Part 18 - Baikan Dan Kabar Baik
Hai Readers. Boleh minta vote dan komennya?
Jangan di plagiat okey.
~~~~~~~•~•~•~~~~~~~~~~
Semarah apapun kamu terhadap sahabatmu, pasti akan baikan juga pada saat tertentu.
~~~~~~~•~•~•~~~~~~~~~~
🍁🍁🍁
"Ngapain lo ke sini?"
Pertanyaan kerus itu keluar dari mulut Gitar.
"Bukannya lo harusnya di UKS ya. Jagain adek kelas kesayangan lo itu?" sindirnya, lalu tersenyum sumir.
Cowok dihadapan Gitar itu hanya terdiam. Mendengar ocehan sahabatnya. Sebenarnya ia ingin mengatakan sesuatu, namun belum sempat berbicara, Gitar sudah berbicara duluan.
"Bisa kita bicara sebentar." Sebelum Gitar bertanya dengan pertanyaan bertubi-tubi, Marvel sudah menimpalinya dengan ucapan.
"Tetang apa? Cewek itu?"
"Lo akan tahu nanti. Mendingan sekarang kita cari tempat yang enak."
Marvel berjalan duluan. Gitar yang tidak terima ia harus mengikuti langkah kaki Marvel, dia menambah kecepatan langkahnya agar sama dengan Marvel. Keduanya melangkah memasukki kantin.
Mereka duduk di meja Axellez. Untung saja anggota Axellez yang lain tidak berada di kantin juga. Dan kebetulan kantin di lantai tiga itu tidak terlalu ramai.
"Ngomong aja. Gak usah basa-basi." Seketika rasa lapar Gitar menghilang. Cowok itu hanya meminum air mineral yang selalu disediakan ibu kantin untuk Axellez.
"Gue minta maaf soal masalah tadi."
Alis Gitar mengangkat, menunggu ucapan Marvel selanjutnya.
"Gue belain Melody karena gue kasian sama gadis itu. Saat Melihat Melody, gue ngerasa bahwa Melody itu sama kaya Milly. Gadis yang butuh perlindungan pada saat-saat tertentu."
"Terus karena lo liat sosok Milly pada diri Melody, lo suka sama cewek itu gitu?"
Marvel menggeleng pelan, mendengar pertanyaan Gitar. "Lo tahu sendiri kan masalalu gue. Sebagai kakak gue telah gagal menjaga Milly. Dan melihat Melody gue ngerasa kalo gue gak boleh lakuin hal yang sama terhadap cewek itu."
"Jadi lo nganggep Melody sebagai adek lo doang. Gak lebih?"
Gitar sendiri tahu tentang Masalalu Marvel. Gitaris band Axellez itu mempunyai adik perempuan yang umurnya tiga tahun lebih muda darinya. Tapi sekarang dia sudah tidak ada. Akibat sakit demam berdarah yang dideritanya.
Marvel sangat menyayangi adiknya. Dia merasa gagal menjadi kakak yang baik. Waktu itu Milly sempat menelponnya untuk mengajaknya jalan-jalan di taman rumah sakit. Namun Marvel menolaknya. Dengan mengatakan bahwa Milly seharusnya beristirahat, lagi pula waktu itu Marvel sedang sibuk les musik. Jadi dia tidak sempat melihat adiknya terakhir kali sebelum Milly pergi meninggalkan dunia.
"Untung sekarang hal itu lebih baik. Tapi gue gak tau waktu yang akan datang. Perasaan bisa berubah seiring waktu," ujar Marvel, menjawab ucapan Gitar baru saja.
Gitar mengangguk mendengar ucapan Marvel. Dia membenarkan bahwa perasaan bisa berubah seiring waktu. Hal itu pun ia alami bersama Viola. Dulu saat kelas sepuluh, Viola mengungkapkan perasaannya untuk Gitar, namun cowok itu menolaknya. Dengan alasan bahwa anak kelas sepuluh seharusnya memikirkan pelajaran. Bukan pacaran.
Namum sekarang, hal itu malah berbanding terbalik. Saat Gitar mulai menyadari perasaannya, Viola malah menjalin hubungan dengan anak band sekolah sebelah. Saat Viola dan pacarnya putus Gitar merasa bahwa dia punya kesempatan kembali, namun hal tersebut sirna ketika Viola terang-terangan mengatakan padanya bahwa dia masih punya perasaan untuk mantannya itu.
Untuk sekarang, persahabatan memang hal terbaik untuk menamakan hubungan mereka. Tak akan terlalu menyakitkan karena tak ada hubungan spesial selain itu.
