Part 1 - Perayaan Kemenangan
Gitar Exel Julian
🍁🍁🍁
Adakalanya aku membutuhkan musik yang berisik, berontak, memberangsang, tapi membuat hati senang.
🍁🍁
Kelima cowok itu duduk-duduk santai di basecamp, sesudah menaruh piala di kantor sekolah. Mereka sudah menjadikan ruang musik sebagai basecamp sendiri di sekolah. Tidak sembarangan orang boleh masuk ke sana. Hanya anggota band Axellez, pelatih, dan guru pembimbing.
Ruangan itu penuh dengan alat musik. Yang paling banyak adalah alat musik gitar. Ruangan yang tadinya tempat penyimpanan alat musik itu diubah menjadi tempat modern oleh band Axellez.
"Gak nyangka, ya, kita juara satu berturut-turut." Tristan membuka suara, disertai senyuman hangat di wajahnya.
"Bagus dong. Itu tandanya gak ada yang bisa nandingin suara bagus Gitar." Milo menimpali, sembari menyandarkan punggungnya pada kursi. "Iya gak, Gi?"
Milo itu bertanya pada Gitar. Namun vokalis band Axellez itu hanya memandangnya datar. Gitar biasanya merasa senang jika dipuji orang.
Cowok bernetra cokelat itu memandang keempat wajah temannya secara bergantian, lalu memulai topik pembicaraan baru. "Kalian tau nggak? Cewek yang ada di depan kelas 11 IPA 1 tadi?"
Segaris kernyitan tipis terlihat di dahi mereka berempat. Tidak biasanya Gitar menanyakan tentang perempuan. Apalagi yang ditanyakannya seorang adik kelas.
"Maksud lo gadis rambut sebahu yang tadi salaman sama gue?" Marvel memastikan. "Kalau gak salah namanya, Willona," lanjut Marvel, lalu memetik senar gitar yang beberapa menit yang lalu digendongnya.
"Bukan itu. Temennya." Gitar menjelaskan dengan kilat.
"Oh, maksud lo temennya cewek rambut sebahu yang sombong itu?" Menurut Derby, gadis rambut coklat bergelombang yang ditemuinya tadi terlihat angkuh.
Biasanya para siswi akan meneriaki nama mereka jika berjalan di koridor. Namun, nyatanya ada gadis kelas sebelas yang tidak merespon kedatangan mereka berempat.
Jangankan menyapa dan mengucapkan selamat, memberi senyum aja tidak. Apakah mungkin gadis itu sedang sariawan?
"Kalau gak salah namanya Melody. Dia itu anak UKS. Gue sering lihat dia tugas UKS di barisan belakang peserta setiap upacara." Milo menimpali.
Melody. Nama itu Gitar ingat baik-baik. Baru pertama kali ada seorang gadis yang sombong padanya. Apalagi gadis itu hanyalah seorang adik kelas.
"Emang kenapa, Gi, lo tanya tentang tuh cewek?" Marvel bertanya, sembari meletakkan gitar kembali di tempat semula.
Gitar menggeleng. "Gak papa. Heran aja gitu, ada cewek yang biasa aja ketika Axellez lewat."
Keempat teman Gitar mengangguki. Dia adalah gadis yang berbeda. Mereka baru pertama kali menemukan gadis yang seperti itu. Dan sepertinya gadis itu bukan salah satu fans Axellez.
Mereka melupakan pertanyaan yang terus menggantung di pikiran masing-masing. Ini adalah hari kemenangan untuk band Axellez. Bukan waktunya untuk membahas orang lain. Lebih baik membahas tentang kemenangan yang sudah mereka raih selama tiga tahun berturut-turut.
''Bro, buat merayakan kemenangan kita, gimana kalau nanti malem kita adain pesta kecil-kecilan?" Derby memberi usul.
Sudah menjadi rutinitas band mereka jika meraih kemenangan pasti mengadakan perayaan, yang hanya beberapa orang saja yang diundang. Perayaan ini bukan perayaan resmi dari pihak sekolah. Ini inisiatif dari mereka sendiri.
"Kayak jailangkung aja lo, pesta kecil-kecilan." Milo menyahut dengan kilat.
Mereka berempat memutar bola matanya malas. Seidiot itukah sahabatnya ini?
Merasa gemas sekaligus geram, Derby menyentil telinga Milo. "Bukan itu bodoh. Maksud gue kayak sejenis pesta ulang tahun gitu lho. Tapi kita batasi siapa orang yang datang."
