Part 3 - Tantangan
Marvel Varen Raffertha
🍁🍁🍁
Yang gue tahu cuma kunci-kunci gitar, bukan kunci mendapatkan hati seseorang.
🍁🍁🍁
Melody berjalan menuju kelas 11 IPA 2, kelas sahabat kecilnya, Kenn. Melody lupa jika tadi bundanya menyuruhnya untuk memberikan bekal kepada Kenn. Padahal tadi pagi mereka berangkat sekolah bersama. Sesampai di sekolah tadi Melody langsung melaksanakan piket kelasnya. Jadi dia tidak ingat jika harus memberikan bekal itu untuk Kenn.
Dengan membawa bekal, Melody mengintip dari celah pintu kelas itu untuk melihat ada Kenn atau tidak. Melody tercenung menyaksikan tingkah konyol sahabatnya. Kenn dan teman sekelasnya yang lain sedang berjoget ria mendengarkan musik dangdut yang lagi favorit.
Pasti ini ulahnya Kenn.
Melody sudah mengetahui jika itu ulah konyolnya Kenn. Karena sahabat masa kecilnya itu orang yang humoris. Melody heran saja kenapa banyak cewek yang menyukainya. Wajahnya yang tampan bisa membuat orang lain percaya jika Kenn tidak pernah melakukan hal konyol seperti itu.
Muncul ide dalam pikiran Melody. Gadis itu mengambil ponselnya dan merekam Kenn yang masih berjoget dengan gaya setannya. Melody berpikir akan menyebarkan video ini ke instastory miliknya. Siapa tahu teman online-nya menjadi ilfeel saat mengetahui tingkah konyol Kenn.
Kena lo, Kenn. Melody cengengesan sendiri.
"Kenn, dicariin cewek lo tuh!"
Melody tersentak saat suara teman sekelasnya Kenn memanggil namanya. Ternyata pintu kelas itu sudah terbuka lebar, dan Melody tidak menyadari hal tersebut. Otomatis Kenn berhenti bejoget lalu menoleh ke arah pintu. Mendapati Melody yang sedang tercenung.
Cowok itu melempar senyum, lalu melangkah menuju Melody. "Ada apa, Mel? Lo kangen, ya, sama gue?"
Melody tak merespons ucapan, Kenn. Gadis itu menyodongkan bekal yang dibawanya. "Nih. Dari Bunda buat lo. Gue tadi lupa."
Kenn memandang bekal yang Melody sodongkan padanya. Dengan cepat cowok itu menerimanya. "Makasih ya, buat Bunda."
Kenn sendiri sudah menganggap Bunda Melody sebagai bundanya sendiri. Cowok itu mendapat kasih sayang seorang ibu dari bunda Melody. Ibu kandung Kenn sendiri sudah meninggal dunia sejak dua tahun yang lalu. Yang bersama papanya adalah mama tirinya. Yang juga sangat menyayangi Kenn seperti anak kandungnya sendiri. Meskipun sampai saat ini, Kenn belum bisa menerima semua ini.
Melody mengangguk dengan tersenyum. "Sama-sama. Nanti gue salamin ke Bunda.
"Cie, Kenn dikasih bekel sama pacarnya."
"Mau juga dong, Mel. Sekali-kali, jangan Kenn terus."
Godaan dari teman-teman Kenn membuat Melody mendengkus. Mereka salah paham. Kasih sayang Melody ke Kenn itu seperti adik ke kakaknya. Entah apa yang selama ini mereka pikirkan tentang hubungan Kenn dengannya. Sehingga mereka berkata seperti itu.
"Kenn, gue balik ke kelas dulu ya," ujar Melody. Merasa gerah dengan ucapan gak jelas dari teman sekelas Kenn.
Kenn mengangguk. "Oh iya, Mel. Gue nitip ya," lanjut Kenn.
Segaris kernyitan tipis tercetak di kening Melody. Maksud Kenn menitip apa? Gadis itu ingin kembali ke kelasnya, bukan ke kantin. "Nitip apa?"
"Nitip salam buat Nyai Rombeng."
"Di kelas gue gak ada yang namanya Nyai Rombeng." Melody membalas dengan kilat. Sebenarnya siapa yang dimaksud cowok itu?
"Itu loh. Teman sebangku lo," jelas Kenn akhirnya.
"Maksud lo, Willona?"
Kenn menganguk. "Kan, dia cerewet banget tuh orangnya."