"Vel, maafin sikap kekanak-kanakan gue ya?"
Marvel tersenyum, cowok itu berdiri dari tempatnya. Merangkul Gitar dengan gaya khas cowok. "Gue senang lo gak marah sama gue."
Melepas pelukan, Gitar menatap Marvel datar. "Emang kapan gue marah sama lo?"
"Jangan pura-pura, Gi. Kalo gak marah kenapa lo banting stik drum di base camp?"
Gitar tercenung mendengar perkataan Marvel. Kenapa dia bisa mengetahui hal itu? Bukannya ruang musik kedap suara?
"Lo lupa ya, Gi. Kalo di ruang musik ada cctv?" ujar Marvel seolah mengetahui apa yang dipikirkan oleh Gitar.
Kenapa gue selupa ini ya?
"Dicari-cariin rupanya kalian di sini?"
Keduanya menoleh pada gadis yang baru saja datang.
"Kenapa, Re?" Marvel bertanya-tanya.
"Kalian itu dicariin kak Kaiden. Suruh kumpul di basecamp."
Gitar berdiri dari tempatnya. "Iya-iya kesayangannya Kaiden."
Ucapan Gitar membuat pipi Rebbeca bersemu merah. "Ih apaansih."
Senyum malu-malu tercetak di wajah Rebbeca. Anggota Axellez lain pun mengetahui bahwa gadis itu ada rasa lebih pada Kaiden. Rebbeca mengenal Kaiden sejak lama. Bahkan sebelum dia bersekolah di sini. Tapi Rebbeca malah lebih dekat dengan Tristan saat ini daripada Kaiden.
🍁🍁🍁
Kelima anggota Axellez itu sudah berkumpul di basecamp. Ditambah satu pelatih mereka, Kaiden.
Biasanya hanya mereka berlima yang dipanggil Kaiden tanpa melibatkan anggota eskul yang lain pasti ada hal penting yang ingin dibicarakan. Jangankan anak eskul band, Viola maupun Rebbeca saja tidak diperbolehkan.
"Kenapa, Kai. Kita disuruh kumpul di sini?" Sebenarnya tanpa Gitar tanya pun pasti Kaiden akan mengatakan sesuatu kepada mereka.
Kaiden menatap para sahabatnya satu per satu. Cowok itu berdehem sebelum memulai pembicaraan. "Jadi gini... sebentar lagikan ada festival musik nasional."
"Terus?"
Tristan melirik tajam. Seolah memperingatinya untuk diam. Dia menunggu ucapan selanjutnya yang keluar dari bibir Kaiden.
"Gue dapet kabar dari pemerintah. Bahwa acara festival musik kali ini akan di selenggarakan di sekolah kita." Perkataan Kaiden baru saja membuat kelima anggota Axellez tersenyum. Bagaimana tidak? Kapan lagi coba, sekolah mereka menjadi tempat penyelenggaraan acara musik terbesar di setiap tahunnya. "Tempatnya di aula kita. Kan aula kita cukup luas tuh, jadi ya muatlah buat penyelenggaraan festival. Lagi pula pesertanya dari sekolah lain yang masih seprovinsi juga kan sama kita?"
"Berarti tinggal menghitung hari lagi?" Wajah sumringah tercetak jelas di wajah Tristan. Cowok itu merasa bangga ketika band mereka tampil dalam acara-acara penting seperti ini.
"Iya. Makanya itu kalian harus mulai latihan dari sekarang. Bawa nama baik sekolah. Jangan sampai lengan. Tunjukin ke orang-orang bahwa Axellez itu mampu bersinar." Kaiden mengulum senyum. Dia selalu memberi motivasi kepada didikannya agar tetap semangat dan pantang menyerah dalam menunjukkan bakat mereka dalam dunia musik.
"Kalo itu sih pasti." Mungkin kebanyakan orang kurang percaya diri dalam menunjukkan bakat mereka. Tapi Milo berbeda, dia terlalu percaya diri. Sebab sudah beberapa kali Axellez selalu memenangkan lomba-lomba yang berhubungan dengan musik seperti itu.
Dan sejak saat itu pula, Axellez mulai terkenal di dunia sosial media. Awal mulanya karena Kaiden menunggah vidio tampilan mereka di salah satu akun media sosial miliknya. Sehingga banyak yang kagum dan mulai menggemari Axellez. Apalagi mereka senang, sebab anggota Axellez ganteng-ganteng.
"Jadi, kapan kalian mulai latihan?"
