Part 35 - Pernyataan.

Menunggu?

Gak terasa udah part 35 ya. Perasaan baru kemaren aku nulis cerita ini.

Typo. Koreksi.

Happy Reading.


🍁🍁🍁
Ada perasaan yang tak harus diungkapkan. Karena kenyataan terkadang jauh dari apa yang kita inginkan.
🍁🍁🍁

Kini, Kenn dan Willona sedang duduk di bangku panjang taman belakang sekolah. Cuaca yang tadinya cerah seketika mendung, seakan tahu apa yang dirasakan dua insan yang duduk membisu itu.

Kenn telah bercerita banyak kepada Willona apa yang dia rasakan terhadap Melody. Entah mengapa Kenn merasa Willona adalah orang yang tepat untuk mendengarkannya. Walaupun dia sering memulai pertengkaran kecil dengan gadis itu, tapi dia yakin Willona dapat dipercaya.

"Gue maklumi, Kenn. Lo sama Melody aja berteman dari bayi. Gimana mungkin lo gak ada rasa sama dia." Willona membuka suara, memecahkan keheningan diantara mereka.

"Ya." Kenn mengangguk setuju, lalu melanjutkan perkataannya. "Perasaan muncul bersama berjalannya waktu, dan sekarang, gue baru menyadari itu."

"Kenapa lo gak ungkapin aja ke Melody, siapa tahu dia punya perasaan yang sama kayak lo?"

"Gue gak bisa. Dia gak perlu tau soal hal ini. Malahan gue berharap rasa ini juga memudar seiring jalannya waktu."

"Kenapa?" Willona mengerenyitkan dahi. "Bukannya lo sayang banget ya sama Melody."

"Ada alasan tersendiri buat gue tentang hal itu."

Willona memaklumi. Tak semua rahasia Kenn harus diceritakan padanya. Cowok itu pasti juga butuh privasi.

"Tapi sikap lo tadi itu salah. Lo terlalu sayang sama dia sampai-sampai dia merasa gak nyaman dengan ucapan lo."

Kenn menoleh setelah mendengar perkataan Willona. "Emang tadi gue keterlaluan, ya?"

"Banget."

"Emang tadi gue posesif banget ya?"

"Gak terlalu kelihatan banget  sih. Tapi marah lo itu buat Melody bingung tau nggak? Dia ngerasa ada hal aneh dalem diri lo."

Kenn terdiam, menghela napas panjang. "Dua kali gue nyakitin dia. Yang pertama waktu gue bilang dia munafik, yang kedua ini."

"Jangan lagi ya, Kenn. Itu buat Melody sakit," pinta Willona.

"Gak bisa janji. Terkadang janji sering kali di ingkari. Dan itu bisa membuat Melody tambah sakit hati."

Segitu cintanya lo, Kenn, sama Melody. Tapi lo malah berdiam diri. Gak jauh beda sama gue.

"Yaudah, mendingan sekarang lo minta maaf sama Melody. Kasian dia dengan sikap lo tadi," usul Willona tiba-tiba. Willona berpikir ternyata sahabat baik sedari kecil bisa bertengkar juga. Apalagi sahabat yang baru dikenal?

"Gue butuh nenangin diri dulu."

"Tapi Melody juga butuh lo buat nenagin diri dia...." Willona jadi gemas sendiri dengan sikap Kenn. "Udah deh, sekarang lo balik ke UKS samperin dia."

"Lo bener. Melody bukan cuma sahabat atau gadis yang gue sayang, dia juga adek buat gue. Saat sedih dia butuh gue." Hampir saja Kenn melupakan janjinya pada Cinta untuk menjaga dan melindungi Melody. "Gue ke UKS dulu ya, Will. Thanks ya atas saran lo."

Willona tersenyum kecil. "Iya."

Perlahan, Kenn berjalan meninggalkan Willona di taman.

"Kita sama, Kenn. Sama-sama diam-diam mencintai. Bedanya lo suka sama sahabat lo, sedangkan gue suka sama sahabat baiknya sahabat gue."

🍁🍁🍁

"Udah mendingan?"

Sesuai dengan ucapannya tadi, Kenn kembali ke UKS. Dia tidak tega meninggalkan Melody sendirian. Lagipula ini memang salahnya yang terbawa emosi.

"Udah."

Tatapan Kenn berubah sendu. "Sorry ya soal tadi."

