Part 2 - Upacara Penghargaan

Melody Adelle Jackson

🍁🍁🍁
Syair yang dia nyanyikan memang merdu, seketika suasana menjadi syahdu. Namun sikapnya sangat kaku.

🍁🍁


Hari Senin, hari yang diwajibkan mengikuti upacara bendera. Semua murid diharapkan untuk berbaris di lapangan, sebentar lagi upacara akan dimulai.

Sebenarnya ini merupakan hari yang disenggani para siswa-siswi. Karena mereka harus berdiri di lapangan selama satu jam. Membiarkan teriknya matahari menembus hingga ke tulang.

Seperti biasa, Melody baris di belakang para peserta upacara. Dia menjalankan tugas piketnya sebagai anggota UKS yang baik, gadis itu memakai rompi dan juga topi khusus anggota UKS. Tidak hanya anggota UKS saja, anggota PMR pun juga begitu. Mereka berjaga-jaga, sewaktu-waktu ada peserta upacara yang pingsan.

Gadis itu tugas bersama sahabatnya, Willona. Mereka sama-sama masuk di eskul UKS. Sebab eskul ini satu-satunya eskul yang paling mudah. Latihannya pun hanya di dalam ruangan, menghafalkan obat-obatan, menangani masalah luka, cara pemasangan tabung oksigen, tensi darah, dan cara menangani orang pingsan. Walaupun eskul ini satu-satunya eskul yang tidak pernah diperlombakan, tapi Melody bersyukur, setidaknya dia mengenal tentang dunia kesehatan.

Upacara itu dimulai dengan khidmat. Pak Kepala Sekolah sebagai pembina upacara pada hari ini. Petugas upacaranya pun berjalan dengan baik. Apalagi petugas paduan suara dalam pengibaran bendera.

Seusai upacara, peserta tidak boleh dibubarkan dulu. Seperti biasa, pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan Kepala Sekolah. Dengan ogah-ogahan, mereka tetap baris di lapangan, walaupun keringat peluh sudah membasahi kening.

"Anak-anak jangan bubar dulu. Ini ada penyerahan piala lomba seni antar sekolah kemarin. Dan alhamdullilah sekolah kita mendapat juara satu lagi." Suara kepala sekolah begitu menggelegar di tengah lapangan.

Jika bukan adanya upacara penghargaan untuk band Axellez, peserta upacara pasti ada yang kembali ke kelas dengan diam-diam. Tapi kali ini tidak. Mereka sedia menyaksikan anggota band Axellez mendapat penghargaan dari kepala sekolah, walaupun keringat sudah bercucuran dari pelipis.

"Silahkan band Axellez maju ke depan."

Kelima anggota band itu maju ke depan sesuai perintah Kepala Sekolah. Mereka berjalan ke tengah lapangan disertai tepukan hangat dan sorak gembira dari peserta upacara.

"Axellez huuu." Wilona berteriak histeris. Seperti fans yang bertemu idolanya. Tapi memang benar, gadis rambut sebahu itu merupakan fans band Axellez.

"Willo, suara lo dikondisikan dong. Sakit nih kuping gue." Melody menutup kedua telinganya menggunakan tangan. Merasa terganggu dengan suara sahabatnya yang keras.

"Maaf, Mel." Willona cengengesan. "Ke depan yuk, biar bisa lihat band Axellez dengan jelas."

Willona menarik pergelangan tangan Melody. Melody hanya pasrah dan mengikuti sahabatnya. Lagipula petugas UKS atau PMR yang lain maju ke depan, bergabung dengan peserta upacara yang lain.

Dari barisan peserta, dapat terlihat jelas Kepala Sekolah memberi piagam, mendali, dan piala kepada anggota band Axellez secara bergantian. Mereka berfoto bersama. Kejadian itu diabadikan oleh anak eskul fotografi.

Wilona bertepuk tangan ria menyaksikan kejadian itu. Peserta upacara yang lain pun juga begitu. Namun Melody tidak, gadis itu sama sekali tak menyaksikan kejadian itu dengan senang. Dia hanya diam saja dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Kalau aja upacara boleh bawa ponsel. Udah gue foto dari tadi," ujar Willona sembari bertepuk tangan ria.