Para anggota Axellez itu saling pandang setelah mendengar pertanyaan Kaiden baru saja. Setelah beberapa detik, akhirnya Gitar membuka suara. "Mulai besok, bisa?"
Gitar bertanya kepada sahabatnya. Cowok itu menatap sahabatnya satu per satu. Ada yang mengangkat bahu seolah mengatakan terserah. Ada pula yang mengangguk setuju.
"Lo, Vel?"
Kini tatapan Gitar mengarah pada Marvel. Pasalnya cowok itu tidak memberi respon apa-apa. Hanya memandang mereka semua datar saja.
"Lebih cepat lebih baik." Tentu saja Marvel setuju. Cowok itu tidak sabar menghapalkan kunci-kunci gitar yang baru. Sudah rindu rasanya dia bermain gitar di depan orang banyak.
"Jadi kita mau nyanyiin lagu yang apa nih?" Derby bertanya-tanya.
"Kita pikirin entar malem aja. Nanti malem pada on di grub oke."
Semua mengangguk setuju mendengar perkataan Kaiden. Pelatih mereka itu selalu memilih lagu yang tepat untuk penampilan Axellez dari tahun ke tahun.
🍁🍁🍁
"Jadi lo beneran sakit?"
Pertanyaan itu terlontar dari mulut Melody. Malam harinya setelah ia pulang sekolah dan merasa lebih baikan, ia putuskan untuk ke rumah sahabat masa kecilnya, Kenn.
Niat utamanya ke sini untuk mengantar kue bolu buatan Hilda untuk Lina, ibu tiri Kenn. Keluarga mereka memang sering membagi makanan sejak dahulu. Tak jarang orang kompleks sekitar berpendapat jika mereka sebaiknya berbesanan saja. Lagi pula Melody dan Kenn cocok.
"Ya iyalah. Masa pura-pura sakit." Cowok itu berdecak. Dia menurunkan tangan Melody yang baru saja menyentuh keningnya.
"Biasanya lo kan tukang drama."
Tak ada respon apa-apa dari Kenn. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk diajak bercanda. Cowok itu terlihat sangat lemas. Wajahnya saja berwarna putih pucat.
"Makanya jangan keluar malem. Masuk angin kan lo." Melody mengomel. Sebenarnya sudah berapa kali dia menasehati sahabatnya itu, tapi Kenn memang cowok yang susah diatur. Tapi dia tidak brandalan seperti cowok pembalap pada umumnya.
"Biasanya juga gak papa kok. Mungkin emang cuaca kali ini berbeda," jawabnya lirih, tak seperti biasanya.
Badannya sungguh panas. Padahal Lina sudah mengompres kening Kenn berulang kali. Cowok itu sakit begini karena melakukan tantangan dari lawan balapnya. Jika Kenn kalah, maka mau tak mau cowok itu harus menyerahkan mobil sport miliknya. Dan malam itu kenn kalah. Cowok itu tidak menerima kekalahannya begitu saja. Bukan Kenn namanya jika menyerahkan mobil berharga miliknya begitu saja. Cowok itu tahu betul, jika lawannya itu melakukan kecurangan saat perlombaan dimulai.
Meskipun lawannya tak mau mengakui dan bersikukuh memintanya mobil milik Kenn, cowok itu tak tinggal diam. Dia menghajar salah satu dari mereka. Namun lawannya itu berhasil merebut kunci miliknya dan dibuang asal ke danau. Kenn yang tak rela kunci mobil kesayangannya dibuang dengan terpaksa masuk ke danau. Mencari kuncinya sampai dapat. Namun alhasil dia malah demam setelah kurang lebih 3 jam menyelam, sampai kuncinya dapat.
"Lo belum makan ya?" tanya Melody sembari melirik mangkok bubur yang terletak di atas nakas.
"Gak enak."
"Eh jangan kaya gitu. Kalo lo gak makan, kapan sembuhnya? Nanti gak ada lagi yang suka usilin Willona."
Melody mengambil bubur itu. Dan hendak menyuapinya pada Kenn. "Aaa."
Mau tidak mau Kenn melahap bubur yang disuapkan oleh Melody. Rasa dilidahnya tetap saja pahit. Mungkin dia hanya dapat menghabiskan dua sendok makan saja. Jika tidak sakit begini pasti cowok itu habis dua mangkok bubur.
"Tadi di sekolah ada pengumuman apa?" Kenn tahu betul. Biasanya harii jum'at ada pengumuman dari sekolah.