Milo mengangangguk paham. Sebenarnya dia juga sudah mengetahuinya dari awal, tapi dia hanya bercanda agar temen-temannya terhibur.
Bukannya tertawa, keempat temannya malah melototinya tajam. Lebih baik Milo mengalah dengan dianggap idiot oleh temannya, daripada menyahut yang akhirnya dia mendapat sentilan dan toyoran dari keempat temannya.
"Gue setuju usulan lo, Der." Tristan mengangguk setuju. "Tapi tempatnya di mana?"
Mereka diam untuk berpikir sejenak. Jika merayakan kemenangan dengan berlibur di pantai, atau makan-makan itu sudah biasa. Kemenangan hari ini harus dirayakan di tempat yang berbeda.
"Gimana kalo di club aja?" usul Milo.
"Gue nggak setuju." Marvel menimpali dengan kilat. "Apa-apaan perayaan di club! Pasti banyak cewek-cewek centil, asep rokok di mana-mana. Dan itu tempat yang paling gue hindari."
"Gak asih lo, Vel. Sekali-kali lah nakal dikit. Ini juga demi band kita." Derby menimpali." Gue gak maksa kok. Kalau lo gak mau minum atau joget-jogetan di sana, lo tinggal duduk aja ngumpul sama kita-kita." Cowok itu memberi saran. Supaya Marvel setuju dengan ide Milo. "Gimana, Vel?"
Marvel mengangkat bahunya tak acuh. "Terserah."
Ini pertama kalinya Marvel mengikuti ucapan sahabatnya. Sebenarnya dia malas sekali pergi ke club. Apalagi jika ketahuan orang tuanya.
"Kita semua sewa club punya om gue aja." Tristan mengutarakan pendapatnya. "Ceweknya kita undang Viola sama temen-temennya. Terus sama fans sejati kita yang udah lama. Gimana, Gi?"
Gitar yang merasa terpanggil pun menoleh. "Gue setuju sama pendapat lo. Nanti kita undang mereka di grup chat pribadi Lovelez."
Lovelez merupakan nama untuk fans band Axellez. Kumpulan para fans itu sudah terbentuk tiga tahun yang lalu. Sejak pertama mereka mengikuti ekstrakulikuler. Tadinya eskul band di sekolah ini tidak berjalan dengan mulus.
Namun, setelah adanya Axellez, eskul band menjadi eskul favorit. Sehingga sering mengikuti lomba. Dan akhirnya memperoleh juara. Maka dari itu murid sekolah ini sangat mengidolakan band mereka. Kepala sekolah dan guru lain pun sama.
🍁🍁🍁
Dentuman musik terdengar cukup keras. Dengan penerangan minim dan lantai dansa yang berkelap-kelip membuat suasana menjadi ramai di sana.
Mereka menyewa club di salah satu hotel bintang lima. Club itu milik Omnya Tristan, sang keyboardist Axellez. Musik DJ mengalun membentuk irama berisik, membuat orang yang di sana tertawa sembari berdansa ria.
Seperti pembicaraan mereka tadi siang, tamu yang datang untuk menghadiri perayaan kemenangan Axellez hanya orang-orang terdekat, dan juga beberapa fans band mereka sejak lama.
Mereka duduk di bar. Menikmati perayaan malam ini, sembari melihat orang-orang yang meliak-liukkan tubuh mereka.
"Pengab, Bro." Gitar mengibas-ngibaskan tangannya di depan hidung. "Lo kalau ngerokok jauh-jauh deh dari gue." Gitar terbatuk-batuk.
"Sorry, Bro." Derby mematikan punting rokoknya. "Makanya lo juga ikutan ngerokok dong, biar kita terbatuk bersama."
"Lo mau bikin nama gue tercemar?"
Gitar tidak suka yang namanya merokok. Dia pernah mencoba nikotin itu sekali, dan di pagi harinya suaranya serak. Sehingga waktu itu dia tidak ikut kompetisi nyanyi. Mulai sejak itu Gitar tidak pernah menyentuh lagi zat nikotin itu.