Melody menggeleng kecil. "Nggak apa-apa."

"Mau ke Bk?"

"Buat apa?" tanya Melody, mengerenyitkan dahi.

"Laporin ulah Zela tadi ke lo. Dia keterlaluan."

Sebelum kembali ke UKS tadi Kenn bertemu dengan Gitar di koridor. Cowok itu menjelaskan kronologi kejadiannya pada Kenn. Dan untung saja Kenn mengerti meskipun ada rasa tidak rela karena Melody dicium oleh Gitar.

"Gak usah, Kenn. Orang kayak dia itu gak kenal kapok." Melody juga mengetahui kekuasaan Zela di sekolah ini. Buktinya tadi saat dia di bully tidak ada satupun murid yang menolongnya karena takut dengan Zela. "Lagian, orang-orang juga tau apa yang dia lakuin ke gue."

"Mentang-mentang anak orang kaya dia bisa berbuat seenaknya. Emangnya kenapa kalo orangtuanya pemberi donatur terbesar? Emangnya dengan gitu dia gak bisa dapat hukuman?" ucap Kenn, tersulut-sulut.

"Udah, Kenn. Gak usah dibahas lagi." Melody tidak ingin Kenn terus emosi. Meskipun sebenarnya Kenn bukan termasuk orang yang tempramen, namun jika menyakut masalah orang yang dia sayangi Kenn jadi emosi. "Mendingan lo anter gue ke kelas, deh. Udah satu jam pelajaran gue gak masuk. Kan gak mau, gie ketinggalan pelajaran terus."

Inilah perbedaan Melody dan Kenn. Jika ada kesempatan untuk keluar, Kenn tidak akan kembali ke kelas, justru malah membolos ke roftoop sekolah. Jika Melody dia tidak ke kelas malah was-was, memikirkan pelajaran yang banyak catatannya dan takut ada tugas.

"Ayo gue anter ke kelas." Kenn membantu Melody berdiri. "Bisa jalan gak lo?"

"Bisa lah. Yang sakit itu pipi gue, bukan kaki gue."

"Kalo hati lo, sakit?" Kenn tahu mesti semua terlihat baik-baik saja, hati Melody masih terluka dengan ucapannya tadi.

"Hanya orang yang melukai yang mampu mengobati."

"Mau gue obati?" tawar Kenn.

Melody diam, mencerna ucapan Kenn. "Emang bisa?"

"Bisa. Gue kan dokter pakar sakit hati." Kenn terkekeh geli mendengar ucapanya sendiri.

"Hehehe... bisa aja lo."

"Besok gue mau ngajak lo ke bioskop, terus ke kedai eskrim. Mau?"

"Gue rasa, itu udah cukup mengobati luka gue."

 

🍁🍁🍁

Melody masih menyalin catatan pelajaran sejarah di kelas. Tadi dia tertinggal pelajaran karena sedang berada di UKS. Untung saja setelah kembali ke kelas guru sejarah tidak marah kepadanya dan memaklumi, karena guru itu melihat pipi Melody yang merah.

Melody sepertinya harus merelakan istirahatnya kali ini. Lagipula masih ada istirahat kedua. Sedangkan Willona sudah ke kantin duluan. Sebenarnya tadi Willona ingin menunggu Melody, namun Melody menolak. Dia tahu, jika sahabatnya itu belum sarapan dari pagi. Makanya Melody menyuruh Willina ke kantin terlebih dahulu.

"Mel, kak Gitar nyariin lo, tuh?"

Ucapan salah satu teman sekelas Melody itu membuatnya menghentikan aktivitas menulisnya.

"Kak Gitar?" Melody menatap temannya tak percaya. Dia kan tipekal orang yang jail. Bisa jadi hanya bercanda. Lagipula ada urusan apa Gitar menemuinya tiba-tiba.

"Iya. Dia nunggu lo di depan kelas."

"Tapi kan gue masih nulis rangkuman sejarah?"

Cewek itu berdecak. "Rajin amat sih lo. Gue aja yang masuk kelas males."

Melody melanjutkan menulis setelah gadis itu keluar.

"Mana Melody?" Gitar bertanya pada adik kelas yang tadi ia mintai tolong untuk memanggil Melody.

"Masih sibuk nulis, Kak. Kayaknya dia gak bisa diganggu."

