5


❄❄❄

Tubuh Nala membeku tak percaya mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari bibir pria itu. Mengapa Aska bisa sekejam itu, tak punya perasaan pada keluarganya, keluarga yang memberi pria tersebut kasih sayang, kehidupan yang layak dan nama yang disandang untuknya hingga bisa bertahan di kalangan sosial tinggi.

Dan, bodohnya Nala dengan siapa ia berbicara karena tak akan membuahkan hasil, ia seakan lupa jika Aska orang yang berprinsip, keras kepala dan tidak akan menarik kata-katanya. Perlu ditambahkan lagi akan menghalalkan segala cara agar tujuannya tercapai.

Percuma menangis dihadapan dia toh air matanya tak mengubah apapun, lalu apa yang harus ia lakukan agar Aska mau membatalkan pilihannya? Ia tak sanggup semakin di benci keluarganya, kembali diasingkan, apa Aska tak tahu hal itu.

"Kenapa Kakak jadi jahat begini? Apa Kak Aska nggak tahu kalau mereka tambah benci sama aku?" tanyanya dengan bulir air mata turun membasahi pipinya.

Aska mendekati Nala yang berdiri di depan pintu tertutup. "Beginilah aku," ucap Aska mengangkat bahunya dengan mimik wajah biasa saja. "Kamu terlalu lama pergi Adik kecil, sampai melewatkan semua perkembangan ku dan aku nggak peduli kamu mau dibenci atau nggak yang penting tujuan ku tercapai," imbuhnya dengan bibir menyeringai puas melihat ketakutan di paras Nala. "Mengadu sama Ayah juga percuma, La, karena Ayah sudah menyetujuinya lagipula dia nggak akan percaya dengan ucapanmu."

"Kenapa Kak Aska menempatkan aku diposisi sulit, Kak? Aku nggak mau dibenci lebih dalam lagi...tolong jangan memperburuk keadaan ku," pintanya memohon dengan isak lebih kencang. Bagaimanapun ia harus berhasil membuat Aska merubah keputusannya.

Laki-laki itu meraih pinggang Nala dengan cepat dan merapatkan tubuh Nala padanya untuk mengikis jarak mereka. Tangannya yang bebas menghapus buliran bening yang turun dari sela-sela matanya. Menatap tajam retina Nala yang mampu menyeret siapapun ke dalamnya. "Memohon lah sesuka hatimu aku nggak peduli karena keputusanku tetap!" Menekan perkataannya pada adiknya itu agar tak membantahnya.

Tubuh Nala menegang hebat, ini kedekatan yang tak pernah berani ia bayangkan. Ia bahkan tidak sanggup menatap mata Aska lebih lama. Raganya melekat pada Aska hingga mampu membuat suhu tubuhnya naik cepat, napasnya memburu terputus-putus dan ia takut dengan keadaan ini. "Kak..." Ia berusaha mendorong memberi jeda agar ia mampu bernapas secara normal.

Hanya protes lemah itu yang mampu ia keluarkan, saat bibirnya sudah dibungkam oleh bibir Aska. Ciuman kasar dan menuntut menghukum bantahan yang adiknya keluarkan. Lama kelamaan ciuman tersebut berubah jadi lembut, bibir Nala dicecap secara lembut, dilumatnya halus, digigitnya kecil hingga mulut itu terbuka memberi jalan masuk lidah Aska mengabsen setiap inci dalam rongga mulutnya. Membelit lidahnya tanpa ampun membuat Nala kewalahan.

Otak Nala kosong tak satu pikiran pun yang melintas, perempuan yang polos tak tahu apa yang harus dilakukannya, Aska tahu sebab itu ia terus menggodanya agar Nala membalas ciumannya. Tangan Aska merayap naik ke punggung Nala, mengusap dengan halus naik turun hingga menimbulkan gelombang aneh dalam dirinya dan menekannya kuat-kuat hingga benar-benar lekat. Tangannya bebasnya menekan leher belakang Nala, meremas rambut hitam yang terlepas dari ikatan agar ia dapat memperdalam ciuman di bibir wanita itu. Kembali ia menggigit daging kenyal itu dan rupanya Nala membalasnya meski ragu-ragu.

Aska merasakan sesuatu dalam dirinya terbangun dan seketika itu melepaskan tautan bibir mereka, memberi udara untuk Nala yang terengah-engah. Ia sendiri mengatur tubuhnya agar kembali normal. Damn! Harusnya ia tahu reaksi raganya jika berdekatan dengan perempuan itu. Cepat-cepat Nala mendorong mundur badan Aska, ini diluar kendalinya dan ia merutuki kebodohan dirinya.

