Part 12 - Andai Saja

Sebelumnya minta maaf karena baru bosa update. Typo koreksi.

                 *Happy Reading*

     

***

Nyatanya kita ini hanyalah hubungan tanpa timbal balik. Disatu sisi aku berjuang untuk mendapatkan hatimu, namun disisi lain, kamu hanya menghargai perjuanganku agar tidak melukai hatiku.
 ***

                             🍁🍁🍁

Cowok itu duduk di tepi danau yang jaraknya tak terlalu jauh dari base camp. Ia mendongak, menatap gumpalan awan. Langit pun mulai tampak jingga, namun cowok itu tak kunjung pulang.

Tangannya meraih batu kecil yang berada di sampingnya. Melempar-lempar kecil ke air danau. Sampai air danau itu terpecik ke udara.

"Lo di sini ternyata."

Tangannya membuang batu yang lumayan besar dengan keras. Kali ini percikan air melambung tinggi diiringi dengan suara khasnya.

Dia langsung menoleh ke samping. Melihat gadis yang baru duduk di sampingnya. "Vi, kok lo di sini?"

"Emangnya gak boleh?"

"Bukannya gitu." Gitar tak ingin Viola salah paham. Cowok itu menghela napas, lalu melanjutkan perkataannya. "Aneh aja gitu, lo kan cewek. Emang gak dicariin nyokap bokap lo?"

Senyuman simpul terulas di wajah Viola. Menambah kesan manis gadis itu. "Gue udah gede kali. Kaya anak kecil aja main dicariin segala."

"Bagaimana pun lo itu cewek, Vi. Gak baik kalo pergi sendiri."

"Gue gak papa, Gi. Selama ada lo, gue pasti aman. Karna gue yakin, lo akan selalu melindungi gue."

Setiap masalah yang dialami oleh Viola, gadis itu selalu dibantu oleh Gitar. Mungkin orang lain menilai bahwa Viola terlalu memanfaatkan Gitar, karena Gitar menyukainya. Namun nyatanya tak begitu, Gitar sendiri yang memaksakan diri untuk tetap berada di sisi Viola. Saat Viola putus dari pacarnya, Gitar ada di sisinya. Menghiburnya dari kesedihan.

Gitar sendiri tak perduli omongan orang lain tentangnya. Walaupun dia sering dibilang budak cintanya Viola oleh sahabat maupun Zela. Namanya juga hati, tak bisa berpindah dalam waktu yang relatif singkat.

"Vi, liat deh. Senja itu indah ya." Gitar tersenyum, memandang langit yang sudah kemerah-merahan.

Viola ikut menatap senja. "Indah sih. Tapi cuma sesaat. Gue pinginya indah yang selamanya." Gadis itu menjeda perkataannya. "Meskipun senja datang setiap hari, dia hanya datang sebagai sebuah jati diri. Dan gak bisa kita nikmati di siang hari."

Seperti halnya lo, Vi. Lo itu kaya senja. Keindahan sesaat yang gue miliki. Meskipun lo dateng setiap hari, tapi lo dateng karna menghargai gue sebagai sahabat lo. Gak lebih.

Perlahan, langit mulai tampak gelap. Matahari tenggelam di arah barat. Burung yang tadinya berterbangan kini sudah tidak ada lagi.

''Udah malem. Yuk pulang." Gitar berdiri dari tempatnya.

"Ini juga mau pulang. Udah gelap soalnya." Viola ikut berdiri.

"Gue anter lo balik ya?" pinta Gitar.

"Emang lo ke sini naik apaan?"

"Motor." Gitar menjawab dengan kilat. "Lo gak papa kan kalo kita naik motor?"

"Itu malah seru. Gue bisa menghirup udara malam sepuasnya." Viola tersenyum, dengan kedua tangan yang ia rentangkan. Hal itu membuat Gitar tersenyum. Viola selalu punya daya pikat yang membuat Gitar tak bisa melupakan gadis itu.

Mereka berjalan beriringan menuju di mana motor Gitar di parkirkan. Gitar sangat peka terhadap Viola. Cowok itu membuka jaketnya dan memakaikannya pada Viola agar gadis itu tidak kedinginan.

Viola yang merasakan benda hangat yang menyentuhnya langsung tersenyum. Dia beruntung sekali kenal dengan Gitar. Pria romantis yang penuh dengan pesona. Tapi entah mengapa Viola tak bisa menganggap Gitar lebih dari seorang sahabat. Atau mungkin kah Viola belum bisa melupakan mantan pacarnya?

Jemari Gitar mengambil helm yang dikaitkan pada spion. Cowok itu sengaja membawa helm dua. Karena dia sudah memperkirakan sebelumnya, bahwa hal seperti ini akan terjadi. Dia memakai helm di kepalanya. Lalu memakaikan pada kepala Viola.

