31
❄❄❄
Ada ya berbeda dalam tidurnya kali ini. Hangat dan nyaman. Seperti ada yang menyelimuti dirinya dengan kain yang begitu lembut dan hangat. Rasanya sudah lama ia tak tidur senyaman ini. Kehangatan terus melingkupi dirinya hingga tak sadar perempuan itu semakin merapatkan tubuhnya.
Alam bawah sadarnya mengenali kehangatan ini, kenyamanan yang ia rindukan. Seperti milik suaminya yang selalu ia rasakan dulu. Ya. Sama persis tak mungkin ia salah. Aroma musk yang sangat Nala hafal. Harum kayu. Sensual dan eksotis menguar menyeruak ke dalam penciumannya. Kening perempuan itu berkerut berpikir dalam tidurnya. Tak lama mata dengan bulu mata panjang dan lebat itu terbuka.
Pelan kemudian berkedip beberapa kali sembari berpikir dalam diamnya. Aneh. Mengapa dirinya seolah mencium wangi dari Aska? Dan, tidurnya terasa nyenyak sampai siang padahal ia terbiasa bangun subuh. Nala pikir dirinya terlalu lelah bermain bersama Rey dan Aksa. Dua bocah laki-laki yang lincah dan tampan sama seperti ayah mereka. Akankah anaknya seperti mereka yang menyerupai ayahnya atau dirinya dan mendapatkan kasih sayang utuh?
Nala terdiam. Bola matanya bergerak gelisah. Ada yang aneh. Ada orang lain di kamar ini. Pelan-pelan ia menyingkap selimut, kepalanya menunduk perlahan. Manik itu membulat sempurna saat melihat lengan kecoklatan melingkar di perut buncitnya. Pekikan tertahan keluar saat ia menutupkan telapak tangannya di mulut. Kepanikan mulai melandanya. Tangan siapa? Apakah ada orang yang salah masuk ke kamarnya?
Ia singkirkan tangan itu dengan cepat agar ia bisa menjauh. Tetapi bukannya lepas malah erat dan sekarang kakinya dibelit kaki lain seoalah diri guling. Ia berontak sebisanya. Ia takut. Nala berteriak keras dengan harapan orang-orang datang, namun mulutnya di bungkam tangan lainnya.
"Ssstt. Diamlah. Biarkan aku tidur, La."
Ketakutannya berganti kelegaan ketika mendengar suara familiar itu. Tapi tunggu dulu, inikan...
"Kak Aska?!" Lengkingnya kaget dan tak percaya dengan penglihatannya saat ia menengok ke belakangnya.
Pria dengan mata tertutup rapat itu meringis kesakitan akibat pekikan Nala. "Kenapa malah teriak, La," gumamnya. "Tidurlah. Ini masih pagi dan aku butuh tidur. Kakak, ngantuk karena mengejar penerbangan pagi agar cepat sampai sini."
Nala diam, tak berapa lama telinganya menangkap deru napas teratur Aska. Satu menit, dua menit hingga bermenit-menit hanya ada kesunyian. Dia tak tahu harus bereaksi bagaimana saat ini. Terkejut, takut dan gembira campur aduk tak dapat ia uraikan. Bagaimana tidak terkejut? Ketika membuka mata melihat orang yang sudah dihindarinya. Takut karena pria itu pasti memberinya hukuman dari perbuatannya.
Gembira, karena Aska berada di sisinya saat ia membutuhkan perhatian penuh. Semenjak hamil perangainya berubah. Ia gampang marah, manja dan cengeng. Saat ingin dimanja ia akan menggangu Risty dan Teguh, beruntung mereka dengan senang hati menurutinya. Jauh di hati terdalamnya, ia ingin bermanja-manja pada Aska. Namun ia sadar tak mungkin ia dapatkan sebab Nala pergi dari pria tersebut.
Kini merasakan pelukan hangat dan belaian halus di perutnya, rasa benci dan marahnya menguap. Bila di katakan dirinya bodoh, ia akui itu. Orang tak akan mengerti usaha yang ia lakukan untuk membenci Aska tetapi cinta lebih menguasai dirinya. Andai ia bisa membuang jauh cintanya detik itu juga kala perasaan tersebut muncul, dengan segera ia melempar jauh dan berharap tak akan kembali.
"Jangan banyak berpikir, tidurlah." Belaian tangan Aska ditempat bernaung anaknya memberi rasa nyaman untuk perempuan itu.
"Tapi ini sudah siang, Kak. Sungkan sama yang lain," bantah Nala pelan.
Aska mendesah pelan. Tak tahukah istrinya bila ia ingin memuaskan kerinduan dalam dirinya. Setelah berbulan-bulan ia tak bisa mendekap Nala, tak dapat memejamkan matanya karena mimpi buruk itu. Tak dapat mencium aroma tubuh istrinya. Kini, ketika dirinya bisa merasakan semua itu, Nala malah membuyarkan semua. "Lima menit, oke?"
