36
Sumber google ya. Mungkin udah banyak yg tau tpi gpp aku tulis biar yang blm tau jadi tau. Kalo ada yg kurang silahkan di koreksi 😁
Psikolog bukan dokter dan hanya menangani dengan konseling. Sedangkan psikiater adalah dokter sama menangani kejiwaan tetapi boleh memberikan obat.
😁😁
❄❄❄
Pagi ini Aska absen untuk tidak datang ke kantor, ia ingin menemani Nala untuk membawanya ke psikolog di rumah sakit. Setelah mencari-cari informasi, akhirnya Aska memutuskan untuk membuat janji dengan salah satu psikolog ternama di daerah Jakarta Selatan. Ia ingin mengetahui apa yang sedang Nala rasakan, ia ingin menjadi lebih baik dalam menghadapi perempuan itu.
Mungkin terdengar aneh mengapa membawa Nala ke psikolog ketimbang ke psikiater? Bukankah lebih bagus ke psikiater? Karena ia pikir untuk saat ini istrinya tidak membutuhkan obat-obatan, ia hanya perlu konseling. Mungkin orang awam banyak yang salah kaprah dengan dua profesi tersebut. Benar adanya mereka sama-sama menangani kasus kejiwaan namun seorang psikolog menangani masalah yang lebih ringan dan jika merasa pasiennya mengambil gangguan kejiwaan berat baru merujuk ke psikiater.
Setelah menemani Nala berjalan-jalan di sekitar kompleks perumahan mereka. Aska masuk ke kamarnya untuk mandi, sedangkan Nala membantu Mbok Sih menyiapkan sarapan. Pria itu mengizinkan membantu di dapur tetapi dengan syarat tidak boleh sampai terlalu capek. Aska berharap dengan adanya Mbok Sih di sini, Nala tak merasa kesepian, merasakan kasih sayang dan perhatian dari perempuan paruh baya itu.
Makanan sudah siap, Nala memanggil Aska di kamar yang ternyata sudah rapi dengan kemeja denim dan celana jeans panjang hitam. Rambutnya masih berantakan karena basah. Bila seperti itu Aska terlihat lebih sedap dipandang.
"Kak, makan dulu," ujar Nala yang kini sedang mengambil baju ganti untuknya.
Tanpa suara Aska mendekat memeluknya dari belakang. Wajahnya ia tempelkan di ceruk leher Nala, tangannya membelai perut buncit itu. "Nggak ingin apa-apa, hem?" Sedikit demi sedikit Aska berusaha membuka pembicaraan meskipun itu tak berguna, mungkin dengan itu istrinya bisa mengungkapkan perasaannya.
"Tadi pengen bubur ayam di dekat taman, tapi lupa nggak bawa uang."
Aska mengangkat wajahnya kemudian menempelkan pipinya ke pipi Nala. Mereka saling menatap melalui kaca. "Kenapa nggak bilang? Sekarang masih pengen?" Tanya Aska dengan cara bicara seperti biasanya. Raut wajah datar tapi tak ada nada sarkasme di dalamnya. Dan, Nala sudah biasa namun ia merasa Aska sedikit berubah.
"Nggak," jawabnya menggeleng pelan. "Lihat masakan Mbok Sih jadi lupa," sambungnya lagi.
"Kalau ingin apa-apa, ngomong aja."
"Heum," jawabnya pelan.
Aska memutar tubuh Nala menghadapnya, perut buncit perempuan itu memberi space bagi mereka. Perempuan itu mendongak karena perbedaan tinggi badan mereka. "Setelah sarapan kita pergi ke psikolog, ya?" Aska sengaja memberitahu agar Nala tak kaget kemana dirinya nanti dibawa.
Dengan keheranan sekaligus bingung, Nala bertanya, "Untuk apa? Aku nggak gila, Kak. Apa Kakak menganggap ku gila?" Tampak kesedihan dalam netra itu karena Aska menganggapnya tidak waras.
Menghela napas sebentar. Inilah kebiasaan masyarakat umum saat mendengar kata psikolog, padahal dengan datang ke psikolog tidak selalu gila. Jika gila seharusnya mereka datang ke psikiater. "Hei, dengerin aku dulu," tutur Aska lalu menuntun Nala duduk di kursi rias, pria itu berlutut di depannya.
"Aku nggak berpikir kamu gila, La. Tapi kamu memang sakit. Ini ... kamu sakit di sini," tunjuk Aska ke dadanya. "Terlalu banyak hal yang kamu pendam hingga aku takut kamu bertindak di luar akalmu. Aku mau kamu ikut konseling, mungkin dengan begitu kamu bisa menceritakan banyak hal yang kamu alami, rasakan, dan inginkan. Berbicara tanpa takut ada yang menghakimi dirimu. Dengan harapan kamu merasa nyaman dan memiliki percaya diri dalam menjalani hidup. Paham maksudku?"
