Ch 2. (Full Name)

"(Name)!" teriak teman sekelas ku, aku menoleh.

Melihat sosoknya yang masih bersembunyi di balik pintu geser kelas kami sementara aku sudah berjalan cukup jauh dari kelas kami.

"Mau kemana?" tanyanya.

Kuangkat peralatan melukis ku, sebuah isyarat yang ku harap bisa ia mengerti bahwa kita mempunyai jadwal kelas melukis hari ini.

Ia menatap lorong, memastikan tidak akan ada siapapun yang melewati nya dengan begitu takkan ada siapapun yang memarahai kami berdua yang tengah berkeliaran di lorong sekolah saat jam pelajaran.

Ia keluar dari kelas kami, buru-buru menarikku kembali masuk ke kelas, seolah-olah keluar ruangan itu akan sangat mematikan bagi kami berdua.

"Kenapa? Ada apa memangnya?"

"Aku tau kau masih tak bisa melupakannya, namun setidaknya bacalah perubahan jadwal kelas kita" aku masih tak mengerti, apa jadwal diubah?

"Ini pertengahan semester dua, kami tak punya banyak waktu untuk menghafalkan jadwal pelajaran baru" sanggah ku.

"Katakan itu pada guru bahasa prancis kita" balasnya menolak sanggahan ku.

"Kita juga tak memerlukan mata pelajaran baru untuk di pelajari di pertengahan semester bukan?" kini balik tanyaku.

" Sudah kubilang tanyakan itu pada guru bahasa Prancis kita" balik balasnya, dengan balasan yang sama.

Aku melenguh, mengubur dalam-dalam niatku untuk melukis. Mungkin satu-satunya hal yang akan membuatku sedikit membaik, kenapa? Mmm... Aku takkan bilang bahwa lukisan ku adalah yang terbaik.

Hanya saja banyak yang mengatakan, bahwa mood dapat mempengaruhi hasil karya. Beberapa bilang itu yang terjadi pada Leonardo Da Vinci dan Van Gogh, dan jika itu benar maka kusimpulkan Monalisa adalah sosok wanita yang dicintai Da Vinci, ia melukisnya sepenuh hati.

Mungkin aku juga akan mengetahuinya di kelas seni nanti, bagaimana gambaran perasaanku yang sebenarnya, sesedih apa aku saat ini pun aku tak bisa mengetahui atau mengukurnya.

Aku ingin memastikannya, lalu mungkin juga aku bisa menemukan cara untuk keluar dari penderitaan ini.

Namun hal itu harus tertunda.

Aku menaruh kepala ku di lipatan tangan ku, ingin menunjukkan pada guru bahasa Prancis kami bahwa aku menolak kehadirannya yang menggantikan jam pelajaran seni.

Dengan begitu ia akan pergi dan mengambil jadwal lain yang bukan hari ini, ku harap juga tak membutuhkan banyak usaha untuk membuatnya pergi.

Kurasakan Nao menarik-narik sweater oranye ku, dan hanya kubalas dengan deheman isyarat aku tak sedang ingin bermain dengannya saat ini.

"(Name)-chan" tariknya sekali lagi. 

Bukk...

"Auch!" Aku buru-buru bangkit ketika sebuah pukulan kecil mendarat di kepala ku.

"Nao-chan!" pekikku.

Namun yang kudapati di depan ku bukan lah Akiha Nao, teman sebangku ku yang seluruh tindakannya tergantung mood, melainkan orang lain, orang asing yang baru pertama kali ku lihat sosoknya.

Irisnya kuning, tidak! Kurasa itu emas atau mungkin hazel, terlalu banyak warna terbias di dalam irisnya, pupilnya yang unik dan tak biasa, bagaimana rahangnya terbentuk dan surai putihnya agak berantakan.

Atmosfer berubah, tempat itu seolah menjadi milik kami berdua. Begitu menurutku ketika kutemui bahwa dirinya juga tak berhenti menatapku.

