Part 14 - Mengenang

Udah siap baca part ini?

Yuk dibaca.

Part ini aku revisi di bagian terakhir. Yang kemaren udah baca kalo gak mau baca ulang gak papa. Lanjut aja part selanjutnya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Rangkaian nada indah itu mengingatkanku kembali pada dia yang selama ini ingin ku lupakan.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


🍁🍁🍁


Kelas dimulai seperti biasa. Gitar duduk menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Cowok itu sama sekali mendengarkan guru yang sedang mengajar di depan. Kedua telinganya tersumpali headset, mendengar lagu favoritnya.

Untung saja dia bertukar duduk dengan teman sekelasnya, yang tadinya duduk di bangku depan, sekarang berpindah ke belakang dekat jendela. Jauh dari guru yang sedang mengajar.

Pikirannya saat ini masih berkecamuk rasa emosi tentang masalah tadi di kantin. Dan satu-satunya cara untuk menenangkan pikirannya adalah mendengarkan musik.

Sesekali Marvel menoleh ke belakang, melihat sahabatnya yang sedang mendengarkan musik. Namun, hal itu sudah menjadi pemandangan yang biasa baginya maupun teman-teman sekelasnya. Jika terkabut dalam rasa emosi Gitar memang selalu mendengarkan musik. Sebenarnya Marvel tidak suka dengan hal itu, seharusnya Gitar menghargai guru yang berada di depan. Tak peduli apapun masalahnya, yang namanya murid wajib memperhatikan guru yang sedang mengajar.

Pletak.

Lemparan yang cukup keras itu membuat Gitar melepaskan headset-nya. Cowok itu mengambil penghapus yang tadi mengenai kepalanya. "Siapa yang berani lempar gue pakek ini?" tanya Gitar sembari mengangkat penghapus tersebut ke udara.

"Ibu."

Sahutan itu membuat Gitar terdiam. Ternyata yang melemparnya dengan penghapus adalah bu Keke, guru bahasa Indonesia yang sedang mengajar di depan.

"Jadi selama tadi Ibu nerangin kamu gak perhatiin ya? Malah enak-enakkan dengerin musik? Pantesan saja kamu pindah duduk ke belakang. Sayangnya mata ibu masih terjangkau untuk melihat kamu, Gitar."

Pertanyaan sekaligus sindiran itu membuat Gitar bingung harus berkata apa. Jika dia mengatakan yang sebenarnya maka bu Keke akan mengejek bahwa dia cowok emosian.

"Maaf, bu."

Mungkin hanya kata maaf yang mampu Gitar ucapkan kali ini.

"Ada waktunya sendiri untuk mendengarkan musik, Gitar." Bu keke bicara tenang namun memasang wajah yang menakutkan. Seperti harimau yang ingin menerkam mangsanya.

"Emang kamu gak puas setelah tadi dua jam pelajaran sudah belajar seni budaya materi seni musik dari pak Samsul? Sampai-sampai dengerin musik di pelajaran ibu?" Bu Keke bertanya lagi. Guru itu paling tidak suka dengan siswa yang bertindak semaunya diri. Walaupun Gitar sudah berapa kali memperoleh piala untuk sekolah ini, yang namanya kewajiban ya tetap kewajiban. Dan kewajiban murid di sekolah ya belajar. Bukan bertindak semaunya sendiri.

"Yang penting saya gak berisik." Gitar tak peduli tatapan tajam dari bu Keke yang tersentak akibat ucapannya baru saja.

"Iya, kamu emang gak brisik. Tapi sikap acuh kamu terhadap pelajaran yang baru saja saya terangkan sangat mengganggu penglihatan saya."

Kalo gak suka gak usah liat, apa susahnya sih? Gitar menggerutu dalam hati.

Bu Keke menghela napas. Jangan sampai jam mengajarnya hari ini terganggu karena hanya satu siswa saja. "Kalo kamu gak suka pelajaran saja, silahkan keluar."