Melody benar-benar tak habis pikir kepada cowok yang berdiri di depannya kini. Bisa-bisanya dia main asal ganti nama orang. Memangnya dia mau mengakikahkan lagi apa?
''Hati-hati lho, Kenn. Entar lo suka sama Willona," ujar Melody disertai kekehannya.
"Idih. Amit-amit." Kenn mengelus-elus perutnya sendiri. Membuat Melody tertawa melihat tingkah konyol sahabat kecilnya itu.
Melody pergi dari sana. Kembali ke kelasnya sendiri.
Sesampai di kelas, gadis itu tersentak saat mendapati Willona di bangkunya.
"Dari mana lo? Kok gue ditinggal!" Willona menampakkan raut wajah kesal.
Willona kesal kepada Melody karena sahabatnya itu tidak menunggu ataupun membantunya mengerjakan soal matematika. Soal yang paling disenggani oleh Willona.
Padahal Willona sudah mengkode Melody untuk mengajarinya diam-diam agar tidak ketahuan guru. Namun Melody menolak. Dengan alasan 'sekali-kali Willona harus mandiri. Jangan ketergantungan Melody terus saat mengerjakan soal matematika'. Ditambah lagi Melody selesai mengerjakan tugas lebih cepat, sehingga dia keluar kelas duluan. Hal itu tentu saja membuat Willona kesal. Dia di dalam masih pusing menyelesaikan tugas matematika, sedangkan Melody sudah pergi keluar duluan.
"Dari kelas, Kenn. Nganterin bekal titipan bunda gue." Melody menjelaskan yang sebenarnya. Berharap sahabatnya itu percaya.
Willona bersedekap, menampakkan raut kekesalannya. "Oh gitu ya. Lo main ke kelas sebelah, sedangkan gue, sahabat lo, masih dekem di kelas dirubungi soal matematika yang gue sendiri gak tau jawabannya apa! Jangankan jawaban, rumusnya aja gak bisa."
"Lo marah, Will, sama gue?" Melody bertanya lirih.
"Gimana gak marah sih, Mel. Lo gak setia kawan banget sih!"
Kali ini Willona benar-benar marah. Melody dapat merasakan hal itu. Sebelumnya tidak pernah Willona semarah itu pada Melody.
"Will. Sorry." Melody berharap Willona bisa memaafkannya. Dia tak ingin persahabatannya dengan Willona hancur begitu saja karena kejadian ini.
Melody memegang kedua tangan Willona. Seketika tangannya dihempaskan begitu saja. Sebelumnya Willona tak pernah berbuat kasar padanya.
"Will, gue minta maaf. Gue gak mau lo marah. Gue gak mau persahabatan kita hancur," ujar Melody sedih. "Segitu marahnya ya, sampai lo nggak mau maafin gue?" Suaranya terdengar parau.
Willona merasa iba dengan Melody yang terus membujuknya agar memaafkan gadis itu. Tapi mau bagaimana lagi, mood Willona sedang tidak baik. Ditambah lagi dia sedang datang bulan. "Gue maafin lo, Mel. Asalkan lo bisa berhasil melakukan tantangan dari gue."
"Tantangan?" Melody membeo. "Maksud lo tantangan apa, Will?" Melody menanyakan apa yang ada dipikirannya.
"Lo harus bantuin gue."
Dahi Melody mengerut. "Bantuin apa?"
"Bentar." Willona mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Dan memberikannya pada Melody. Sebuah kado dengan surat dan nama pengirim di atasnya.
"Ini buat apa,Will? Gue, kan nggak ulang tahun?" Melody mengerutkan dahinya bingung.
"Ini bukan buat lo, Mel." jelas Willona, agar Melody tidak salah paham. ''Tantangannya, lo harus nganterin kado ini ke kak Gitar."
"Hah?" Perkataan Willona barusan membuat Melody tercenung. Bagaimana mungkin dia harus memberi kotak itu untuk Gitar? Sedangkan dia sendiri kemarin berbuat ulah dengan cowok itu.
"Lo harus ngasih ini ke Kak Gitar." Willona mengulang perkataannya. "Lo tau sendiri, kan, kalau gue nge-fans banget sama kak Gitar. Tapi gue gak berani ngasih ini buat dia. Apalagi udah banyak kado dari fans-nya yang lain. Kalau gue yang kasih pasti diabaikan sama kak Gitar. Kayak waktu gue mau menyalami dia waktu itu."