Pria itu mundur bukan karena dorongan lemah Nala tapi ia memberi jarak agar bisa kembali mengintimidasi adiknya. "Wah..wah..wah...rupanya masih sama, La. Aku kira kamu sudah berhasil membuangnya. Kalau begitu sudah tepat keputusanku." Dilipatnya tangan di dada, ia berhasil menemukannya dan itu memuluskan jalannya.

Nala mengelap keringat dingin di telapak tangannya pada celana yang ia pakai. Sedikit bingung dengan perkataan Aska dan bagaimana ia bisa lepas kontrol, jika sudah begini mungkin lebih baik ia menerima Aska agar ayah dan saudaranya selamat. "Kalau aku setuju, aku dapat apa?" tanya Nala dengan keberanian yang ia paksakan.

Sebelah alis Aska bergerak naik. "Terserah tapi dalam batas kewajaran dan nggak menyalahi kewajibanmu."

"Setelah menikah aku ingin kembali ke tempat kerjaku dan tinggal di sana," ucapnya dengan tegas.

"Tiga bulan."

"Apa?" ulangnya bingung pada maksud Aska.

"Aku beri waktu tiga bulan setelah itu kamu kembali ke rumah dan ingat jangan pernah bermain di belakangku."

"Apa-apaan itu?! Kan Kak Aska bilang aku boleh minta apapun selama masih wajar dan menurutku itu masih wajar," debat Nala tak terima.

Pria itu melangkahkan kakinya mendekati Nala dengan mimik tak terbaca dan perempuan itu mundur agar mereka tetap ada jarak. "Wajar katamu? Meskipun ini hanya perintah Ayah tapi aku tetap menuntut hak ku sebagai suamimu dan kamu juga harus menjalankan kewajibanmu. Menolak? Aku nggak jamin keluargamu selamat dari kebangkrutan lagipula bukan aku yang rugi." Aura intimidasi menguat dari Aska membuat Nala bergidik. Mungkinkah keluarganya dibodohi oleh lelaki itu sampai tak mengetahui bagaimana Aska sebenarnya. "Tiga bulan atau nggak sama sekali. Pilihlah!"

Nala menelan ludahnya dengan susah payah, mengapa rumit sekali hidupnya harus hidup dengan orang-orang yang mementingkan diri sendiri tanpa memiliki belas kasih. Dirinya pikir dipanggil pulang untuk sesuatu yang lebih penting, nyatanya dia masuk perangkap. Korban yang ditawarkan pada monster berkedok manusia dengan senyuman yang mampu memikat hati wanita manapun.

Dia menikmati perubahan mimik wajah Nala, rencananya pasti akan berjalan lancar tanpa bantahan. Lihat saja keningnya yang berkeringat menandakan gadis itu berpikir, jari-jarinya yang saling meremas bahwa kegugupan melandanya dan wajahnya yang merah padam akibat ulahnya dan itu membuat Aska tertawa puas.

"Gimana?" Aska harus mendapatkan jawaban sekarang juga agar ia bisa menyusun rencana selanjutnya.

"Kak...eum...itu..." Lidahnya terasa kelu ketika ia ingin menjawab pertanyaan kakaknya.

"Katakan. Jangan membuatku menunggu, La. Sekarang atau tidak sama sekali!" hardiknya keras membuat tubuh dengan tinggi kurang lebih dari 160cm itu terlonjak kaget.

"Kak..."

"Ya atau nggak?" ucapnya pelan namun menyiratkan ancaman.

Ia tak yakin memiliki suara, lihat saja bahkan suaranya pun takut pada lelaki itu. Ia mengambil napas lalu mengembuskan ke udara agar terasa ringan himpitan keterpaksaan yang ia rasakan. Menghelanya kembali sebelum kembali mengeluarkan melalui mulut. Dengan kemantapan hati ia mengangguk kecil, meskipun samar tapi Aska tahu. Akhirnya.

Tarikan seringai kemenangan terlihat dari sudut bibirnya meski tak lebar. Matanya masih mengawasi Nala yang tertunduk di depannya tanpa berani menatapnya. Wanita aneh, disaat perempuan lain begitu kentara memandangnya Nala malah tak berani menatapnya dan itu sedikit melukai egonya.

"Sekarang apalagi?"

"Hah?" jawab Nala tak tahu.

Aska menghela napasnya berat. "Apa masih ada perlu lagi? Kalau nggak ada aku minta kamu keluar dari sini karena pekerjaan ku banyak."

Wanita itu mengangguk mengerti tanpa aba-aba Nala bergerak meninggalkan ruangan itu. Memejamkan mata dan bersandar di dinding toilet wanita di kantor ayahnya. Menengadahkan kepalanya memandang langit-langit kamar mandi dengan pikiran tak jelas. Entah apa yang akan menantinya di depan. Kebahagiaan atau kesedihan iapun bingung dan Nala berdoa semoga hal yang menantinya adalah sebuah kebahagiaan.

🌿🌿🌿

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top