Part 30 - Permulaan Dari Penyesalan
Setelah sekian lamanya update lagi.
Jangan lupa dengerin lagu di atas ya. Anggap aja itu suaranya Melody.
Mana suaranya gaes?
Semoga suka ya sama part ini. Happy Reading.
I
ni gambar Melody lagi nyanyi gantiin Gitar.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Kompas kini menunjukkan arah yang benar padamu. Mungkin benar, dulu kamu tersesat, ingin melupakan segalanya dalam sesaat. Sekarang impian itu kembali padamu, dalam genggaman waktu.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
🍁🍁🍁
Setelah selesai mengambil kostum yang akan digunakannya untuk lomba nanti, Gitar kembali pulang ke rumahnya. Untuk mandi dan mengambil gitar baru pemberian papanya. Hari ini Gitar bukan hanya bernyanyi, tapi juga memainkan alat musik yang menjadi namanya. Gitar.
Kini, Gitar telah usai mandi dan mengenakan kostum rancangan desainer terkenal yang ia pesan dari butik ibunya. Sambil bercermin, Gitar menyisir rambutnya agar terlihat rapih. Menurutnya penampilan adalah hal yang utama.
"So perfect."
Bukan hanya penampilan pakaian, Gitar juga berdoa supaya penampilannya nanti bersama Axellez begitu sempurna. Dan dia juga ingin menunjukkan pada mantan pacar sahabatnya itu jika tidak ada yang bisa mengalahkannya di dunia musik.
Ponsel Gitar berdering. Menandakan panghilan masuk. Rupanya Derby yang menelponnya. Gitar lantas mengangkatnya.
"Hallo," sapanya, pada orang di seberang sana.
"Gitar, lo dimana. Gue sama yang lain udah nungguin di tempat biasa nih?" Derby sepertinya sudah lumayan lama berkumpul di tempat yang dia bicarakan tadi.
"Gue di rumah. Lagi siap-siap."
"Buruan. Kasian kak Kaiden udah nunggu."
Sepertinya mereka tidak bisa santuy.
"Kalian berangkat duluan aja kalo gitu. Entar gue nyusul."
Lagipula Gitar juga masih membereskan sesuatu.
"Beneran nyusul gak lo? Entar gak dateng lagi." Nada suara Derby seperti tidak yakin.
"Gue nyusul lah. Inikan momen bersejarah untuk kita. Gak mungkin gue kecewain Lovelez dan sekolah kita."
"Oke. Gue pegang ucapan lo. Buruan nyusul ke sekolah ya. Gue sama yang lain mau otw ke sana."
"Oke. See you." Gitar memutuskan panggilannya.
Cowok itu menekan nomor lain yang berada di ponselnya.
"Hallo. Lakukan tugas kalian. Cek keamanan aula sekolah. Jika ada yang mencurigakan segera laporkan," ucapnya, ketika panggilan itu terhubung.
Gitar memang anak dari orangtua yang serba ada. Makanya untuk menjaga keamanan dari musuh ia mengirimkan mata-mata yang profesional. Tentu saja bayarannya mahal. Demi Axellez, apapun akan Gitar lakukan.
Gitar segera menggendong tas yang berisi alat musiknya. Dia meraih kunci mobil di atas nakas, lalu turun ke bawah.
"Mau bapak antar gak, Den?" tanya mang Jaja, supir pribadi yang bekerja di rumah Gitar.
"Enggak, Mang. Bawa mobil sendiri saja," jawab Gitar. "Oh iya, kemaren mobilnya udah di service kan, Mang?"
"Udah, Den. Semuanya aman."
Gitar tersenyum sembari mengacungkan jempol pada mang Jaja. Dia segera memasuki mobilnya. Mobil Gitar melaju, membelah jalanan kota Jakarta yang padat.
Gitar bersenendung ria sembari mengendarai mobilnya. Senyum yang menghiasi bibirnya perlahan pudar bersama hilangnya alunan dari suara yang ditimbulkannya. Mobilnya berhenti di jalan.
"Kenapa ini? Kata Mang Jaja udah di bawa bengkel?" Gitar terus saja menanyakan hal yang entah siapa yang akan menjawabnya.
Dia turun dari mobil. Ternyata ban mobil depannya bocor dua-duanya.
Sial.
Gitar mengumpat. Dia membuka bagasi mobilnya rupanya tidak ada satupun ban serep di sana.