"Lihat di akun instagram sekolah kita kan bisa, Will. Atau enggak lihat instagram-nya band Axellez." Melody mengutarakan pendapatnya.

"Pinter juga lo, Mel."

Melody berdehem malas, mendengar penuturan sahabatnya. Matanya kembali melihat ke depan. Pandangannya bertemu dengan Gitar yang sedang memegang piala. Dengan kilat gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Will, gue mau ke toilet dulu." Melody meminta izin pada sahabatnya. Jika dia main pergi saja tanpa bicara pada Willona, pasti Willona akan marah padanya.

Willona yang sedang melihat ke depan menoleh pada Melody dengan satu alis yang terangkat. "Lho, kan belum dibubarin, Mel."

''Gak papa. Gak ada yang lihat juga kan."

Memang fokus semua orang yang ada di sana itu di depan. Menyaksikan penghargaan band Axellez. Melody menepuk bahu Willona. Gadis itu pergi dari tempat itu.

Melody membasuh wajahnya di wastafel yang ada di toilet wanita dekat kelasnya. Menghapus rasa gerah akibat panas terik cuaca hari ini.

Merasa pikirannya sudah fresh kembali setelah membasuh wajah, Melody mengelap wajahnya dengan tisu. Gadis itu keluar dari toilet, menuju kelasnya.

"Lo gak mau ngucapin selamat sama gue?"

Melody menghentikan langkahnya, ketika suara berat menyapa sekaligus menyindir. Gadis itu menoleh, menemukan sosok Gitar di sampingnya.

Dia ngomong sama gue?

Melody melihat-lihat sekeliling. Siapa tahu orang itu berbicara dengan orang lain. Gadis itu seperti kebingungan.

"Gue tanya sama lo, Melody."

Melody mengejapkan mata berkali-kali. Kok dia tau nama gue?

"Bener kan, nama lo, Melody?" Gitar bertanya dengan satu alis yang terangkat.

"I-iya." Melody menelan salivanya. Wajah Gitar terlihat seperti mengejeknya. Gadis itu mendesah, mengatur kembali napasnya. "Kenapa Kak Gitar manggil gue?"

"Lo gak mau ngucapin selamat ke gue?" Gitar mengulang pertanyaan yang sama seperti tadi. "Cuma lo satu-satunya orang yang belum ngasih gue selamat. Habis upacara tadi, lo malah langsung pergi."

Melody bersedekap, memandang Gitar datar. "Penting banget, ya, ucapan selamat dari gue?" sindirnya tanpa memedulikan statusnya yang hanya adik kelas. "Ucapan dari orang-orang masih gak cukup buat menghargai bakat lo?"

"Waw. Berani juga lo ya sama gue. Adik kelas yang sombong." Gitar menyindir dengan bibir yang tersenyum sumir.

"Bukannya kakak ya yang sombong? Merasa jadi penguasa karena sudah berhasil mengharumkan nama baik sekolah?" Melody membalas sindirannya.

"Tapi itu kenyataannya, kan? Gue bisa menang karena suara gue bagus," ucap Gitar dengan angkuh. "Buktinya aja fans gue banyak," lanjutnya dengan senyum menyeringai yang tercetak begitu jelas.

"Suara kakak emang merdu. Mereka suka karena syair lagu kakak terdengar syahdu. Tapi sikap kakak itu kaku." Melody mengutarakan pendapatnya tentang Gitar.

"Kaku gimana maksud lo?"

"Kakak terlalu sombong atas bakat yang kakak miliki. Menurut gue kalau orang sombong itu kaku," ucap Melody dengan santainya. Dia tidak perduli apa respons Gitar padanya nanti.

Gitar diam seribu bahasa. Entah apa yang dipikirkan cowok itu, Melody tidak peduli. Gadis itu memilih pergi dari sana, meninggalkan Gitar yang sepertinya marah karena sikapnya.

Melody menenggelamkan kepalanya di antara kedua lengan. Kelasnya ternyata masih sepi. Gadis itu memilih memejamkan mata sejenak. Menghilangkan rasa kantuk yang menghampirinya. Mengingat tadi ia tidur terlalu larut malam. Akibat terlalu senang membaca novel, hingga tak sadar jika waktu sudah jam dini malam.

