Part 27 - Dia Dan Alat Musiknya
Teruntuk readers yang sudah setia membaca cerita sampai part ini saya ucapkan terima kasih. Dan untuk siders saya juga ucapkan terima kasih.
Happy reading.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Semua orang itu punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sayangnya lo sering merasa lebih karena sering menilai kurangnya orang lain. Seharusnya, lo introspeksi diri dulu dong sebelum ngomong. Gak ada manusia yang sempurna. Jadi, gak usah merasa bangga.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
🍁🍁🍁
Hari ini semua kelas sedang free. Semua guru sedang sibuk rapat untuk menggelar acara festival akhir tahun yang akan diselenggarakan di sekolah. Lomba ini diikuti oleh sekolah menengah atas yang berada di kota Jakarta.
Aula yang akan digunakan untuk acara lomba besok telah dipersiapkan dengan baik oleh anggota osis, panitia lomba serta pengurus lainnya. Spanduk bertulis 'selamat datang, semangat berjuang' terpampang di jalan masuk aula. Tujuannya selain memberi sambutan juga untuk memberi semangat bagi mereka yang mengikuti lomba.
"Kita kenapa sih, Will, pakek ke sini segala?" Melody malas sekali menemani Willona melihat-lihat dekor aula yang akan digunakan untuk lomba besok.
"Gue mau lihat dekorasi buat lomba besok kaya gimana. Daripada boring di kelas mending di sini lah. Lagian kita kan free," jelas Willona, matanya menatap orang berlalu lalang yang sedang mendekor aula.
"Apa faedahnya. Cuma liat orang lalu-lalang doang gitu. Mendingan gue tiduran di kelas kan lumayan ngeistirahatin badan."
"Ye elah, Mel. Pikiran lo tidur mulu. Gak di rumah gak di sekolah sama aja. Masih suka hibernasi," cibir Willona. Dia tak habis pikir dengan Melody.
"Kalo kurang tidur itu malah bahaya tau." Melody sangat benci situasi ini. Situasi dimana dia terjebak dalam keadaan yang tak memungkinkannya untuk pergi.
"Hei, kalian berdua. Kalo tidak ada berkepentingan minggir! Jangan berdiri di tengah jalan. Mengganggu kita bekerja saja," seru seorang cowok di belakang tubuh Willona dan Melody. Dia adalah Bara, ketua osis yang menjabat pada tahun ini.
"Iya-iya, pak Ketos. Sewot aja lo." Willona menarik tangan Melody, membawa gadis itu menepi. Mereka duduk di kursi plastik yang berada di samping kanan aula.
"Kok malah duduk sini sih? Mending balik ke kelas aja?" protes Melody.
"Sini dulu lah. Lagian di kelas juga gak ada orang kok." Willona memegangi perutnya yang terasa mulas. Sepertinya dia kebanyakan makan seblak di kantin pada jam istirahat tadi. "Mel, perut gue sakit. Ke toilet dulu ya. Lo sini dulu aja, bentar lagi gue balik kok."
"Yaudah sana. Sebelum gas karbon lo keluar."
Willona langsung mengacir menuju toilet setelah memberitahu kepada Melody.
Sebenarnya, daripada menunggu Willona di sini lebih baik Melody kembali ke kelas. Tapi, jika dia melalukan itu dia takut jika Willona kembali marah padanya. Mereka saja belum lama baikkan. Willona paling sensi jika ditinghal begitu saja.
Melody melihat arloji di pergelangan tangannya. Sudah sepuluh menit berlalu Willona tak kunjung kembali. Apakah gadis itu mengerjainya? Ah, tidak-tidak. Melody tahu benar, Willona bukan gadis yang seperti itu.
Merasa bosan, Melody pun memutuskan melihat dekorasi aula yang hampir selesai. Untung saja ketos yang tadi itu sudah pergi dari sini.
Mata Melody menangkap sebuah benda yang begitu menarik perhatiannya. Benda itu diletakkan seseorang pada senderan dinding yang jaraknya tak jauh dari panggung.
Langkah kaki Melody mulai mendekat benda itu. Benda yang sudah beberapa tahun terakhir jarang di sentuhnya, melihatnya saja hanya bisa sekilas saja. Benda itu mengingatkannya pada sang kakak yang mengenalkannya pada dunia musik.
"Gue pun sampai lupa, kapan terakhir kali memainkan dawai pada benda itu," gumam Melody, matanya tak lepas dari alat musik gitar di hadapannya.
Mata Melody menyipit melihat tulisan kecil pada kayu gitar itu. 'Gitar'. Ya, di sana terdapat tulisan seperti itu.