Nada pelan nan dingin itu begitu menusuk di indra pendengaran Gitar ataupun teman sekelas lainnya. Pasalnya bu Keke bukan guru yang suka marah-marah seperti guru lainnya. Kemarahan bu Keke hanya sebatas kalimat sindiran dan pengusiran yang begitu menusuk siapa saja yang mendengarnya.

Gitar berdiri dari tempatnya. "Baik, kalo gitu saya permisi. Sekali lagi maaf."

Cowok itu beranjak keluar kelas. Tak peduli jika nantinya ia mendapat poin negatif akibat membolos saat jam pelajaran berlangsung. Sebenarnya ini bukan juga disebut membolos, justru bu Keke sendiri yang menyuruh Gitar untuk keluar dari kelas. Daripada terus-terusan di dalam tapi tidak memperhatilan pelajaran, justru malah mengganggu pemandangannya.

Koridor sekolah nampak sepi. Jelas saja, semua kelas sedang berlangsung pelajaran seperti biasa. Gitar terus berjalan gontai menelusuri koridor. Ingin mencari tempat yang pas untuk disinggahinya saat ini. Gitar turun ke lantai dua, ingin menuju ke base camp Axellez. Mungkin itu satu-satunya tempat yang pas untuk dirinya menenangkan diri.

"Gitar!"

Dengan reflek Gitar menghentikan langkahnya, menoleh ke sumber suara. Seorang gadis berambut panjang yang di cat warna biru ujungnya itu melambai-lambaikan tangannya ke arah Gitar.

"Tumben banget jam segini lo keluar? Ke lantai dua lagi. Lo diusir ya?"

Rasanya sungguh menyesal Gitar menoleh. Ternyata yang memanggilnya adalah Zela. Meskipun dia mendapat laporan dari guru BK jika sikap Zela mengalami sedikit perubahan, tapi Gitar masih merasa risih dengan kehadiran gadis itu.

"Eh gue lupa. Lo kan murid teladan. Gak mungkin kan guru ngusir lo dari kelas?" Zela mengembangkan senyum andalannya. Meskipun terlihat ramah, tapi Gitar tahu jika itu hanya tak-tik nya semata agar bisa meluluhkan hati Gitar.

"Lo sendiri ngapain di sini?" Gitar balik bertanya. "Habis kena hukuman lagi?"

"Enggak. Justru gue habis nganterin buku ke kantor. Terus gak sengaja ketemu lo deh."

Gitar menatap manik Zela lekat. Tidak ada kebohongan sedikit pun di sana. Entahlah, harusnya ia bersyukur atas perubahan sepupunya itu. Dan semoga saja Zela serius ingin berubah. "Kenapa rambut lo masih di cat? Lo ngelanggar peraturan sekolah. Bukannya udah berulang kali ya, guru BK peringatin hal ini ke lo?"

Zela tersenyum mendengar penuturan Gitar. Gadis itu senang Gitar peduli padanya. "Ngilanginnya kan harus di potong. Gue gak suka ramput pendek. Kalo di cat hitam kan gak boleh."

"Poin lo tambah negatif kalo gitu."

"Biarin aja. Emang dari dulu gue terkenal murid bandel yang terkenal banyak poin negatifnya." Zela diam sejenak, lalu lepikiran sesuatu. "Oh iya, lo mau kemana? Kok tumben jam segini keluar? Mau panggil guru ya?"

Pertanyaan bertubi-tubi dari Zela membuat Gitar bingung harus berkata apa.

"Zela! Bu Intan udah masuk tuh!"

Zela membalikkan badan. Menoleh pada teman sekelas yang baru saja memanggil namanya. "Iya, bentar!"

Saking senangnya bertemu Gitar, Zela sampai lupa jika dia bersama temannya. "Gitar. Gue duluan ya."

Gitar hanya mengangguk. Setelah Zela pergi dia meneruskan langkahnya ke suatu tempat yang membuatnya nyaman saat ini.