"Elah. Woy kebo. Bangun lo."

Guncangan tangan di lengan membuat Melody terusik. Ada yang menganggu tidurnya. Gadis itu mengangkat kepalanya. "Apaan sih, Kenn?! Ganggu aja lo!"

"Ini sekolah, Mel. Bukan hotel. Kalau mau tidur mendingan besok lo bawa kasur sama selimut." Kenn menyindir. Cowok itu duduk di samping Melody.

"Ngapain lo duduk tempat gue?!" Willona mendorong bahu cowok itu. Namun tidak sampai jatuh. "Kelas lo tuh bukan di sini."

"Mampir dulu gue, Will. Mau lihat sahabat gue ini." Kenn menoel pipi Melody. "Biar dia nggak kangen." Kenn menyengir ketika Melody menatapnya tajam.

"Amit-amit gue kangen sama lo, Kenn. Pulang pegi ke sekolah aja juga bareng."

Rumah Kenn berada di kompleks yang sama dengan Melody. Maka dari itu dia selalu berangkat bersama Melody. Keluarga Kenn dan keluarga Melody sudah kenal cukup dekat. Mereka juga merupakan teman masa kecil. Karena itu orang tua Melody mempercayai Kenn untuk menjaga anak gadisnya.

Meskipun Melody kadang ketus kepada cowok itu, tapi Kenn tak pernah ambil hati. Melody sendiri sudah menganggap Kenn sebagai abangnya. Walaupun usia mereka hanya terpaut tiga bulan.

Melody merasa nyaman jika bersama Kenn yang umurnya tiga bulan lebih muda darinya. Memang sudah sejak lama gadis itu menginginkan seorang kakak laki-laki.

"Lagian kelas kita bersebelahan," lanjut Melody.

Kenn mengambil jurusan IPA juga. Jika Melody dan Willona berada di kelas IPA 1, beda halnya Kenn, yang masuk ke kelas 11 IPA 2.

Bel masuk berbunyi. Jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Siswa-siswi kelas 11 IPA 1 mulai berdatangan.

"Minggir lo, Kenn!" usir Willona.

Kenn dengan terpaksa minggir dari tempat itu. Kemudian Willona duduk ditempatnya yang baru saja diduduki Kenn.

"Mel, gue balik ke kelas gue." Kenn berpamit pada Melody.

"Pergi tinggal pergi, pakek izin segala!" Willona menyahuti dengan sewot.

"Kok lo yang sewot, Will. Gue kan pamit sama Melodi bukan lo?" Kenn mencebik. "Oh, gue tau. Lo pasti syirikkan karena gue cuma pamit sama Melody doang. Lo pasti pingin juga kan, gue pamit sama lo?"

"Jijik. Amit-amit jabang bayi." Willona mengetuk-ketukkan tangannya yang mengepal pada meja, lalu diketukkan dua kali juga di dahinya.

🍁🍁🍁

Gitar berjalan di koridor sembari bersenandung ria dengan kedua telinga yang sudah tersumpal dengan headset. Cowok itu mendengarkan lagu barat kesukaannya.

Gitar memasuki ruang musik yang menjadi basecamp band Axellez. Gitar melepas headset miliknya, mengalungkannya pada leher.

Cowok itu duduk di depan piano dengan jari-jarinya yang berdiri dan bermain di atas tuts piano. Alunan melodi dari piano itu seolah menggambarkan hatinya yang sakit dan sesak. Instrumen yang tadinya indah, kini menjadi melodi musik yang memberontak.

"Kalau main piano itu pakek hati, biar menghasilkan nada yang bagus. Bukan pakek emosi."

Gitar menurunkan jemarinya dari tuts piano. Menoleh ke sumber suara. Mendapati cowok bertubuh jangkung yang sedang memegang gitar di tangannya.

"Ngapain lo?!" Gitar bertanya dengan ketus.

"Emang gak boleh nongkrong di basecamp sendiri?" Marvel tersenyum. Dia duduk di kursi depan Gitar. "Lo kenapa? Kok kayanya emosi gitu?"