Gitar masuk ke dalam kelas 11 IPA 1. Matanya menemukan orang yang dia cari sedang menulis.

"Wah. Kayaknya bakal ada drama nih." Cewek teman sekelas Melody itu ikut masuk menyusul Gitar.

"Lo gak sopan ya. Ada yang nyari malah diabaikan." Gitar bersedekap, di depan meja Melody.

Melody mendongak. Mendengar suara berat dihadapannya. Kesua tangan Gitar bersender pada mejanya.

"Ada urusan apa? Kalo gak penting mending gak usah. Gue lagi sibuk." Melody tidak suka basa-basi. Mendingan langsung ke intinya saja biara lebih jelas.

"Ikut gue!" Nada bicara Gitar terdengar memerintah. Tangannya kini menggenggam tangan Melody paksa.

"Apaan sih, gue lagi sibuk." Melody meronta, namun bukannya lepas, Gitar makin mengeratkan tangannya. Apakah dia akan melakukan hal yang sama seperti apa yang Zela lakukan tadi padanya? Lalu apa gunanya Gitar menolongnya tadi?

"Heh, lo!" tunjuk Gitar pada cewek yang tadi ia mintai tolong untuk memanggil Melody.

Cewek itu terbata, mendengar Gitar memanggilnya. "Eh, iya, kak."

"Tolong lo lanjutin catatannya Melody," perintah Gitar.

Cewek itu bengong. Dia sendiri saja tidak melanjutkan rangkumannya. Eh sekarang malah disuruh menuliskan rangkumannya Melody.

"Sebagai gantinya, nanti gue kasih tanda tangan gue."

Melody menggeleng, dia berharap teman sekelasnya itu tidak setuju. Teman sekelasnya itu melihat padanya sekilas, lalu kembali menatap Gitar dengan sumringah.

"Oke kak."

Melody kesal. Cuma di iming-imingi tanda tangan aja temannya itu tergoda. Apalagi jika di ajak makan malam berdua dengan Gitar. Lagipula Gitar kan hanya vokalis band sekolah, bukan band nasional ataupun internasional. Uh, dasar. Fans jaman now.

"Udah, Mel, lo ikut aja sama kak Gitar." Cewek itu mengambil alih menuliskan rangkuman Melody.

Sebenarnya Melody sama sekali tidak ridho tangannya digenggam Gitar. Apalagi dalam perjalanan banyak pasang mata yang menatap mereka di koridor.

Banyak juga orang yang berbisik-bisik mengeluarkan pendapat jika mereka jadian. Padahal kenyataannya kan, tidak.

"Bisa gak sih gak usah gandengan juga." Melody merasa risi dengan pasang mata yang melihat ke arahnya. Ini semua gara-gara Gitar.

Gitar melepaskan tangan Melody. "Sorry. Dan sorry juga atas insiden tadi pagi."

Melody diam menatap Gitar. Dia tahu betul insiden apa yang dimaksud. Insiden yang sangat memalukan.

"Hm...." Melody berdehem. "Dan thanks juga soal tadi pagi."

Gitar menatap Melody tersenyum. "Gak perlu bilang makasih. Itu udah kewajiban gue," ucap Gitar, mengacak-acak lembut rambut Melody.

Melody terdiam, terpaku apa yang sedang Gitar lakukan padanya. Selama ini cowok yang mengacak rambutnya hanya Kenn saja. Tapi kali ini ada orang lain.

Alasan Melody dari dulu ingin punya kakak laki-laki ya ini. Ingin diperlakukan seperti tuan putri. Dan Melody merasa nyaman dengan usapan tangan Gitar pada rambutnya.

Gitar menurunkan tangannya dari dari rambut Melody. Sementari itu Melody masih memikirkan perkataan Gitar tadi. Kewajiban? Apa maksudnya.

"Maksud lo tadi kewajiban apa ya?" Satu-satunya cara membiarkan pikirannya lega adalah dengan bertanya.

"Kewajiban manusia menolong sesamalah. Emang lo pikir kewajiban apa?"

Melody jadi salah tingkah. "Enggak."

Gitar tersenyum penuh curiga. "Oh gue tau, lo pikir kewajiban gue lindungi lo gitu ya? Kayak lo cewek spesial dalam hidup gue gitu?"

"Apaan sih. Sok tau." Melody berjalan mendahului Gitar.