Gitar menaiki motornya, dengan Viola di boncengannya. Gadis itu melingkarkan tangannya di perut Gitar.

"Sudah?" tanya Gitar.

"Sudah."

"Turun."

"Ih Gitar, ini belum nyampe." Viola merengek kesal.

Gitar terkekeh. Dia mengamati ekspresi Viola dari kaca spion. Sangat lucu dan menggemaskan. Motornya melaju membelah jalanan malam yang cukup ramai. Dia sungguh menikmati hal ini. Detik-detik setiap bersama Viola. Apalagi ketika gadis itu menyenderkan kepala pada punggungnya membuat hatinya tambah berdesir.

Andai saja hal ini terjadi selamanya.

                            🍁🍁🍁

Pagi ini Melody datang ke sekolah dengan wajah yang lebih fress. Pasalnya kemarin ia tak kena marah kedua orangtuanya saat mengetahui sikutnya terluka. Beruntung Kenn membantunya bicara pada orangtuanya.

Beberapa cowok menatapnya dengan tatapan kagum. Pasalnya gadis itu tampil cantik alami tanpa polesan make up apapun di wajahnya.

"Napa lo liat-liat. Mau dicolok mata lo!"

Para cowok yang di koridor itu mendesah, lalu pergi dari sana. Meneruskan langkah mereka ke kelas masing-masing.

Pasalnya ucapan Kenn barusan sungguh menganggu indra pendengaran mereka. Sikap Kenn yang posessive seolah-olah dia adalah kekasih Melody yang tak ingin cowok lain menatap wajah cantik gadisnya.

"Apa-apaan sih lo, Kenn?" Melody menyentil bahu Kenn. Dia tidak suka dengan ucapan Kenn yang membuat para cowok itu takut.

"Ody, gue tuh lindungin lo. Tatapan mereka ke lo tuh gak beres."

"Otak lo tuh yang gak beres." Melody berjalan duluan. Meninggalkan Kenn dengan mempercepat langkahnya.

"Ody, tungguin woy!"

Sekarang Kenn ikut-ikutan seperti Ayah dan Bundanya Melody yang memanggil gadis itu dengan sebutan Ody. Pada dasarnya selama hampir 16 tahun bersama, baru kali ini Kenn memanggil Melody dengan panggilan itu. Waktu kecil Kenn selalu saja memanggil Melody dengan nama Caramelo.

Setiba di kelas Melody menghembuskan napas lega. Kali ini Kenn tidak mampir dulu ke kelasnya. Sebab cowok itu sibuk harus menyalin terlebih dahulu jawaban pekerjaan rumah milik teman sekelasnya. Kenn merupakan tipekal cowok yang malas mengerjakan tugas rumah dari guru. Jadi dia memilih mengerjakannya di sekolah. Walaupun menyontek tetep saja namanya mengerjakan, kan?

Lagipula jika ia mengerjakan di rumah maka waktu istirahatnya terpotong untuk mengerjakan tugas tersebut. Makanya ia memilih tidur lebih awal dan berangkat pagi ke sekolahan untuk mengerjakan tugasnya. Daripada ia harus lembur malah di sekolah gak fokus belajar karena menahan kantuk.

"Melody itu kening lo udah sembuh?" tanya Willona sembari menaruh tasnya ke kursi.

Melody mengangkat bahu. "Seperti yang lo liat."

Walaupun masih ada sedikit bekas, tapi lukanya sudah mengering. Buktinya Melody sudah tak memakai handsaplas pada keningnya. Untung saja poni Melody panjang, bisa ia jadikan untuk menutupi bekas lukanya.

"Eh, itu tangan lo kenapa? Jadi lukanya pindah ke tangan sekarang?" Willona menatap curiga, meminta penjelasan dari sahabatnya.

"Ini luka kemaren di taman. Gue kesandung aspal, jatoh, terus luka deh."

"What! Kok bisa sih?" Willona berteriak histeris.

"Willo! Suara lo dikondisiin dong. Kita jadi terganggu nih," adu teman sekelas mereka yang duduk dibangku belakang. Mereka berkumpul menonton drama korea di bangku barisan belakang. Merasa terganggu dengan suara Willona barusan. Memang jika terkejut Willona akan mengeluarkan suara seperti petasan lebaran.

Seketika Willona menoleh ke belakang, menatap teman sekelasnya yang juga menatapnya dengan pandangan kesal. "Sorry."

Willona kembali menatap Melody, menunggu gadis itu mengatakan sesuatu. Willona merupakan tipekal gadis yang ingin tahu. Jika ia memikirkan sesuatu yang ia belum tahu jawabannya, pasti ia kepikiran dan tidak fokus untuk belajar.