"Pakek lupa lagi. Sial!" umpatnya lebih keras. Dia menendang ban mobilnya yang bocor.
Gitar menghubungi seseorang. Untung saja orang itu mengangkat panggilannya. "Mang Udin, ban mobil saya bocor cepat ke sini sekarang."
Mang Udin adalah tukang bengkel langganan keluarganya. Setelah share location pada mang Udin, Gitar berharap orang itu cepat ke sini membenahi mobilnya.
"Mang Udin lama banget sih."
Dua orang lelaki datang. Dia yakin salah satunya adalah mang Udin.
"Untung Mang dateng." Gitar bernapas lega. "Benahi mobil saya sekarang ya, Mang."
Mang Udin mengecek band mobil Gitar. "Ah ini kena paku nih."
Mang Udin menunjukkan paku yang baru saja dia cabut dari ban mobil Gitar yang kempes.
Sial! Siapa yang berani-beraninya naruh paku di jalan.
"Terus gimana, Mang, mobil saya. Bisa di tembel di sini?"
"Ini harus ditaro bengkel dulu, Mas. Bocornya parah. Ditembel gak bisa. Harus diganti ban, Mas. Saya gak bawa ban serep soalnya."
Gitar semakin tambah marah. Ini adalah hari buruk baginya. Benar-benar sial. Dia melihat arloji dipergelangan tangannya. Sepertinya masih ada waktu sebelum nama Axellez di panggil.
"Yaudah Mang. Urus mobil ini. Bawa ke bengkel. Saya mau pesen taxi online aja." Gitar mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Ini kunci mobilnya."
Gitar mengambil gitarnya dari dalam mobil. Dia menunggu taxi yang ia pesan datang.
🍁🍁🍁
Taxi itu berhenti di depan sekolah. Gitar bernapas lega, akhirnya dia sampai juga. Meskipun keringat membasahi pelipisnya. Tapi itu malah menambah kesan ketampanannya.
Selesai membayar, Gitar melangkah masuk ke sekolah. Langkah kakinya menuju aula sekolah.
Dia melihat Kaiden. Sepertinya pelatihnya itu sudah menunggu kedatangannya.
"Semoga Axellez belum tampil."
Mengelap keringat di pelipisnya, Gitar melangkah masuk.
"Sorry, Kai. Gue telat." Gitar menepuk bahu Kaiden. Membuat cowok itu menoleh.
"Gi... Gitar lo dateng?" Gitar tersenyum, mengangguk. "Lihat tuh." Kaiden menunjuk arah panggung. "Dia gantiin lo. Rupanya suara dia bagus juga ya?"
Gitar mengikuti arah telunjuk Kaiden. Dia menganga. Rupanya Axellez sedang tampil. Yang membuat dia tambah tak percaya adalah seorang gadis yang sedang mengalunkan syair yang indah. Melody.
"Gimana... gimana bisa dia gantiin gue nyanyi, Kai?"
Kaiden mengangangkat bahu. "Gue juga gak tahu. Tapi yang kelas dia jadi penyelamat atas keterlambatan lo kali ini. Hampir aja, Axellez di diskualifikasi."
Gitar membatin. Pantesan selama ini dia gak nge-fans dan minta tanda tangan gue. Rupanya, suara dia lebih bagus dari gue.
"Kai, sorry, ya. Pasti kalian panik karena gue gak dateng-dateng."
"Udah gapapa. Yang penting Axellez gak di diskualifikasi. Jadi nama baik sekolah kita aman deh." Kaiden bukan tipekal pelatih yang suka marah-marah jika anak didiknya terlambat. "Oh, ya. Kok lo bisa telat sih?"
"Panjang ceritanya. Tapi gue yakin banget ini semua ulah Yasa." Mata Gitar masih menatap lurus ke panggung. Gadis yang ia tidak suka, kini telah menggantikan posisinya. Harusnya gue yang di sana.
Gitar teringat sesuatu. "Kai, kok dia bisa tahu lirik lagu kita ya? Bukannya itu lo yang bikin dan rahasia banget?"
"Oh iya juga ya. Gue juga heran. Apasalah satu dari kalian bocorin itu ke dia?" tanya Kaiden.
"Gak mungkin lah. Viola aja gak tau. Lagian... salah satu diantara kita aja gak tau kalau dia bisa nyanyi."
