Part 21 - Latihan Pertama.

Pengumuman!

Tekan tombol ☆ di bawah.
Maka  anda akan membaca dengan nyaman.

Sekian terima kasih.

   °°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Diantara kita hanya sekedar pertemuan yang tak akan pernah berakhir menjadi suatu penyatuan.

  °°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

 🍁🍁🍁

"Jadi hari ini teman-teman kamu akan latihan di sini?"

Pertanyaan itu terlontar dari bibir Zein, Papa kandung Gitar. Seorang pengusaha yang juga mendirikan studio musik di beberapa kota besar di Indonesia.

Sebenarnya bakat musik yang di miliki Gitar ia dapatkan karena terinpirasi dari mamanya, Monika, yang pandai dalam memainkan harmonika. Walaupun kenyataannya Monika bukanlah seorang musisi. Dan mereka menamai anaknya dengan Gitar pun karena keluarga itu sangat menyukai dunia musik. Karena musik dapat membuat dunia jadi berwarna.

"Iya, Pa. Kan di sini juga ada studio musik," jawab Gitar.

Studio yang dimaksud Gitar adalah base camp Axellez yang berada di rumahnya. Dimana ada kumpulan alat musik, di situ pasti akan Axellez jadikan sebagai base camp mereka.

"Kenapa gak di studio papa yang di dekat apartemen aja. Kan di sana lebih lengkap?"

"Gak lah, Pa. Nanti ada yang denger lagi Axellez cover lagu, terus dibocorin deh sama sekolah tetangga." Gitar diam sejenak, lalu melanjutkan ucapannya. "Lagian, studio yang deket apartemen selalu rame."

"Iya juga ya." Zein mengangguk-angguk. "Ya sudah, kamu semangat latihannya. Papa mau nyusul Mamamu ke butik." Zein menepuk pelan bahu Gitar.

"Iya, Pa. Hati-hati."

Setelah Zein sudah menghilang dari pandangannya, Gitar masuk ke kamarnya yang bernuansa hitam putih itu. Di sisi kanan ranjangnya, terdapat lemari yang berisi album koleksi penyanyi-penyanyi favoritnya, dari sejak ia kecil sampai sekarang. Tidak hanya itu, di lemari itu pun juga ada buku-buku tentang musik, tentang cara mempelajari kunci-kunci gitar, cepat bermain piano, dan masih banyak lagi koleksi buku yang berkaitan dengan musik.

Jemari Gitar mengambil salah satu buku yang terdapat di lemari itu, 'belajar alat musik biola' itulah judul buku yang diambil Gitar. Sejak bertemu dengan Viola, Gitar tertarik dengan permainan alat musik yang dimainkan gadis itu. Jadi dia berminat untuk belajar biola.

Makanya Gitar membeli alat musik biola sekaligus buku untuk mempelajari alat musik itu. Dengan bantuan Viola, Gitar sekarang sudah bisa mempelajari alat musik itu, meskipun tidak sebagus gadis itu. Tapi sekarang Gitar sudah jarang memainkan alat musik itu sejak gadis pujaannya meninggalkan permainan alat musik tersebut.

Seulas senyum tipis terbit dari bibir Gitar, cowok itu kembali menaruh buku itu pada tempatnya. Saat itu pula selembar foto jatuh yang ia yakini terselip diantara buku-buku di sana.

Tangannya mengambil foto itu, lalu membaliknya agar melihat gambar di foto tersebut. Ternyata itu fotonya bersama Viola yang tengah tersenyum sembari memegang alat musik kesukaan masing-masing. Foto itu diambil dua tahun yang lalu, ketika Gitar menyadari bahwa perasaannya pada Viola lebih dari seorang teman.

"Sampai sekarang pun, gue belum bisa ngilanin rasa ini ke lo, Vi," ucapnya, sembari mengelus lembut foto itu.

"Mungkin... diantara kita hanya sekedar pertemuan yang tak akan pernah terjadi penyatuan." Gitar tersenyum, namun hatinya terasa sakit.

Tok...tok...tok.

"Masuk."

Pintu terbuka, mendapati bi Ijah, sang asisen rumah tangga.

"Den, ada mas Kaiden di bawah," ucap bi Ijah.

"Oh iya, Bi. Makasih."

"Iya, Den." Bi Ijah keluar dari kamar Gitar. Kembali ke bawah untuk memberikan suguhan pada Kaiden.

Gitar meletakkan kembali foto itu pada tempatnya, lalu menyusul bi Ijah ke bawah, menemui Kaiden.

"Udah nunggu lama lo, Kai?" Gitar menduduki sofa depan Kaiden.

"Baru aja nyampe."

Bi Ijah datang membawa minuman dan cemilan untuk Kaiden. Diletakannya suguhan tersebut  di meja. Sudah menjadi kebiasaan si tuan rumah memberi suguhan pada tamu.

"Silahkan, Den."

"Makasih, Bi." Kaiden tersenyum, lalu meminum teh yang dibuatkan bi Ijah.

