Ending
Gak nyangka nih, mau selesai.
Absen dulu yuk! Kalian nemu cerita ini dari mana?
Pembaca baru jangan lupa follow dulu ya! (Wajib)
Jangan lupa dukung dengan vote dan komentar yang banyak!
Jangan silent readers! Yang siders nanti pantatnya bisulan.
Udah siapin hati?
Play list kamu|| Rindu Dalam Hati ~Arsy & Brisia.
Happy Reading
🍁🍁🍁
Cinta itu bukan alasan untuk bersama. Menjaga setulus hati dan saling melindungi itu cinta yang sederhana, tanpa perlu menjalin status dengannya.
🍁🍁
Di ruangan serba putih itu, Gitar membuka matanya, pandangan pertama yang dia lihat adalah Melody.
"Syukurlah udah sadar."
"Aku gak pingsan, Mel. Cuma sedikit ketiduran." Gitar merubah posisinya menjadi duduk.
"Dasar. Ponsel kamu mana? Aku mau ngabarin mereka kalau kamu di rawat."
"Mereka lagi gak di rumah. Bokap nemenin nyokap ke Singapura, ke acara fashion show busana."
"Terus yang jagain kamu siapa? Aku sama Willona gak mungkin, apalagi lusa aku lomba."
"Yaudah kamu pulang aja sekarang."
"Gak bisa gitu dong. Aku bakal di sini sampai jam sembilan. Setelah itu ngabarin anak Axellez buat jaga di kamu. Gimana?"
Hati Gitar berdesir kala mendengar itu. Melody masih peduli padanya. Itu artinya Melody masih mencintainya.
"Terserah kamu aja deh. Btw, si Willona kemana?"
"Oh, dia nyari makan di luar. Laper katanya," jawab Melody. "Kamu mau makan? Aku suapin ya? Tadi suster nganterin bubur di sini, tapi kamu molor."
"Aku juga laper sih." Aku Gitar
Melody mengambil bubur di nakas, lalu menyuapi Gitar dengan telaten.
Bibir Gitar mengembang, menerima suapan dari Melody. Bahkan tatapannya tak luput dari Gadis itu.
"Ngapain sih?" Melody menjadi salah tingkah sendiri saat Gitar memandangnya seperti itu.
"Dulu, waktu Tuan Putri sakit, Pangeran yang nyuapin. Sekarang sebaliknya. Kamu perhatian banget sih sama aku."
"Gitar ...." Peringat Melody. Dia tak ingin cowok itu mengatakan hal yang menurutnya tidak penting.
"Kenapa? Salah ya?" tanya Gitar.
"Kita itu sekarang bukan siapa-siapa. Jadi jangan bahas masalah itu." Melody meletakkan mangkuk yang kosong ke nakas. "Aku udah maafin kamu, tapi hatiku masih sedikit kecewa sama kamu."
"Dimaafin sama kamu, aku udah seneng kok." Gitar tersenyum.
"Sekarang kamu istirahat ya. Kata dokter jangan terlalu banyak gerak."
"Terus kamu mau pulang gitu?"
"Enggak, aku di sini dulu. Sampai yang lainnya dateng." Melody membenahi selimut Gitar. "Aku keluar dulu ya, mau cari Willona."
"Iya, Princess."
Melody tersenyum tipis kala mendengar itu. Dia keluar dari ruang rawat Gitar.
Setelah kepergian Melody, Gitar meraih ponselnya yang ia sembunyikan dibalik bantal. Segera mengirim pesan untuk seseorang.
Yasa Anak Pang-kalan Ojek
Thanks, Bro.
Lo salah kirim atau slh minum obat?
Enggak. Gara2 lo pukul gue. Ody jadi maafin gue.
??
Percuma gue jelasin. Cowok brengsek kayak lo gk bkl ngerti.
Mirror!
Udah. Tetep ganteng kok
Lo selain songong juga kepedean ya?