"Jadi gitar ini milik kak Gitar?" tanya Melody entah pada siapa. "Kenapa ada di sini? Mungkin ketinggalan kali ya?"
Tangan Melody terulur ingin menyentuh benda itu. Ingin mengembalikannya pada sang empunya. Tapi di pikir-pikir, dia juga malas sih... bertemu dengan Gitar.
"Ngapain lo?!"
Suara tegas itu membuat Melody tersentak. Tangannya tak jadi menyentuh gitar itu. Dengan jantung yang masih berdebar karena kaget, Melody membalikkan tubuhnya. Ingin tahu siapa sang pemilik suara yang mengintronya.
"Lo mau maling gitar gue ya?"
"Hah?" Mata Melody menyipit. Tak habis pikir dengan tuduhan yang Gitar berikan.
"Gak usah sok kaget lo. Gue tau, gadis kelas menengah kaya lo gak mampu beli gitar mahal kaya gitar punya gue," ucap Gitar dengan sombongnya.
"Enak aja. Jangan asal tuduh lo. Dasar tukang fitnah," balas Melody tidak terima.
"Terus lo mau ngapain pegang gitar gue?"
"Gue cuma mau balikin gitar itu ke ruang musik. Gue gak sengaja lihat gitar itu di samping panggung. Gue pikir lo gak sengaja ninggalin gitar itu. Soalnya, di sini kan masih acara dekor gitu, takut aja kalo gitarnya kena benda berat atau apa." Melody tidaklah berbohong, dia mengatakan apa yang berada dalam pikirannya saat ini.
Gitar menatap netra Melody lekat. Tidak ada kebohongan pada diri gadis itu. Tapi dia tetap saja tidak suka dengan gadis yang selalu membuat mood-nya buruk.
"Gue emang sengaja letakkan gitar di situ. Tadinya sih mau latihan, tapi gak jadi soalnya aulanya masih di dekor. Jadi gue balik ke kelas, eh malah lupa gitarnya gak ke bawa. Jadi balik lagi ke sini buat ngambil gitar gue."
"Makanya kalo punya barang jangan ditinggalin sembarangan. Hilang rasain lo," nasehat Melody.
Gitar tersenyum sinis. Sok nasehatin gue nih cewek.
"Gue ini anak konglomerat. Kalo hilang ya beli lagi. Apa susahnya sih."
"Sombong sekali dia. Duit orangtua aja bangga," gumam Melody lirih, tetapi Gitar dapat mendengarnya dengan jelas.
"Bodoh." Ucapan Gitar itu membuat Melody kembali menatapnya. "Lo bodoh Melody. Lo lupa ya, gue ini vokalis Axellez, band kita sering manggung di mana-mana. Jadi, gue punya duit hasil jerih payah sendiri. Hasil dari suara emas gue yang mengalun dari syair dan melodi yang syahdu."
"Dasar sombong."
"Apa? Lo bilang gue apa? Sombong?" Gitar membeo. "Lo syirik sama gue, makanya lo gak suka sama gue. Heh, gue bilangin ya. Jangan syirik sama kemampuan yang gue miliki. Lo kan anak UKS, paling kerjaan yang cocok sama lo cuma apoteker. Ck, kasian."
Dia sangat sombong. Kelebihan dan bakat yang ia miliki hanyalah titipan Tuhan semata. Sewaktu-waktu Tuhan akan mengambil itu dari hambaya.
"Semua orang itu punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sayangnya lo sering merasa lebih karena sering menilai kurangnya orang lain. Seharusnya, lo introspeksi diri dulu dong sebelum ngomong. Gak ada manusia yang sempurna. Jadi, gak usah merasa bangga."
Selesai mengutarakan pendapatnya, Melody langsung pergi dari hadapan Gitar. Sudah muak dia berlama-lama berbicara dengan Gitar. Cowok itu sangat sombong atas apa yang ia miliki.
Gitar masih terus memandang kepergian Melody, tangannya mengepal ketika Melody mengatakan hal itu padanya. "Cewek kaya lo gak bisa diajak damai ternyata. Lo tenang aja Melody, setelah lomba ini selesai, akan gue buktikan betapa hebatnya seorang Gitar Exel Julian."
Gitar tersenyum sumir. Setelahnya dia mengambil gitar miliknya yang sebelumnya ia tinggalkan.
🍁🍁🍁
Alunan musik yang ditimbulkan dari gitar, piano, dan drum saling bersautan di dalam ruang musik itu. Kini Axellez berlatih untuk mengisi kekosongan kelasnya hari ini.