"Tungguin woy. Lo emang tau gue mau bawa lo kemana?" tanya Gitar, menyamai langkah Melody.

"Emangnya, lo mau bawa gue kemana?" Padahal daritadi Melody juga bertanya, tapi Gitar tak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Ruang guru."

"Aplikasi belajar online nomor satu di Indonesia itu, kan?"

"Bego!"

Mereka sudah sampai di depan ruang guru. Gitar membukakan pintu untuk Melody.

"Masuk," ucap Gitar datar namun memerintah.

"Ish." Melody kesal setengah mati. Tadi Gitar sudah mengata-ngatainya, sekarang memaksa apa yang ingin dia lakukan. Lagipula apa coba tujuannya di bawa ke ruang guru. Setahunya dia tidak melakukan kesalahan apapun.

Melody membelalak. Di dalam bukan hanya ada guru BK namun Zela dan bapak-bapak yang Melody perkirakan seumuran ayahnya.

Bu Mitar tersenyum. "Duduk, Melody."

Dengan gugup dan takut, Melody akhirnya duduk. Pas di depan laki-laki paruh baya yang duduk di samping Zela. Sementara itu di sebelah kanan Melody ada bu Mita, selaku guru BK.

"Ini loh, Om, yang namanya Melody." Gitar duduk tepat di depan Zela.

Melody meremas-remas tangannya. Dia takut dalam situasi ini. Entah apa yang membuatnya cemas. Padahal dia tidak melakukan kesalahan.

"Melody, perkenalkan nama saya Aryo. Saya Ayahnya Zela."

Melody menatap orang yang sedang berbicara dengannya. Rupanya dia Ayah dari Zela.

Pak Aryo kembali berbicara. "Saya mau minta maaf atas prilaku Zela tadi pagi terhadap kamu. Sebagai senior dia seharusnya melakukan hal baik terhadap juniornya. Eh, ini malah sebaliknya."

"Saya tidak apa-apa, Pak." Melody merasa sifat ayahnya Zela dan Zela berbeda. Aryo itu sangat ramah. Tidak seperti Zela.

"Seharusnya Zela tidak memakai kekuasaannya di sekolah. Lebih tepatnya mengaitkan saya sebagai donatur di sekolah ini. Bu Mita, sebagai orangtua saya minta maaf. Saya merasa gagal mendidik anak."

"Pa...." Zela merasa yang di ucapkan ayahnya berlebihan.

''Diam, Zela!" ucap Aryo datar namun tegas.

"Tidak perlu minta maaf pak. Kadang sebagai orangtua kita sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mendidik anak-anak kita. Yah... tapi namanya anak remaja ya, Pak. Dalam masa pertumbuhan masih labil-labilnya," tukas Bu Mita.

"Zela, sekarang kamu minta maaf sama Melody," perintah Aryo, pada anak perempuannya.

"Gak mau, Pa."

"Kalau gak mau, Papa pindahin kamu sekolah keluar negeri. Biar sekalian ngurus bisnis Papa di sana." Pak Aryo mengancam.

"Iya deh." Zela mengulurkan tangannya pada Melody. "Melody, gue minta maaf."

Dengan ragu-ragu Melody menerima uluran tangan Zela. "Udah gue maafin kok."

Setelah usai meminta maaf, Zela berdiri dari tempatnya. "Masalah udah Clear, kan? Kalo gitu Zela pulang." Zela keluar dari ruang guru.

Pak Aryo merasa malu karena sikap anaknya yang tidak sopan. "Maafin anak saya ya, Bu."

"Tidak apa, pak." Bu Mita bisa memaklumi.

"E..., Om, kalo Gitu, Gitar sama Melody duluan ya. Belum makan soalnya," ucap Gitar.

"Oh iya."

Gitar berdiri dari tempatnya.

"Permisi, Pak, Bu," ucap Melody.

Melody dan Gitar keluar dari ruangan tersebut.

"Lo ya, yang udah ngaduin gue ke bokap?"

Baru di depan pintu, Melody dan Gitar telah dilontarkan pertanyaan yang tak mengenakkan.

TBC

Sorry typo.

Gimana kesan kalian di part ini. Jangan bosen-bosen ya baca cerita ini.

Jangan lupa vote dan komen ya. Biar aku semangat nulisnya.

Love.

Dedel.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top