"Tiba-tiba mood gue ilang, Vel." Gitar diam sejenak. "Gara-gara cewek angkuh itu."

Marvel mengerenyitkan dahinya. "Cewek angkuh? Siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan anak UKS itu. Bukanya ngucapin selamat ke gue, dia malah sombong."

"Maksud lo, Melody?" Marvel bertanya memastikan.

Gitar mengangguk. Cowok itu menceritakan kejadian tadi pagi saat di koridor bertemu dengan Melody. Mengatakan hal itu pun membuatnya kembali kesal.

Marvel malah terkekeh mendengar ucapan Gitar. "Ada-ada aja lo, Gi. Tapi bener sih, cewek itu emang beda dari fans kita yang lain. Malahan dia gak termasuk penggemar band kita."

Pintu terbuka. Mendapati Viola yang baru saja datang. Gadis itu tadinya juga anggota band ini. Namun, sudah keluar. Tadinya dia merupakan satu-satunya anggota band yang perempuan. Gadis itu sangat jago bermain alat musik biola. Sehingga dia sangat minat masuk eskul musik. Kejadian masa lalu yang membuat tangannya patah tulang, sehingga dia tidak diperbolehkan ikut eskul musik lagi oleh orang tuanya.

Kini Viola mengambil eskul fotografi. Alasannya agar dia bisa memotret dan merekam band Axellez saat mereka manggung. Terkadang gadis itu masuk ruang musik hanya untuk bermain biola. Menuntaskan rasa rindunya pada alat musik itu.

Pernah dia ditawari oleh Kaiden untuk bergabung kembali, walaupun hanya sebagai anggota eskul saja, bukan anggota band Axellez. Tapi dia menolak. Bukan karena takut meminta izin dengan orang tua, tetapi karena hatinya kini sudah melekat pada eskul fotografi.

"Kalian di sini ternyata." Viola duduk di kursi dekat Marvel. "Pantesan gak ikut temen-temen yang lain di kantin."

"Lo sendiri kenapa gak gabung sama mereka?"

Viola menggeleng mendengar pertanyaan Marvel. "Nggak ah. Enakkan juga di sini, gabung sama kalian.

"Lo kangen ya, sama biola?" Gitar bertanya sembari melempar senyum.

"Iya sih. Tapi gue udah nyaman jadi anggota fotografi." Viola tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Jadi gue lebih leluasa motret kalian saat manggung. Apalagi banyak adek kelas yang minta gue buat fotoin kalian. Lumayan, kan, gue dapet traktiran?"

Banyak adik kelas yang meminta Viola untuk membantu mereka mendapatkan foto anggota band Axellez. Mereka memberi upah jika Viola berhasil melakukan hal itu. Melakukan itu sangatlah mudah bagi Viola. Karena dia merupakan sahabat dekat setiap anggota band Axellez. Terkadang mereka mentraktir Viola. Hal itu sangat Viola sukai, peritnya bisa kenyang. Dan uang jajannya bisa ditabung untuk membeli keperluan.

"Dasar lo, tukang manfaatin adik kelas." Marvel mencibir.

"Biarin aja, orang merekanya sendiri yang nawarin gue kok." Viola membalas. "Lo syirik ya, Vel, karena gak ada yang naktir? Jomlo sih lo," sindir Viola, sembari terkekeh.

"Vio, lo juga jomlo keles." Marvel membalas tidak terima. Bagaimana bisa jomlo teriak jomlo?

Viola mencebik, lalu menjawab. "Yang penting gue ada yang naktir. Walaupun hanya adik kelas. Kebanyakan juga cewek sih."

"Gue juga bisa naktir lo, Vi." Gitar membuka suara. Mengutarakan apa yang ada di pikirannya.

"Udah sering gue ditraktir lo. Kapan-kapan aja, ya, Gi? Kalo para fans alay lo udah gak naktir gue lagi karena udah gak punya duit." Viola menyengir.


TBC

Sorry typo.

Maafkan guys jika di part 2 ini kurang dapet feelnya. Author sibuk sekolah soal ya. Ditambah lagi minim pengetahuan tentang dunia musik. Jujur part ini lebih pendek dari part kemaren.

Love you readers.

Salam author kece.
DellaRiana

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top