"Yang lain belum ngumpul?" tanya Kaiden, sesudah meletakkan kembali gelasnya pada meja.

"Palingan bentar lagi."

"Kita sekarang ke studio dulu yuk, ngecek alat-alatnya ada yang rusak apa nggak," ajak Kaiden. "Biasanyakan ada yang jadi pelampiasan lo kalo marah, banting sembarangan." Kaiden sudah paham betul dengan sifat Gitar.

"Sialan lo."

"Bi, nanti kalo yang lain udah dateng, suruh masuk aja ya. Langsung ke studio musik," ucap Gitar kepada bi Ijah.

"Baik, Den."

"Yuk." Gitar merangkul Kaiden. Keduanya melangkah ke studio musik.

                           🍁🍁🍁

"Gak ada yang rusak, kan?"

Kaiden yang tengah mengecek beberapa alat musik itu menoleh pada Gitar yang baru saja bicara padanya.

"Semua aman."

Gitar yang tengah duduk di sofa itu langsung berdiri, menghampiri Kaiden. ''Gue bilang juga apa. Ngeyel sih lo."

Kaiden mengangguk-angguk. "Ya...mungkin karena ini bascamp di rumah lo, jadi gak ada alat musik yang lo rusakin. Tapi alat musik di sekolah, udah banyak loh yang jadi korban," sindirnya.

"Lo tenang aja. Yang gue rusakin udah gue ganti kok sama yang baru."

"Iya iya anak sultan." Kaiden geleng-geleng. Gitar tidak pernah berubah, selalu bisa mengendalikan segalanya dengan uang.

"Bagus dong... bokap gue sultan, gue presidennya."

"Terus ibu negaranya siapa?"

"Lo. Mau?"

"Najis. Masa jeruk makan jeruk," tolak Kaiden mentah-mentang. Memang dia cowok apaan?

Gitar tertawa terbahak-bahak. Dia dan Kaiden sangat akrab. Padahal umur mereka selisih lumayan jauh, namun candaan yang sering dilontarkan masing-masing seolah mereka seumuran.

"Assalamualaikum!"

Ucapan salam yang lantang itu membuat Gitar dan Kaiden menoleh. Mendapati Milo berserta Derby dan Tristan yang baru saja datang. Tak lupa, mereka menjawab salam tersebut.

"Abang Milo yang ganteng datang nih. Kangen gak?!"

"Najis!" ucap Tristan dan Derby bersamaan. Seketika senyum Milo runtuh.

"Marvel mana?" tanya Kaiden, menyadari mereka hanya bertiga, seharusnya kan berempat.

"Masih di jalan kali. Biasa... Jakarta kan macet,"  jawab Derby.

Jika itu alasannya, mereka bisa memahami. Jalanan Jakaeta memang macet jika di waktu weekend seperti ini.

"Ya udah. Sambil nunggu Marvel datang. Mendengan kalian pemanasan dulu." Pemanasan yang Kaiden maksudkan yaitu memainkan alat musik sesuai ahli masing-masing. "Dan buat lo, Gitar. Latihan olah vokal dulu."

Derby, Milo, dan Tristan mulai memainkan alat musik yang menjadi keahlian mereka, sebagai suatu pemanasan sebelum latihan benar-benar dimulai. Sementara itu, Gitar mengolah vokal suaranya dibantu oleh Kaiden.

"Do... re... mi... fa... sol... la...si... dô...."

Gitar terus melatih vokalnya. Dari tangga nada rendah ke tinggi, begitu pula sebaliknya.

"Bagus," puji Kaiden. Cowok itu memberi selembar lirik lagu ke Gitar. "Sekarang lo coba pakek tanda nada lagu ini, sebelum nanti nyanyi liriknya."

Gitar menerima kertas itu. Belum sempat menyanyikan tangga nadanya, pintu ruang tersebut terbuka, membuat semuanya menoleh pada seseorang yang masuk.

"Sorry gue telat," ucap Marvel tergesa.

"Udah mulai ya, latihannya?" tanyanya sembari melangkah dekat mereka.

"Belum, ini baru pemanasan."

Kaiden lantas memberikan selembar lirik lagu yang sama yang ia juga berikan pada Gitar ke Marvel. "Pahami nadanya."

"Oke." Marvel tersenyum.

"Ayo sekarang kita latihan. Semoga latihan pertama ini berjalan dengan lancar. Dan semoga di hari-H penampilan kita maksimal sehingga mendapat juara satu lagi...." Kaiden memberi semangat pada anak didiknya.

"Amin...."

Mereka sangat semangat. Bahkan, semangatnya bisa menandingi semangat kemerdekaan Indonesia.

Mereka memainkan alat musik masing-masing dengan sangat baik. Begitu pula Gitar yang dengan baik menyanyikan syair lagu untuk lomba minggu depan. Walaupun dia masih melihat lirik dan belum hafal.

Kaiden yang melihat itu tersenyum. Dia yakin bahwa anak didiknya akan tampil menakjubkan di dalam lomba minggu depan.

