Part 28 - Menunggu Hari Itu

Selamat Membaca cerita Love Is Music part 28.

Typo maafkan.

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Jangan ragu, untuk maju. Jangan marah, karena lelah. Lakukanlah apa yang menjadi pilihan hatimu. Selama itu baik, kenapa tidak.

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

🍁🍁🍁

Melody merebahkan tubuhnya di atas kasur. Matanya menerawang langit-langit kamar--sekaligus menerawang kejadian masalalu bersama dia.

"Bener kata kak Vio. Susah untuk melupakan hal yang sudah menjadi kebiasaan kita." Melody tertawa kecil.

Tiba-tiba Melody mengingat sesuatu. Dia duduk dan mengambil kertas yang ia temukan di aula tadi.

"Ish Willona kenapa lo narik gue ke sini lagi sih. Males gue ah."

"Salah sendiri disuruh nungguin malah ninggalin." Willona mengomel. "Kata lo tadi ada kak Gitar, mana?"

"Udah pergi kali dia. Ngapain juga sih nyariin cowok sombong itu?" tanya Melody sebal.

"Gue kan mau kasih semangat ke kak Gitar. Biar dia gak nervous tampil besok."

Melody memutar bola matanya. "Diakan sering manggung, Will. Gak mungkin nervous lah."

"Iya, sih." Willona dia sejenak. "Gue laper, kantin aja yuk. Jugaan di sini gak ada kak Gitar."

"Gue juga males kali, ke sini lagi."

Melody berniat menyusul Willona yang sudah jauh beberapa langkah di hadapannya. Kakinya terasa ganjal, menginjak sesuatu. Melody menunduk, mengambil lipatan kertas yang di bawah kakinya. Jemarinya membuka kertas itu, sebuah melodi lagu beserta liriknya.

"Jangan-jangan ini punya kak Gitar?"

"Melody!"

Mendengar teriakan Willona itu Melody memasukkan kertas itu ke dalam saku kemeja sekolahnya.

"Iya!" Cepat-cepat ia menyusul Willona. Tak ingin kena semprot cewek itu lagi.

"Ini lagu yang mau dibawain Axellez buat besok kali ya?" gumam Melody, matanya melihat lirik lagu yang kalimatnya begitu indah.

"Teledor banget sih sampe jatuh. Untung aja, yang nemu bukan anak sekolah lain." Melody diam sejenak. "Gue jadi penasaran, melodinya kaya gimana ya?"

Merasa penasaran, Melody membuka aplikasi piano di dalam ponselnya. Jemarinya menari di atas tuts piano dalam aplikasi di ponselnya. Walaupun bukan piano sungguhan, tapi aplikasi itu dapat menghasilkan nada yang bagus juga.

Dulu, Melody pernah berlatih piano selama seminggu bersama Cinta. Dia cepat hafal untuk menghafal melodi dan lirik lagu. Walaupun itu sudah lima tahun yang lalu, tapi sekarang Melody masih bisa memainkannya walaupun kaku.

"Bagus juga ternyata. Nadanya sedikit mirip kaya melodi yang di buat kak Cinta dulu. Kira-kira penciptanya siapa ya? Kayaknya gak mungkin kak Gitar deh. Dia kan gak punya hati, gak mungkin membuat melodi sebagus ini. Mungkin... pelatihnya Axellez itu kali ya?"

Merasa lega karena sudah tak penasaran lagi, Melody meletakkan kertas itu pada tas sekolahnya, dia ingin mengembalikkan kertas itu pada pemiliknya. Walaupun besok sudah hari H, tapi dia yakin kertas itu masih berguna bagi Axellez. Siapa tahu mereka mengira jika kertas itu jatuh dan ditemukan oleh anak sekolah lain.

Melody menguap. Sepertinya jam tidurnya sudah tiba. Dia merebahkan kembali badannya ke kasur. Tangannya memeluk erat guling kesayangannya.

Klontang.