Gitar tersenyum. Cowok itu segera menyembunyikan ponselnya saat pintu ruangan itu kembali dibuka.
"Marvel?"
"Melody tadi ngabarin gue kalau lo dipukulin dan di rawat si sini," ucap Marvel.
"Sekarang, Ody mana?" tanya Gitar.
"Gue suruh pulanglah sama Willona. Ini udah jam sembilan malam lebih, gak baik cewek keluar malem-malem."
Dalam Hati Gitar membenarkan perkataan Marvel. Melody juga butuh istirahat, sama seperti dirinya.
"Lo kok bisa dikeroyok Yasa sih, ada dendam sama dia?" Marvel bertanya-tanya.
"Enggak sih, sebenernya gue yang cari gara-gara sama dia. Tadi, gue sengaja lewat di depan Yasa dan gengnya yang lagi nongkrong, terus ngelunjak deh. Alhasil dipukuli." Gitar memberi jeda. "Sebenarnya gue emang cari pelampiasan lain, supaya hati gue gak terlalu sakit karena masalah sama Ody, yang sebenernya gue sendiri penyebabnya. Sekalian mau tau Ody masih sayang dan peduli sama gue atau enggak. Eh kebetulan, dia lewat pas Yasa gebukin gue."
Marvel menggeleng. "Parah lo. Kalau lo mati gimana?"
"Mereka gak berani bunuh gue. Bokap Yasa aja kerja di kantor bokap gue."
🍁🍁🍁
Senyum kemenangan teraih oleh Melody dan perwakilan murid SMA Kencana Bakti. Mereka baru saja memenangkan lomba festival musik nasional. Bisa mengharumkan nama baik sekolah adalah hal yang membahagiakan, apalagi ini pertama kalinya bagi Melody.
Saat ini, Melody dan anggota yang mewakili acara itu, berjalan di koridor. Piala itu dipegang oleh Melody. Langkahnya berhenti saat berhadapan dengan seseorang.
"Congratulations, Melody. Gue tau lo mampu mengharumkan nama baik sekolah."
"Makasih, Kak. Ini berkat kerja sama dari tim," balas Melody ke Viola.
"Lo rendah hati banget ya." Viola terkekeh kecil. "Gue yakin, suatu saat, cita-cita lo buat jadi musisi itu tercapai."
"Aamiin." Melody diam sejenak. "Kalau gitu kita ke kantor dulu, Kak. Mau naruh piala ini."
Viola mengangguk.
🍁🍁🍁
Setelah meletakkan piala di kantor, beberapa diantara mereka ada yang diwawancarai anak jurnalistik sekolah untuk keperluan mading.
Sedangkan Melody memilih pergi dari sana. Dia tak suka ditanya-tanya. Apalagi beberapa pertanyaan dari anak jurnalis ada yang melenceng dari yang sesungguhnya. Apalagi saat nama Gitar dibawa-bawa.
Melody yang sedang berjalan di koridor terperanjat, saat ada seseorang yang mencekal tangannya dan membuatnya hampir terhuyung ke belakang.
Melody membalikkan tubuhnya. "Gitar. Ngagetin tau nggak?! Aku hampir jatuh nih."
"Sorry."
"Ngapain sih?"
"Aku cuma mau bilang selamat sama kamu. Karena kamu, sekolah kita menang, mendapatkan juara pertama lagi." Gitar mengulurkan tangannya untuk dijabat.
Melody memandang tangan yang menggantung di udara itu sejenak, lalu pandangannya kembali ke Gitar. "Kamu gak kecewa? Kan, kamu gak suka aku yang mewakili sekolah kita."
"Buat apa? Aku atau kamu yang mewakili sama saja, toh? Yang penting sekolah kita yang menang."
Melody menurunkan tangan Gitar. "Jangan ngucapin selamat ke aku."
"Kenapa?"
"Aku gak suka dipuji berlebihan."