Hampir semua anggota Axellez merokok. Kecuali Gitar dan Marvel. Disaat semua orang yang di sana meminum vodka atau wine yang mempunyai kadar alkohol tinggi. Vokalis dan gitaris band Axellez itu memilih meminum bir, minuman yang mempunyai kadar alkohol rendah. Gitar menghindari minuman alkohol karena dia tak ingin merusak suaranya, sedangkan Marvel karena dia tak ingin mengandung efek yang nantinya membahayakan orang lain.
"Tristan, lo udah hubungin Kak Kaiden belum?" Marvel bertanya sembari menaruh gelas bir-nya ke meja.
Cowok yang sedang menuangkan wine ke dalam gelas itu menoleh sebentar. "Udah. Nanti dia juga ke sini kok."
Tristan menenggak minuman itu. Ini sudah gelas keempatnya. Marvel yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala.
"Hati-hati lo. Entar mabok." Marvel memperingati.
"Tenang aja, Bro. Gue udah kebal sama yang beginian." Cowok itu kembali menuangkan minuman pada gelasnya.
"Woy, udah rame aja nih tempat."
Mereka berlima menoleh ke sumber suara. Yang baru saja datang adalah pelatih mereka, Kaiden. Cowok itu baru saja pulang dari kampus. Memang akhir-akhir ini dia sibuk mengurusi sidang skripsi, sehingga dia jarang bergabung dengan anak didiknya yang dia anggap sebagai teman.
Kaiden sendiri adalah alumni sekolah yang sama seperti Gitar dan keempat kawannya. Dia tadinya juga vokalis band yang dibentuk saat eskul musik diadakan kembali di sekolah. Namun band yang Kaiden buat tidak sepopuler Axellez seperti sekarang, karena dulu band yang ia buat hanya bisa meraih juara harapan saja. Dan saat dia lulus SMA, eskul band di sekolah mengalami penurunan. Namun sekarang sudah maju, karena adanya Axellez.
"Dateng juga lo." Milo menepuk-nepuk kursi di sampingnya. Menyuruh Kaidan untuk duduk.
"Iyalah. Sekalian refresing buat otak." Cowok berusia 22 tahun itu menuangkan bir ke gelas, lalu meminumnya. Sama seperti Gitar dan Marvel, Kaiden tidak suka minuman yang mempunyai kadar alkohol tinggi.
"Gimana kuliah lo?" tanya Gitar.
"Lagi sibuk gue ngerjain skripsi." Kaiden mengambil jurusan persenian di universitas terkenal di Jakarta. Sudah menjadi cita-citanya sejak kecil untuk menjadi seorang pemusik.
"Gi, lihat tuh kelakuan sepupu lo." Tristan menunjuk ke arah lantai dansa. Seorang gadis dengan pakaian mini meliak-liukkan tubuhnya. Gadis itu berdansa sembari memegang botol di tangannya. Dia menenggaknya lalu mengangkat botol itu ke udara. Gadis itu asik dengan dunianya sendiri, sampai tidak menyadari jika dirinya menjadi pusat perhatian.
"Zela memang gila." Gitar tak habis pikir dengan sepupunya. Bisa-bisanya dia terus berdansa padahal banyak laki-laki yang berada didekatnya. Beberapa laki-laki ada yang sengaja mencolek tubuhnya yang seksi, namun gadis itu menghindar.
"Hai cewek," ucap seorang cowok begitu dekat di telinga Zela. "Sendirian aja nih?"
Zela merasakan adanya tangan yang mengelus lengannya. Cowok itu menganggu malam baiknya sekarang. Dengan cepat Zela menghempaskan tangan cowok itu. "Minggir!"
Zela menghampiri Gitar dengan sempoyongan. Cewek itu memeluk Gitar. "Gue digangguin cowok itu, Gi."
Gitar mendorong tubuh Zela agar menjauh darinya. "Lo udah habis berapa vodka? Kalo bokap lo tau gue yang bakal disalahin, Zel."
"Gue juga suka sama lo, Gi." Bukannya merespon ucapan Gitar, Zela malah melantur.
"Malah nglantur nih cewek." Derby mengeleng-gelengkan kepalanya.
"Jangan tinggalin gue, Gi." Zela kembali memeluk Gitar. Namun seketika dia di dorong seseorang hingga jatuh ke lantai.
"Apa-apaan lo!" Viola datang bersama Rebbeca. Gadis itu memandang tidak suka pada Zela yang terus saja menganggu Gitar. Maka dari itu Viola mendorong Zela.
