Part 32 - Yang Sebenarnya

YUHU, Tahun baru update gaes.

Semoga paham dengan alurnya ya.

Jangan bosen-bosen baca cerita ini.

Happy reading.

🍁🍁🍁
Semua pertanyaan pasti butuh jawaban, dan semua impian pasti butuh perjuangan untuk tergapai.

🍁🍁🍁


Para peserta sudah pulang, entah itu ke sekolah ataupun rumah mereka masing-masing. Kini aula hanya tinggal beberapa orang saja. Tinggal saksi penyelenggaraan acara, beberapa anggota Axellez beserta pelatihnya, Viola, Kenn, dan Melody. Sedangkan Willona? Gadis itu ikut pulang bersama Rebbeca.

Setelah menaruh piala ke kantor dan bersalaman dengan pak kepala sekolah, mereka duduk bersama di kantin yang masih buka. Sekedar kumpul bersama untuk memperkuat keakraban , sambil membahas sesuatu.

Melody mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Dan menaruhnya ke meja. "Gue... nemu ini, sehari sebelum lomba. Lebih tepatnya waktu dekorasi aula."

Gitar mengambil lirik lagu itu. "Jadi lo yang ngambil lirik lagu gue?"

"Bukan ngambil. Lebih tepatnya menemukan," sanggah Melody. "Kayaknya kertasnya jatoh waktu lo ambil gitar di aula."

"Dan lo gak niat balikin ini ke gue?"

"Gue nemu itu waktu lo udah pergi dari sana. Waktu mau balikin, lo sama anggota Axellez udah balik." Melody berkata yang sejujurnya. Sebenarnya dia tidak suka di introgasi seperti ini. Serasa bersalah di mata semua orang.

Gitar diam. Memang benar sih, setelah mengambil gitarnya yang tertinggal di aula, dia mengajak Axellez latihan di rumahnya.

"Udah lah, lagian lirik itu gak ditemukan sama band sekolah lain." Viola angkat bicara. Dia tahu bahwa Melody merasa tidak nyaman dalam situasi ini.

"Melody." Kaiden memanggil. "Maaf sebelumnya, ini bukan berarti kita gak percaya elo, ya. Tapi... sepertinya ada sesuatu yang lo sembunyiin dari kita."

Tangan Kenn memegang tangan Melody, seolah memberi kekuatan pada gadis itu. Biasanya jika Melody ada masalah, Kenn yang selalu menanganinya. Tapi sekarang situasinya berbeda. Kenn ingin Melody mandiri. Dia sangat yakin, jika sahabatnya itu mampu menanganinya. Karena sekarang Melody berada dalam hal kebenaran.

"Sebenarnya, sebelum Axellez tampil, di belakang panggung gue gak sengaja denger seorang cowok dari sekolah lain sedang menghubungi seseorang." Melody menceritakan semuanya apa yang dia dengar. "Dan sepertinya, orang itu sudah memantau keadaan Axellez dan orang-orang yang dekat dengan Axellez jauh-jauh hari. Waktu gue, Kenn sama Willona ke kafe yang gak sengaja ketemu kak Vio sama kak Beca, gue liat orang pakai hoddie hitam sedang memata-matai meja kita."

Mendengar penjelasan Melody, Viola yakin bahwa yang mematai-matai itu adalah seseorang yang sama.

"Kurang ajar emang. Mereka gak ada kapoknya ya." Marvel yakin orang itu adalah Yasa. Siapa lagi band dari sekolah lain yang iri dengan Axellez selain band dari sekolahnya mantan Viola itu?

"Lo tau orangnya?" Kenn bertanya-tanya.


Marvel menatapnya. "Orangnya itu loh, yang tadi protes di atas panggung."

"Jadi semuanya clear, kan? Udah jelas kan?" Kenn bertanya. "Kalo gitu boleh dong gue sama Melody pulang. Udah malem soalnya, takut Bunda sama Ayah nyariin. Yuk, Mel."

"Tunggu dulu." Suara Gitar membuat Kenn dan Melody mengurungkan niat mereka untuk pulang.

"Gue mau tanya. Gimana bisa lo gantiin gue tadi? Maksud gue... gimana bisa lo ngafalin lagu kita dalam semalam?" Gitar penasaran. Dia saja mampu menghafal lagu itu paling cepat tiga hari.

"Sebenarnya Melody memang punya kemampuan menghafal lagu dengan cepat. Gak cuma sehari, empat sampai lima jam aja dia bisa." Kenn menjelaskan.

Melody menatap Kenn, bisa-bisanya dia mengatakan hal itu. Dia sendiri tidak yakin jika memiliki kemampuan seperti itu. Entahlah, sepertinya bakat ini menurun dari kakaknya.

"Wah... hebat banget, Melody. Gimana kalo lo ikut eskul band aja?" tawar Kaiden. Memang sepertinya Axellez harus ada vokalis perempuannya. Dulu Viola menjadi teman duet Gitar. Namun tiba-tiba gadis itu mengundurkan diri dan memutuskan keluar dari eskul band.