Gitar tersenyum. Selama ini penilaiannya terhadap Melody memang salah. Gadis itu baik dan rendah diri. Tidak seperti dirinya yang angkuh dan haus akan pujian orang-orang. Gitar bersyukur karena pernah memiliki Melody. Meskipun harus terpaksa melepaskannya karena kesalahanya sendiri.
"Keadaan kamu gimana? Udah baikan?" tanya Melody.
"Masih sedikit nyeri sih, tapi aku gak betah lama-lama di rumah sakit."
"Baru 2 hari padahal."
"Dua hari itu sama aja 48 jam, Mel. Termasuk lama tau."
Tiba-tiba Kenn datang. Tak sedikit pun dia memberi celah agar Gitar bisa mendekati Melody kembali.
"Ngapain sih, Mel. Lo ngobrol sama dia?" tanya Kenn, kesal.
"Gue cuma ngucapin selamat ke Ody karena dia udah berhasil menangin lomba dengan bakatnya itu." Bukan melody, melainkan Gitar yang menjawabnya.
"Gue gak tanya lo." Kemudian pandangan Kenn beralih ke Melody. "Jangan deket-deket atau percaya kata-katanya. Dia itu cuma modus sama lo. Dia nyari celah, biar bisa nyakitin lo lagi, Mel. Dia mau ngusir lo dari eskul band."
"Kenn, lo jangan suuzon gitu dong. Gitar itu gak seperti apa yang lo bayangkan. Dia baik," ucap Melody.
"Baik? Lo bilang dia baik? Dia itu nyakitin lo dan pura-pura pacarin lo biar bisa nyingkirin lo. Kayak gitu lo bilang baik?"
"Kenn ...." Melody ingin Kenn segera mengakhiri masalah ini. Dia tak ingin sahabatnya itu terbawa emosi.
"Masih belain dia? Lo masih cinta sama orang yang nusuk lo dari belakang?" Kenn menggeleng pelan. "Gue gak tau lagi, harus jelasin pakek cara apalagi sih biar lo ngerti?!"
"Harusnya gue yang ngomong gitu sama lo, Kenn," sanggah Melody.
Pandangan Kenn beralih pada Gitar yang ada di sebelahnya. "Lo masih berani deketin Melody? Bukannya gue udah kasih peringatan sama lo, ya? Apa pukulan dari gue beberapa minggu yang lalu masih gak cukup?"
"Kenn, gue sama sekali gak ada niat buruk ke Melody. Apalagi buat singkirin dia. Gue gak mungkin ngerusak cita-citanya demi kepentingan gue sendiri," ucap Gitar.
"Alah. Blushit."
"Terserah lo percaya apa enggak. Emang bener ya, kata orang. Satu kali kita melajukan kesalahan, yang dikenang orang itu kesalahan kita daripada kebaikan yang pernah kita lakukan." Gitar menghela napas. "Satu hal yang harus lo tau. Gue sayang sama Melody itu tulus."
Kenn sama sekali tak mengindahkan ucapan Gitar. Dia segera membawa Melody pergi dari sana. "Ayo, Mel, ikut gue. Gue gak mau lo kesihir lagi sama kata-kata sok manis dia."
Kenn menarik Melody paksa. Segera pergi dari sana.
"Ody udah maafin gue, tapi ada aja masalah yang memperumit keadaan."
"Itu artinya, kalian gak ditakdirkan bersatu."
Gitar membalikkan badan, saat mendengar ucapan orang yang tiba-tiba menyahuti perkataannya. "Elo?"
"Kenapa? Kaget?"
Gadis itu mendekat, memandang Gitar dengan bersidekap.
"Jadi, yang bilang kalau lo balik ke Amrik bohong ya?" tanya Gitar.
"Gak juga. Gue emang sengaja balik ke sini, buat ambil rapot dan data-data gue yang lain." Zela menghela napas. "Terus gak sengaja denger gosip tentang kalian. Rupanya, lo beneran pura-pura suka sama Melody doang, kan? Hm, dari awal gue emang gak percaya lo pacaran sama gadis udik kayak dia."