"Gitar itu sepupu lo, Zela. Walaupun sepupu agak jauh, lo tetep keluarganya Gitar. Gak pantes lo suka sama dia!" Viola memarahi Zela. Sudah berapa kali dia peringatkan, namun sepupu Gitar itu tidak terpengaruh sama sekali.
Zela menegakkan badannya kembali. Gadis itu sedang mabuk berat. Dia malah terkekeh dengan ucapan Viola. "Lo sirik ya. Karena gue lebih cantik dari lo. Takut kalo Gitar suka sama gue?"
Viola menggeram kesal. Ingin sekali dia mencakar-cakar wajah Zella. Namun dengan sigap Rebbeca mencekal tangan Viola agar hal itu tidak terjadi. "Jangan ngeladenin gadis gila ini, Vi. Kalo lo bertindak, sama aja lo gilanya kaya dia," bisik Rebbeca tepat di telinga Viola.
Zela memegang kepalanya yang terasa pening. Mungkin akibat minum terlalu banyak alkohol. Merasa tidak kuat lagì, gadis itu bersandar pada Milo. "Pusing."
"Eh ... eh. ngapain lo nglendot sama gue uler kadut? Minggir sana lo?" Milo merasa risih dengan Zela yang menyender padanya.
Gitar justru malah terkekeh. Dia senang melihat Milo yang diganggu Zela. "Tris. Kunci."
Tristan menyerahkan kunci kamar hotel pada Gitar.
"Anterin dia di kamar." Gitar melempar kunci itu pada Milo, dengan sigap cowok itu menangkapnya. "Selamat bersenang-senang, Bro. Hahaha." Gitar terkekeh.
"Bersenang-senang ndasmu. Ini terakhir kalinya lho, Gi, gue bantuin lo ngurusin nih cewek."
Milo memapah Zela, ingin membawanya ke kamar hotel sesuai perintah Gitar. Sudah sering dia memantu Gitar untuk mengurus cewek itu jika Zela mabuk karena terlalu banyak minum alkohol.
Mereka kembali duduk ditempat semula setelah tidak ada Zela. Rebbeca ikut bergabung dan mengobrol bersama anggota band Axellez yang lain. Sedangkan Viola duduk dengan Gitar yang jaraknya agak jauh dari kawannya.
"Gue pikir lo gak dateng."
Viola menoleh seraya tersenyum pada Gitar. "Ya datenglah. Gak mungkin gue ngelewatin perayaan kemenangannya Axellez."
"Mau minum?" tawar Gitar.
Gadis itu menggeleng. "Enggak ah. Nanti gue mabuk lagi. Terus lo macem- macem sama gue."
"Gue gak akan setega itu, Vi."
"Gue percaya kok, Gi." Viola menepuk bahu Gitar. "Gue cuma bercanda."
Hubungan mereka memang dekat. Layaknya sepasang kekasih. Mungkin jika tadinya Viola tidak berpacaran dengan anak sekolah lain Gitar dan Viola sudah menjadi kekasih. Walaupun Viola sudah putus dengan kekasihnya itu, hubungan mereka hanya sebatas teman saja. Tidak lebih dari itu.
"Gue bangga sama lo, Gi. Lo hebat, bisa mengharumkan nama baik sekolah."
"Makasih, Vi. Ini semua berkat lo yang selalu ngedukung gue."
"Berkat orang tua lo juga, Gi. Sama fans lo itu." Viola menambahi.
"Itu juga sih. Gue bersyukur banget. Nyokap bokap gue ngedukung gue buat jadi musisi." Setiap langkah kesuksesan Gitar selalu ia dapat karena doa dari kedua orang tuanya. Mereka tak melarang kemauan Gitar, yang penting anak semata wayangnya itu tidak terpengaruh oleh dampak negatif.
"Besok sekolah gue jemput l,o ya?" pinta Gitar.
"Gak usah repot-repot, Gi. Gue bisa berangkat bareng Beca. Kalo gue ikut lo, tuh cewek berangkat bareng siapa coba?" ujar Viola disertai kekehannya.
Gitar hanya bisa pasrah ketika cewek itu tidak mau berangkat bersamanya. Padahal ia rindu mengantar-jemput Viola ketika cewek itu belum pernah berpacaran.
TBC
A/N
Sorry jika part 1 kurang dapet feel-nya. Author sibuk banget ini, soalnya udah mulai sekolah lagi. Maaf jika ada typo yang bertebaran. Jangan lupa vote dan komennya guys.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top