Ruang musik itu terbuka, membuat aktivitas mereka terhenti, tapi tidak merubah mereka untuk berpindah tempat.
"Ngagetin aja lo, kak."
Kaiden tersenyum membalas ucapan Marvel. Setelah menutup pintu, cowok itu langsung bergabung dengan Axellez. "Untung kalian latihannya bukan lagu buat lomba besok. Kalau ketahuan bisa bahaya."
"Kita gak sebodoh itu. Mata-mata ada di mana-mana," ucap Tristan.
Jika dalam rangka acara penting seperti ini pasti banyak mata-mata dari sekolah lain yang ingin menyelidiki Axellez. Yang sering ya... Yasa. Band dia selalu tidak menerima dengan kemenangan Axellez berturut-turut.
"Oh ya, si Gitar ke mana nih, kok gak kelihatan?" tanya Kaiden, menerawang sisi ruang musik.
Ceklek.
Gitar masuk dengan menggendong gitarnya. Wajahnya masih kesal.
"Kenapa lo?" tanya Derby. Walaupun sudah sering melihat Gitar dengan raut wajah kesal, sebagai teman yang baik, dia harus tetap menanyai temannya itu.
Gitar melepas gitar yang digendongnya. Diletakkannya pada sofa. Gitar pun ikut mendudukan badannya di sofa itu. "Gak pa-pa, cuma ada masalah kecil aja. Gue bisa kok tangani itu sendiri. Tapi setelah kita selesai lomba."
"Yasa?" tebak Kaiden.
Gitar menggeleng. "Dia lebih menyebalkan daripada Yasa."
"Oke. Kayaknya jari ini free sampai jam pulang sekolah. Daripada nganggur, mendingan kita latihan di rumah Gitar. Gimana?" ucap Kaiden, mengutarakan pendapatnya. Walaupun sudah puas dengan hasil latihan Axellez, tapi Kaiden harus melatih Axellez kembali. Supaya persiapan lomba untuk besok lebih mantap lagi.
"Berarti kita bolos dong? Waduh, nanti kalo poin berkurang gimana?" Milo panik sendiri. Walaupun free, tapi absen kelas tetap berjalan.
"Ya enggak lah. Nanti gue izinin sama guru piket. Lagian, ini juga demi sekolah kita juga. Jadi gak pa-pa kan kalo kita latihan di rumah Gitar? Daripada di sini ngapain hayo? Dekorasi aula dan persiapan lainnya sudah ada seksi masing-masing."
Kaiden benar. Cowok itu memang jenius. Prinsipnya time is money. Waktu itu sangat berharga, walau hanya sedetik. Menurutnya daripada menunggu bel pulang sekolah itu sama saja menyia-nyiakan waktu. Makanya dia mengajak anak didiknya untuk berlatih.
"Wah, bener juga. Kan di rumah Gitar kalo latihan pasti disuguhkan makanan sama minuman gratis." Wajah Milo jadi semringah.
"Giliran makanan langsung gercep lo," cibir Marvel.
"Mau gimana lagi, Vel. Untuk latihan maksimal, harus butuh tenaga yang maksimal juga." Dengan wajah tanpa dosanya, Milo terkekeh.
Kaiden tersenyum melihat perdebatan kecil diantara teman-temannya itu, walaupun umur mereka berbeda lima tahun, tapi mereka masih terlihat seumuran.
"Yaudah kalian siap-siap dulu ya. Gue mau minta surat dispen dulu sama guru piket."
Gitar merogoh saku kemejanya. Mencari kertas yang berisi lirik lagu buatan Kaiden. Wajahnya panik, benda itu tidak ada di sakunya.
"Lo kenapa? Muka lo kok cemas gitu sih?" tanya Marvel.
"Lirik lagu yang dibuat Kaiden ilang," aku Gitar akhirnya.
"Hah?" Keempat temannya reflek membulatkan mata. "Kok bisa sih?"
"Jatuh kayaknya. Tapi di rumah gue masih punya satu kok."
"Bukan itu masalahnya, Gitar. Kalo ketemu anak sini dan di kasih ke anak sekolah lain gimana?" tanya Tristan khawatir. "Di sini, kan, banyak mata-mata?"
"Kalaupun ada, gak mungkin lah mereka hafal lirik itu dalam semalam. Kita aja paling cepet tiga hari," ucap Gitar. "Yuk, Keluar. Entar gue akan jelasin ini ke Kaiden."
"Semoga aja yang dikatakan Gitar itu benar."
Mereka meninggalkan ruang musik sekolah.