"Nanti kalo dia gak mau nerima ini gimana?" Belum apa-apa, Melody sudah putus asa.
"Ya lo usaha dong, Mel. Kalau lo gak mau, gue gak akan maafin lo." Willona mengancam.
Melody merasa dilema. Di satu sisi, dia tak ingin membuat sahabatnya kecewa. Di sisi lain, dia tak ingin berurusan dengan kakak kelas yang sombong itu.
"Oke. Gue akan nganterin ini buat Kak Gitar," putus Melody akhirnya. "Tapi jangan salahin gue kalau dia gak mau nerima kado dari lo," lanjutnya.
"Oke. Yang penting lo udah usaha."
Melody pergi dari kelas dengan membawa kado itu. Mencari keberadaan vokalis band Axellez.
Setelah kepergian Melody dari kelas, Willona mengembangkan senyumnya. "Masuk juga lo, ke perangkap gue."
🍁🍁🍁
Seperti biasa, di jam istirahat seperti ini semua anggota band Axellez berkumpul di basecamp. Menghilangkan rasa penat setelah tiga jam lamanya belajar di kelas.
Mereka memainkan alat musik sesuai hobby masing-masing. Jika Gitar, cowok itu hampir setiap alat musik bisa ia mainkan. Di rumahnya punya ruangan khusus yang berisi beberapa alat musik.
Merasa sudah puas bermain musik. Kelima cowok itu memulai pembicaraan dari hal-hal yang sederhana.
"Gimana, Gi, lo sama Viola?" Tristan melempar pertanyaan.
"Gitu-gitu aja. Dari dulu emang cuma sahabatan." Gitar terang-terangan kepada sahabatnya. Tak ada satupun rahasia yang ia sembunyikan. Dia percaya, bahwa mengatakan masalah pada keempat sahabatnya bisa mengurangi beban di hati.
"Tembak dong, Gi. Jangan sampe lo kalah star dari cowok lain." Milo menimpali. "Oh, atau lo sukanya sama Zela ya, Gi?"
Mendengar perkataan Milo, membuat kuping Gitar memanas. Gitar menyentil telinga Milo, lalu berkata, "Enak aja. Dia itu masih saudara gue."
"Bukannya lo, ya, Mil yang suka sama Zela?" Derby menyahut. "Bukannya waktu itu lo seneng-seneng sama dia di hotel?"
"Finah lo! Gue itu cuma nganterin Zela. Bukan grepe-grepe cewek bar-bar itu. Itu aja disuruh Gitar." Milo tentu tidak terima ketika ia disudutkan suka dengan Zela. Waktu itu ia hanya membawa Zela dari club ke hotel untuk menjauhkan cewek itu dari Gitar, itu pun Gitar sendiri yang meminta bantuannya. Bahkan cewek yang merupakan sepupu sahabatnya itu bukan sama sekali tipe idamannya.
"Selow, Bro. Jangan ngegas. Kita cuma bercanda," ujar Derby disertai kekehannya.
"Lo sendiri gimana, Tris? Bukannya lo deket ya sama Rebbeca?"
Tristan menoleh pada Gitar yang bertanya padanya. Cowok itu menyengir. "Kan cuma deket, Gi. Gak sampe jadian."
"Alah. Bucin." Mereka berempat membalas dengan kompak. Semuanya terkekeh bersama. Terkadang bahagia itu datang dari hal sederhana. Mengobrol santai dengan sahabat saja bisa membuat tertawa.
"Guys. Diantara kita berlima yang gak pernah bahas tentang cewek tuh si Marvel." Derby memulai pembicaraan baru. "Lo gak pernah suka sama cewek apa, Vel?" Derby bertanya pada Marvel yang sedari tadi hanya diam dan ikut mendengarkan saja.
Marvel hanya menggeleng.
"Lo gak homo kan, Vel?" Milo menimpali. Cowok itu langsung mendapat jitakan keras dari Marvel, yang membuatnya meringis.
"Ya enggak lah. Gue cowok normal kali. Cuma belum dapet aja cewek yang pas," jelas Marvel. Dia tidak suka jika dirinya disebut homo. Seburuk itukah nasib orang single sampai sahbatnya sendiri menyebutnya homo?