Suara yang berasal dari luar itu membuat Melody menoleh ke arah jendela. Dia merubah posisinya menjadi duduk. "Siapa itu?"

Klontang.

Bukanya mendapat jawaban, Melody malah mendapatkan suara itu lagi. Dia takut jika itu adalah maling. Oh tidak! Jika itu benar, maka apa yang harus dia lakukan?

"Kamar gue kan di atas, mana mungkin maling?" gumam Melody lirih. "Eh, tapi kan kalo di tivi-tivi maling lewatnya lantai atas kan?"

Dengan pemikirannya sendiri, melody jadi takut. Jemari Melody meraih sapu yang berada di pojok ruangan kamarnya. Dengan perlahan dia membuka jendela kamarnya.

"Eeh."

Melody siap melayangkan pukulannya. Tapi mendadak suara berat mengintrupsinya. Dia adalah Kenn. Tangan cowok itu menahan sapu yang siap Melody pukulkan padanya.

"Kenn." Melody menurunkan sapunya. Sapu itu ia senderkan pada jendela.

"Iya, ini gue, Kenn."

"Ngapain lo malem-malem naik ke balkon gue? Ngagetin aja tau nggak? Gue kira maling," tanya Melody heran.

Kenn duduk di balkon kamar Melody. Matanya menerawang lurus ke depan. "Gue lagi nenangin diri, Mel."

Melody ikut mengambil duduk di samping Kenn. "Marah lagi sama Tante Liana?"

Kenn diam. Tak menjawab ucapan Melody.

Melody menghela napas. "Sampai kapan sih, Kenn, lo gak nerima Tante Liana sebagai nyokap lo? Meskipun nyokap tiri, tapi dia sangat sayang sama lo."

"Sayang sama gue?" Kenn tersenyum kecut. Lalu melanjutkan perkataannya. "Gak mungkin, Mel. Dia cuma sayang sama duit bokap gue doang. Bokap gue aja malah sayang sama anaknya 'dia' daripada gue yang anak kandungnya. Berasa jadi anak tiri gue jadinya."

Tangan Melody mengelus lembut pundak Kenn. Memberi ketenangan pada cowok itu. "Sabar ya, Kenn."

Melody memandang hamparan langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Diantara bintang-bintang lain yang bersinar, ada dua bintang yang memancarkan sinar paling terang daripada yang lainnya.

"Lo liat Kenn." Mendengar itu, Kenn ikut mendongak ke atas. Jemari Melody menunjuk salah satu diantara dua bintang yang paling terang. "Bintang yang terang itu nyokap lo, Kenn. Dia sedih kalo tau lo terus-terusan berantem sama bokap lo. Dia juga sedih, lo belum bisa menerima Tante Liana sebagai nyokap lo."

Saat Melody mengatakan itu, Kenn hanya memandanginya dengan seksama. "Jangan mengindar terus Kenn. Hadapilah. Karena lo cowok kuat yang pernah gue temui selain Ayah."

Kenn tersenyum mendengar penuturan Melody. Tak salah dia sudah bersahabat dengan gadis itu sekitar 16 tahunan. Saat dirinya sedih, Melody yang bisa menghibur dan menenagkan hatinya. Begitu pula sebaliknya.

"Kalo bintang yang satunya, yang di samping nyokap gue, itu kak Cinta ya Mel?" Kenn menunjuk ke arah bintang tersebut.

Melody mengangguk. "Iya. Kak Cinta."

"Kakak lo pasti sedih kalo tau adeknya gak jadi meraih mimpinya."

Mendengar ucapan Kenn, Melody menoleh Kenn.

Kenn menoleh pada Melody yang memandangnya. "Lo sendirikan yang mau bilang mau nerusin mimpinya kak Cinta. Tapi sekarang... lo malah ingkar."

"Siapa yang ingkar sih, Kenn? Gue kan gak janji."