Melody yang mengaduk-aduk bubur mendongak. "Gue baca pengumuman di mading. Katanya lomba festival musik nasional besok mau diadakan di sekolah kita."
"Mel?"
"Hem?" Melody malas menengok. Gadis itu masih sibuk mengaduk-aduk bubur.
"Lo gak mau ikut andil."
Gadis itu menatap Kenn kembali. "Maksudnya?"
Bukannya menjawab, Kenn malah beralih topik, mengulang kembali kenangan lampau. "Dulu lo antusias banget kalo ada acara berkaitan musik kaya gitu." Kenn diam sejenak, memandang melody yang menatapnya datar. "Sekarang lo bertindak seolah-olah gak kenal musik."
"Itu dulu, Kenn. Sebelum dia pergi dari kehidupan gue."
Seorang gadis berseragam merah putih itu baru saja pulang dari sekolah. Enggan mengganti baju, dia langsung menonton acara televisi kesukaannya.
"Kakak baca apa sih. Kok sampe senyum-senyum gitu?" tanyanya, pada seorang gadis yang memakai seragam putih abu-abu.
Gadis itu menoleh pada adik kesayangannya itu. "Di sekolah kakak dalam kurun waktu ini akan diadakan festival musik."
"Wah. Kapan kak?" tanyanya sumringah.
"Kayaknya minggu depan. Maka dari itu kakak mau berlatih nyanyi supaya tampil maksimal besok."
Kakak Melody mempunyai bakat bernyanyi sejak kecil. Dan dia menkadi siswi kebanggaan sekolah karena bakatnya itu.
Kini bakat itu mulai mengalir dalam diri gadis kelas enam sekolah dasar itu. Meskipun belum bisa memainkan alat musik, tapi dia sangat berantusias dengan semua hal yang berkaitan dengan musik.
"Aku mau ikut kak. Liat kakak tampil." Dia sangat berantusias. Senyuman pun tak pernah pudar dari wajah cantiknya.
"Boleh. Festival ini juga dibuka untuk umum kok."
"Kalo gitu nanti ke mall dulu ya kak," pintanya.
Segaris kernyitan tipis tercetak di kening gadis seragam putih abu-abu itu. "Ngapain?"
"Aku mau cari gaun yang bagus untuk nonton kakak."
Sang kakak terkekeh. "Yang tampil kakak kenapa kamu yang rempong sih?"
"Gak apa-apa dong kak. Ody kan pingin cantik juga kaya kakak."
Gadis itu tersenyum. Mengelus-elus rambut adiknya gemas. Walaupun sebentar lagi mau masuk SMP. Tapi kelakuan adiknya seperti anak berumur delapan tahun.
Dengan cepat Melody menyeka air matanya yang terjatuh. Mengingat kenangan itu mempuat hatinya pedih. Ingin kembali namun tidak bisa.
Melody menguatkan dirinya sendiri. Gadis itu hendak menyuapi Kenn kembali. "Udah lah Kenn. Mendingan sekarang lo makan lagi?"
Kenn menatap makanan itu dan Melody bergantian. Tangannya yang masih lemas mendorong sesuap bubur iti pada Melody pelan. "Jangan munafik, Mel. Gue tau, lo belum bisa move on dari musik."
"Lo seenaknya bilang gue munafik karna lo gak tau apa yang gue rasain, Kenn." Kini air mata Melody benar-benar luruh.
"Gue gak mau nyakitin lo, Mel. Gue cuma pingin lo sadar. Di hati lo masih ada musik kan?"
Melody menggeleng pelan.
"Dasar munafik."
Umpatan kenn itu membuat Melody menatapnya. Gadis itu menaruh buburnya pada nakas. "Gue pulang!"
Melody mengampil tas selempangnya. Keluar dari kamar Kenn dengan perasaan campur aduk.
Selama perjalanan turun ke tangga dia menghapus air matanya. Berharap Mama Kenn tidak melihatnya menangis.
Sementara itu di sisi lain, Kenn ikut merasa teriris. Sepertinya ia terlalu kasar kepada Melody. Gadis yang sangat ia sayangi.
"Maafin gue. Gue juga munafik, Mel. Gue gak berani ngungkapin perasaan gue sesungguhnya ke lo," ucap Kenn lirih, setelah Melody keluar dari kamarnya.
TBC
Sorry typo.
Maaf ya baru bisa update. Urusan di dunia nyata emang gak bisa di tinggalin.
Komen dan Votenya dong untung memotivikasiku buat bisa update part-part selanjutnya.
Budayakan jangan jadi silent raeders.
Salam author,
DellaRiana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top