"Makanya Vel. Lo harus bisa dapetin hati cewek." ucap Gitar. Walaupun sekarang vokalis band Axellez itu masih jomlo. Tapi dia pernah pacaran, bahkan dekat dengan beberapa gadis yang dia anggap sebagai temannya saja. "Ambil hatinya dengan memberi hal-hal yang ia suka. Kalau ceweknya sampe luluh. Pasti dia bakal buka hati buat lo." Gitar menyelesaikan ucapannya. Semoga saja sarannya manjur untuk Marvel yang sama sekali belum pernah berpacaran.
"Yang gue tahu cuma kunci-kunci gitar, bukan kunci mendapatkan hati seseorang."
Keempat anggota band itu hanya menghela napas mendengar perkataan Marvel. Hidup sahabatnya itu terlalu monoton. Dia seperti berpacaran dengan alat musik gitar. Setiap hari cowok itu selalu menggendong dan merawat gitar kesayangannya.
Seketika pintu ruang musik terbuka lebar. Menampakkan cewek berambut coklat panjang bergelombang yang baru saja membukanya. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, cewek itu masuk ke dalam.
"Lo gak sopan banget, ya. Gak semua orang boleh masuk ruangan ini!" suara Gitar begitu menggelegar. Namun, gadis di hadapannya mencoba mengabaikan.
"Nih." Melody menyodongkan kado yang Willona titipkan padanya agar memberikannya pada Gitar.
Gitar memandang sebentar kado itu, wajahnya kembali memandang Melody. "Buat gue?"
Melody hanya membalasnya dengan deheman.
Gitar menerima kado itu, lalu ia berkata, "Ternyata lo juga fans berat gue ya, sampai kasih gue kado segala? Gue pikir lo gak tertarik sama band gue?"
"Emang gak tertarik tuh."
"Oh ya?" Gitar mengangkat salah satu alisnya. "Terus maksudnya kado ini apa?" Gitar mengangkat kado itu ke udara.
"Kado itu bukan punya gue. Gue cuma dititipin ngasih itu ke lo." Melody mengelak jika dia yang memberikan Gitar kado itu. "Baca aja suratnya. Gak ada nama gue kan di situ?"
Gitar membaca nama yang tertulis pada kertas yang menempel di kado. Dan benar saja, di situ tertulis nama Willona, bukan Melody.
"Jadi lo cuma ngasih kado temen lo ke gue?"
"Iya. Gue harap lo terima. Jangan dibuang." tegas Melody. Gadis itu tidak memedulikan anggota band Axellez yang lain. Yang sedang memandangnya heran.
Melody keluar dari basecamp itu. Sebenarnya Melody malu harus bertengkar dengan vokalis band Axellez itu. Apalagi disaksikan oleh anggota band Axellez yang lainnya. Setidaknya dia sudah menyelesaikan tantangan dari Willona. Dan semoga persahabatan mereka membaik.
Gitar memandangi punggung Melody yang kian menjauh dari pandangannya. Cowok itu menaruh kado itu ke meja tanpa minat membukanya.
"Baru kali ini ada cewek seberani itu sama lo, Gi." Marvel mengembangkan senyumnya. Cowok itu membuka kado yang baru saja Melody antarkan. Walaupun sebenarnya hanya titipan sahabatnya. Ternyata didalamnya berisi kue brownis. Marvel mencicipi kue itu.
"Benerkan. Tuh cewek emang sombong." timpal Derby dengan kesal. "Emang dia siapa sampai gak tertarik sama band kita?"
Gitar meremas erat surat yang ada di atas kado itu. Ternyata surat itu berisi tulisan kekaguman sahabat Melody padanya. Surat yang sudah tak berbentuk itu dibuangnya secara asal.
"Sudah dua kali dia bikin mood gue ancur."
"Sabar, Gi. Jangan masukin hati ucapan cewek itu. Mungkin dia salah satu haters lo?" Tristan menebak-nebak.
"Lo deketin aja, Gi. Dilihat-lihat, cewek itu cantik juga."
Gitar memutar bola matanya malas mendengar perkataan Milo. Cowok itu mendengus. "Lo pikir gue cowok mata keranjang kayak lo! Di luar sana juga banyak kali, cewek yang lebih cantik dari dia yang tergila-gila sama gue."
Milo membatin. Orang ganteng mah bebas.
TBC
Terima kasih untuk para readers yang bersedia membaca cerita ini sampai part 3 ini. Tanpa kalian cerita ini hanya tulisan yang tak bernilai harganya. Untuk readers yang suka bom komen dan vote author ucapkan Thank You So Much.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top