Kenn hanya tersenyum tipis. "Terserah kalo lo ngelak. Tapi, jika hari itu tiba, lo akan membuat kak Cinta bahagia."

Melody hanya terdiam. Mencerna ucapan Kenn barusan. Hari itu tiba? Sepertinya mustahil. Melody saja menghindar. Bagaimana mungkin hal itu akan terjadi? Tapi siapa tahu, takdir Tuhan kan, tidak dapat di tebak.

"Udah tidur sana. Besok gue jemput lo." Kenn mengacak-acak rambut Melody. "Gue pulang dulu ya."

"Lo pulang lewat mana?" Kenn hanya menunjuk tangga yang bersender pada tembok rumah Melody. "Gak mau dari pintu aja?"

"Gak ah, nanti takut ganggu Ayah sama Bunda. Lagian gue juga harus balikin tangga itu ke tetangga. Entar ngamuk lagi kalo tau gue maling tangga-nya."

"Dasar!"

🍁🍁🍁

Hari yang dinanti-nantikan telah tiba. Peserta lomba dari sekolah lain memasuki aula sekolah. Banyak band dari sekolah lain yang siap bertanding dalam lomba festival musik akhir tahun ini.

Murid sekolah itu juga di perbolehkan memasuki aula. Aula sekolah itu cukup luas, bahkan untik menampung orang sekampung saja muat.

Acara yang pertama dimulai dengan band yang cukup terkenal di kota. Setelah itu dilanjutkan dengan upacara pembukaan serta sambutan kepala sekolah.

"Baik, saya umumkan, lomba festival musik yang diadakan di sekolah kami siap di buka." Ucapan kepala sekolah menggelegar di nimbar aula. Suara itu kemudian diiringi tepuk tangan meriah dari siswa-siswi sekolah tersebit serta peserta yang akan mengikuti lomba.

"Terima kasih kepada peserta dari sekolah lain yang ikut berpartisipasi untuk melaksanakan lomba."

Sambutan kepala sekolah selesai. Kini acara dilanjutkan dengan doa bersama. Semoga Tuhan memberkati mereka semua sehingga tampil maksimal di dalam lomba ini. Menang atau kalah itu bukan yang utama. Yang utama adalah silahturahmi agar siswa-siswi antar sekolah menjadi akur dan tidak ada dendam satu sama lain.

"Kak Kaiden."

Kaiden yang berada di salah satu kursi aula itu menoleh ketika suara lembut memanggilnya. "Iya, Vi."

"Em... Axellez belum datang ya?"

"Belum, Vi. Mereka lagi siap-siap nyiapin barang apa saja yang mau dibawa buat nanti."

Sekarang ini masih waktu siap-siap bagi peserta lomba. Untuk mengisi jenuh, band kota yang terkenal tadi menampilkan tampilan keduanya. Lagu meraih bintang. Tujuannya untuk memberi semangat untuk peserta agar mereka pantang menyerah.

"Jadi kak Kaiden ke sini sendiri ya?" tanya Rebbeca. "Kakak gak dampingi Axellez gitu?"

"Dampinginya kalo mereka udah sampe. Malahan Gitar sendiri yang nyuruh gue dateng duluan ke sini. Biar gue jadi perwakilan Axellez dulu. " Kaiden diam sejenak. "Lagian, gue percaya sama mereka. Mereka gak mungkin ngecewain sekolah kita."

Viola mengangguk, tersenyum. "Semoga hal buruk gak terjadi hati ini."

"Amin."

Dari sisi lain, seseorang samar-samar mendengar percakapan mereka, orang itu tersenyum sumir. "Mimpi lo akan hancur saat mengetahui hadiah dari gue nanti, Viola."

🍁🍁🍁

Melody menangkap gelagat orang yang mencurigakan di aula. Orang itu seperti tengah memastikan sesuatu.

"Siapa tuh? Kok badannya familiar ya? Kaya orang yang di kafe dulu?"

