diculik.
"Iya, Om." Gitar menceritakan kejadiannya. Semua orang yang berada di sana menyimak ceritanya dengan seksama.
"Pantesan tadi Bunda coba telepon kamu gak bisa," ucap Hilda.
Melody menatap wajah sayu bundanya. "Mungkin batrei ponsel Ody udah habis, Bunda. Tepatnya setelah Kak Gitar berhasil nyusulin Melody."
"Harusnya tadi gue nganterin lo pulang, Mel. Maafin gue ya." Kenn merasa menyesal.
"Enggak, Kenn. Ini bukan salah lo. Mana kita tau, kan, kejadiannya akan gini?"
"Gue akan hajar Yasa, Mel, kalo ketemu sama tuh anak. Kalo perlu, laporin dia ke polisi atas khasus penculikan."
Kenn membawa Melody dalam dekapannya, mencurahkan betapa khawatirnya dia bersama gadis itu.
Entah mengapa saat melihat itu hati Willona seperti tertusuk-tusuk jarum. Sangat sakit, tapi tidak mengeluarkan darah sedikit pun.
Sedangkan Gitar, dia hanya menatap datar dua orang yang sedang saling berpeluk di depannya. Masa sih, diantara mereka gak ada saling rasa?
"Jangan, Kenn," sergah Melody, setelah Kenn melonggarkan dekapannya. "Yasa udah diberi pelajaran kok sama kak Gitar. Lagipula dia masih sekolah, jangan sampai masa depannya hancur gara-gara ini."
Kenn akan luruh setelah Melody mengatakan hal itu, walaupun sebenarnya hatinya ingin membalas perbuatan Yasa kepada Melody.
"Lagian Yasa itu siapa sih, sampai nyulik kamu gitu?" tanya Heri.
"Yasa itu murid sekolah lain, Om." Willona yang menjawab.
"Niatnya apa sampe dia nyulik Ody, bahkan sampe nyuruh Ody pindah sekolah. Dia suka sama Ody atau gimana?" Heri bertanya kembali.
Melody tadi menceritakan niat Yasa menculiknya, namun tidak semua. Tidak yang dia ingin Melody ikut bergabung di band-nya, maupun alasan cowok itu menculiknya karena peristiwa waktu itu.
"Enggak, Om. Yasa gak suka sama Melody." Gitar menyahuti.
Melody takut Gitar akan menceritakan semuanya dan menyangkutpautkan dengan kejadian saat dia menggantikan cowok itu sebagai vokalis Axellez saat tampil di lomba festival musik tahun lalu.
Gitar melanjutkan. "Yasa itu anak band Om, kayak saya. Dia itu benci banget sama saya sama Axellez, dia gak suka kalo band Axellez selalu digilai banyak orang. Makanya segala cara dia lakukan. Waktu lomba festival musik di sekolah, Melody___"
"Melody dikira pacarnya Gitar, Yah." Ucapan Kenn itu sontak membuat semuanya terkejut.
Kenn sengaja memotong ucapan Gitar karena dia tahu jika Melody khawatir jika cowok itu menceritakan apa yang terjadi sebenarnya saat festival itu.
"Iya. Si Yasa-Yasa itu kan benci banget sama Gitar. Terus waktu itu dia gak sengaja liat Gitar lagi sama Melody, jadi Melody dikira pacarnya Gitar. Mungkin si Yasa mau balas dendam ke Gitar melalui Melody."
Mendengar ucapan Kenn itu dahi Gitar mengerut. Apa-apaan tuh cowok?
Heri menatap anak perempuannya. "Bener gitu Melody?"
"E__" Melody bingung harus berkata apa, dia tak ingin berbohong kepada orangtuanya. Walaupun sebenarnya dia sudah lama berbohong. "Mungkin."
"Nah, padahal kan waktu itu si Gitar cuma ngajak Melody makan. Padahal waktu itu makannya rame-rame, ada Kenn, ada Willona juga. Iya, kan, Will?"
Willona yang merasa namanya terpanggil tersentak. Kenn memberi kode dengan mengedipkan mata agar cewek itu mengangguk. "I-ya."