"Hah?" Melody tercengang.

"Suara lo itu bagus. Axellez juga butuh vokalis perempuan. Lo mau ya, jadi teman duet Gitar?" Kaiden tersenyum, penuh harap.

''Apa-apaan ini? Gimana bisa Kaiden ngomong kaya gitu?" batin Gitar

"Nah, iya tuh, Mel. Kepala sekolah aja muji suara lo bagus." Viola ikut menyetujui.

Kenn menatap Melody. Sebenarnya dia setuju saja jika Melody bergabung dengan Axellez. Tapi dia tidak bisa memaksa. Keputusan ada di tangan Melody. Dan gadis itu perlu waktu untuk memikirkan semuanya.

Melody menggeleng. "Gue gak bisa, Kak."

"Why? Lo itu punya suara yang begitu sempurna." Terlihat raut kecewa dari wajah Kaiden.

"Sorry," ucap Melody lemah. "Yuk, Kenn, kita pulang."

Melody dan Kenn beranjak dari sana.

🍁🍁🍁

Malam ini Melody memilih mengurung diri di kamar. Tidak seperti biasanya dia menghabiskan waktu bersama Ayah dan Bundanya.

Untung saja tadi Ayah dan Bunda tidak tanya macam-macam kenapa dirinya bisa pulang malam. Dan mereka tidak tahu jika anak gadisnya habis menyanyi mengikuti lomba festival musik akhir tahun.

"Aduh... kok gue masih kepikiran ucapan pelatihnya Axellez tadi ya?" Melody memijit pelan kepalanya yang terasa pening. Mungkin benar, masalah kesalahpahaman dengan Axellez telah usai, tapi sepertinya ada masalah baru yang akan muncul setelah ini.

Melody membaringkan tubuh di atas ranjang. Sebenarnya dia tidak mengantuk. "Perasaan gue kok gak karuan gini ya?"

Dia merubah posisinya menjadi duduk. Biasanya jika pikirannya sedang kacau Melody memainkan ponselnya. Tapi kali ini ia tidak bisa. Ia ragu, ia takut, takut menghadapi hal baru. Sesekali Melody melirik ponselnya yang berada di atas nakas, berharap ada seseorang yang meneleponnya.

"Kenn, lo dimana sih? Biasanya lo nelepon gue jam segini?" Melody cemberut. "Gue butuh elo, cuma lo yang bisa denger curhatan gue, cuma lo yang bisa nenangin perasaan gue yang lagi kacau...."

"Apa gue ke rumahnya aja ya?"

Sudah diputuskan. Melody sepertinya harus ke rumah Kenn. Gadis itu memakai jaket untuk menghindari angin malam.

"Ayah, Bunda, Melody main dulu ya?" Melody meminta izin pada orangtuanya yang sedang asik menonton televisi.

"Main kemana?" Heri bertanya.

"Ke rumah Kenn."

"Syukurlah, Bunda lega. Yaudah, hati-hati ya." Hilda berpesan.

"Iya, Bunda. Assalamualaikum."

"Waalaikumusalam."

🍁🍁🍁

Hanya melewati satu rumah. Melody sudah sampai di rumah Kenn. Melody sudah sangat dekat
dengan orangtua kenn,
terutama mamanya, walaupun Liana itu hanya mam tiri Kenn. Bila ke rumah kenn, dia pasti diajak membuat kue. Tapi sayangnya, Kenn selalu menarik tangan Melody duluan sehingga tidak jadi membuat kue.

"Tante seneng, Mel. Kamu main di sini?" Liana tersenyum ramah.

"Iya Tante. Melody juga kangen buat kue bareng Tante."

Liana menunduk, jika dia terlalu dekat dengan Melody pasti Kenn tidak suka. Putra tirinya itu takut jika bicara yang tidak-tidak pada Melody. Padahal kenyataannya tidak begitu.

"Mau cari, Kenn, kan? Dia ada di kamarnya."

"Kalo gitu, Melody ketemu Kenn dulu ya, Tan."

Liana mengangguk.

Kini Melody sudah sampai di depan kamar Kenn. Dia bingung harus mengetuk atau bagaimana.

"Masuk, aja."

Melody tersentak. Belum juga ia mengetuk, Melody sudah disuruh masuk oleh Kenn.

"Lo tahu kalo gue mau dateng?" Melody duduk di sisi ranjang Kenn.

"Tadi istrinya bokap gue yang ngomong." Kenn menjawab lesu. "Ngomong-ngomong, lo tumben banget ke sini?"

"Eh kentang. Kalo gue gak main lo selalu bilang gue sombong. Sekarang main malah dibilang tumben." Melody kesal sendiri.

"Lo kan biasanya ke sini kalo ada maunya doang Caramelo. Apa apa, hm?"