Perempuan itu menatap lekat wajah Aska. Tak percaya dengan apa yang pria tersebut katakan, namun ia melihat kesungguhan itu. Apa benar yang Aska katakan jika dirinya sakit?
"Tapi–"
"Janji nurut, kan? Aku ingin yang terbaik untukmu, La. Jangan salah paham dengan maksudku. Aku ingin kamu nggak merasa tertekan lagi, lebih berani mengungkapkan apa yang suka dan nggak sukai tanpa rasa takut. Apalagi kamu lagi hamil."
"Iya."
"Good girls." Aska tersenyum. "Sekarang kamu mandi, aku tunggu di meja makan. Oke?"
"Iya."
Aska berdiri dari berlutut nya. Membungkukkan badannya mencium puncak kepala Nala lalu keluar.
❄❄❄
Mereka datang sepuluh menit lebih awal dari jadwalnya. Aska menemani Nala duduk di ruang tunggu. Tempat praktek ini dibuat senyaman mungkin hingga pasien yang menunggu tidak merasa jenuh, orang-orangnya pun ramah.
Aska menggenggam tangan dingin Nala karena tegang. Ia tahu, barangkali istrinya takut. Karenanya ia putuskan untuk ikut masuk dalam ruangan nanti. "Rileks, oke." Tangan Aska yang bebas menepuk-nepuk tangan Nala.
"Aku takut, Kak," ucap pelan namun terselip kecemasan.
Pria itu menjulurkan tangannya di bahu Nala, menarik mendekat dalam rangkulannya. Bahu mereka saling bergesekan. "Tenang. Jangan tegang, nanti anak kita ikut merasa tegang."
Tak berselang lama saat pasien keluar dari ruangan itu, nama Aska dan dirinya dipanggil. Dengan membulatkan tekadnya, Nala mengikuti langkah Aska. Bilik tersebut tak seseram yang ia bayangkan. Interior kamar dengan ukuran sedang itu sangat cozy, dengan pencahayaan terang namun cukup lembut. Sofa-sofa empuk dan nyaman tersedia. Membuat betah pengunjung.
Psikolog pria itu meminta Nala untuk duduk di sofa besar dengan sandaran setengah tidur, sungguh nyaman. Lelaki itu mulai membuka obrolan dengan hal-hal standar tentang siapa namanya, umur dan sebagainya, yang lambat laun tanpa Nala sadari dirinya mulai membuka diri dan perempuan tersebut terlihat santai.
Aska sendiri menyimak dalam diamnya. Mendengar apa yang dua orang lawan jenis tersebut bicarakan, Nala seolah lupa jika di situ terdapat Aska. Tanpa terasa sesi konseling berdurasi 40-50menif berakhir. Psikolog pria itu memberikan jadwal untuk konseling berikutnya. Aska berharap dengan melakukan terapi Nala lebih baik.
❄❄❄
Seusai dari tempat praktek psikolog itu, Aska membawanya ke pusat perbelanjaan di kawasan Kebayoran lama. Pria itu berencana membeli pakaian dan underwear untuk istrinya karena ia tahu sebagian besar baju milik Nala tidak muat di badannya. Ia putuskan secara diam-diam, jika mengatakan pada Nala pasti perempuan itu menolaknya dengan alasan masih bisa dikenakan.
"Kenapa ke sini?" Tanya Nala kebingungan. Ia pikir langsung pulang nyata Aska membawanya ke mall.
Aska mematikan mesin mobil dan melepas seatbelt miliknya. "Jalan-jalan saja. Sudah lama aku nggak jalan-jalan," alasannya. Jika Nala tahu tujuannya pasti menolak turun dan memaksanya pulang.
"Oohh." Hanya itu yang ia katakan.
Mereka berjalan beriringan masuk ke mall tersebut. Mall dengan tujuh lantai berisi gerai-gerai ternama itu ramai pengunjung. Setelah menemukan butik khusus ibu hamil, Aska memaksa Nala untuk masuk. Baru wanita itu tahu tujuan suaminya mengajaknya kemari. Bila begini ia tak bisa berkutik.
Aska meminta karyawan butik untuk membantu Nala memilih pakaian dan underwear yang pas dengan bahan yang halus dan nyaman. Meskipun dengan muka merengut sebal Nala hanya bisa pasrah. Bila menolak maka pria itu akan mengingatkan janji yang ia ucapkan. Sungguh bodoh dirinya, mengapa harus berjanji kalau menjadi bumerang untuknya.
Setelah puas berbelanja untuk keperluan Nala, Aska mengajaknya mencari alas kaki yang nyaman dan aman untuknya. Tidak lupa keperluan perempuan itu lainnya. Barulah sekitar tengah hari, Aska membawanya ke resto yang tersedia untuk mengisi perut istrinya. Bagi Aska ini merupakan pengalaman baru menemani istrinya berbelanja. Baru setelah dirasa perut istrinya kenyang, mereka memutuskan untuk pulang.
❄❄❄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top