Dirasanya perempuan itu mengangguk, ia menutup matanya kembali. Menyurukan wajahnya ke rambut tebal Nala dan harum shampo menembus penciumannya. Nala sendiri menikmati afeksi yang Aska berikan ditambah usapan lembut di perutnya.
"Kak, sudah lima menit."
Kembali Aska mengerang. Ia tak rela harus mengakhiri keintiman mereka. Ia mengurai rangkulan lalu duduk dengan kaki di lantai. Rambut panjangnya berantakan terlihat seksi. Nala kemudian duduk tak jauh dari Aska. Saat ia menoleh, Aska menatap tajam padanya membuatnya menunduk dan menyiapkan diri untuk menerima hardikan dari suaminya.
Ketakutan itu jelas terlihat dan baru Aska sadari. Mungkinkah selama didekatnya Nala tertekan dan takut hingga mengambil keputusan untuk pergi darinya? Aska tak pernah dengan sengaja ingin membuat istrinya takut atau apapun. Seperti inilah dirinya, hal tersebut berlaku secara otomatis. Yang tak Nala ketahui dibalik sikap kerasnya cara memperlakukan dia, semata-mata Aska ingin mengembalikan perempuan itu pada tempatnya. Bukan pesuruh dari ibu dan dua orang adiknya.
"Lapar?" Tanya Aska tatkala mendengar bunyi dari perut Nala.
Wanita di depannya itu mendongak melihatnya. "Eh?"
"Ingin makan apa?"
"Hah?" Ekspresi kebingungan menghiasi wajah Nala.
"Kakak tanya, ingin makan apa?"
"Hah?"
Kali ini Aska tak dapat menahan tawanya. Dengan gemas ia mencubit pipi chubby istrinya. Barangkali dirinya terdengar aneh tidak seperti biasanya yang akan meledak bila Nala melakukan kesalahan. Itu kemarin saat ia belum cakap mengendalikan emosinya. Kali ini ia akan berusaha meredam amarahnya dan berusaha meyakinkan istrinya jikalau ia telah menyadari kesalahannya.
"La, ada apa? Kenapa dari tadi hanya itu jawabanmu?" Tawa itu masih tersisa di wajah Aska.
"Apa?"
"Astaga, La. Anak kita lapar apa kamu nggak mau memberinya makan?"
Anak. Rupanya sewaktu Aska mengungkit anak kesadaran Nala kembali. Ketakutan menderanya cepat. Bagaimana jika pria itu ingin mengambil anaknya?
"Kenapa, Kak Aska di sini? Siapa yang memberitahu, Kakak? Apa mau, Kakak? Ap–apa Kakak ingin mengambil anak ini?" Runtutan pertanyaan itu keluar begitu saja.
"Ini bukan anak Kak Aska, tapi ini anakku. Anakku dan Kakak nggak boleh mengambilnya," ucapnya histeris. Tidak. Tidak. Aska tak boleh merebutnya dari Nala. Ketakutan Nala menjadi. "Kakak boleh buang Nala tapi jangan rebut anak ini. Ini anakku. Aku nggak akan serahkan sama siapapun. Nggak akan! Ini anakku." Jeritnya kuat sembari memeluk perutnya. Tangis perempuan itu pecah.
Aska meringis melihat ketakutan Nala dan itu akibat kesalahannya. Pria tersebut mendekat kemudian merengkuh Nala dalam pelukannya. "Tenanglah," bujuk Aska menenangkan.
Wanita itu berontak tetapi Ask tetap memeluknya."Jangan ambil anakku. Kakak boleh ceraikan aku asal jangan ambil dia. Cuma dia yang aku punya. Cuma anak ini."
"Sssttt. Tenanglah. Kakak nggak akan mengambilnya. Tenang. Jangan takut, oke?" Rayunya. Ia tak ingin Nala semakin histeris.
Perempuan itu masih berusaha melepaskan diri, namun Aska tak akan mengurainya. Tidak sebelum mereka bicara. Benar kata pepatah, penyesalan datang belakangan. Itu yang ia rasakan detik ini. Ucapan jahatnya memicu kecemasan Nala.
"Lepas. Aku mau pergi. Aku mau pergi!"
"Nggak akan Kakak lepas sebelum kamu tenang."
Sekeras apapun ia mencoba melepaskan diri dari Aska akan sia-sia. Tapi ia takut jika pria itu benar-benar menepati omongannya saat di cottage.
"Diam, maka aku akan melepasmu." Terpaksa Aska harus kembali mengancam Nala, bila tidak wanita itu terus memberontak.
Saat ini yang mereka butuhkan adalah waktu. Mereka perlu berbicara. Dan, Aska berterimakasih pada dua temannya itu telah memberinya kesempatan tanpa ingin menggangu. Seperti kali ini dua mobil SUV tak ada artinya dibanding istrinya.
❄❄❄
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top