"Hem... saya mau minta maaf ya, Om, Tan. Kalo masalah Melody diculik itu gara-gara saya." Gitar sebenarnya tidak tahu alasan apa mereka menutupi ini semua. Tapi dia tak ingin Melody tersudut dalam masalah.
"Enggak pa-pa. Yang penting sekarang Ody udah baik-baik saja," ucap Hilda. "Makasih ya, kamu udah nolongin Ody."
"Sama-sama, Tan."
"Jangan panggil Tante, panggil Bunda aja," perintah Hilda.
"Eh, iya, Bunda." Gitar merasa senang keluarga Melody bersikap ramah padanya. Sikap ramah hilda mengingatkannya pada mamanya yang kini sedang pergi keluar kota untuk acara fashion busana.
"Makanya, Gitar, jika ada masalah sama orang segera diselesaiin, jangan dibiarkan. Dampaknya ke orang lain kan jadinya." Heri berucap.
"Iya, Om." Gitar merasa tersudut oleh ayah Melody. Tapi dia maklumi, seoarang ayah pasti sangat menyayangi anak perempuannya. Dan dia takut suatu hal buruk menimpa anak perempuannya.
"Kalo gitu, Gitar pamit pulang dulu ya, Om, Bun, Mel, Willona." Terakhir, mata Gitar mengarah ke Kenn. "Bule."
Kenn sepertinya kesal saat Gitar memanggilnya seperti itu. Dia tak ingin darah keturunan ayahnya di sebut. Sangat ingin bertindak, Melody mencegah dengan menggeleng pelan.
"Iya. Hati-hati ya, Gitar." Hilda tersenyum ramah. Gitar membalasnya dengan senyum.
Gitar membalikkan badannya, mengarah ke pintu. Baru beberapa langkah, suara menghentikannya.
"Kak Gitar tunggu!"
Melody menghampiri Gitar. Cowok itu membalikkan badan. "Ada apa?"
Melody melepas jaket yang bertengger di pinggangnya. "Makasih ya."
Baru pertama kali Gitar melihat Melody tersenyum semanis itu padanya. "Iya. Gue balik."
Melody mengamati punggung Gitar yang perlahan menghilang.
Heri berdehem. "Liatnya gitu amat. Jangan-jangan kamu emang benar suka ya sama dia?"
"Apa sih, Yah. Enggak. Lagian kak Gitar itu suka sama orang lain kok."
"Udah malem nih, gue pamit pulang ya, Mel. Syukur lo gak kenapa-napa." Willona sudah berada di sini sejak tadi sore Kenn meneleponya.
"Oh, iya. Makasih ya, Will." Melody beruntung punya sahabat seperti Willona. "Lo pulang sama siapa emangnya?"
"Taksi."
"Gak baik naik taksi malem-malem. Cewek lagi." Melody menatap Kenn. "Kenn, lo anterin Willona pulang ya?"
Kenn bergumam saat Melody memanggil namanya. "Oke."
"Ayo, Will gue anter."
"Gak ngrepotin?"
"Ngrepotin sih, tapi gue kasian sama lo. Bagaimana pun lo juga teman gue."
Perlu digaris bawahi. Kenn hanya menganggapnya teman. Hanya teman. Entah mengapa mendengar itu hati Willona mendadak sesak.
Akhirnya Willona pulang diantarkan oleh Kenn. Sebelum itu dia berpamitan dulu kepada Melody dan keluarganya.
"Udah sana, kamu ke kamar, mandi. Nanti Bunda bawain makanan." Hilda mengelus lembut rambut Melody.
"Iya, Bunda."
Melody bergegas menuju kamarnya. Badannya terasa pegal-pegal semua.
"Untung ya, Bun. Ody gak kenapa-napa. Ayah takut kehilangan anak untuk kedua kalinya," ucap Heri setelah Melody beranjak.
"Iya, Yah. Jangan ingat masa itu lagi ya, Bunda yakin, di sana Cinta juga bahagia." Hilda mengusap lembut lengan suaminya.
TBC
Hallo readers.
Boleh minta komenannya nggak? Komen itu gratis loh.
Gimana part ini. Dapet feel-nya nggak?
Ada yang mau ditanyakan ke masing-masing tokoh?
Melody?
Gitar?
Kenn?
Willona?
Yasa?
Aku?
Love.
Dedel
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top