4
❄❄❄
Menikah? Nala yang kini berada di balkon kamarnya termenung memandangi bunga berwarna-warni dalam pot yang ditaruh di atas pagar tembok pembatas. Dengan Aska? Kakak laki-laki yang ia hindari karena perasaan yang terlarang sekarang malah akan menjadi suaminya, ya Tuhan! Tak pernah ia bayangkan semua ini saat dirinya berhasil menghapus perasaannya.
Jika tak salah mengartikan ucapan Ivan tadi saat dirinya menolak perintah ayahnya artinya Aska bukan anak ayahnya dan mengapa dirinya baru tahu? Selain itu kenapa harus dirinya yang menikah dengan pria itu? Bukankah ada dua saudara perempuannya yang lebih cocok mendampingi Aska.
Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, ia harus minta penjelasan dari ayahnya atau mungkin pada kakak laki-lakinya itu. Membingungkan dan ini semua terlalu tiba-tiba baginya. Membayangkan dalam waktu dua hari dirinya menjadi nyonya Samudera membuatnya menahan napasnya. Itu semua mematikan kerja otaknya untuk mencerna kenyataan yang baru ia ketahui.
Nala masuk ke kamarnya mengambil sling bag hitam dan akan segera ke kantor ayahnya saat pintu di buka dari luar oleh Rima. Ini bukan pertanda baik bila melihat raut wajah perempuan di depannya yang bertolak pinggang dengan angkuhnya. Ini pasti soal Aska.
"Kamu harus menolaknya!" Dengan jelas Rima menekankan maksudnya mendatangi Nala. Ia tidak mau sampai Aska jatuh ke tangan Nala, Dhea atau wanita manapun. Sejak ia mengetahui bahwa Aska anak angkat ayahnya ia dan Dhea bersaing memperebutkan pria itu yang di gadang-gadang oleh ayahnya untuk menggantikan posisinya di perusahaan multinasional tersebut.
Hah! Ia mengembuskan napas cepat, tanpa diperintah pun Nala tahu apa yang harus ia lakukan. Dia tak pernah bermimpi bersanding dengan pria itu yang selalu tak menyukai kehadirannya. "Kak Rima nggak usah khawatir, tanpa Kakak suruh pun aku akan menemui ayah dan membatalkan pernikahan ini." Nala berjalan melewati Rima yang kini melipat tangan di dada, memandang remeh penampilannya yang jauh berbeda dengan Rima.
"Baguslah kamu sadar posisimu."
Langkah Nala terhenti tepat di depan pintu saat akan melangkah keluar dari kamarnya kemudian berbalik. "Karena itu, Kak, aku nggak mau dengan pernikahan ini," jawabnya pelan, lalu kembali memerintahkan kakinya menuruni tangga.
Lagi-lagi ia menghela napas besar lalu meniupnya keluar dari rongga paru-parunya melalui mulut, tidak bisakah cukup Rima yang memberinya peringatan dan perintah agar dirinya menolak keinginan Gunawan. Sekarang di ujung anak tangga terbawah Dhe juga Hesti sudah menantinya dengan wajah yang menunjukkan rasa tidak sukanya.
"Aku sudah tahu jadi Ibu sama Kak Dhea nggak perlu bicara apa-apa. Nala pergi, Bu," pamit Nala setelah tak memberi kesempatan untuk mereka mengeluarkan satu katapun. Ia tak sebodoh itu sampai harus diperingatkan lagi.
❄❄❄
Untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki di gedung perusahaan milik ayahnya Artha Jaya Group. Dengan lantai lebih dari dua puluh, bangunan ini tampak menjulang tinggi sejajar dengan gedung-gedung dari perusahaan lainnya. Matanya menyusuri loby utama yang dibuat elegan dengan pintu kaca dibagian tengah, lalu lantai marmer hitam mengkilap, tanaman hijau mengisi sudut-sudutnya, sofa dan resepsionis cantik dengan senyum menawan bersiap menyambut kedatangan tamu yang berkepentingan.
Nala berjalan ke arah resepsionis cantik itu dan bertanya apakah ayahnya ada di tempatnya, wanita tersebut mengernyit mendengar ucapan Nala seakan tak mempercayai pendengarannya. Vivi, nama resepsionis di depannya sedikit melongok kan kepalanya untuk melihat penampilan Nala yang jauh dari pantas jika dia putri dari pemilik perusahaan. Ia menatap penampilannya, tidak ada yang salah dan cukup sopan juga bersih jadi dimana letak kesalahan pakaiannya.
Jengkel dengan tatapan merendahkan yang Vivi lemparkan membuat Nala mengeluarkan kartu tanda pengenalnya. "Ini kalau anda tidak percaya."
Seketika resepsionis itu menunduk takut dan meminta maaf padanya, lalu memberitahukan Nala letak ruangan ayahnya. Ia berjalan kearah lift yang di dalamnya terdapat Aska, sedang menahan karyawannya untuk tidak menutup pintu lift terlebih dahulu karena ia sempat melihat Nala berjalan ke arah mereka.
Pintu besi di depannya tertutup, satu persatu orang-orang keluar sesuai dengan lantai ruangan mereka tinggal Aska dan Nala. Mata Aska menelusuri menilai tubuh Nala yang tersembunyi dalam pakaian sedikit longgar. Senyum miring ia tampilkan meski tidak begitu kentara, keyakinan dalam hatinya membuatnya menyeringai membayangkan tubuh adik kecilnya itu pasti sesuai perkiraannya.
"Mau apa ke sini?" Aska membuka mulutnya setelah kepergian karyawan yang terakhir bersama mereka keluar. Pria itu menatap Nala dengan tatapan intimidasi yang bagi orang lain membuat mereka mengkerut ketakutan.