"Kalau lo di sini cuma mau nyindir cewek gue, mending lo pergi!" Peringat Gitar, tegas.
"Cewek? Bukannya udah mantan ya?" sindir Zela dengan senyum sumir yang terpampang di wajahnya.
"Bukan urusan lo! Asal lo tahu, gue itu tulus sama Melody. Meskipun sekarang kita biasa aja, tapi itu gak ngaruh untuk meruntuhkan sayang gue buat dia. Inget itu!" tegas Gitar.
Zela jarang melihat Gitar yang serius ini sebelumnya.
"Huh. Gue rasa, lo emang bener tulus ke dia, beda waktu lo suka sama Viola. Dulu, lo gak belain dia segitunya." Zela menyunggingkan senyum yang sulit diartikan. "Pelet apa sih yang dipakai dia sampai-sampai lo segitunya suka sama dia?"
Raut wajah Gitar berubah, dia tidak suka ada seseorang yang menjelekkan Melody.
Zela yang menyadari itu langsung terkekeh. "Bercanda."
"Mau lo apa?" Gitar masih bersikap tenang.
"Hem ... apa ya?" Zela tampak berpikir. "Gak ada kayaknya. Oh, gue inget. Gue mau, lo harus gantleman. Kalau lo beneran suka sama tuh cewek, berjuang buat dapetin hatinya kembali. Kesempatan itu gak dateng dua kali."
Alis Gitar terangkat, sepertinya dia salah dengar. "Lo ngerestuin gue?"
"Gue bukan emak lo!"
"Thanks sarannya," ucap Gitar.
"Oke. Tapi kalau dia gak mau, ini artinya lo sama gue, ya?" Ucapan Zela itu membuat Gitar melotot. Sedangkan cewek itu malah terkekeh. Dan melanjutkan ucapannya. "Maksudnya lo sama gue sepupuan. Gue baru sadar, selama ini gue gak cunta sama lo. Itu cuma obsesi. Dan sekarang gue harap, kita memulai hubungan sepupu yang sewajarnya."
"La, gue boleh nanya sesuatu?" Pertanyaan Gitar sontak membuat gadis itu menatap ke arahnya. Alisnya terangkat seolah berkata 'apa'. Gitar melanjutkan ucapannya. "Jadi, yang lo pilih, Derby atau Milo nih?"
Seketika mata Zela membola. "Enggak keduanya! Awas ya kalau bahas itu lagi."
🍁🍁🍁
"Selamat, Mel. Hari ini lo udah buktiin ke dunia dan Gitar kalau lo emang berbakat di bidang musik."
Saat ini, mereka sedang berada di ruang kelas Melody. Kaiden menghampiri adik angkatnya itu setelah selesai makan bersama guru-guru SMA Kencana Bakti yang lain.
"Sebenernya, ya, Mel, si Gitar itu lewat sama lo. Suaranya cuma pas-passan. Dia cuma modal tampang doang. Makanya penggemarnya banyak." Kenn menyambar ucapan Kaiden.
"Kalian berlebihan. Ibaratnya, gue cuma salah satu bintang dari ribuan bintang yang bersinar di langit sana. Saling memancarkan cahaya, supaya bisa membuat orang bahagia. Artinya, banyak orang yang lebih berbakat dari gue."
Memang niat awal Melody ikut lomba itu untuk menunjukkan kemampuannya pada Gitar. Tapi semakin ke sini ia sadar, bahwa itu bukan Melody yang sesungguhnya. Melody yang sesungguhnya tidak pernah memamerkan kemampuannya pada orang.
Melody melirik Kenn. "Menurut gue, ucapan lo tentang Gitar itu salah, Kenn. Lo gak bisa seenaknya nyindir orang kayak gitu. Mungkin lo bisa ngomong gitu karena belum mengenali siapa dia yang sebenarnya. Atau karena lo kesel sama dia. Suara Gitar memang bagus, kok. Makanya banyak yang suka."