🍁🍁🍁

"Gara-gara Willo lama nih. Gue jadi balik ke kelas sendiri." Melody menggerutu sepanjang perjalanan di koridor.

Walaupun pergantian jam masih kurang lima belas menit, namun kelasnya sudah selesai pelajaran olahraga. Guru pembimbing pun sudah memperbolehkan siawa-siswinya meninggalkan lapangan dan kembali ke kelas. Namun mereka masih memilih di lapangan. Ada yang bermain bulu tangkis, footsal, volly, dan kasti.

Tapi Melody memilih kembali ke kelas. Gadis itu tidak suka dengan yang namanya pelajaran olahraga, bukan karena ia ingin penyakitan, namun dia memang tidak bisa berolahraga. Olahraga yang Melody suka hanyalah lari. Apalagi jika lari dari kenyataan.

Melody tadi mengajak Willona agar ikut dengannya balik ke kelas, namun gadis itu menolak dengan alasan masih capek untuk berjalan karena habis bermain footsal.

Sungguh, Melody sendiri bingung dengan jalan pikiran teman-temannya. Mengapa mereka lebih memilih panas-panasan di lapangan? Sementara gurunya sendiri sudah memperbolehkan muridnya beristirahat.

"Liat aja nanti kalo nanti gue udah ganti mereka belum ganti. Pasti bakal kena omel bu Fani." Melody menyumpahi sembari meneruska langkahnya. Untung saja koridor sepi, jika ramai pasti orang-orang menilainya gila gara-gara ngomong sendiri.

Melody menghentikan langkahnya. Mendengar alunan musik yang menusuk di pendengarannya. Suara yang sama seperti alunan yang dimainkan orang pada masalalunya dulu.

"Suara itu?"

Melody berfikir menggantung. Tanpa berpikir panjang ia menoleh ke sumber suara. Oh, pantas saja dia mendengar suara musik. Rupanya saat ini dia sedang berdiri di depan ruang musik.

Entah mendapat keberanian dari mana tiba-tiba Melody melangkahkan kakinya untuk lebih dekat lagi. Dia mengintip dari celah pintu yang terbuka. Seorang laki-laki memainkan tuts-tuts piano dengan merdu. Sama persis seperti ďià.

"Siapa yang ngajarin dia sampai-sampai bisa bermain piano sebagus itu? Sama persis kayak yang pernah dimainkan ďià dulu." Melody bergumam kecil.

Andai saja dia juga ada di sini.

Suara itu berakhir seketika. Si pemilik tangan yang memainkan melodi indah piano itu berbalik. Rupanya dia adalah Gitar, vokalis Axellez. Melody yang mengetahui hal itu cukup terkejut. Rupanya selain bisa bernyanyi, Gitar juga bisa memainkan alat musik yang begitu terdengar merdu di pendengaran.

Cewek itu mundur beberapa langkah. Melihat Gitar menoleh ke arah pintu. Memberi jarak supaya tak terlihat. Melody ingin melanjutkan langkahnya kembali. Namun sialnya ia hampir terjatuh karena kakinya terlilit oleh tali sepatunya yang lepas.

"Untung gak jadi jatuh." Melody berjongkok. Membenahi tali sepatunya yang terlepas. Gadis itu sering sekali hampir terjatuh seperti ini. Soalnya Melody tidak suka menali tali sepatunya terlalu kencang.

"Akhirnya selesai juga."

Melody tersenyum lega. Ia berdiri ke posisi semula. Bersamaan dengan itu ada suara pintu terbuka.

"Lo ngapain di depan sini?"

Melody menelan salivanya. Ia kehilangan kata-kata mendengar suara Gitar yang menusuk baru saja. Pasalnya masalah di kantin tadi belum terlalu membaik, masa ada masalah baru lagi sih?

Gitar mengibas-ngibaskan tangannya di depan Melody. "Woy, gue tanya sama lo. Jangan diem aja? Mendadak bisu setelah masalah di kantin tadi?"