"Bener sih ..., dia juga sembunyiin bakatnya gitu. Kita tanya itu nanti setelah dia turun dari panggung."
Atau jangan-jangan... dia sengaja ambil lirik itu dari gue? Soalnya tempat gue waktu itu kan ilang.
Banyak pertanyaan yang menghiasi pikiran Gitar. Entah persoalan mana dulu yang akan diselesaikan, tapi yang jelas, saat ini dia harus berdoa agar Axellez yang akan memenangkan lomba ini. Walaupun menang atau kalah adalah hal yang biasa dalam pertandingan, tapi kakalahan adalah hal yang mengecewakan bagi Gitar.
🍁🍁🍁
So you said, you've found, somebody else
And I hoped, that this, wasn't goodbye
But I can't help but wonder what went wrong
To make "forever" dead and gone
You said "I don't want your body but I know that you can find yourself somebody else"
Melody memejamkan mata. Menghayati lirik demi lirik yang ia nyanyikan.
Our love has gone cold and it doesn't feel like home when I hold you close
And I'm lookin' at you tryna figure out if this is what you really want"
You said "I don't want your body but I know that you can find yourself somebody else"
Saat dia membuka netranya, dia melihat seseorang yang tengah tersenyum padanya. Sahabat masa kecilnya, Kenn. Sepertinya keinginan Kenn untuk melihat Melody bernyanyi kini telah tercapai.
You said "I don't want your body but I know that you can find yourself somebody else"
I guess I don't want your body if you're wishing you were lying here with someone else
Melody telah menyanyikan lirik terakhir sekaligus penutup penampilan Axellez.
Penampilannya itu dihadiahi tepuk tangan dan sorakan meriah dari orang-orang yang berada di aula. Ternyata penampilannya mampu menghipnotis dan menghibur semuanya. Bahkan, pak Kepala Sekolah saja rela berdiri demi memberi apresiasi berupa tepukan yang ria.
"Good job, Melody. Suara lo memang bener-bener merdu." Marvel memuji.
Melody sama sekali tak menanggapi pujian Marvel ataupun yang lainnya. Pikirannya kacau saat ini. Matanya memerah, menahan perih di dada. Ia putuskan untuk turun dari panggung mendahului yang lainnya.
"Kenapa tuh cewek?" tanya Milo, heran.
Yang lain hanya mengangkat bahu menanggapi ucapan Milo. Yang penting saat ini, nama baik Axellez dan sekolah tetap terjaga berkat Melody.
"Hey, bro. Lah itu Gitar dateng." Tunjuk Tristan, pada seseorang yang berdiri di samping Kaiden.
"Oh iya, samperin yuk. Sekalian tanya kenapa dia telat."
Axellez turun dari panggung, segera menghampiri Gitar dan yang lainnya.
🍁🍁🍁
"Ini salah. Ini salah."
Kini, Melody berada agak jauh dari belakang panggung, sebuah ruangan kecil di aula. Air matanya keluar. Hatinya kacau. Dia seperti melakukan lesalahan yang membuatnya menyesal.
"Hiks... hiks. Gak seharusnya gue gantiin kak Gitar tadi." Melody mengacak-acak rambutnya.
"Gue... hiks... gue udah melanggar janji gue sendiri. Hiks." Suara Melody terdengar parau.
"Kenapa hal lama yang sudah gue tahan kini malah kejadian .... Kenapa ya Tuhan?"
Melody belum juga berhenti menangis. Gadis itu membenamkan wajahnya diantara kedua lengan.
"Melody."
Dengan perlahan, Melody mengangkat wajahnya. "Kenn?"
Kenn duduk di samping Melody. "Lo nangis?"
"Hiks... gimana gak sedih, Kenn. Gue udah ngelanggar janji gue supaya nggak berurusan lagi dengan musik. Tapi sekarang ... gue ... hiks ... gue malah nyanyi di panggung gantiin kak Gitar." Melody masih terisak. "Gak seharusnya gue ngelakuin itu Kenn. Gue takut ... takut Ayah sama Bunda bakal kecewa kalau tahu hal ini."
"Jika itu adalah impian lo. Mereka pasti ngedukung, Mel. Orangtua mana yang gak dukung cita-cita anaknya?"
"Tapi masalahnya beda, Kenn. Dan gue gak mau mereka kepikiran tentang hal ini. Lagipula ... jadi musisi bukan impian gue lagi."
"Lo yakin?" tanya Kenn.