Semua yang ada di dalam orang ini, aku ingin segera menanyakannya. Apa rambutnya asli seperti itu sejak lahir atau karna hal lain?.

Semua yang ada di dirinya, menarikku untuk kembali ikut campur dengan takdir yang harus nya tidak menuliskan nama kami dalam lembaran kertas yang sama.

"Perhatikan jika seseorang memanggilmu" sekali lagi buku catatan kecil itu memukul kepala ku pelan.

Ia meninggalkanku yang masih larut dalam pikiran, garis wajah yang keras itu menandakan ia tak lagi muda.

Tidak! Apa yang kupikirkan saat ini.

Percayalah itu bukan cinta, aku takkan lagi ingin mengenal cinta pandangan pertama. Itu bukanlah cinta, percaya atau tidak kau hanya jatuh cinta pada wajahnya, tidak dengan kepribadian nya.

Seperti itulah hal yang melandasi cinta pandangan pertama, tak heran jika itu kandas begitu cepat nantinya.

Oh, aku tak menyinggung siapapun dalam cerita ini.

Hanya saja membicarakan diriku sendiri, aku yang membiarkan pandangan pertama sebagai landasan cinta kami, aku yang berfikir itu sudah cukup untuk kami sampai aku yang benar-benar jatuh cinta, lalu aku yang akan menyesalinya bahwa cintaku kandas.

.

.

"Siapa tadi namanya? " tanyaku, mengunyah yakisoba pan yang susah payah ku beli di kantin.

Yakisoba pan adalah menu andalah kantin kami, roti dengan isian yakisoba itu tiap harinya selalu habis tak sampai 10 menit setelah bel istirahat berbunyi, dan aku bersusah payah mendapatkannya hanya untuk memperbaiki moodku.

Makanan enak selalu menjadi hal yang membantu memperbaiki mood, kudengar begitu.

"Edmon Dantes-Sensei! " tekan Nao-chan.

"Kau bahkan mengabaikan guru baru? Dia cukup terkenal loh dikalangan wanita, banyak yang bilang guru baru itu tampan sayang usianya terlampau jauh" Hakuno-san, murid kelas sebelah datang dan mengambil tempat duduk di sebelahku.

Tak ada yang aneh, toh kita teman.

"Oh, jadi di terkenal di kalangan wanita yah" balasku, bagus lah.

Banyak guru wanita sekolah kami yang masih lajang, kuharap akan ada berita bagus yang datang untuk guru baru itu, toh meskipun milikku kandas aku tak berhak berharap kisah cinta orang lain juga akan berakhir seperti ku.

"(Name)-cchi" sapa seseorang padaku.

Ku tatap siapa orang itu, surai kuning pendeknya berterbangan tertiup sepoi angin lapangan sekolah kami, ia melambai padaku.

Senyum tak bersalah miliknya itu selalu mengganggu ku, ku usahakan agar bibir ini bisa tersenyum membalas kembali senyumnya untukku.

Sebelumnya bukan hanya aku, Nao-chan dan Hakuno-chan, harus nya bukan hanya kami bertiga. Ada seorang gadis lagi, seorang teman yang sengaja ku tinggalkan dan orang itu adalah gadis yang kini melambai padaku.

Tapi tidak setelah pria itu datang mengacak lembut surai pirangnya, aku menurunkan tanganku dan melenggang pergi dari jendela kelas supaya takkan lagi pasangan itu bisa melihat ku.

Sampai kapan aku seperti ini? Terus lari dan lari. Tidak akan ada kenyataan yang bisa kurubah, tidak soal Luna dan dirinya, mau seberapa banyak orang yang akan kusalahkan atas tragedi yang menimpaku?

Batas mana yang akan membuat ku cukup puas untuk menyalahkan dunia atas apa yang terjadi padaku? Akan kah sampai takkan ada lagi yang tersisa? Aku ingin berhenti disini, namun terlampau sulit untuk kulakukan sendiri.

To Be Continue~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top