Memang, Melody tidak melihat wajah cowok itu. Dia hanya menangkap punggungnya saja. Tapi cowok itu memakai hoodie hitam yang sama seperti orang yang Melody curigai tempo hari di kafe.

"Rencana A gagal. Kita jalankan renjana B."

Samar-samar Melody mendengar suara orang itu, sedang menelfon seseorang.

Rencana? Siapa?

"Mel."

"Eh." Melody terlonjak mendapat tepukan di bahunya. Dia menoleh ke balakang. Jantungnya berdegub, seperti ketahuan maling jemuran. "Ngagetin aja lo, Kenn."

"Lagi ngapain sih?" tanya Kenn.

Melody menoleh ke belakang. Rupanya orang itu sudah pergi. "Lagi jadi detektif, tapi targetnya kabur. Gara-gara lo ngagetin gue."

"Gaya lo detektif. Emang siapa sih yang lo curigain?"

"Lo inget gak, orang yang gue cirigai di kafe? Dia tadi ke sini? Kayaknya ada niat terselubung deh."

"Halah. Jangan nething mulu."

"Ih dibilangin kok gak percaya." Melody kesal, Kenn sama sekali tidak percaya ucapannya. Padahal Melody melihat itu ngenggunakan mata hati, mata kepala, mata kakinya sendiri. Bahkan matahari juga melihat dari celah-celah jendela.

"Udah lupain aja. Mendingan ke sana yuk. Bentar lagi dimulai. Gue mau lihat si alat musik dan bandnya itu tampil sebagus apa sih." Kenn jarang memanggil Gitar dengan namanya. Kalau tidak memanggil dengan 'alat musik' pasti dengan 'kakel sombong'.

"Males banget sih sebenernya gue lihat si angkuh. Lihat wajahnya aja udah muak."

"Gue tau kalo lo kesel sama dia. Tapi bagaimanapun juga, dia band dari sekolah kita." Kenn memegang kedua bahu Melody. "Atau lo mau gantiin Axellez buat tampil?"

Melody menurunkan kedua tangan Keen dari bahunya. "Apaan sih. Gak banget."

"Lo aneh, Mel. Saat ada peluang untuk maju gak mau," ucap Kenn, tersenyum kecil.

"Gue lelah, Kenn... gue lelah pura-pura gak tau ini semua...."

"Jangan ragu, untuk maju. Jangan marah, karena lelah. Lakukanlah yang menjadi pilihan hati lo. Selama itu baik, kenapa tidak." Tangan Kenn mengelus lembut tangan Melody.

"Yaudah yuk kita ke sana. Kasian nyai rombeng nyariin lo tuh." Tangan Kenn kini meraih jemari Melody, menggenggamnya erat. Menarik Melody untuk pergi dari sana.

Entah kenapa? Firasat gue gak enak banget hari ini. Ya Tuhan... semoga hal buruk gak terjadi.

Banyak pertanyaan yang masih tergiang di pikiran Melody. Entah siapa yang bisa menjawabnya. Semoga saja hal buruk tidak terjadi.

TBC

Maaf ya kalo part ini gak dapet feel-nya.

Jangan lupa, Vote, komen, dan share ke temen-temen kalian ya.

Ini aku update bonus di hari guru.

Sekalian kasih info ke kalian kalau Love Is Music gak akan update dulu.

Soalnya aku mau hiatus dulu dari dunia kepenulisan kurang lebih 2 minggu lebih.

Kalau aku paksain ngetik nanti feel-nya gak dapet terus takut juga hapenya di sita sama ortu 😢😱 padahalkan perlu banget buat cari materi pembelajaran.

Sialnya lagi sibuk UAS ganjil. Sama sebentar lagi mau study banding ke Yogyakarta. Jadi gak sempet ngetik deh.

Jadi buat kalian yang ada perlu sama aku. Aku aktifnya sekitar tanggal 20 Desember nanti. Baru aku mulai aktif lagi di dunia kepenulisan.

Oke. Sekian Terimakasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top