                            🍁🍁🍁

Di hari libur seperti saat ini, kafe selalu ramai pengunjung. Suasana bising akibat obrolan pengunjung dan aroma coffie bercampur menjadi satu.

"Vi, lo gak mau liat Axellez latihan?" tanya Rebbeca.

Viola hanya membalasnya dengan senyuman disertai gelengan. "Mereka harus serius latihannya. Kalo ada gue... entar amburadul lagi."

"Ya enggak lah, justru Gitar semangat kalo lo ada di sana."

"Gue gak mau kejadian yang lalu terulang. Gara-gara gue... Axellez hampir kacau." Viola ingat, dulu saat ia masih berpacaran dengan Yasa, anak sekolah sebelah, dia pernah tidak sengaja keceplosan lagu yang akan di nyanyikan oleh Axellez. Padahal dia tahu jika Yasa dan bandnya merupakan lawan Axellez dalam festival musik antar sekolah.

"Dan karena itu juga lo mutusin keluar dari Axellez, kan? Dan berhenti main biola." Rebbeca tahu semuanya. Alasan sebenarnya Viola keluar dari Axellez bukan hanya karena ia pernah patah tulang, tapi karena hal ini juga.

Jujur, Viola sangat menyesal karena sempat jatuh hati kepada Yasa. Ternyata selama ini Yasa hanya memanfaatkannya untuk dijadikan alat agar bisa mengorek informasi tentang Axellez. Dan sudah berapa kali ia tertipu. Namun dia tidak bisa membeci Yasa begitu saja, cinta telah membutakan hatinya. Sekarang ia sadar, bahwa laki-laki yang tulus padanya hanya Gitar, sahabatnya sejak memakai serakam biru putih. Tapi rasa nyamannya pada Gitar hanya sebagai teman. Padahal dia sudah beberapa kali membuka hatinya untuk cowok itu, tapi tetap saja tidak bisa.

"Sebenarnya... gue masih kangen sama Axellez, Be," jujur Viola.

"Terus kenapa lo malah keluar, Vi. Pakek berhenti main biola segala." Rebbeca jadi kesal sendiri.

"Salah gue terlalu banyak, Beca. Seharusnya gue waktu itu dengerin ucapan Gitar kalo Yasa itu nggak baik."

Senyum Rebbeca menghangat, lalu ia mengelus lembut tangan Viola dan menggenggamnya. "Yang lalu biarlah berlalu. Gue yakin, Vi. Kalo lo cerita yang sebenarnya ke Gitar, dia bakal maafin lo."

"Mungkin Gitar memang mau maafin gue. Tapi gue takut. Gue takut kalo Yasa semakin curang dan menggunakan taktik lain untuk menghancurkan Axellez."

"Mantan lo itu emang nekad. Gue heran deh, sebenarnya apa sih yang ngebuat dia benci sama Gitar dan Axellez?"

"Mungkin karena mereka iri, Axellez lebih terkenal dari band mereka."

Sebenarnya bukan hanya band Yasa saja yang iri terhadap Axellez. Tapi band-band dari sekolah lain juga. Mereka cemburu ketika Axellez selalu mendapat sanjungan dari masyarakat bahwa band itu selalu tampil baik ketika manggung. Dan selalu ada inivasi baru yang membuat penonton tidak bosan saat melihat mereka tampil.

"Vi, gue kebelet nih. Ke toilet dulu ya. Ngobrolnya dilanjutin lagi." Rebbeca berdiri dari tempatnya.

"Ya udah sana. Jangan lupa cebok, Be."

"Kalo itu mah gak perlu dingetin. Gue udah paham kali." Rebbeca langsung mengacir menuju toilet yang tersedia di kafe itu.

Viola tersenyum sembari geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya. Untuk bahagia memang sederhana seperti itu ya. Terkadang, itu sulit karena kita tidak bisa mengatur kebahagiaan diri dengan baik.

"Hai, Viola."

Mendengar suara itu Viola langsung mendongak. Menatap seseorang yang entah sejak kapan berdiri di depannya.

"Lo?"

                                 TBC

SORRY TYPO.

Hayo. Kira-kira siapa nih yang ngomong sama Viola. Buat yang penasaran tunggu part selanjutnya yah.

maaf baru bisa update. Soalnya urusan di dunia nyata gak bisa ditinggalin. Aku harap kalian setian nunggu cerita ini dan gak kabur ya. Kalo kalian aktif (sering komen, ngasih saran) aku pasti akan usahain sering update. Paling cepat dua atau tiga hari sekali lah.

Kalo part ini yang baca udah 20an, yang vote 10an, dan yang komen 50 lebih. Aku bakal lanjut ke part selanjutnya. Kalo bisa malah double update.

Ayo. Buruan share ke temen-temen kalian buat baca cerita ini. Kalo baca yang bad boy, cool boy, ice boy, terus-terusan bisa bosen kan. Ini genre lain yang beda dari yang lain.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top