Melody mengangguk pelan.
"Buktinya, selama lima tahun lo masih ingat, Mel. Lo ingat apa yang pernah kak Cinta ajarin ke lo. Buktinya tadi aja lo hafal lagu yang akan di tampilkan Axellez, padahal lo tau liriknya baru semalam."
Melody diam, menyimak ucapan Kenn.
"Musik itu dunia lo, Mel. Lo gak bisa lupain itu begitu aja," lanjut Kenn.
Tangan Melody menghapus air matanya. Gadis itu berdiri. "Mungkin itu hanya kebetulan, Kenn. Kebetulan yang tersimpan diingatan gue."
Kenn ikut berdiri. "No. Itu takdir, Mel. Lo dulu tersesat. Melupakan semuanya dalam sesaat. Tapi sekarang, impian itu ada di depan lo, Mel. Sekarang waktunya yang tepat. Bahkan, takdir sendiri yang menunjukkan itu di depan lo."
"Gue tahu sebenarnya lo gak trauma kan, atas kejadian yang menimpa kak Cinta. Tapi lo janji kaya gitu, supaya orangtua lo gak kecewa. Karena apa? Karena lo tinggal satu-satunya anak yang mereka punya." Jika menyangkut hidup seseorang, Kenn berubah menjadi bijak. "Ini permulaan dari penantian lo. Impian lo bisa diraih dari sekarang."
"Lo emang tahu semuanya tentang gue, Kenn. Lo emang sahabat baik sekaligus Abang gue Kenn."
"Kalau gitu jangan nangis lagi ya adek gue yang manis...." Kenn menghapus air mata Melody.
Melody tersenyum. "Kenn."
"Iya?"
"Makasih ya."
Dahi Kenn mengerut. "Untuk?"
"Semuanya. Dari kita bayi, TK, sampai sekarang pun, lo selalu ada untuk gue."
"Itu udah kewajiban gue." Kenn memeluk Melody hangat. Tangannya mengacak lembut rambut gadis itu.
Melody melepas pelukannya, saat matanya menangkap seseorang yang tengah melihat mereka hendak membalikkan badan.
"Willona."
Willona yang namanya dipanggil jafi salah tingkah. Gadis itu tidak jadi pergi. Kini dia melangkah mendekati Kenn dan Melody.
"Eum... maaf. Gue tadi gak sengaja denger pembicaraan kalian." Willona menatap Melody. Tangannya terulur menyentuh pundak gadis itu. "Kenapa sih, Mel? Lo sembunyiin ini semua dari gue. Gue juga sahabat lo, Mel. Bukan cuma Kenn...."
"Maafin gue, Will. Gue cuma pingin merahasiakan hal ini dari orang-orang aja."
"Dan sekarang lo tahu. Walaupun nguping sih?" sahut Kenn.
"Gak sengaja." Willona kembali menatap Melody. "Ternyata selama ini hati lo terbebani, Mel. Lo kuat. Lo hebat memendam hal itu sendiri, sampai gue sahabat lo sendiri gak tau. Tapi... seharusnya lo jangan kaya gitu, Mel. Yang dibilang Kenn benar. Turuti hata hati lo. Bukan janji lo."
"Makasih sarannya, Will. Gue minta tolong ya? Jangan cerita ke siapa-siapa."
"Lo tenang aja, Mel. Gue akan jaga rahasia ini."
"A... thank you, Willona." Melody memeluk Willona.
"Eh, by the way, suara lo bagus juga lo, Mel," ucap Willona setelah melepas pelukannya.
"Makasih loh. Lo udah puji suara perak gue."
"Itu mah bukan suara perak lagi, Mel. Tapi emas." Willona memuji.
"Jangan berlebihan mujinya, Willo. Entar Melody terbang." Kenn terkekeh.
"E...apaan sih lo, Kenn. Ganggu suasana aja."
TBC
Semoga feelnya dapet ya.
Oh iya. Lagu yang dinyanyiin Melody itu bukan buatan sendiri ya. Tapi lagu barat yang aku pakek di part ini dan ceritanya otu lagu buatan Axellez sama pelatihnya. Gak mungkin kan aku ciptain lagu sebagus itu.
Makasih buat kalian yang udah baca sampai part ini. Jangan bosen-bosen ya.
Jangan lupa vote, komen, dan share ke temen-temen kalian. Kali aja ada yang suka.
Love.
Dedel.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top