Melody berdehem. Gadis itu memulai pembicaraan dari awal. Menceritakan sedetail-detailnya. Dari awal saat ia melihat Gitar dikrumuni para fans, sampai akhirnya ia terluka karena terjatuh mencoba mengejar Gitar. Melody pun menceritakan juga kebaikan Marvel padanya. Hingga Kenn datang menjemputnya pulang.

"Serius kak Gitar ninggalin lo?" Willona sungguh tidak percaya apa yang dikatakan Melody barusan. Masa iya sih, sang idolanya setega itu kepada sahabatnya?

"Ya iyalah, masa gue bohong." Melody mengerucutkan bibirnya. "Mana gue harus bohong lagi sama Ayah, Bunda. Takut mereka khawatir sama gue kaya dulu."

Penuturan Melody baru saja membuat ambigu sendiri bagi Willona. Memangnya dulu Melody kenapa sampai-sampai kedua orangtuanya khawatir padanya walau hanya sikut tangan yang terluka?

Belum sempat Willona menanyakan hal itu, guru terlebih dahulu masuk ke dalam kelas setelah beberapa menit yang lalu bel masuk berbunyi. Kelas yang tadinya bising mendadak hening. Kedatangan Pak Guru mata pelajaran fisika.

"Selamat pagi."

"Pagi, Pak....." murid kelas itu menjawab kompak sapaan yang dilontarkan guru tersebut.

"Sekarang buka buku kalian. Coba kerjakan halaman 78 latihan satu titik 2. Itu merupakan contoh soal koordinat titik berat yang kalian baca dan pahami dipertemuan minggu kemarin. Sekarang coba kerjakan, dan nanti dikumpulkan," ucap pak guru itu.

"Iya pak." Dengan perasaan sedikit dongkol murid kelas itu mengangguk.

Sebenarnya mereka sama sekali tidak mengetahui bagaimana cara penyelesaian soal tersebut. Pasalnya pada pertemuan minggu kemarin pak guru hanya menyuruh membaca dan memahami sendiri tanpa menjelaskannya terlebih dahulu.

Dan hari ini baru masuk saja sudah diberikan soal. Padahal guru itu belum menjelaskan tiap-tiap rumus untuk menjadi penyelesaian soal tersebut.

Memang benar ya kata orang-orang. Guru jaman sekarang pada semaunya sendiri jika mengajar. Di sekolah bisa nyantai karena hanya memberi muridnya tugas, jika jamnya sudah habis ya tinggal pulang ke rumah. Makanya ada istilah makan gaji buta.

Tapi tidak semua guru seperti itu sih. Ada yang melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Contohnya saja guru kimia. Guru ramah yang disukai anak kelas tersebut, termasuk Melody. Ibu guru ini selalu menjelaskan terlebih dahulu sedetail-detailnya rumus-rumus penyelesaian yang ada di buku. Jadi murid kelas itu maksud.

"Mel, ajarin gue dong. Gue gak bisa," ucap Willona berbisik.

"Mana gue tau. Lo tau sendirikan, pelajaran sains yang gak gue masuk ya fisika. Ditambah lagi gurunya kaya gitu."

Entah dari gurunya atau memang dirinya sendiri, dari kelas sepuluh Melody memang tidak bisa memahami satu pun rumus-rumus fisika. Kadang ia sempat berfikir bahwa ia salah masuk jurusan. Dia sendiri juga tidak tahu apa yang membiat hati nuraninya memilih jurusan IPA dulu saat mendaftar di sekolah ini.

"Gue tanya mbah google aja deh."

Melody berdehem, menanggapi ucapan Willona. "Entar gue nyontek lho."

"Iya-iya."

Bukan hanya Willona atau Melody yang melihat jawaban di google. Murid kelas tersebut yang lainnya pun sama. Masa bodo dengan guru yang berada di depan. Toh gurunya juga nyantai dan malah mainan hape juga. Jadi jangan salahkan muridnya jika mengikuti jejak gurunya.

"Bapak tinggal ke kantor dulu. Nanti bukunya di kumpul di kantor ya."

Suara pak guru mengagetkan semuanya. Untung saja tidak ketahuan kalau mereka buka hape. "Iya pak," jawab semuanya kompak.

Setelah pak guru keluar mereka semua menghembuskan napas lega. Bagaimana tidak makan gaji buta coba, jam mengajar belum habis sudah keluar duluan.

                                TBC.

Maaf ya part ini pendek. Bukannya author mager nulis apa gimana. Tapi author nulis ini pada saat daya ponsel sedang kritis. Daripada hapenya lobet mending aku stop aja sampai di sini. See you 🙃.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top