"Minta Ayah agar membatalkan pernikahan ini, eum..lebih tepatnya mengganti aku dengan yang lain." Nala menatap balik Aska untuk mengetahui reaksi pria itu.
Lift berhenti di lantai ruangan Aska tanpa banyak bicara pria itu menarik pergelangan tangan kanan Nala dengan erat dan memaksanya mengikuti Aska ke ruangannya. Nala bingung kenapa Kakaknya terlihat marah mendengar ucapannya, bukankah selama ini Aska tak pernah suka kehadiran dirinya dan lebih suka menghabiskan waktu dengan dua saudara perempuannya.
Perbuatan Aska menarik perhatian karyawan di lantai tersebut, tanpa membalas sapaan sekretarisnya dia memerintahkan agar dirinya tidak ada yang menggangu. Laki-laki itu mengangguk cepat dan tak mengeluarkan kata-kata lagi.
❄❄❄
Nala berusaha melepaskan cekalan Aska namun terlalu erat sampai membuat pergelangannya sakit dan pasti merah nanti. Pria itu menyentak cekalan dengan kasar membuat Nala jatuh terduduk di sofa empuk berwarna coklat. Ia mengusap-usap bekas cengkraman kakaknya.
Belum sempat ia duduk dengan benar dan bertanya, rahangnya sudah dicengkeram dengan keras oleh Aska yang duduk di meja depannya. Kakaknya terlihat marah dengan raut wajah yang tak pernah ia lihat, matanya memerah menandakan emosinya di puncak ubun-ubun. "Jangan harap bisa membatalkan atau mengganti dirimu dengan yang lain. Camkan itu!" Aska mengatakan dengan suara rendah namun terdengar seperti ancaman dan membuat Nala bergidik ngeri.
"Ke--kenapa, Kak?" tanya Nala dengan sedikit keberanian, rahangnya terasa sakit seakan-akan remuk jika sedikit lebih lama lagi ditekan keras.
Bibir Aska menyeringai kecil namun terlihat berbahaya. "Itu urusan ku. Kamu cukup menjalani pernikahan ini tanpa bantahan," jawabnya.
"Sakit, Kak..." erangnya, "kenapa? Bukankah Kak Aska bisa memilih Kak Rima, Kak Dhea atau wanita lainnya yang lebih pantas dibandingkan aku?" Nala berdesis merasakan rahangnya yang mungkin memar.
Aska melepaskan cengkeramannya, ia berdiri lalu tertawa keras, apa Nala pikir dirinya bodoh memilih wanita yang akan dinikahinya secara sembarangan, seperti memilih kucing dalam karung. "Rima? Dhea katamu? Begitu naifnya adik kecilku ini. Apa kamu pikir aku akan memilih barang bekas jika aku bisa mendapatkan barang baru yang masih tersegel? Jangan bodoh. Meskipun aku brengsek tapi aku nggak akan mau memilih mereka apalagi untuk menjadi ibu dari keturunan ku."
Perempuan di hadapannya itu terperangah kaget, apa saudaranya begitu buruk di mata Aska. "Tapi Kak Aska bisa memilih yang lain tapi bukan aku, Kak," bantahnya, "aku mohon, Kak, pilihlah Kak Rima atau Dhea atau siapapun. Jangan membuat mereka semakin membenciku," pintanya memohon pengertian Aska. Ia tak ingin semakin dibenci dia saudaranya dan ibunya.
"Keputusanku sudah bulat, La." Melipat tangannya di dada, memperhatikan raut wajah Nala yang memohon padanya membuatnya senang.
Nala merentak berdiri dan meninggalkan Aska yang berdiri di tengah ruangan. Percuma bicara dengan Aska pria itu tetap akan pada keputusannya.
"Dia nggak akan mengabulkan permintaan mu jadi percuma memohon padanya."
Ucapan pria itu menghentikan gerakannya saat selangkah lagi tangannya akan memutar kenop pintu. Ia berbalik menatap Aska dengan pandangan menantang. "Kalau Kakak tetap memaksa aku akan lari saat hari pernikahan," ancamnya dan berharap Aska mau mengubah keputusannya.
Seringai meremehkan muncul dari bibirnya, sebelah alisnya menukik tajam lalu muncul tawa kerasnya. "Nala..Nala.. silakan tapi jangan salahkan aku jika kamu mendengar berita kalau Ayahmu tidur di kolong jembatan." Aska mendekat dengan langkah pelan menikmati wajah pucat Nala. "Asal kamu tahu lebih dari 50% persen saham perusahaan ini ada di tanganku dan kondisi perusahaan dalam masa sulit dan hanya aku yang bisa membuatnya pulih. Kamu tahu? Ayah menawarkan dirimu untukku, agar aku mau memulihkan kondisi perusahaan, aku pikir nggak ada salah bukan?"
Otak Nala langsung mati tak bisa berpikir, ia pasti jatuh jika Aska tak menahan tubuhnya dan membawanya ke sofa. Pria itu berdiri mengambil air mineral dari lemari es yang ada di sudut ruangan, membukanya lalu memberikan pada Nala. Wanita itu meneguknya sampai tandas tak bersisa, pandangannya kosong ke depan. Ia tak menyangka anak yang dibesarkan dengan kasih sayang tega membuat keluarganya terpuruk.
"Ke--kenapa?" ucapnya lirih saat ia menoleh pada Aska.
Dengan senyum kemenangan Aska menjawabnya, "Karena aku mau, dan alasanku bukan urusanmu."
❄❄❄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top