"Gue... sebenernya gue masih kepikiran soal tadi Kenn."

"Yang mana, lo manggung gantiin Gitar atau lo dituduh nyurik lirik lagu itu?"

Melody menggeleng kecil. "Yang pelatih Axellez itu ngajak gue gabung eskul band."

"Kalo lo mau ya gabung aja. Apa susahnya coba?"

"Gak semudah itu, Kenn." Gadis itu memandang sahabatnya. "Lo tahu kan masalah gue apa?"

"Udah lah, Mel. Come on, sudah lima tahun lo kayak gini, mau sampai kapan?"

"Mungkin impian itu akan lenyap selamanya, Kenn." Melody menunduk lesu.

"Menjadi musisi bukan hanya impian kak Cinta, tapi impian lo juga, Mel. Impian kak cinta tertunda karena karena dia telah tiada, sedangkan lo, impian lo tertunda karena alasan tak ingin membuat orangtua kecewa. Gue mau tanya deh, emang Ayah sama Bunda tau kalo lo bisa main musik?"

"Sebenernya mereka gak tau, Kenn. Gue sembunyiin ini dari semua. Memang Ayah sama Bunda pernah liat gue main musik, tapi cuma beberapa kali, mereka kira... itu hanya pembelajaran praktek ujian gue doang."

"Terus yang menjadi beban pikiran lo apa?"

"Entahlah... banyak banget pertanyaan di kepala gue yang membutuhkan pendapat sebuah jawaban dari seseorang. Maka dari itu gue ke sini."

"Ini bukan ujian sekolah yang membutuhkan jawaban, Mel," canda Kenn.

"Gue serius juga. Gue balik nih." Melody ingin beranjak berdiri.

"Eh jangan-jangan!" Kenn mencegahnya. "Gue cuma bercanda elah. Ngambekan lo."

Melody diam, tidak menjawab.

"Gini ya, Mel." Kenn mulai bicara serius. "Semua pertanyaan pasti butuh jawaban, dan semua impian pasti butuh perjuangan untuk tergapai. Gue harap lo perjuangin mimpi lo itu sebelum terlambat."

Hembusan napas Melody terdengar kasar. "Mungkin lo benar. Gue pingin gabung eskul musik. Tapi, takut minta izin sama orangtua gue.  Lagipula... gue gak mau, satu band sama orang sombong."

Kenn terkekeh. "Kayaknya sombongnya dia terkikis. Soalnya dia denger suara lo yang merdu."

"Bisa aja lo." Melody diam sejenak. "Gue seneng deh, Kenn. Bisa cerita ini semua ke elo. Perasaan gue jadi lega. Makasih ya."

"Kayak sama siapa aja bilang makasih segala. Kalo masalah cerita aja ke gue.  Gue pasti akan bantu lo, kalo gak bisa bantu tenaga, pasti bantu doa."

"Ah... makin sayang deh, gue sama lo."

"Cuma sayang nih, gak cinta?" Aduh, Kenn lo apa-apaan sih. Keceplosan kan. Kenn menggerutiki dirinya sendiri.

Melody diam. Wajahnya nampak serius. "Gue cinta sama lo, Kenn. Kan lo kakak gue. Hehehe."

"Iya gue kakak lo. Kakak ketemu gede."

"Enak aja. Kita udah ketemu dari kecil ya," sanggah Melody.

"Waktu kecil lo kan cuma anggap sahabat. Waktu itu kakak lo cuma satu. Kan Cinta doang. Lo lupa apa yang pernah lo bilang ke gue?"

Melody samar-samar mengingat apa yang pernah ia katakan waktu kecil kepada Kenn. Benar, waktu kecil Kenn ingin menjadi kakak bagi Melody, tapi dia tidak terima, baginya Cinta adalah satu-satunya kakaknya.

"Gue dulu punya dua kakak, Kenn. Kak Cinta sama pacarnya. Tapi entah pacarnya sekarang kemana. Padahal dia baik banget sama gue."

"Sama gue baikan mana?"

"Dua-duanya lah...," balas Melody cepat. "Udah malem nih, gue pulang dulu ya. Ngantuk."

"Gak mau bobo sini aja bareng gue?" tawar Kenn.

"Kita udah gede, Kenn. Mungkin waktu kecil gue pernah tidur bareng lo. Tapi sekarang? Kita udah sama-sama puber. Apa kata orang kalo kita tidur bareng. Bisa-bisa digebrek sama warga."

Kenn terkekeh. "Gigrebek terus dinikahin paksa. Lucu kali ya."

"Ini bukan lelucon, Kenn-tang. Gue pulang ya. By kakak angkatku." Melody keluar dari kamar Kenn.

Melihat kepergian Melody, Kenn geleng-geleng kepala. "Ada-ada aja tingkah lo, Mel."

TBC

Sorry typo.

Maaf ya baru bisa update cerita ini. Jangan bosen-bosen ya sama cerita ini. Jangan lupa vote dan komennya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top