"Termasuk lo?" tanya Kenn, memandang Melody lekat.
Melody diam, tak menjawab.
"Melody, mah, bukan cuma suka sama suaranya. Tapi orangnya juga," sahut Willona tersenyum.
Ingin rasanya Melody menyumpal mulut Willona yang terkadang ceplas-ceplos itu. Gadis itu seperti tidak bisa melihat situasi. Walaupun Melody sudah memaafkan Gitar, tapi Kenn dan Kaiden masih kecewa dengan vokalis Axellez itu.
"Lo masih suka sama dia, Mel?" Kenn kembali menatap Melody.
"Kenn. Aku rasa itu urusan Melody. Biarin dia berdebat dengan hatinya sendiri." Willona yang menyahuti.
Kenn mengerti. Dia mengacak-acak rambut Melody. "Maaf kalau lo ngerasa gue over protektif sama lo. Gue cuma gak mau lo terluka oleh orang yang sama, Mel."
Kaiden yang melihat itu tersenyum tipis. Melihat persahabatan dua orang di depannya. Kemudian pandangannya teralih pada jendela ruangan itu. Ada seseorang yang sepertinya tengah menguping di sana. Orang itu pergi ketika Kaiden menangkap basahnya. Tingkahnya itu membuat bibir Kaiden terangkat.
Kaiden menatap Melody. "Mel, ada orang yang mau ngomong sama lo."
"Siapa, Kak?" Melody jadi penasaran.
"Entar lo tau sendiri. Susulin dia. Dia baru aja jalan di koridor, kabur setelah gue tau dia denger pembicaraan kita," balas Kaiden.
Melody, Kenn, dan Willona saling bertukar pandang. Lalu Melody melangkahkan kaki keluar. Matanya menagkap seorang cowok yang menjauh dari sana.
"Tunggu!" Melody berlari, mencoba menyamai langkah kaki itu.
Sang empunya membalikkan badan. Membuat Melody tahu siapa orangnya. Mulut Melody pun menganga. "Kamu?"
"Ody? Kamu ... ada perlu apa sama aku?" Gitar mengerenyitkan dahi, tumben sekali Melody memanggilnya. Biasanya dia duluan yang manggil.
"Loh, katanya Kak Iden, kamu yang ada perlu sama aku. Makanya aku susulin kamu."
"Oh. Itu ... em ...." Gitar menggaruk tengkuk lehernya yang sama sekali tidak gatal. Dia bingung harus mengatakan apa.
"Kamu ... tadi nguping ya, pembicaraan kami?" tanya Melody.
"Gak sengaja. Niatnya aku mau nyamperin kamu, ada hal yang mau aku bicarakan sama kamu. Ternyata kamu masih ngobrol sama mereka."
"Emang kamu mau ngomong apa?"
Gitar melihat ke kanan dan ke kiri. Banyak siswa-siswi yang berkeliaran jam segini. "Cari tempat yang enak aja ya."
"Taman belakang sekolah?"
Gitar mengangguk. Dia mengajak Melody ke taman belakang sekolah. Keduanya duduk di kursi kayu yang ada di sana.
"Kamu, mau gabung Axellez lagi?"
"Aku selama ini juga gak keluar dari Azellez, Gitar. Aku cuma mau rehat sebentar."
Bibir Gitar terangkat. "Syukur deh. Kalau gitu kan, gitar gak akan kehilangan melodinya lagi. Kita bisa membuat alunan nada yang sempurna."
"Meskipun kisah kita gak sempurna?" tanya Melody.
"Emang kamu gak mau buat kisah sempurna sama aku?" Gitar balik bertanya.
Jantung Melody bergemuruh kali mendengar itu. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain saat Gitar menatapnya lekat.