🍁🍁🍁
Hari sudah semakin gelap. Teman-teman serta pelatihnya, Kaiden, telah pulang ke rumah masing-masing setelah merasa puas latihan untuk lomba besok.
Sehabis mandi, Gitar mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Cowok itu melangkah menuju ruang tersembunyi yang berada di samping kamar tidurnya. Ruang musik sederhana yang ukurannya lebih kecil daripada ruang musik yang tadi siang digunakannya untuk berlatih bersama Axellez.
Gitar duduk di depan piano putih, hadiah ulang tahunnya setahun yang lalu dari sang papa. Jemarinya membuka buku musik miliknya halaman terakhir, berisi lembar sebuah melodi beserta liriknya yang di buat Kaiden untuk ditampilkan di lomba festival musik besok.
"Gue emang udah latihan liriknya, tapi kalo melantunkan melodinya dengan tangan sendiri, lebih menyenangkan." Gitar tersenyum bahagian.
Lantunan merdu melodi indah mengalun memenuhi ruang musik yang terletak di kamarnya. Jari-jari Gitar menari indah di tuts-tuts hitam putih piano. Mulutnya terbuka, menyanyikan lagu yang akan ia tampilkan pada lomba esok.
Gitar menyadari seseorang yang memperhatikannya dari ambang pintu. Orang itu tersenyum melihat putra semata wayangnya berlatih giat demi membuatnya bangga.
"Mama." Gitar menghentikan permainan melodinya. Dia menghampiri Monica yang tersenyum padanya.
"Latihan lagi? Perasaan tadi udah latihan sama temen-temen kamu?" tanya Monica.
Gitar tersenyum semakin lebar. "Tadi kan Gitar cuma nyanyi, Ma. Gak main alat musik juga."
"Mama bangga sama kamu, Gitar." Monica baru ingat tujuannya kemari. "Oh iya, di bawah ada Hanzela. Dia nyariin kamu."
"Zela?" Gitar membeo. "Bukannya dia di luar negeri ya, Ma, nemenin papanya?"
"Iya. Tapi dia sudah pulang. Udah sana temuin dia di bawah. Kayaknya dia bawa oleh-oleh spesial buat kamu."
"Iya, Ma." Gitar mengangguk lesu. Sebenarnya malas sekali dia menemui gadis itu.
🍁🍁🍁
Gadis berambut coklat bergelombang itu tak henti-henti mengembangkan senyumnya. Dia tak sabar ingin menemui seseorang yang selama ini dia rindukan. Sudah seminggu lebih Zela tidak berjumpa dengan Gitar.
"Hai, Gitar," sapa Zela, melihat Gitar menuruni tangga.
Gitar duduk di sofa depan Zela. "Udah pulang lo."
"Udah dong. Kan gue mau lihat penampilan lo sama Axellez besok." Zela tersenyum merekah. "Sorry ya, waktu Anniversarry Axellez gue gak dateng. Lagi nemenin bokap ke liar negeri soalnya."
"Gak pa-pa." Gue malah seneng lo gak dateng. Gak ada biang rusuh soalnya.
Gitar tidak yakin jika Zela berubah sepenuhnya. Soalnya, seminggu sebelum keberangkatan Zela keluar negeri, dia tidak sengaja melihat Zela memarahi adik kelas yang tidak sengaja menabraknya hingga buku-buku yang di bawanya terjatuh.
"Em... oh iya. Nih gue ada oleh-oleh buat lo." Zela menyerahkan papper bag pada Gitar.
Gitar mengambil itu ragu. "Makasih ya."
Gitar membuka isi papper bag itu. Sebuah jaket warna navy dengan tulisan My Heart.
"Iya, sama-sama. Itu barang brendit loh, Gi. Gue juga punya. Jadi kita couple-lan. Lomba besok di pakek ya." Zela tersenyum. Dia tak sabar melihat Gitar memakai jaket pemberiannya.
Gitar tak menjawab. Dia hanya diam dan memasukkan jaket itu kembali pada papper bag.
"Kalo gitu gue pamit pulang dulu ya. Udah malem soalnya. Bye Gitar. Sampai jumpa besok."
Gitar mengangguk malas mendengar ucapan selamat tinggal dari Zela. Setelah Zela benar-benar pergi dari rumahnya Gitar membuang hadiah itu asal. "Menjijikan."
TBC
Apa tanggapan kalian di part ini?
Feel-nya dapet nggak?
Jangan lupa follow akun ini ya biar bisa dapat info bab selanjutnya.
Atau follow akun ig-ku
@della_riana24
Oh ya. Mungkin minggu depan aku gak update dulu. Mau Ulangan Penilaian Akhir Semester Ganjil soalnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top