Melody menghela napas kasar. Setelah merasa cukup mengumpulkan keberanian, cewek itu mulai membuka suara. "Gue ke sini cuma lewat. Lagian ini kan ada di lantai dua. Koridor anak kelas sebelas."

"Harus pas banget ya? Berdiri di depan base camp gue?!"

"Tadi tali sepatu gue lepas. Jadi gue benerin deh. Gue juga gak sadar kalo berhentinya di depan base camp Axellez."

Tak sepenuhnya berbohong bukan? Niat utamanya ya melihat siapa pemilik tangan yang memainkan tuts-tuts piano yang begitu terdengar indah. Setelah mengetahuinya, ia hendak kembali. Namun sebelum itu Melody memperbaiki tali sepatunya yang terlepas dan hampir membuatnya jatuh.

"Gak ada maksud lain?" tanya Gitar penuh selidik. Entah sepertinya cowok itu senang melihat lawan bicaranya mati kutu akibat pertanyaan bertubi-tubi darinya.

"Gue gak ngerti deh sama jalan pikiran lo. Isinya negatif semua tentang gue." Ingin rasanya Melody melempar muka sok wibawa Gitar itu dengan sepatu miliknya. "Jangan-jangan soal maafin gue sama sahabat gue di kantin tadi lo gak ikhlas ya?"

"Emang iya. Gue ngomong gitu biar masalah cepet clear."

Sudah Melody duga sebelumnya. Bagaimana mungkin Gitar vokalis Axellez yang sangat angkuh itu memaafkannya semudah itu. Apalagi Gitar sudah mandang tidak suka Melody sejak awal mereka bertemu.

"Gitar, lo di sini ternyata."

Suara gadis yang baru saja datang itu membuat keduanya menoleh.

"Melody, lo di sini juga?"

Melody tersenyum kaku mendengar perkataan Viola yang tercenung melihat keberadaannya di sini. "Cuma lewat doang kok, Kak."

"Oh, gue kira lo habis latihan musik bareng Gitar."

Baik Melody maupun Gitar sama-sama terkejut mendengar perkataan Viola. Bagaimana mungkin ia berlatih musik bersama cowok yang menyebalkan seperti itu?

Viola tidak sendirian. Ia bersama Rebbeca sahabat baiknya. Rebbeca yang tadinya diam. Kini ikut membuka suara. "Gi, ada berita bagus. Nanti malem Axellez bisa tampil di kafe milik om gue. Om gue suka sama postingan baru kalian di youtube."

"Alhamdullilah." Wajah Gitar terlihat bahagia. "Thank ya, Ca."

"Sama-sama." Rebbeca mengulas senyum di wajahnya. "Yang penting jangan lupa traktirannya kalo udah gajian."

"Iya-iya."

Merasa menjadi obat nyamuk doang dalam pembicaraan mereka, Melody membuka suaranya kembali. Berniat kembali ke kelasnya.

Melody berdehem sebelum memulai pemicaraan. "Kakak-kakak, gue ke kelas dulu ya."

"Ke kelas ya ke kelas aja kali. Gak usah izin segala!" Ucapan Gitar begitu menusuk di pendengaran Melody.

"Gitar?" Viola memperingati dengan menyenggol lengan cowok itu. Tak seharusnya Gitar bersikap seperti itu terhadap Melody. "Hati-hati ya, Mel." Viola tersenyum ramah pada Melody.

"Kaya mau ke mana aja, Kak. Orang kelasnya udah deket." Melody ikut terkekeh. Kemudian gadis itu pergi dari sana.


TBC

Sorry typo.

Menurut kalian semakin ke sini feel-nya dapet gak sih?
Kok aku kaya berasa aneh gitu ya?

Jangan bosen-bosen ya baca cerita ini. Konfliknya belum dimulai, jadi masih datar-datar aja gitu. Beberapa part lagi bakal ada konflik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top