"Aku tau, aku pernah berbuat salah. Tapi apa salahnya kita ngasih kesempatan buat hati kita saling berlabuh kembali." Gitar mrlanjutkan ucapannya.
Melody menoleh perlahan. "Maksud kamu?"
"Aku mau kita memulai dari awal lagi, Mel. Aku sama sayang kamu, dan aku tau kamu juga gitu. Kita akan bersama, mmebuat irama musik yang sempurna."
Singkatnya, Gitar baru saja menembaknya, lagi?
"Kamu mau, kan?" Tak ada bunga memang, tapi bunga bisa layu. Sedangkan perasaan Gitar ke Melody takkan pernah layu.
"Aku ... aku memang sayang sama kamu. Tapi itu bukan alasan kita buat menjalin hubungan lagi. Lagipula, cinta itu gak sebatas status, melainkan perasaan juga. Sedangkan perasaanku masih sedikit kecewa sama kamu, meskipun aku udah maafin kamu."
"Cinta dan luka saling mendominasi hati saat ini. Cinta bisa membahagiakan sekaligus menyakitkan dalam waktu yang bersamaan." Melody sedikit menundukkan pandangannya dari Gitar. "Aku belum siap terluka lagi. Lagian beberapa minggu lagi kamu ujian sekolah. Kamu harus fokus belajar."
"Aku tak ingin, kita seperti kapal yang berlayar dan berlabuh di pelabuhan hanya sebentar. Orang yang bersama kita belum tentu menjadi tujuan terakhir kita, Gitar. Jadi biarkan kita gini dulu aja," lanjut Melody.
Jika alasan Melody itu. Gitar bisa mengerti. Terluka sekali harus membuat Melody berpikir berulang kali untuk menerimanya lagi.
"Aku gak bisa maksa kamu untuk itu," ucap Gitar.
"Walaupun gitu, aku mau kamu jangan jauhin aku. Kita masih bisa berteman, kan?"
Gitar mengangguk sebagai jawaban. Bibirnya terangkat membuat lengkungan tipis.
"Kamu gak marah sama keputusanku?" tanya Melody.
"Enggak. Aku rasa, itu memang keputusan yang tepat. Biar kita saling merehatkan hati dan pikirkan masing-masing. Toh, kalau jodoh, kita akan bersatu lagi."
Jawaban dari Gitar membuat Melody tersenyum.
Terkadang, luka memang sengaja ditorehkan agar membuat kita dewasa. Cinta sengaja diciptakan untuk membuat orang bahagia. Tapi kebahagian cinta bukan hanya tentang kepemilikan, namun keikhlasan dan kebersamaan.
Kini Melody dan Gitar akan bersama, membuat musik yang sempurna dengan rasa yang sama meskipun situasinya berbeda.
End
End beneran ini. No tipu-tipu.
Sebelumnya, aku mau ngucapin terima kasih banyak buat readers yang baca cerita ini dari awal. Kasih komen yang membuat aku semangat ngelanjutin cerita ini.
Dan maaf buat kalian yang kecewa sama endingnya. Ini udah skenario awal aku buat cerita ini. Dan ini pertama kalinya aku buat cerita dengan chapter sebanyak ini. Gak tau kenapa.
Oh iya. Karena aku buat cerita ini gak pakek outline, aku mau minta tismoti kalian dong tentang cerita ini? Menurut kalian Love Is Music itu gimana? Ngebosenin atau enggak?
Sekalian mau ngasih tau. Nanti habis selesai daring PAS aku mau bikin cerita baru. Minta bantuannya ya menurut kalian cover mana yang cocok. Komen di bawah.
Biar kalian gak ketinggalan info updatenya. Follow akun ini ya. Di jamin, ceritanya gak bakal buat kalian kecewa.
Sekarang aku mau selesaian dulu cerita CPVsCT. Sekalian mau revisi cerita ini. Makanya buruan baca, sebelum di unpublis secara bertahap.
Love you readers
Dedel
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top